BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Padang Penggembalaan Dalam bahasa Inggris, hal-hal yang berkaitan dengan penggembalaan disebut pastoral. Ekosistem ini terdiri atas peternak (pastoralist) dan hewan ternak. Adapun padang penggembalaan disebut ekosistem pastoral (Iskandar, 2001). Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat peternak (pastoralist society) merupakan bagian integral yang sangat penting dalam ekosistem pastoral ini. Berbagai aktifitas peternak itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Hadi (2002) menyebutkan sistem padang penggembalaan merupakan kombinasi antara pelepasan ternak di padang penggembalaan bebas dengan pemberian pakan. Sistem penggembalaan bebas di Indonesia hanya ditemukan di wilayah timur Indonesia dimana terdapat areal padang rumput alami yang luas. Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan dimana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak dan dapat merenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat. Padang penggembalaan adalah tempat atau lahan yang ditanami rumput unggul dan atau legume (jenis rumput/ legume yang tahan terhadap injakan ternak) yang digunakan untuk menggembalakan ternak (Yunus, 1997). Sistem penggembalaan adalah pemeliharaan ternak sapi yang dilaksanakan dengan cara ternak digembalakan di suatu padang penggembalaan yang luas, terdiri dari padang penggembalaan rumput dan leguminosa (Tandi, 2010). Sistem padang penggembalaan merupakan kombinasi antara pelepasan ternak di padang
8
9
penggembalaan bebas dengan pemberian pakan. Padang penggembalaan tersebut bisa terdiri dari rumput atau legume. Tetapi suatu padang penggembalaan yang baik dan ekonomis adalah yang terdiri dari campuran rumput dan leguminosa (Hadi, 2002). 2.1.1 Macam-macam Padang Penggembalaan Berdasarkan vegetasinya padang penggembalaan digolongkan dalam beberapa macam di antaranya : 2.1.1.1 Padang Penggembalaan Alami Padang penggembalaan yang terdiri dari tanaman yang berupa rumput parennial, produktivitas rendah, floranya relatif belum tersentuh oleh manusia (McLlroy, 1976). Menurut Reksohadiprojo (1994) padang penggembalaan alami tidak ada pohon, belum terjadi campur tangan manusia, manusia hanya mengawasi ternak yang digembalakan, banyak terdapat gulma, daya tampung rendah. 2.1.1.2 Padang Penggembalaan Buatan Padang penggembalaan yang vegetasinya sudah dipilih/ditentukan dari varietas tanaman yang unggul. Menurut Reksohadiprodjo (1994) Padang penggembalaan adalah tanaman makanan ternak dalam pandangan telah ditanam, disebar, dan dikembangkan oleh manusia. Padangan dapat menjadi padangan permanen atau diseling dengan tanaman pertanian.
10
2.1.1.3 Padang Penggembalaan yang Telah Diperbaiki Spesies-spesies hijauan makanan ternak dalam padangan belum ditanam oleh manusia, tetapi manusia telah mengubah komposisi botaninya sehingga didapat spesies yang produktif dan menguntungkan dengan jalan mengatur pemotongan/defoliasi (Reksohadiprodjo, 1994) 2.1.1.4 Padang Penggembalaan dengan Irigasi Padang penggembalaan ini biasanya terdapat di daerah sepanjang aliran sungai atau dekat dengan sumber air. Penggembalaan ternak dijalankan setelah padang penggembalaan menerima pengairan selama 2-4 hari (Reksohadiprodjo, 1994). 1.2 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas dan Keberagaman Padang Penggembalaan 2.2.1 Air Air yang terbatas mempengaruhi fotosintesis dan perluasan daun pada tanaman karena tekanan air mempengaruhi pembukaan pada stomata perluasan sel (Setyati, 1991). Air berfungsi untuk fotosintesis, penguapan, pelarut zat hara dari atas ke daun. Jika ketersediaan air terpenuhi maka seluruh proses metabolisme tubuh tanaman berlangsung, berdampak produksi tanaman tinggi. 2.1.2 Intensitas Sinar Intensitas sinar di bawah pohon atau tanaman pertanian tergantung pada bermacam-macam tanaman, umur, dan jarak tanam, selain waktu penyinaran. Keadaan musim dan cuaca juga berpengaruh terhadap intensitas sinar yang jatuh pada tanaman selain yang ada di bawah tanaman utama (Susetyo et al., 1981).
11
2.1.3 Spesies Kemampuan suatu tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungan dan faktor genetik berpengaruh pada produktivitas tanaman tersebut. Tanaman satu dengan tanaman lain mempunyai tingkat adaptasi dan genetik yang berbeda-beda. 2.1.4 Temperatur Tanaman memerlukan temperatur yang optimum untuk melakukan aktivitas fotosintesis. Temperatur tanah berpengaruh terhadap proses biokimia dimana terjadi pelepasan nutrien tanaman dan berpengaruh juga pada absorbsi air dan nutrien. 2.1.5 Curah Hujan Curah hujan berpengaruh pada produksi bahan kering yang dihasilkan oleh hijauan pakan. Semakin tinggi curah hujan maka produksi bahan keringnya akan semakin tinggi namun komposisi air dalam pakan meningkat. 2.1.6 Tanah Tanah berfungsi sebagai pendukung pertumbuhan tanaman sebagai sumber hara dan mineral, kesuburan tanah juga ditentukan oleh kelarutan zat hara, pH, kapasitas pertukaran kalori, tekstur tanah dan jumlah zat organiknya. Menurut Kartasapoetra et al. (2005) Tanah dibagi beberapa jenis sebagai berikut : Kelas I Hampir tidak ada faktor pembatasnya, hanya memerlukan sedikit perhatian untuk memperbaiki tanah jenis ini. Namun, jika tidak adanya perawatan maka tanah ini akan turun menjadi kelas 2. Tanah ini cocok ditanami berbagai jenis tumbuhan, sehingga tanah jenis kelas 1 banyak diincar.
12
Kelas 2 Ciri-ciri tanah kelas 2 : kedalaman permukaan sekitar 36 inchi, kemiringan lereng sekitar 5%, gejala erosi masih ringan, lapisan tanah permukaan bersifat lempung dan berpasir, kesuburan tanah sedang. Kelas 3 Mempunyai ciri bahwa tanah ini mampunyai kesuburan yang kurang baik, tanah berpasir ringan (light sandy soil), tingkat kemiringan 15%, lapisan tanah (top soil) tipis. Kelas 4 Ciri dari tanah ini adalah belereng terjal, tanah ini ditumbuhi tanaman berumput, membuat parit, tanah ini tidak cocok untuk usaha pertanian. Kelas 5 Tanah jenis ini adalah tanah yang hampir datar, tidak memiliki gejala erosi. Untuk memperbaiki sebaiknya ditanami tanaman yang berumur 1-2 tahun. Kelas 6 Tanah jenis ini bagus untuk ditanami pohon dan buah-buahan, asalkan tanaman penutupnya
dirawat
dengan
baik.
Banyak
digunakan
untuk
padang
penggembalaan. Kelas 7 Tanah jenis ini biasanya berada pada lereng yang berkisar memiliki kemiringan 45%-50%. Tanah jenis ini tidak cocok ditanamai untuk pertanian, kecuali untuk padang penggembalaan.
13
Kelas 8 Tanah jenis ini sebaiknya dijadikan hutan lindung, karena unsur haranya sangat sedikit dan memiliki faktor pembatas yang banyak. 2.3 Optimalisasi Padang Penggembalaan 2.3.1 Perbaikan Lahan Syarat padang penggembalaan yang baik adalah produksi hijauan tinggi dan kualitasnya baik, persistensi biasa ditanam dengan tanaman yang lain yang mudah dikembangbiakkan. Pastura yang baik nilai cernanya adalah pastura yang tinggi canopinya yaitu 25 – 30 cm setelah dipotong (Utomo et al., 1983). Biota tanah sangat sensitif terhadap gangguan oleh adanya aktivitas manusia, sebagai contoh adanya sistem pertanian yang intensif, karena intensifikasi pertanian menyebabkan berubahnya beberapa proses dalam tanah. Kegiatan pertanian yang dimaksud antara lain adalah penyiangan, pemupukan, pengapuran, pengairan dan penyemprotan herbisida dan insektisida. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mempersiapkan kualitas padang penggembalaan yang unggul (Noordwijk dan Kurniatun, 2006). Tanah jenis VI biasanya tidak terpakai dan mempunyai unsur hara yang rendah. Rumput-rumput yang tumbuh adalah rumput perennial yang dapat tumbuh sepanjang tahun. Sebagian tumbuh tegak dan sebagian lagi merambat dengan produktivitas yang relatif rendah. Dalam hal ini tanah yang dipakai adalah tanah kelas VI yang kurang diminati sebagai lahan pertanian. Sehingga bisa digunakan sebagi padang penggembalaan. Namun, tanah jenis ini mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah. Kesuburan tanah alami sangat bergantung pada komposisi mineral bahan induk tanah atau cadangan hara tanah.
14
Semakin tinggi cadangan hara tanah, semakin tinggi pula tingkat kesuburan tanahnya (Suharta, 2010). Karena tanah jenis VI memiliki nutrisi atau unsur hara yang rendah maka perlu dilakukan adanya perbaikan. Diantaranya yaitu dengan pembersihan lahan dan pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang maupun kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah tersebut, karena akan memperbaiki struktur tanah. Disamping itu dapat pula diberikan pupuk anorganik seperti KCl, Sp-36 dan urea, disesuaikan dengan jenis tanah setempat (Hardiatmi, 2008). Bisa juga dipupuk menggunakan pupuk organik yang terbuat dari kotoran sapi yang dihasilkan saat digembalakan. 2.3.2. Tatalaksana Teknis pengembangan usaha sapi potong memakai sistem padang penggembalaan: Sistem pertanaman campuran antara rumput dan leguminosa, keuntungannya dibandingkan sistem pertanaman murni, yaitu leguminosa ditanam bersama rumput-rumput untuk keuntungan rumput-rumput tersebut, karena leguminosa lebih kaya akan kandungan nitrogen dan kalsium (kapur) dibandingkan
dengan
rumput-rumput,
dan
menaikkan
gizi
padang
penggembalaan. Penggembalaan dilakukan secara bergilir, dimana padang penggembalaan dibagi dalam beberapa petakan, tujuan cara penggembalaan bergilir adalah untuk menggunakan padang penggembalaan pada waktu hijauan masih muda dan bernilai gizi tinggi serta memberikan waktu yang cukup untuk tumbuh kembali. Jenis rumput yang akan berada pada padang penggembalaan yaitu yang tahan diinjak-injak dan leguminosa herba Centrosema. Tata laksana pemeliharaan
15
ternak sapi adalah sistem semi intensif, dimana dilakukan pada pagi hari (jam 10.00 – 16.00) ternak digiring ke padang penggembalaan dengan sistem penggembalaan bergilir. Pada sore hari ternak digiring kembali ke kandang dan diberi pakan hijauan rumput potong (rumput gajah). Kegiatan pembersihan kandang dilakukan pada pagi hari, kotoran ternak ditampung pada lubang yang telah disediakan sebagai tempat penampungan kotoran. Usaha pengembangan sapi potong ini dapat diintegrasikan dengan usaha pemanfaatan kotoran sapi menjadi pupuk organik (Rusmadi, 2007). Pemanfaatan pupuk yang berasal dari kotoran sapi juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sistem penggembalaan adalah pemeliharaan ternak sapi potong yang dilaksanakan dengan cara ternak digembalakan di suatu padang penggembalaan yang luas, terdiri dari padang penggembalaan rumput dan leguminose. Keuntungannya yaitu: 1. Hemat biaya dan tenaga, 2. Mengurangi penggunaan feed supplement protein, 3. Menyebarkan pupuk, 4. Tidak memerlukan kandang khusus, dan kekurangannya adalah a. Harus memiliki lahan yang cukup luas, b. Pada saat kemarau kekurangan pakan baik dari kuantitas dan kualitasnya, c. Memerlukan tempat berteduh dan sumber air, d. Banyak mengeluarkan energi karena ternak harus jalan, e. Produktivitas ternak kurang maksimal dengan lama penggemukan 8-10 bulan (Sugeng, 2003).
16
2.4 Komposisi Botani Padang penggembalaan yang baik mempunyai komposisi botani 50% rumput dan 50% legume. Besarnya kadar air dan bahan kering yang harus dimiliki oleh suatu padangan adalah 70 – 80% untuk kadar air dan bahan keringnya 20 – 30% (Susetyo, 1980). Alat yang digunakan dalam metode ini adalah kuadran persegi yang berukuran 1 m x 1 m. Metode pengukuran kualitas hijauan untuk komposisi botani yaitu dengan menggunting atau disabit sebagian pasture kemudian dianalisis untuk mendapatkan berapa banyak bahan kering, lemak kasar ataupun nutrien – nutrient yang lainnya yang disajikan dalam penggembalaan. (Reksohadiprodjo, 1994). 2.5 Kualitas Hijauan Pada Padang Penggembalaan Kualitas hijauan ditentukan dengan analisis nilai nutrien meliputi bahan kering (BK), protein kasar (CP), energy (E), serat kasar (SK), kalsium (Ca), abu fosfor (P). 2.5.1 Bahan Kering (BK) Dry matter atau bahan kering merupakan salah satu hasil dari pembagian fraksi yang berasal dari bahan pakan setelah dikurangi kadar air, dalam analisa ini menggunakan alat yang berupa oven 105 0C, timbangan analitik, cawan porselin, eksikator dan penjepit. Masing – masing dari alat ini mempunyai fungsi sesuai dengan kebutuhan dalam analisa bahan kering seperti misalnya cawan porselin digunakan untuk tempat sampel yang akan dianalisa setelah penimbangan. Oven digunakan untuk memanaskan sampel yang bertujuan untuk menghilangkan kadar
17
air. Pada prinsipnya dalam analisa bahan kering ini adalah dengan pemanasan menggunakan oven 105 0C selama 4 jam dengan sampel 1-2 gram diharapkan kadar air dalam bahan pakan akan menguap sehingga yang tersisa hanyalah bahan kering dan cawan. Untuk mendapatkan hasil dari bahan kering makan bahan kering dan oven dikurangi dengan berat cawan pertama kali ditimbang sebelum diberi sampel. 2.5.2 Bahan Organik (BO) Bahan organik utamanya berasal dari golongan karbohidrat, yaitu BETN dengan komponen penyusun utama pati dan gula yang digunakan oleh bakteri untuk menghasilkan asam laktat. Bahan organik yang terkandung dalam bahan pakan, protein, lemak, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, sedang bahan anorganik seperti kalsium, phospor, magnesium, kalium, natrium. Kandungan bahan organik ini dapat diketahui dengan melakukan analisis proximat dan analisis terhadap vitamin dan mineral untuk masing masing komponen vitamin dan mineral yang terkandung didalam bahan yang dilakukan di laboratorium dengan teknik dan alat yang spesifik. 2.5.3 Protein Kasar (PK) Protein merupakan salah satu zat makanan yang berperan dalam penentuan produktivitas ternak. Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan nitrogen bahan pakan kemudian dikali dengan faktor protein 6,25. Angka 6,25 diperoleh dengan asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen. Kelemahan analisis proksimat untuk protein kasar itu sendiri terletak pada asumsi dasar yang digunakan. Pertama, dianggap bahwa semua nitrogen bahan pakan merupakan
18
protein, kenyataannya tidak semua nitrogen berasal dari protein dan kedua, bahwa kadar nitrogen protein 16%, tetapi kenyataannya kadar nitrogen protein tidak selalu 16% (Sutardi, 2009). Senyawa-senyawa non protein nitrogen dapat diubah menjadi protein oleh mikrobia, sehingga kandungan protein pakan dapat meningkat dari kadar awalnya. Sintesis protein dalam rumen tergantung jenis makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Jika konsumsi N makanan rendah, maka N yang dihasilkan dalam rumen juga rendah. Jika nilai hayati protein dari makanan sangat tinggi maka ada kemungkinan protein tersebut didegradasi di dalam rumen menjadi protein berkualitas rendah (Tillman at al., 1998). 2.5.4 Serat Kasar Fraksi serat kasar mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa tergantung pada species dan fase pertumbuhan bahan tanaman (Anggorodi, 1994). Pakan hijauan merupakan sumber serta kasar yang dapat merangsang pertumbuhan alat-alat pencernaan pada ternak yang sedang tumbuh. Tingginya kadar serat kasar dapat menurunkan daya rombak mikroba rumen. Cairan retikulorumen mengandung mikroorganisme, sehingga ternak ruminasia mampu mencerna hijauan termasuk rumput-rumputan yang umumnya mengandung selulosa yang tinggi (Tillman at al., 1998). Langkah pertama metode pengukuran kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua bahan yang terlarut dalam asam dengan pendidihan dengan asam sulfat bahan yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan sodium alkali. Residu yang tidak larut adalah serat kasar (Soejono, 2004).
19
2.5.5 Gross Energi (GE) Gross energi didefinisikan sebagai energi yang dinyatakan dalam panas bila suatu zat dioksider secara sempurna menjadi karbondioksida dan air. Tentu saja karbondioksida dan air ini masih mengandung energi, akan tetapi dianggap mempunyai tingkat nol karena hewan sudah tidak bisa memecah zat melebihi karbondioksida dan air. Gross energi diukur dengan alat bomb kalorimeter. Besarnya energi bruto bahan pakan tidak sama tergantung dari macam nutrient dan bahan pakan (Sutardi, 2004). Energi total makanan adalah jumlah energi kimia yang ada dalam makanan, dengan mengubah energi kimia menjadi energi panas dan diukur jumlah panas yang dihasilkan. Panas ini diketahui sebagai sumber energi total atau panas pembakaran dari makanan, bomb kalorimeter digunakan untuk menentukan energi total dan sampel makanan dipijarkan dengan aliran listrik. Metode ini dipakai untuk energi total makanan dan produk ekskreta (Tillman, 1993). Suatu nutrien organik dibakar sempurna sehingga menghasilkan oksida (CO2 dan air), maka panas yang dihasilkan disebut energi bruto. Guna menentukan besarnya energi bruto bahan pakan dapat digunakan suatu alat bom kalorimeter. Besarnya nilai energi bahan pakan tidak sama tergantung dari macam nutrien dan bahan pakan (Soejono, 2004). Analisis kadar energi adalah usaha untuk mengetahui kadar energi bahan baku pakan, dalam analisis biasanya ditentukan energi bruto lebih dahulu dengan membakar sejumlah bahan pakan sehingga diperoleh hasil-hasil oksidasi yang berupa karbondioksida, air dan gas lainnya. Penentuan energi bruto menentukan jumlah energi kalori dalam bahan
20
baku pakan yang dianalisis (Prasetyastuti, 1988). Energi adalah sumber utama bagi proses metabolisme dalam tubuh ternak, baik untuk hidup pokok dan produksi. Kekurangan energi akan menghambat pertumbuhan, dewasa kelamin, pada sapi laktasi dapat menyebabkan produksi, bobot badan dan gangguan reproduksi (Sutardi, 2004). 2.6 Penentuan Kapasitas Tampung Daya tampung atau kapasitas tampung (carrying capacity) adalah kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak yang digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang penggembalaan untuk menampung ternak per hektar (Reksohadiprodjo, 1994). Menurut Parakkasi (1999) konsumsi bahan kering satu ekor sapi per hari sebesar 3% dari bobot badan. Satu satuan ternak (ST) setara dengan satu ekor sapi seberat 455 kg (Santosa, 1995). Semakin besar tingkat produksi hijauan per satuan luas lahan, maka akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menampung sejumlah ternak. Pada padang penggembalaan yang baik biasanya mampu menampung sebanyak 2,5 ST/ha/thn. Hal ini sesuai dengan
pendapat
Susetyo
(1980)
yang
menyatakan
beberapa
padang
penggembalaan yang baik mempunyai kapasitas tampung 0,4 hektar untuk 1 ST atau satu hektar lahan dapat menampung 2,5 ST/thn. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kapasitas tampung menurut Subagio dan Kusmartono (1988) yaitu :
21
1. Penaksiran Kuantitas Produksi Hijauan Umumnya dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai kuadran berukuran 1 x 1 m dengan bentuk persegi. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan secara acak. Hijauan yang terdapat di areal kuadran dipotong lebih kurang 5 – 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya. 2. Penentuan Proper Use Factor Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah padangannya. 2.7 Kemampuan Klass Pastural Daya tampung padang penggembalaan tergantung pada kemiringan lahan, jarak dengan sumber air, kecepatan pertumbuhan/produksi tanaman pakan, kerusakan lahan, ketersediaan hijauan yang dapat dikonsumsi, nilai nutrisi pakan, variasi musim, keadaan ekologi padang penggembalaan (Susetyo, 1980). Kelerengan dinyatakan dalam persentase dan dikelompokkan dalam kelas-kelas datar sampai agak datar 0-8%, berombak sampai bergelombang 9-15%, bergelombang 15 - 40% dan berbukit/bergunung >40% (Hakim, 1986). Menurut Arismunandar (1983) tekstur dinyatakan berdasarkan bandingan dalam bahan organik, fraksi pasir, debu dan liat dan untuk tanah mineral dikelompokkan dalam kelas-kelas berpasir, berlempung, berliat dan berdebu. Sedangkan tanah gambut dibagi menjadi dangkal (<2m) dan gambut dalam (>2m).
22
Kemiringan lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng semuanya akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kemiringan lereng dapat dilihat dari peta topografi dan peta tanah. Kemiringan suatu lereng dikelompokkan sebagai berikut : datar 0 – 3%, landai atau berombak 3% - 8%, agak miring atau bergelombang 8% - 15%, miring atau berbukit 15% - 30%, agak curam 30% - 45%, curam 45% - 65%, sangat curam lebih dari 65% (Jamulya dan Sunarto, 1991). 2.8 Karakteristik Sapi Bali Indonesia memiliki sumber plasma nutfah ternak terbaik di dunia, Salah satunya adalah sapi bali yang merupakan sapi potong asli Indonesia hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Sapi bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos
indicus.
Berdasarkan
hubungan
silsilah
famili Bovidae,
kedudukan sapi bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos. Sapi bali terkenal karena keunikan dan keunggulannya dibanding sapi jenis lain. Sapi bali memiliki banyak sifat unggul diantaranya (reproduksi sangat baik, mudah beradaptasi dengan lingkungan yang sangat ekstrim, tahan terhadap penyakit, memiliki daya cerna yang baik terhadap pakan dan persentase karkas yang tinggi). Tidak heran bila sapi bali merupakan jenis sapi terbaik diantara sapisapi yang ada di dunia (Djagra, 2009) .
23
Adapun karakteristik sapi bali adalah sebagai berikut: 2.8.1 Penampilan Fisik Menurut Djagra et al. (2002) secara fisik, sapi bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Warna bulu pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih pedet, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi bali betina. Warna bulu sapi bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata kembali apabila sapi bali jantan itu dikebiri. 2. Kaki di bawah persendian telapak kaki depan (articulatio carpo metacarpeae) dan persendian telapak kaki belakang (articulatio tarco metatarseae) berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan yang ditemukan sekitar kurang daripada 1% . Bulu sapi bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.
24
3. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang. 4. Badan padat dengan dada yang dalam. 5. Tidak berpunuk dan seolah-olah tidak bergelambir 6.
Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.
7. Pada tengah-tengah (median) punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. 8. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam 9. Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam. 2.8.2 Pertambahan Bobot Badan Bobot badan sapi bali sangat responsif terhadap usaha-usaha perbaikan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah jenis kelamin, perlakuaan,lingkungan dan faktor keturunan. Pada umur 1,5 tahun bobot sapi bali jantan mencapai 217,9 kg. Apabila disertai dengan pemberian konsentrat tinggi maka kenaikan bobot badannya dapat mencapai 0,87 kg per hari. Sapi bali memiliki kemampuan untuk mempertahankan kondisi dan bobot badannya meskipun dipelihara di padang gembalaan yang kualitasnya rendah. Disamping itu, kemampuannya mencerna serat dan memanfaatkan protein pakan lebih baik daripada sapi lainnya. (Hardjosubroto dan Astuti, 1993)
25
2.8.3 Reproduksi Umur dewasa kelamin sapi bali rata-rata 18-24 bulan untuk betina dan 2026 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991), umur kawin pertama betina 18-24 bulan dan jantan 23-28 bulan, beranak pertama kali 28-40 bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978) dengan lama bunting 285286 hari (Darmadja dan Suteja, 1975) dan jarak beranak 14-17 bulan (Darmadja dan Sutedja, 1976) dengan persentase kebuntingan 80-90% dan persentase beranak 70-85% (Pastika dan Darmadja, 1976; Pane, 1991). Rata-rata siklus estrus adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 – 21 hari, sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16-23 hari (Pane, 1979) selama 36 – 48 jam birahi dengan masa subur antara 18 – 27 jam (Pane 1979; Payne, 1971) dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2-4 bulan (Pane, 1979). Sapi bali menunjukkan estrus musiman (seasonality of oestrus), 66% dari sapi bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – januari dan 71% dari kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan : betina sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976). Persentase kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi bali berturut-turut adalah 7,03% dan 3,59% (Darmadja dan Suteja, 1976). Persentase kematian pada umur dewasa sebesar 2,7% (Sumbung et al., 1976).
26
2.8.4 Kualitas Daging dan Karkas Sapi bali merupakan ternak potong andalan Indonesia. Ternak ini memiliki persentase karkas yang tinggi, lemaknya sedikit serta perbandingan tulang dan dagingnya sangat rendah. Sapi bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% lemak 13-14% (Sukanten, 1991). 2.8.5 Keunggulan Sapi Bali Keunggulan sapi bali tampak pada hidupnya yang sederhana, mudah dikendalikan dan jinak. Sapi bali dapat hidup dengan memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, tidak selektif terhadap makanan, dan memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang cukup baik. Kelebihan yang paling mencolok adalah kemampuan beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, terutama pada daerah baru yang belum ada ternak sapi atau belum mengenal budidaya pemeliharaan sapi. Oleh karena sifat inilah sapi bali sering disebut sebagai sapi perintis atau sapi pelopor. Sapi bali termasuk ternak dwiguna, yaitu dapat dimanfaatkan sebagai ternak kerja dan ternak potong. Sebagai ternak kerja, sapi bali tergolong kuat dan cepat dalam mengerjakan lahan pertanian karena memiliki kaki yang bagus dan kuat dibandingkan dengan sapi peranakan ongol. Sapi bali yang dapat diandalkan untuk pembangunan subsektor pertanian ini memiliki beberapa kelemahan yang menjadi faktor pembatas dalam program pengembangan sapi bali. Kelemahan
27
tersebut antara lain ukuran tubuhnya relatif kecil, produksi susu rendah sekitar 11,5 1/hari sehingga pertumbuhan anak sapi lambat, dan masih tingginya angka kematian anak pada pemeliharaan secara ekstensif, selain itu sapi bali mudah terserang penyakit khusus seperti penyakit jembrana dan ingusan. Pertumbuhan sapi bali cenderung lambat, tetapi sangat responsif terhadap usaha-usaha perbaikan. Ternak ini akan mengalami penurunan bobot badan pada waktu musim kerja. Namun setelah diberi makan kembali maka bobot badannya kembali normal.
28