BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian penyakit Filariasis Filum nematoda termasuk salah satu filum yang besar, memiliki lebih dari 10.000 spesies, berukuran kecil, berbentuk selinder, seperti benang dengan tubuh yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat (roundworms) dan merupakan jenis yang sukses membuat kolonisasi dalam berbagai habitat. Nematoda terdapat dimana-mana dalam jumlah yang sangat besar terutama di lautan, mengkolonisasi danau-danau, sungai, rawa, dan berbagai jenis tanah mulai dari antartika hingga daerah tropis. Nematoda merupakan parasit pada berbagai jenis organisme seperti gangang, jamur, hewan, dan tumbuhan. Nematoda merupakan organisme penting karena banyak anggota-anggota yang bersifat parasit, antara lain Nippostrongylus sembeli (Heligmonellidae) pada tikus: Meloidogyne, Tylenchulus, dan Heterodera pada tanaman sayur-sayuran serta Ascaris, Trichina, dan filaria pada manusia (Walker, 1969, Hasegawa dan Tarore, 1995). Salah satu anggota nematoda yang merupakan parasit penting pada manusia adalah cacing filaria yang menyebabkan penyakit filariasis. (Sembel,2009) Filariasis atau yang disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematode atau oleh cacing Filaria limfatik yang ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex,dan merusak jaringan pada manusia yang mengenai kelenjar/saluran getah bening, dengan gejala akut berupa demam berulang, disertai tanda-tanda peradangan kelenjar/saluran getah
Universitas Sumatera Utara
bening serta pada stadium lanjut berupa cacat anggota tubuh. Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening (limfe) sehingga menimbulkan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening (andenolymphangitis) terutama pada daerah pangkal paha dan ketiak, peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut. Apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna dapat menimbulkan cacat menetap yang sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki, lengan, payudara, scrotum, dan kelamin wanita. (Achmadi, 2001) 2.1.1 Mekanisme Penyebaran Penyakit Filariasis 2.1.1.1 Agen (Penyebab Filariasis) Penyebab Filariasis menurut Ditjen PPM&PL (2002) adalah parasit nematoda jaringan. Ada tiga jenis nematoda jaringan yang ditemukan di Indonesia sebagai penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. 2.1.1.2 Wuchereria Bancrofti Wuchereria bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis bancrofti atau wuchereria bancrofti, penyakit ini tergolong ke dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis diseluruh dunia. Cacing dewasa jantan dan betina hidup disaluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 65-100 mm x 0,25 mm serta mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300 mikron x 7-8 mikron dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat dialiran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. jadi
Universitas Sumatera Utara
mempunyai periodisitas. Pada umumnya mikrofilaria Wuchereria bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (Paruparu, Jantung, Ginjal) Di
daerah
Pasifik,
mikrofilaria
W.bancrofti
mempunyai
perioditas
subperiodikdiurna. Mikrofilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. (Utama, 2008) Daur hidup wuchereria bancrofti memerlukan waktu sangat panjang masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk kira-kira 2 minggu dan masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh manusia kira-kira 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan dalam Presbytis cristata (lutung). Di daerah perkotaan parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinguefasciatus, di pedesaan vektor penularannya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. (Utama, 2008) 2.1.1.3 Brugia malayi Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang hidup manusia dan hewan misalnya kucing, kera. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut dengan Filariasis malayi .Brugia malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai ke Jepang. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 55 mmx 0,16 mm dan mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung ukuran mikrofilaria Brugia malayi adalah 200-260 mikron x 8 mikron dan yang jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Perioditasi mikrofilaria Brugia malayi adalah periodik nokturna, sub periodik nokturna, atau nan periodik mikrofilaria
Universitas Sumatera Utara
terdapat dalam darah tepi siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu malam hari. Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan mengalami dua kali pergantian kulit berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III. Di dalam tubuh nyamuk parasit ini Brugia malayi yang hidup pada manusia di tularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan yang hidup pada hewan di tularkan nyamuk Mansonia. (Utama,2008) 2.1.1.4 Brugia timori Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang di sebabkan oleh Brugia timori di sebut Filariasis timori. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tengara Timur. Cacing dewasa betina dan jantan hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 2139 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm x 0,08 mm, cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dan ukuran mikrofilaria Brugia timori adalah 280-310 mikron x 7 mikron. Perioditas mikrofilaria Brugia timori adalah periodik nokturna. Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan, Brugia timori yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirotis. (Utama, 2008)
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Morfologi Cacing Filaria Menurut Nugroho tahun 1996 bahwa secara umum daur hidup ketiga spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. 1.
Makrofilaria Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang
berwarna putih susu dan hidup sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar. 2.
Mikrofilaria Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak
cacing yang di sebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 µm x 8µm dan mempunyai sarung. Secara mikrokopis morfologi spesies mikrofilaria dapat di bedakan berdasarkan ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat Di Indonesia Dalam Sediaan Darah Pewarnaan Giemsa No Karakteristik W.bancrofti B.malayi B.timori 1.
Gambaran umum Melengkung dalam sediaan darah mulus
Melengkung kaku dan patah
2.
Perbandingan lebar 1:1 dan panjang ruang kepala
1: 2
3.
Warna sarung
Merah muda
Tidak berwarna
4.
Ukuran (µm)
175-230
265-325
5.
Inti badan
Kasar. Berkelompok 2
Kasar, berkelompok 2
6.
Tidak berwarna
panjang 240-300
Halus. tersusun rapi Jumlah inti di ujung 0 ekor
7.
Gambaran ujung Seperti pita ekor ke arah ujung Sumber : Nugroho, 1996 3.
Ujung tumpul
Melengkung kaku dan patah 1:3
agak Ujung agak tumpul
Larva Dalam Tubuh Nyamuk Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung
mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melespaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-3000 µm x 15-30 µm dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada
Universitas Sumatera Utara
stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau pada hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan gerakan yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Husada, 1990) 2.1.2.1 Daur Hidup Nyamuk Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dengan bentuk siklus berupa bentuk telur, larva, pupae, dan bentuk nyamuk dewasa. Dalam hal ini nyamuk dewasa yang hidup di dalam bebas, sedangkan ketiga stadium lainnya hidup dan berkembang di dalam air. 1. Culex a.Telur Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk kelompok (raft). Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b.Larva Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk culex biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air.
Universitas Sumatera Utara
Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari. c. Pupa Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009) 2.
Anopheles a. Telur Telur nyamuk Anopheles berbentuk oval panjang, kedua ujungnya lancip dan mempunyai pelampung, meletakkan telur di atas permukaan air satu per satu terpisah. biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b. Larva Larva atau sering juga disebut jentik dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air pada Anopheles biasanya secara
Universitas Sumatera Utara
horizontal atau sejajar dengan permukaan air yang berguna untuk mendapatkan oksigen dari udara. Larva biasanya akan berpupasi sesudah sekitar 7(tujuh) hari. Larva berbentuk siphon yang pendek sekali atau siphon spiracle berbentuk seperti cincin pada ruas ke delapan abdomen. Pada ruas abdomen terdapat palmate hair. c. Pupa atau jentik Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa Setelah
melewati
masa
pertumbuhan
dari
pupa
selanjutnya
berkembang menjadi nyamuk dewasa, nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya nyamuk dewasa terbang mencari makan dan dalam keadaan istirahat Anopheles hinggap agak tegak lurus dengan permukaan. (Sembel, 2009)
Universitas Sumatera Utara
3.
Aedes a. Telur Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk satu persatu. Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b. Larva Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk Aedes biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari. c. Pupa Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari
Universitas Sumatera Utara
makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009) 2.1.2.2 Perilaku Nyamuk Menurut Sembel (2009) perilaku nyamuk selalu memerlukan 3 tempat untuk kelangsungan hidupnya yaitu : a.
Perilaku Mencari Darah Beberapa spesies nyamuk dalam perilaku mencari darah berbeda yaitu pada
nyamuk Culex aktif pada waktu pagi, siang, dan pada waktu sore atau malam. Pada nyamuk Aedes dalam mencari darah aktif pada siang hari. Pada nyamuk Anopheles ini ada yang aktif terbang pada waktu pagi, siang, sore ataupun malam. Dihubungkan dengan tempat ada spesies nyamuk yang aktifitas menggigit lebih cenderung di dalam rumah (Endophagic) namun ada pula yang cenderung menggigit di luar rumah saja (Exsophagic) yaitu biasanya terdapat pada nyamuk Anopheles Berdasarkan pada macam darah yang di senangi dapat dibedakan antara nyamuk yang menggigit manusia saja (anthropopilik) dan ada pula yang hanya menggigit hewan (zoopilik) namun ada pula yang tidak mempunyai pilihan tertentu dalam mencari sumber darah. Untuk mempertahankan hidupnya nyamuk betina memerlukan darah bagi proses pertumbuhan telurnya. Tiap beberapa hari secara periodik nyamuk akan mencari darah. Interval tersebut tergantung pada masing-masing spesies dan sangat di pengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu dan kelembaban.
Universitas Sumatera Utara
b.
Perilaku Istirahat Istirahat bagi nyamuk memiliki arti istirahat yang sebenarnya menunggu
proses pematangan telur dan istirahat sementara yaitu pada saat nyamuk masih aktif mencari darah. Pada waktu malam hari ada nyamuk yang masuk ke dalam rumah hanya untuk menghisap darah kemudian keluar, ada pula yang sebelum menggigit maupun yang sudah menggigit hinggap pada dinding rumah untuk istirahat. c.
Perilaku Berkembang Biak Nyamuk mempunyai kemampuan untuk memilih peridukan atau tempat untuk
berkembang biak dengan kebutuhannya. Ada spesies yang senang terkena matahari langsung dan ada pula yang memilih pada tempat yang teduh, ada yang senang di air payau, pada air yang jernih dan ada pula yang senang di air kotor. (Sembel, 2009) 2.1.2.3 Tempat Berkembang Biak Nyamuk Diketahui bahwa tempat berkembang biak nyamuk adalah pada genangan – genangan air. Pemilihan tempat peletakan telur dilakukan oleh nyamuk betina dewasa. Pemilihan tempat yang disenangi sebagai tempat pembiakan dilakukan secara turun temurun oleh seleksi alam. Berdasarkan tempat tersebut maka dapat dibedakan berdasarkan jenis nyamuk yaitu: a. Culex Nyamuk-nyamuk ini biasanya meletakkan telur dan berbiak di selokanselokan yang berisi air bersih ataupun selokan air pembuangan domestik yang kotor (air organik), serta di tempat-tempat pegenangan air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah. (Sembel, 2009)
Universitas Sumatera Utara
b. Aedes Aedes biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, bambu pagar, dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air tersebut. (Sembel, 2009) c. Anopheles Nyamuk Anopheles dapat berbiak dalam kolam-kolam air tawar yang bersih, air kotor, air payau, maupun air-air yang tergenang di pinggiran laut. (Sembel, 2009) 2.1.3 Rantai Penularan Filariasis Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu: 1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. a. Manusia Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat. b.Hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia. (Utama, 2008) 2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis 3. Manusia yang retan terhadap filariasis Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah
Universitas Sumatera Utara
tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk. sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi untuk ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik penularan dapat terjadi siang dan malam hari. (Utama, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Skema Rantai Penularan Filariasis adalah sebagai berikut
Gambar 2.1 : Skema Rantai Penularan Filariasis.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Teori Simpul Filariasis Teori Simpul Pada Penyakit Filariasis Simpul 1
Simpul 2
Penderita Filariasis
Nyamuk Anopheles
Hewan
Nyamuk Aedes Nyamuk Culex
Simpul 3
Faktor Manusia 1.umur 2.jenis kelamin 3.imunitas
Simpul 4
Sehat Sakit
Faktor Nyamuk 1.siklus gonotrofik 2.frekuensi menggigit manusia Faktor Agent 1.Wucheria bancrofti 2.Brugia malayi 3.Brugia timori
Variabel lain yang berpengaruh Suhu udara, kelembaban, tempat perkembangbiakan nyamuk, kebiasaan keluar rumah, pemakaian kelambu, pekerjaan. Sumber. Achmadi, 1991 Gambar 2.2 .Teori Simpul Patogenesis Penyakit Filariasis 2.1.5 Gejala Klinis Filariasis Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada kronisnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W.Barofti, B.malayi dan B.Timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi
Universitas Sumatera Utara
oleh B.malayi, B.timori. Infeksi W.bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.malayi, B,timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin. 2.1.5.1 Gejala Klinis Akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi, B.timori dibandingkan karena infeksi W.bancrofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis tetapi sebaliknya pada infeksi W.bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis). (Dinkes Sumut, 2010) 2.1.5.2 Gejala klinis Kronis Gejala klinis kronis terdiri dari limfedama, lymp scrotum, kiluria, hidrokel a.
Limfedema Pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan,
skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku dan lutut masih normal. b.
Lymph Scrotum Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang
pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan
Universitas Sumatera Utara
kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar c.
Kiluria Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal
(pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.bacrofti sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut: 1. Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang-kadang di sertai (haematuria) 2. Sukar kencing 3. Kelelahan tubuh 4. Kehilangan berat badan d.
Hydrocele Adalah pelebaran kantung buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di
dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: 1. Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi. 2. Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus 3. Kadang-kadang akumulasi cairan limfe di sertai dengan komplikasi yaitu komplikasi dengan Chyle (Chylocele), darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi dapat di gunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter puskesmas yang telah di latih. 4. Hydrocele banyak ditemukan di daerah endemis W.bancrofti dan di gunakan sebagai indikator adanya infeksi W,bancrofti. (DinKes Sumut, 2010). 2.1.6 Patogenesis Filariasis Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum pekembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran kelenjar limfe, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi) sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik : 1.
Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan
tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan keretanan
Universitas Sumatera Utara
kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack) 2.
Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran
limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack) 3.
Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurrent
acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut : a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri Yaitu : 1. Limfangitis : peradangan di saluran limfe 2. Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe 3. Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe 4. Abses (lanjutan ADL) 5. Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah. 4.
Kerusakan sistem limfatik termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada
di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema. 5.
Pada penderita limfedema serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur
akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan
peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga
Universitas Sumatera Utara
terjadi peningkatan stadium limfedema dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (piting) akan menjadi pembengkakan menetap (non piting). (Oemijati, 2006) 2.1.7 Diagnosis Filariasis Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan 1.Diagnosis Parasitologi A. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi Knott, membran filtrasi.Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor. B. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk medeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection. (Utama, 2008) 2. Radiodiagnosis A.Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerakgerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh W.bancrofti.
Universitas Sumatera Utara
B. Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. (Utama, 2008) 3. Diagnosis Imunologi Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi
antibodi
dengan
menggunakan
antigen
rekombinan
telah
dikembangkan untuk deteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria. (Utama, 2008) 2.1.8 Penentuan Stadium Limfedema Limfedema terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalm melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita. Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1.
Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai.
2.
Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi dibuat dalam satu stadium lumfedema.
3.
Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.
4.
Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.
5.
Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus.
Tabel 2.2.Stadium Limfedema/Tanda Kejadian Bengkak, Lipatan Dan Benjolan Pada Penderita Kronis Filariasis Gejala Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium Stadium 1 2 3 4 5 6 7 Bengkak dikaki
menghila Menetap ng waktu bangun tidur pagi tidak ada tidak ada
Menetap
Menetap
menetap, meluas
menetap, meluas
menetap, meluas
Dangkal
Dangkal
dalam, kadang dangkal
dangkal, dalam
dangkal, dalam
Nodul
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Ada
Kadang kadang
Mossy lesions*
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Ada
kadangkadang
Hambata n berat
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
tidak
Tidak
Ya
Lipatan kulit
Sumber : DinKes Sumut,2010
Universitas Sumatera Utara
2.1.9 Penetapan Kabupaten/Kota Endemis Dilakukan berdasarkan hasil survei cepat dan survei darah jari, dan ditetapkan oleh provinsi. a.
Survei Kasus Kronis Filariasis
Survei kasus kronis filariasis merupakan cara untuk menemukan kasus kronis, dan pada desa yang ditemukan kasus kronis terbanyak akan dilakukan survei darah jari. Dan cara memperoleh data kasus kronis filariasis adalah laporan dari masyarakat, kartu status di Puskesmas dan Rumah Sakit, Penemuan kasus oleh tenaga kesehatan. Dan dalam pelaksanaan adalah sebagai berikut : 1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mendistribusikan Formulir data kasus kronis Filariasis Desa (Formulir-1), formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2) dan bahan promosi berupa gambar kasus kronis filariasis ke semua Puskesmas di seluruh wilayah kerjanya. 2. Puskesmas membuat surat edaran penemuan kasus kronis filariasis kepada para Kepala Desa/Lurah dan tokoh masyarakat /kader di seluruh wilayah kerja Puskesmas yang dilampiri formulir data kasus kronis filariasis Desa (Formulir-1) dan media promosi. 3. Puskesmas melakukan sosialisasi kasus kronis filariasis pada pertemuanpertemuan di kecamatan dan Desa serta menyebarluaskan media promosi di tempat-tempat umum. 4. Semua data kasus kronis yang diperoleh dari Kepala Desa, Tokoh masyarakat atau penderita yang melapor langsung ke Puskesmas direkapitulasi oleh Puskesmas.
Universitas Sumatera Utara
5. Dilakukan konformasi kasus kronis filariasis oleh petugas Puskesmas 6. Data selanjutnya dicatat dalam formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2). 7. Formulir data kasus kronis filariasis puskesmas yang telah diisi dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. (DinKes Sumut, 2010) Dari data kasus kronis yang diperoleh, dapat ditentukan Angka kesakitan Kronis (Chronic Disease Rate=CDR) di suatu desa dalam persen
b.
𝐶𝐷𝑅 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑓𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑎𝑠𝑖𝑠 𝑑𝑖 𝑑𝑒𝑠𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑠𝑢𝑟𝑣𝑒𝑖 𝑋 100 % 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑑𝑒𝑠𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
Survei Darah Jari
Adalah indentifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas intensitas infeksinya. Yang dimulai pada jam 20.00 waktu setempat dengan menghitung kepadatan Ratarata Mikrofilaria dan Menghitung Mikrofilaria rate 1. Kepadatan rata-rata mikrofilaria dari hasil survei darah jari disatu Desa adalah angka rata-rata mikrofilaria permili liter darah yang dihitung dengan menjumlahkan semua mikrofilaria yang ditemukan pada semua sedian dibagi dengan jumlah orang yang sediaannya positif, kemudian dikalikan faktor pengali. 2. Menghitung mikrofilaria rate bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.
Universitas Sumatera Utara
Mf Rate =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑓𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑎 𝑋 100 % 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
Bila Mf.Rate > 1% di salah satu atau lebih lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan pengobatan massal. Bila Mf Rate < 1 % pada semua lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah. (DinKes Sumut, 2010) 2.1.10 Program Eliminasi Filariasis Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah-tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah, Pada tahun 2000 WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Good of Elimination of Limphatic Filariasis as a Public Health Problem By The Year 2020). Menyusul kesepakatan global tersebut pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah disingkat ElKaGa pada tahun 2020. (DinKes Sumut, 2010) Eliminasi Filariasis bertujuan yaitu: 1. Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020 2. Menurunnya angka mikrofilaria (mikrofilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota
Universitas Sumatera Utara
3. Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Dalam program eliminasi filariasis ini terdapat dua bentuk tindakan yang dilakukan berupa Pengobatan massal yaitu pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC, Albendazole dan Paracetamol setiap tahun sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut. Dan Tatalaksana kasus yaitu pengobatan dn perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan. (DinKes Sumut, 2010) 2.1.11 Upaya Pencegahan dan Pengendalian Menurut Sembel (2009) upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Pada dasarnya tujuan dilakukan upaya ini adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu yang terdiri dari penyebab (agent), tuan rumah (host), lingkungan (environmental). Upaya pencegahan penting dan selalu diutamakan karena dapat dilakukan dengan biaya yang murah serta mudah pelaksanaannya hasil yang diperoleh lebih optimal. Upaya pencegahan dan pengeliminasi Fialariasis yang efektif antara lain: 1.Memutuskan rantai penularan filariasis melalui program pengobatan massal di daerah endemis filariasis. 2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus filariasis. 3. Pengendalian vektor secara terpadu. 4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara. 5. Memperkuat surveilans dan pengembangan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
2.1.12 Pengobatan Pada Filariasis Pengobatan dilakukan yaitu dengan pemberian obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC), albendazole dan paracetamol yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun. DEC diberikan 6mg/KgBB sekali pemberian. Sebaik nya obat diminum sesudah makan dan di depan petugas. Dosis obat ditentukan berdasarkan berat badan atau umur sesuai tabel dibawah ini Tabel 2.3. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan Berat Badan DEC (100mg) Albendazole (Kg) Tablet (400mg) Tablet 10-16 1 1 17-25 1,5 1 26-33 2 1 34-40 2,5 1 41-50 3 1 51-58 3,5 1 59-67 4 1 68-75 4,5 1 76-83 5 1 >84 5,5 1
Paracetamol (500mg) Tablet 0,5 0,5 1 1 1 1 1 1 1 1
2.2 Rumah Sehat Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung di gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga. Oleh karena itu keberadaan rumah yag sehat, aman, serasi, dan teratur sangat diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik. (MenKes, 1989)
Universitas Sumatera Utara
Rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. (Wicaksono, 2009) Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal serta digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Selain itu rumah juga merupakan pengembangan kehidupan dan tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk menghabiskan sebagian besar waktunya. Rumah sehat dan nyaman merupakan sumber inspirasi penghuninya untuk berkarya, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. (DepKes, 2002) 2.2.1 Syarat-syarat Rumah Sehat Menurut Irianto (2007) yang mengutip pendapat wislow, bahwa syarat-syarat rumah sehat terdiri dari : 1. Memenuhi kebutuhan Fisiologi antara lain : a. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu). b. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam ruangan c. Terhindar dari kebisingan yang menggangu d. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar. 2. Memenuhi Kebutuhan Psikologi : a. Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing anggota keluarga
Universitas Sumatera Utara
b. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangan dan kebebesannya, tidak terganggu oleh anggota keluarga dalm rumah, tetangga. c. Mempunyai ruang sebagai tempat berkumpulnya anggota keluarga. d. Cara mengatur rumah harus memenuhi rasa keindahan. e. Memiliki Wc di kamar mandi dan adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. 3. Mencegah Penularan Penyakit a. Tersedianya air bersih yang memenuhi syarat b. Pengolahan tinja dan limbah rumah tangga yang memenuhi syarat c. Bebas vektor penyakit dan tikus d. Kepadatan hunian kamar yang tidak berlebihan. e. Cukup sinar matahari pagi f. Makan dan minuman terlindung dari pencemaran g. Pencahayaan dan penghawaan yang cukup. 4. Mencegah Terjadinya Kecelakaan : Syarat agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan meliputi : a. Konstruksi rumah dan material yang digunakan harus cukup kuat (berkualitas baik) b. Tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. 2.2.2 Syarat-syarat Rumah Untuk Memenuhi Kebutuhan Fisiologis Menurut Irianto (2007) syarat-syarat rumah untuk memenuhi kebutuhan fisiologi dapat dilihat dari kondisi fisik rumah yaitu yang meliputi :
Universitas Sumatera Utara
1.
Suhu Ruangan Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah sebaiknya tetap berkisar
antara 18-20 C. Pada rumah-rumah modern suhu ruangan dapat diatur dengan air conditioning. 2.
Harus Cukup Mendapat Penerangan Rumah harus cukup mendapat penerangan baik siang maupun malam hari. Pada
pagi hari ruangan agar diusahakan mendapat sinar matahari. 3.
Harus Cukup Mendapat Pertukaran Hawa (Ventilasi) Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar. Fungsi yang kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen serta ventilasi juga berfungsi untuk menjaga agar kelembaban ruangan rumah selalu tetap dalam keadaan optimum. 4.
Harus Cukup Mempunyai Isolasi Suara Dinding ruangan harus kedap suara, baik terhadap suara yang berasal dari luar
maupun dari dalam. 2.2.3 Fungsi Rumah Menurut Siregar (2006) yang mengutip pendapat Azwar, rumah memiliki fungsi sebagai berikut : 1.
Sebagai
tempat
untuk
melepaskan
lelah,
beristirahat
setelah
penat
melaksanakan kewajiban sehari-hari. 2.
Sebagai tempat berkumpul keluarga atau membina rasa kekeluargaan bagi segenap anggota keluarga yang ada.
Universitas Sumatera Utara
3.
Sebagai tempat berlindung dari bahaya yang mengancam
4.
Sebagai lambang status sosial yang dimiliki, yang masih dirasakan sampai sekarang
5. 2.2.4
Sebagai tempat meletakkan atau menyimpan barang yang dimiliki Jenis-jenis Rumah Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri
dari : 1.
Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu, bambu.
2.
Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu dan campuran batu, pasir dan semen.
3.
Rumah Permanen yaitu rumah yang keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan semen
2.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya filariasis
2.3.1
Faktor Lingkungan Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata
rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanamanan air. Daerah endemis W.bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx.quiquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W.baccrofti tipe pedesaan
Universitas Sumatera Utara
(rural) secara umum kondisi lingkungan sama dengan daerah endemis B.malayi. (DepKes, 2007) Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, Lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. (DepKes, 2007) a.
Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis,
struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis, lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat peridukan dan beristirahatnya nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes resevoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B,malayi sub periodik nokturna dan non periodik. (DepKes RI, 2006) 1. Suhu Udara Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30 C. (DepKes, 2007) 2. Kelembaban Udara Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan mengigit, istirahat, dan lain-lain nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada
Universitas Sumatera Utara
kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan. (DepKes, 2007) 3. Angin Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah, adalah satu faktor ikut menentukan jumlah kontak atara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk
Anopheles adalah
terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya, bila ada angin yang kuat nyamuk Anopheles bisa terbawa sampai 30 km. 4. Hujan Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan dan jenis vektor serta jenis tempat perkembangbiaknya (breeding place). 5. Sinar Matahari Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada spesies nyamuk. Nyamuk An.aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembangbiak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An.hyrcanus dan
Universitas Sumatera Utara
An.punctulatus spp lebih suka tempat yang terbuka, dan An.barbirostis dapat hidup baik di tempat teduh maupun yang terang. (DepKes, 2007) 6. Arus Air An.barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat, sedangkan An.minimis menyukai aliran iar yang deras dan An.letifer menyukai air tergenang, An.maculatus berkembangbiak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti yang dilaporkan di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An.subpicutus air payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamuk Anopheles lainnya. 7. Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah genangan-genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil. (DepKes, 2007) 8. Keadaan Dinding Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan kegiatan penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke dinding akan menyerap ke dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat kontak dengan insektisida tersebut. Dinding
Universitas Sumatera Utara
rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk. 9. Pemasangan kawat kasa Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Menurut Davey (1965) penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia. b.
Lingkungan Biologik Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan
filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air, rawa-rawa, dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, gangang dan berbagai tumbuhan lainnya dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepal timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair, mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. (DepKes RI, 2006) Telur Mansonia ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir, telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing, lalu larva dan pupanya melekat pada
Universitas Sumatera Utara
akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut kalau pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada terompet, sehingga dengan alat kait itu baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia dan kita tahu bersama kalau spesies inang Mansonia sp antara lain eceng gondok, kayambang. Akhirnya untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakit, caranya bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. (DepKes RI, 2006) c.
Lingkungan Kimia Dari lingkungan ini baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari
tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di sumatera utara An.sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar An. letifer dapat hidup ditempat yang asam/pH rendah. (Notoatmodjo, 1997) d.
Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari
Universitas Sumatera Utara
atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intesitas kontak dengan vektor (bila vektor menggigit pada malam hari). Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden pada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya.(Notoatmodjo, 1997) 1.
Kebiasaan Keluar Rumah Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya
bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,002.). (Kadarusman, 2003) 2.
Pemakaian Kelambu Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak
dengan nyamuk. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunkan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadiaan filariasis (OR=8,09). (DepKes, 2003) 3.
Obat Anti Nyamuk Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat seperti
berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan obat nyamuk semperot atau obat nyamuk bakar, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk atau dengan cara memberantas nyamuk. Menurut Asri (2006) diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,004). (Asri, 2006)
Universitas Sumatera Utara
4.
Pekerjaan Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat
beresiko untuk terkena filariasis, Diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,003). (Asri, 2006) 5.
Pendidikan
Tingakt pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian filariasis tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehtan seseorang. 2.3.2
Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)
2.3.2.
Manusia
a.
Manusia 1. Umur Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3 atau L-3 ) ribuan kali. (DepKes RI, 2006) 2. Jenis Kelamin Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaan. (DepKes RI, 2006)
Universitas Sumatera Utara
3. Imunitas Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi menunjukan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahanperubahan patologis dalam tubuh. (DepKes, 2006) 4. Ras Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat. (DepKes, 2006) b.
Nyamuk Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air,
kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm, setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. (DepKes RI, 2007)
Universitas Sumatera Utara
1. Siklus Gonotrofik Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk 2. Frekuensi Menggigit manusia Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam. (DepKes RI, 2007) 3. Faktor yang penting Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor dan umum nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor. (DepKes RI, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.3.3
Faktor Agent Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu :
1.
Wucheria bancrofti tipe Perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan
sekitarnya
memiliki
periodisitas
nokturna,
ditularkan
oleh
nyamuk
Cx.quiquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. (DepKes RI, 2006) 2.
Wuchereria bancrofti tipe Pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa terutama tersebar luas di Papua dan
Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex . 3.
Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilari ditemukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularannya
adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. (DepKes RI, 2006) 4.
Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di drah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa. 5.
Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis
nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang di temukan di hutan rimba.
Universitas Sumatera Utara
6.
Brugia timori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya
adalah An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. (DepKes RI, 2006) 2.4. Perilaku Kesehatan Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku yang berhubungan dengan terjadinya filariasis pada penderita tersebut. Perilaku kesehatan tersebut didasarkan pada tiga domain perilaku yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan. Menurut Subchan (2001) bahwa perilaku manusia terhadap sakit dan penyakit yaitu menyangkut dengan reaksinya baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit yang ada pada dirinya atau diluar dirinya) maupun aktif (tindakan atau praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit maupun penyakit. Terbentuknya perilaku baru dimulai dari pengetahuan yang kemudian menimbulkan respon yang lebih jauh yaitu tindakan. Menurut Notoadmodjo (2003) perilaku kesehatan dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit atau penyakit, system
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan yang diuraikan sebagai berikut: a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia merespon, baik secara pasif maupun secara aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon seseorang terhadap sistem kesehatan pelayanan kesehatan baik yang modern maupun yang tradisional.
Universitas Sumatera Utara
c. Perialku terhadap makanan, adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. d. Perilaku terhadap lingkungan, adalah respon terhadap lingkungan sebagai determinan 2.4.1 Pengetahuan Menurut Notoadmodjo (2007) pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini kemampuan masyarakat dalam menjaga kesehatan individu dalam pencegahan terjadi keluhan penyakit maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan
untuk
memelihara
kesehatan
diri
sendiri,
memperbaiki
dan
mempertinggi nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah menyangkut pengetahuan tentang defenisi filariasis. 2.4.2 Sikap Domain perilaku lainnya adalah sikap. Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutupi dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Dengan kata lain sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseoarang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoadmodjo (2003), bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ahmadi (2004) sikap dibedakan menjadi : 1. Sikap positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berbeda. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan paendapata tau pernyataan respon terhadap sesuatu objek, secara tidak langsung dapat dilakukan den gan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat respon. Sikap dalam penelitian ini pengobatan filariasis, pencegahan filariasis. 2.4.3 Tindakan Domain terakhir dari perilaku kesehatan adalah tindakan. Tindakan tersebut didasari pada penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahuinya, kemudian disikapi dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukannya. Tindakan dalam penelitian ini adalah segala bentuk nyata yang dilakukan dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya filariasis. Tindakan yang tercakup dalam domain psikomotorik mempunyai 4 (empat) tingkatan (Notoadmodjo, 2003) : 1. Persespsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tin gkat pertama. 2. Respon terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua
Universitas Sumatera Utara
3. Mekanisme (mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga 4. Adaptasi (adaptation), yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Seseorang sudah dapat memodifikasi tindakan tanpa mengurangi kebenaran tindakan.(Notoadmodjo, 2003)
Universitas Sumatera Utara
2.5
Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Sanitasi Lingkungan Perumahan
1. Ketersediaan saluran pembuangan air limbah 2. Tempat perindukan nyamuk 3. Tempat peristirahatan nyamuk 4. Keadaan lingkungan fisik rumah meliputi : - Kawat kasa pada ventilasi - Kerapatan dinding - Pencahayaan - Kelembaban Perilaku Responden
Kejadian Filariasis
1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan
2.6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : Ha
: Ada hubungan sanitasi lingkungan perumahan dan perilaku masyarakat dengan kejadian filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan
Universitas Sumatera Utara
Ho
: Tidak ada hubungan sanitasi lingkungan perumahan dan perilaku masyarakat dengan kejadian filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan
Universitas Sumatera Utara