BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Tanah Disebut cacing tanah (earthworm) karena hewan ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah. Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang (avertebrata) dan bertubuh lunak. Cacing tanah digolongkan ke dalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin (Khairuman SP.,2010). Suin (1982) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cacing tanah yang terdapat di Indonesia cukup tinggi, yaitu tercatat dan telah diketahui sebanyak 55 jenis cacing tanah. Jenis cacing tanah yang telah ditemukan di Pulau Sumatera adalah Friedericia bulbosa Rosa, Pontoscolex corethrurus Fr. Mull., Pheretima darliensis Sims dan Easton, Planapheretima moultoni Michaelsen, Megascolex sp.. Sedangkan dari hasil penelitian Arlen, dkk. (1994) di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan timbunan sampah rumah tangga pada beberapa Kecamatan Kotamadya Medan-Sumatra Utara didapatkan 6 jenis cacing yaitu Megascolex sp., Perionyx sp,. Drawida sp., Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp. 2.1.1 Klasifikasi cacing tanah Cacing tanah Megascolex sp. diklasifikasikan sebagai berikut (Hanafiah,2005) Phylum
: Annelida
Kelas
: Chaetopoda
Universitas Sumatera Utara
Ordo
: Oligochaeta
Famili
: Megascolecidae
Genus
: Megascolex
Spesies
: Megascolex sp
2.1.2 Habitat Cacing tanah Megascolex sp. Cacing tanah Megascolex sp . hidup di tempat atau tanah yang terlindungi dari sinar matahari, lembab, gembur dan yang mengandung banyak serasah. Habitat ini sangat spesifik bagi cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Cacing tanah Megascolex sp. menempati bagian permukaan tanah hingga jauh ke dalam tanah. Tempat ini disukai karena terlindung dari teriknya sinar matahari. 2.1.3 Nama daerah Di Indonesia cacing tanah Megascolex sp. dikenal dengan nama cacing merah. Dalam bahasa Inggris cacing sering disebut dengan istilah worm, vermes, dan helminth. 2.1.4 Ciri-ciri Fisik Cacing Tanah Ciri-ciri fisik cacing tanah Megascolex sp anatara lain pada tubuhnya terdapat segmen luar dan dalam, yang berjumlah antara 160-180, tidak mempunyai kerangka luar. Tubuhnya dilindungi oleh kutikula, warna tubuh bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral kekuningan (pucat), tidak memiliki alat gerak seperti kebanyakan binatang. Untuk bergerak cacing tanah harus menggunakan otot-otot tubuhnya yang panjang dan tebal yang melingkari tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara
Panjang tubuh cacing tanah Megascolex sp. 50-105 mm, diameter 1,5-3,5 mm. Pada tubuh cacing tanah terdapat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis yang dapat mempermudah pergerakannya di tempat-tempat yang padat dan kasar, juga terdapat seta berupa rambut yang relatif keras dan berukuran pendek. Daya lekat seta ini kuat sehingga cacing dapat melekat erat pada permukaan benda. Cacing tanah tidak memiliki mata, tetapi pada tubuhnya terdapat prostomium yang merupakan organ saraf perasa berbentuk seperti bibir. Adanya prostomium ini membuat cacing tanah peka terhadap benda-benda di sekelilingnya. Itulah sebabnya cacing tanah dapat menemukan bahan organik yang menjadi makanannya walaupun tidak mempunyai mata. Cacing tanah dewasa yakni yang berumur sekitar 2-3 bulan memiliki klitelium yang merupakan alat untuk membantu perkembangbiakan. Organ ini merupakan bagian tubuh yang menebal dan warnanya lebih terang dari warna tubuhnya. Di akhir bagian tubuhnya terdapat anus. Anus digunakan untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran cacing tanah atau yang sering disebut kascing sangat berguna bagi tanaman karena sangat kaya dengan unsur hara. Untuk bernafas, cacing tanah hanya mengandalkan kulitnya karena tidak memiliki alat pernapasan. Cacing tanah bereaksi negatif terhadap sinar matahari. Karena sinar matahari tersebut dapat mematikan cacing tanah hanya dalam waktu satu menit.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Perkembangbiakan Binatang ini bersifat hermaprodit atau biseksual. Namun untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri. Pembuahan harus dilakukan berpasangan. Dari perkawinan sepasang cacing tanah 2.1.6 Kandungan Kimia Senyawa/ Unsur
% Bahan Kering
Protein
64-76
Lemak
7-10
Kalsium
0,55
Fosfor
1
Serat kasar
1,08
Komposisi Kandungan Asam Amino Asam Amino
Komposisi (%)
Asam Amino Esensial -
Arginin
4,13
-
Histidin
1,56
-
Isoleusin
2,58
-
Leusin
4,84
-
Lisin
4,33
-
Metionin
2,18
-
Fenilalanin
2,25 2,95
Universitas Sumatera Utara
-
Treonin
-
Valin
3,01
2,29
Asam Amino Non-esensial -
Sistin
2,92
-
Glisin
2,88
-
Serin
1,38
-
Tirosin
(Palungkung, 2010). 2.1.7 Manfaat Cacing Tanah Cacing tanah memiliki manfaat yang sangat besar anatara lain: A. Penghasil pupuk organik Pupuk organik dihasilkan dari proses pengomposan atau perombakan bahan organik pada kondisi lingkungan
yang lembab oleh sejumlah mikroba ataupun
organisme pengurai. Salah satunya adalah cacing tanah. Penguraian oleh cacing tanah lebih cepat 3 - 5 kali dibanding mikroba. Itulah sebabnya, cacing tanah sangat potensial sebagai penghasil pupuk organik. Bahan organik merupakan sumber makanan utama bagi cacing tanah. Setelah bahan organik dimakan maka dihasilkan pupuk organik. Pupuk organik tersebut lebih dikenal sebagai kascing (bekas cacing). Kascing merupakan partikel-partikel tanah berwarna kehitaman yang ukurannya lebih kecil dari partikel tanah. Komponen biologis yang terdapat dalam kascing diantaranya hormon pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin, dan auxin (Palungkung,2010). B. Mengolah sampah organik
Universitas Sumatera Utara
Dengan kemampuannya, cacing tanah sanggup melumat dan mencerna sampah organik menjadi suatu yang bermanfaat untuk menghindari polusi yang diakibatkan oleh bau sampah. Seperti di Italia bagian utara cacing tanah sudah dibudidayakan untuk pelumat sampah yang paling efektif. Sampah organik yang tertumpuk di suatu tempat dimana di tempat tersebut dipelihara cacing tanah sebanyak 20.000 ekor/5 meter persegi, dalam waktu yang singkat tumpukan sampah dapat dimusnahkan. Sedangkan di Jepang peternakan cacing tanah ditujukan untuk mengolah limbah industri kayu menjadi pupuk organik (Arlen, 1997). C. Bahan baku pakan ternak dan ikan Selama ini sumber protein dalam penyusunan ransum unggas dan ikan masih berasal dari tepung ikan. Seiring dengan meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat maka harga tepung ikan pun semakin tidak terjangkau. Tentu saja hal ini akan berdampak pada pemasaran produk. Telah dilakukan penelitian dan diperoleh bahwa tepung ikan dapat digantikan dengan tepung cacing tanah. Ditinjau dari kandungan proteinnya ternyata tepung cacing tanah masih lebih baik dibanding tepung ikan. Selain itu tepung cacing tanah mengandung asam amino paling lengkap, berlemak rendah, mudah dicerna dan tidak mengandung racun. Para peneliti di Indonesia juga melakukan penelitian terhadap cacing tanah, khususnya tepung cacing tanah. Hasil penelitiannya menunjukkan pemberian tepung cacing tanah dapat menurunkan jumlah ayam yang terinfeksi Salmonella pulorum (penyebab penyakit berak kapur) melalui mekanisme peningkatan kekebalan tubuh ayam, selain untuk pakan ayam, tepung cacing tanah juga dijadikan pakan ikan (Palungkung, 2010). D. Menyembuhkan penyakit tifus
Universitas Sumatera Utara
Tifus adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa, masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhosa. Pencemaran bisa terjadi melalui orang yang mempersiapkan makanan (karena tangannya kotor), akibat makanan masih kurang matang, atau makanan dihinggapi lalat pembawa. Salmonella typhi juga bisa ditularkan para carrier (pembawa kuman) melalui tinjanya (Mypotik, 2011). Dengan gejala apati, mulut dan bibir kering, perut tegang dan konstipasi, suhu badan tinggi terus menerus selama satu minggu, lidah kotor, badan gemetar dan lemas, adanya bintik merah pada dada dan perut (Andaiyani, 2010). Dalam catatan klasik Tiongkok, cacing tanah disebut tilung atau naga tanah. Cacing tanah sejak dahulu kala mereka gunakan dalam berbagai ramuan untuk menyembuhkan bermacam-macam penyakit. Masyarakat telah menggunakan cacing tanah ini sebagai obat penyakit tifus dengan pengolahan yang sederhana.
Ekstrak cacing tanah mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang menyebabkan penyakit tifus dan diare. Menurut Leslei (2000), ekstrak cacing tanah mengandung enzim lisosim yang mempunyai kemampuan sebagai antimikroba yang efektif untuk merusak dinding sel bakteri.
Penelitian di
Laboratorium Farmasi Unpad menyatakan terdapat enzim lain dalam cacing tanah yang mampu memperbaiki proses fisiologis tubuh. Adapun enzim tersebut adalah peroksidase, katalase dan selulase (Palungkung, 2010). E. Menurunkan demam
Demam dapat terjadi karena peningkatan suhu di hipotalamus, jika sel tubuh terluka oleh rangsangan pirogen seperti bakteri, virus, parasit, maka membrane sel yang tersusun oleh fosfolipid akan rusak. Salah satu komponen
Universitas Sumatera Utara
asam lemak fosfolipid yaitu asam arakidonat akan terputus dari ikatan molekul fosfolipid dibantu oleh enzim fosfolipase. Asam arikidonat akan membentuk prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase. Prostaglandin merangsang hipotalamus untuk meingkatkan suhu tubuh. Pengujian ekstrak cacing tanah untuk melihat aktivitasnya sebagai penurun panas dilakukan menggunakan hewan coba tikus putih yang didemamkan dengan vaksin campak. Kelompok tikus putih yang diberi ekstrak cacing tanah suhunya meningkat 0,8 0C, sedangkan kelompok tikus putih yang tidak diberi ekstrak cacing tanah suhunya meningkat 1,8 0C dari suhu normal. Dari serangkaian pengujian kimia diketahui bahwa senyawa aktif sebagai antipiretik dari ekstrak cacing tanah adalah golongan senyawa alkaloida. Pengujian memang belum dapat menentukan nama senyawanya secara tepat (Prof. Dr Dondin Sajuthi, 2008). F. Bahan baku kosmetik
Cacing tanah mengandung berbagai macam enzim dan asam amino esensial yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kosmetika. Enzim dan asam amino esensial berguna dalam proses penggantian sel tubuh yang rusak, terutama dalam menghaluskan dan melembutkan kulit. Hal ini telah dilakukan di Jepang, Prancis, Italia dan Australia (Palungkung, 2010). Beberapa enzim yang dimaksud sebagai berikut. •
Enzim peroksidase katalase, berfungsi memperlambat penuaan
•
Selulosa lignase, berfungsi mengembalikan dan menstabilkan fungsi pencernaan
•
Asam arakidonat, berfungsi mempercepat pembentukan sel-sel baru
Universitas Sumatera Utara
•
Alfa-tokoferol, berfungsi mempertahankan elastisitas dan keremajaan kulit (Khairuman SP, 2010).
G. Bahan baku makanan dan minuman
Harga makanan yang mangandung cacing tanah ini tergolong mahal sehingga dari kalangan masyarakat menengah keatas saja yang dapat memperolehnya. Di beberapa negara cacing tanah dikonsumsi karena diyakini mempunyai kashiat, di Australia ada masyarakat yang melahap cacing mentah untuk menyegarkan badan, di Filipina cacing tanah digunakan sebagai bahan untuk membuat perkedel, di Jepang dibuat sebagai bahan minuman segar (Vermijuice) yang berkhasiat menyembuhkan sakit kepala, di Eropa cacing tanah dibuat menjadi wormburger, crispy earthworm, dan verre de terre, dan di Indonesia daerah Cipanas, Jawa Barat ada sebuah keluarga yang mengolah cacing tanah menjadi omelet (Palungkung, 2010).
H. Menghancurkan gumpalan darah Mihara Hisahi, peneliti dari Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari Lumbricus (cacing
tanah),
maka enzim tersebut
kemudian dinamakan
lumbrokinase. Canada RNA Biochemical, Inc. kemudian mengembangkan penelitian tersebut dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang " Boluoke". Lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan
Universitas Sumatera Utara
pembuluh darah jantung (ischemic) yang berisiko mengundang penyakit jantung koroner (PJK), tekanan darah tinggi (hipertensi), dan stroke (Hasanudin, 2010). 2.2 Ekstraksi 2.2.1 Pengertian Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal dengan menggunakan pelarut. Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat - zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). 2.2.2 Metode Ekstraksi Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi: 1. Cara dingin i.
Maserasi, adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
ii.
Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Universitas Sumatera Utara
2. Cara panas i.
Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
ii.
Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
iii.
Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
iv.
Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
v.
Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.3 Sterilisasi Sterilisasi merupakan proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada suatu benda (Pratiwi, 2008). Cara-cara sterilisasi yaitu: a. Sterilisasi dengan bahan kimia, contoh: senyawa fenol. Desinfektan ini digunakan misalnya untuk membersihkan area tempat bekerja.
Universitas Sumatera Utara
b. Sterilisasi kering, digunakan untuk alat-alat gelas misalnya cawan petri, tabung reaksi. Cara ini cocok untuk alat-alat gelas karena tidak ada pengembunan dan tetes air. c. Sterilisasi basah, biasanya menggunakan uap panas bertekanan dalam autoklaf. Media biakan, larutan dan kapas dapat disterilkan dengan cara ini. Autoklaf merupakan suatu alat pemanas bertekanan tinggi, dengan meningkatnya suhu air maka tekanan udara akan bertambah dalam autoklaf yang tertutup rapat. Sejalan dengan meningkatnya tekanan di atas tekanan udara normal, titik didih air meningkat. Biasanya pemanasan autoklaf berada pada suhu 1210 C selama 15 menit. d. Filtrasi bakteri, digunakan untuk mensterilkan bahan-bahan yang terurai atau tidak tahan panas. Metode ini didasarkan pada proses mekanik yaitu menyaring semua bakteri dari bahan dengan melewatkan larutan tersebut melalui lubang saringan yang sangat kecil. 2.4 Bakteri 2.4.1 Uraian Umum Bakteri termasuk dalam golongan procaryotes, ukurannya sangat kecil (dalam ukuran mikron) sehingga hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop. Bakteri memiliki inti sel yang terdiri atas DNA dan RNA namun tidak memiliki pembungkus inti. Dinding selnya terdiri atas peptidoglikan, berkembang biak dengan membelah diri (binary fission), dapat dibiakkan pada perbenihan buatan serta dapat dihambat dengan antibiotika. Beberapa bakteri ada yang dapat bergerak aktif karena memiliki flagella (Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh: 1. Zat makanan (nutrisi) Sumber zat makanan bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi-fungsi metabolik dan pertumbuhannya. 2. Keasaman dan kebasaan (pH) Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum pertumbuhan antara 6,5-7,5, namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau basa.
3. Temperatur Proses pertumbuhan bakteri tergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi kimia yang dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Bakteri psikofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 030oC, temperatur optimum adalah 10-20oC. b. Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 560oC, temperatur optimum adalah 25-40oC. c. Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 50-100oC, temperatur optimum adalah 55-65oC. 4. Oksigen
Universitas Sumatera Utara
Beberapa spesies bakteri dapat hidup dengan adanya oksigen dan sebaliknya spesies lain akan mati. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, bakteri dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Aerobik
yaitu
bakteri yang
membutuhkan
oksigen untuk
pertumbuhannya. b. Anaerobik yaitu bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen. c. Anaerobik fakultatif yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan oksigen ataupun tanpa oksigen. d. Mikroaerofilik yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan adanya sedikit oksigen.
5. Tekanan osmosa Medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri adalah medium isotonis terhadap isi sel bakteri. 6. Kelembaban Secara umum bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang lembab. Kebutuhan akan air tergantung dari jenis bakterinya (Pelczar et al, 1988). 2.4.2
Reproduksi bakteri
Bakteri pada umumnya berkembang biak dengan membelah diri (binary fission). Pada waktu akan membelah sel bakteri membesar 2 kali semula kemudian membelah menjadi 2. Masing-masing sel bakteri yang baru menerima sitoplasma dan bahan genetic dalam jumlah yang sama. Dalam lingkungan yang
Universitas Sumatera Utara
ideal bakteri membelah dengan sangat cepat. Jika bakteri bereproduksi setiap 20 menit, maka akan terbentuk suatu koloni bakteri yang terdiri atas lebih dari 2 juta bakteri selama 7 jam, jika makanannya masih cukup. Ada beberapa bakteri yang berkembang biak secara konjugasi. Konjugasi terjadi antara bakteri yang sama jenisnya, jika satu bakteri mempunyai plasmid yang lainnya tidak. Bakteri jantan dan betina yang sama jenisnya saling melekatkan diri dengan membuat jembatan sitoplasma (pilus penghubung) dan selanjutnya terjadi pertukaran material genetic. Konjugasi sebetulnya jarang terjadi dan hanya pada beberapa spesies bakteri (Pratiwi, 2008).
2.4.3 Morfologi Bakteri Berdasarkan morfologinya bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: a. Bentuk basil Basil adalah bakteri yang mempunyai bentuk menyerupai batang atau silinder, membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun berbentuk rantai pendek atau panjang. Bentuk basil dapat dibedakan atas: - Monobasil yaitu basil yang terlepas satu sama lain dengan kedua ujung tumpul. - Diplobasil yaitu basil yang bergandeng dua dan kedua ujungnya tumpul. - Streptobasil yaitu basil yang bergandengan panjang dengan kedua ujung tajam.
Universitas Sumatera Utara
Contoh: Escherichia coli, Bacillus anthracis, Salmonella typhimurium, Shigella dysenteriae. b. Bentuk kokus Kokus adalah bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri dan ada yang berpasang-pasangan. Bentuk kokus ini dapat dibedakan atas: - Monokokus - Diplokokus yaitu kokus yang bergandeng dua. - Tetrakokus yaitu kokus yang mengelompok empat. - Stafilokokus yaitu kokus yang mengelompok dan merupakan suatu untaian. - Streptokokus yaitu kokus yang bergandeng-gandengan panjang berupa rantai. - Sarsina yaitu kokus yang mengelompok seperti kubus. Contoh: Monococcus gonorhoe, Diplococcus pneumoniae, Streptococcus lactis, Staphylococcus aureus, Sarcina luten. c. Bentuk spiral Dapat dibedakan atas: - Spiral yaitu bentuk yang menyerupai spiral atau lilitan. - Vibrio yaitu bentuk batang yang melengkung berupa koma. - Spirochaeta yaitu menyerupai bentuk spiral, bedanya dengan spiral dalam kemampuannya melenturkan dan melengkukkan tubuhnya sambil bergerak.
Universitas Sumatera Utara
Contoh: Spirillum, Vibrio cholerae, Spirochaeta palida (Volk and Wheeler, 1989). Berdasarkan pengecatan gram, maka bakteri dapat dibedakan menjadi dua bagian (Lay, 1994) yaitu : A. Bakteri gram positif, yaitu bakteri yang dapat mengikat zat warna pertama (kristal violet dan Sol. iodii) akan memberikan warna ungu dan setelah dicuci dengan alkohol, warna ungu tersebut akan tetap kelihatan. Kemudian ditambahkan zat warna kedua (safranin), warna ungu pada bakteri tidak berubah. B. Bakteri gram negatif, yaitu bakteri yang kehilangan warna dari kristal violet ketika dicuci dengan alkohol dan setelah diberi zat warna kedua (safranin), bakteri akan memberikan warna merah muda
2.4.4 Fase Pertumbuhan Bakteri Bakteri mengalami pertumbuhan melalui beberapa fase, yaitu: a. Fase penyesuaian (lag phase) Bakteri biasanya akan mengalami masa penyesuaian pada lingkungan baru setelah pemindahan untuk menyeimbangkan pertumbuhan. b. Fase pembelahan (log phase) Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel. c. Fase tetap (stasionary phase)
Universitas Sumatera Utara
Pada fase ini terjadi kompetisi antara bakteri untuk memperoleh nutrisi dari media untuk tetap hidup. Sebagian bakteri mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi tetap. d. Fase kematian Pada fase ini, sel bakteri akan mati lebih cepat daripada terbentuknya sel baru. Laju kematian mengalami percepatan yang eksponensial (Lee, J, 1983).
Kurva Fase Pertumbuhan Bakteri 2.4.5 Media Pertumbuhan Bakteri Pembiakan bakteri di laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi bakteri. Zat hara diperlukan untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme dan pergerakan. Lazimnya, media biakan mengandung air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen, kedalam bahan dasar media dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam amino dan vitamin. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: I. Bedasarkan asalnya, media dibagi atas:
Universitas Sumatera Utara
a. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat. b. Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton (Lay, BW, 1994). II. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: a. Media umum Media yang paling sering digunakan dalam penelitian mikrobiologi, contohnya : Nutrient Agar merupakan media yang kaya dan subur. b. Media selektif Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi, contohnya: MCA, PDA, Saboaraut Agar (SA). c. Media diferensial Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar, contohnya: EMB, SSA. d. Media diperkaya Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit, beberapa zat organik yang mengandung zat karbon dan nitrogen (Irianto, K, 2006).
Universitas Sumatera Utara
III. Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas (Irianto, K, 2006): a. Media padat/ solid b. Media semi solid c. Media cair 2.4.6 Metode Isolasi Biakan Bakteri a) Cara gores Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat. b) Cara sebar Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat.
c) Cara tuang Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut (Stanier, RY et al, 1982). 2.4.7 Pengukuran Aktivitas Antibakteri Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu dilusi atau difusi. Penting sekali menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba. a. Metode Dilusi
Universitas Sumatera Utara
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dimasukkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz et al, 2001). b. Metode Difusi Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Jawetz et al, 2001). c. Metode Turbudimetri Bakteri yang bertambah banyak pada media cair akan menyebabkan mendia menjadi keruh. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah spektrofotometer dengan cara membandingkan densitas optik antara media tanpa pertumbuhan bakteri dan media pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008).
2.4.8 Bakteri Salmonella typhimurium Berikut sistematika bakteri Salmonella typhimurium (Dwidjoseputro, 1998):
Universitas Sumatera Utara
Divisi
: Bacteriophyta
Kelas
: Bacteria
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Bacteriaceae
Genus
: Salmonella
Spesies
: Salmonella typhimurium Bentuk tubuh dari Salmonella typhimurium adalah batang lurus pendek
dengan panjang 1-1,5 mikrometer. Tidak membentuk spora, bersifat gram negatif. Biasanya bergerak motil dengan menggunakan flagella dan kadang menjadi bentuk non-motilnya. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu optimum sekitar 370C. Biasanya memproduksi asam dan gas dari glukosa, maltosa, mannitol dan sorbitol, tetapi tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa. Tidak membentuk indol dan gelatin cair. Salmonella typhimurium dapat menyebabkan penyakit tifus yang ditandai dengan
demam, mual, muntah, diare dan hilangnya nafsu makan
(Anonim, 2009).
2.4.9 Bakteri Escherichia coli Berikut sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1998): Divisi
: Bacteriophyta
Kelas
: Bacteria
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Bacteriaceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli
Universitas Sumatera Utara
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 mikrometer dan diamater 0,5 mikrometer, bersifat anaerob fakultatif, biasanya dapat bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20-400 C, optimum pada 370C. Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam usus dan berperan dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bakteri ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khususnya air. Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare (Anonim, 2009). Escherichia coli menjadi patogen ketika mencapai jaringan di tempat yang kurang umum seperti pada saluran air kemih, kelenjar prostat dan tempat lain (Cappuccino, J and Sherman, 1987). 2.4.10 Bakteri Shigella dysenteriae Berikut sistematika bakteri Shigella dysenteriae (Dwidjoseputro, 1998): Divisi
: Bacteriophyta
Kelas
: Bacteria
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Bacteriaceae
Genus
: Shigella
Spesies
: Shigella dysenteriae Shigella dysenteriae merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik,
berbentuk batang yang tidak bergerak, tidak membentuk spora. Bakteri ini berukuran sekitar 0,5-0,7 mikrometer dan tumbuh baik pada suhu 370C (Anonim, 2010). Bakteri ini dapat menyebabkan disentri basiler. Disentri adalah salah satu
Universitas Sumatera Utara
dari berbagai gangguan pencernaan yang ditandai dengan peradangan usus terutama kolon, disertai nyeri perut dan buang air besar yang sering mengandung darah dan lendir (Pelczar et al, 1988).
Universitas Sumatera Utara