BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cacing Tanah Disebut cacing tanah (earthworm) karena hewan ini menghabiskan sebagian
besar hidupnya di tanah. Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang (avertebrata) dan bertubuh lunak. Cacing tanah digolongkan ke dalam filum Annelida karena seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti cincin (Khairuman dan Khairul, 2010). Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior, pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Arlen dan Erni, 2000). Suin (1982), menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cacing tanah yang terdapat di Indonesia cukup tinggi, yaitu tercatat dan telah diketahui sebanyak 55 jenis cacing tanah. Jenis cacing tanah yang telah ditemukan di Pulau Sumatera adalah Friedericia bulbosa Rosa, Pontoscolex corethrurus Fr. Mull., Pheretima darliensis Sims dan Easton, Planapheretima moultoni Michaelsen, Megascolex sp.. Sedangkan dari hasil penelitian Arlen (1994), di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan timbunan sampah rumah tangga pada beberapa Kecamatan Kotamadya Medan-Sumatra Utara didapatkan 6 jenis cacing yaitu Megascolex sp., Peryonix sp., Drawida sp., Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp.
6
Universitas Sumatera Utara
Cacing tanah telah diakui oleh ahli biologi maupun pertanian sebagai indikator tingkat kesuburan tanah. Sebagai makroorganisme, cacing tanah berperan sangat besar dalam proses pelapukan bahan organik di dalam tanah dan sangat menentukan kesuburan tanah (Ciptanto dan Ulfah, 2011). 2.1.1 Taksonomi cacing tanah Dunia hewan berdasarkan tingkatnya terbagi dalam 15 phyla. Cacing tanah termasuk dalam Phylum Annelida yang berarti seluruh tubuhnya terdiri dari beberapa segmen atau ruas (Ciptanto dan Ulfah, 2011). Ciri-ciri phylum Annelida adalah tubuhnya simetri bilateral, silindris, dan bersegmen-segmen. Pada permukaan tubuh terdapat sederetan dinding tipis atau sekat-sekat, bernapas dengan kulit atau insang, mempunyai peredaran darah tertutup dan darahnya mengandung hemoglobin (Ciptanto dan Ulfah, 2011 ). Phylum Annelida terbagi dalam tiga kelas yaitu Polychaeta, Oligochaeta, dan Hirudinea. Cacing tanah memiliki banyak famili atau suku. Famili cacing tanah
yang
banyak
dibudidayakan
sebagai
komoditas
adalah
famili
Acanthrodrilidae, Lumbricidae, Megascolicidae, dan Octochatidae (Ciptanto dan Ulfah, 2011). 2.1.2 Taksonomi cacing tanah (Peryonix sp.) Dalam taksonomi cacing tanah Peryonix sp. memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Annelida
Kelas
: Chaetopoda
Ordo
: Oligochaeta
7
Universitas Sumatera Utara
Famili
: Megascolecidae
Genus
: Peryonix
Spesies
: Peryonix sp.
2.1.3 Morfologi dan anatomi cacing tanah (Peryonix sp.) Ciri-ciri eksternal: Panjang tubuh cacing tanah dewasa adalah 14-20 cm, ukuran tubuh lebih besar dibandingkan cacing tanah lainnya, bentuk tubuh bulat, berwarna coklat keunguan atau sedikit kelabu, jumlah segmen 75-165, klitelium terletak pada segmen 13 dan 17 (Ciptanto dan Ulfah, 2011). Cacing tanah ini termasuk jenis cacing lokal. Cacing ini sangat aktif, jika disentuh tubuhnya akan menggeliat dan segera melarikan diri. Tubuh cacing tanah selalu ditutupi lapisan lendir yang menyebabkan tubuhnya menjadi licin. Selama hidupnya cacing tanah hidup di dalam tanah, tubuhnya selalu tertutup lapisan lendir pelindung yang agar selalu basah karena cacing tanah bernapas melalui kulit yang basah. Fungsi lendir adalah untuk membantu pernapasan, mempermudah dalam menerobos tanah dan melindungi agar zat-zat kimia penting tetap berada di dalam tubuhnya (Ciptanto dan Ulfah, 2011). Cacing tanah mempunyai saluran pencernaan makanan yang lengkap dan sistem peredaran darah yang sudah menggunakan pembuluh-pembuluh darah dan disebut sebagai sistem peredaran darah tertutup. Darah cacing terdiri dari plasma yang berisi sel darah putih (leukosit) dan darah merah. Sistem pencernaan makanan terdiri dari mulut pada segmen pertama, pharynx, kerongkongan, crop yang merupakan pelebaran dari kerongkongan, perut otot, usus dan anus pada segmen terakhir (Ciptanto dan Ulfah, 2011).
8
Universitas Sumatera Utara
Sistem saraf yang mengatur gerakan cacing tanah terdiri dari simpul saraf bagian depan, simpul saraf bagian perut, serta saraf-saraf serabut. Simpul saraf di bagian depan dapat disamakan dengan otak pada hewan umumnya yang diketahui. Cacing bertindak tidak normal bila ada cahaya dan tidak dapat bertahan apabila terkena cahaya ultraviolet, apabila cacing terkena cahaya ultra violet lebih dari 1 menit, cacing akan mati (Ciptanto dan Ulfah, 2011). Pada cacing tanah yang telah dewasa memiliki klittelium yang merupakan alat untuk perkembangbiakan dalam memproduksi kokon. Cacing tanah memiliki dua kelamin dalam satu tubuh, jantan dan betina atau disebut juga hermaphrodite biparenteral. Akan tetapi tidak dapat membuahi sendiri melainkan dengan bantuan cacing lain (Ciptanto dan Ulfah, 2011). Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon hingga menetas menjadi cacing muda, cacing produktif dan menjadi cacing tua. Setelah kokon menetas cacing tanah muda akan hidup dan mencapai dewasa dalam waktu 2,5 - 3 bulan. Masa produktif cacing tanah akan berlangsung selama 4 - 10 bulan dan akan menurun hingga cacing mengalami kematian. Cacing yang sudah tidak produktif lagi biasanya bagian ekornya agak pipih dan warna kuning pada ekornya sudah mencapai punggung, sedangkan masa produktif warna kuning tersebut masih berada di ujung ekor. Lama siklus hidup cacing tanah tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan dan jenis cacing itu sendiri (Ciptanto dan Ulfah, 2011).
9
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Habitat cacing tanah (Peryonix sp.) Cacing tanah Peryonix sp. biasanya dapat ditemukan hidup di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan timbunan sampah, tempat yang disukai cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak adalah tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung, umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran (Arlen dan Erni, 2000). 2.1.5 Kandungan kimia cacing tanah Kandungan kimia cacing tanah dalam bentuk bahan kering untuk jenis cacing tanah Lumbricus rubellus adalah protein (58-78%), lemak (3-10%), kalsium (0,55%), fosfor (1%), serat (1,08%), dan abu (8-10%). Kandungan asamasam amino esensial dan non esensial cacing tanah adalah arginine (4,13%), fenilalanin (2,25%), histidin (1,56%), isoleusin (2,58%), leusin (4,84%), lisin (4,33%), metionin (2,18%), treonin (2,95%), valin (3,01%), glisin (2,92%), sistin (2,29%), serin (2,88%), dan tirosin (1,36%) (Khairuman dan Khairul, 2010). 2.1.6 Manfaat cacing tanah Pemanfaatan cacing tanah mulai dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan (Ciptanto dan Ulfah, 2011): 1. Sebagai bahan sediaan farmasi Secara tradisional, cacing tanah sering digunakan dalam pengobatan penyakit antara lain: a. Menurunkan demam Berdasarkan hasil penelitian FMIPA IPB menyebutkan cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai penurun demam dan menggantikan parasetamol.
10
Universitas Sumatera Utara
b. Menurunkan tekanan darah tinggi Ba Hoang, seorang dokter di Vietnam, yang berpraktik pengobatan tradisional China, telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk mengobati pasien-pasiennya yang mengidap stroke, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah, epilepsi, dan berbagai penyakit infeksi. Resep-resepnya telah banyak dijadikan obat paten untuk pengobatan alergi, radang usus, dan stroke. Di Jepang, seorang peneliti bernama Mihara Hisasi berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing tanah yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari cacing tanah Lumbricus, maka enzim tersebut dinamakan lumbrokinase. Penelitian tersebut kemudian dikembangkan di Kanada oleh Canada RNA Biochemical dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat yang berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang “Boluoke”. Lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung yang beresiko mengundang penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi dan stroke. Penelitian terhadap khasiat cacing tanah sudah pernah dilakukan juga secara besar-besaran di China sejak tahun 1990, melibatkan tiga lembaga besar, yakni Xuanwu Hospital of Capital Medical College, Xiangzi Provincial People’s Hospital, dan Xiangxi Medical College. Uji coba klinis serbuk enzim cacing tanah ini dilakukan terhadap 453 pasien penderita gangguan pembuluh darah dengan 73% kesembuhan total (Ciptanto dan Ulfah, 2011). c.
Mengobati infeksi saluran pencernaan seperti tipus, disentri, diare, serta gangguan perut lainnya seperti maag.
11
Universitas Sumatera Utara
Cacing tanah mengandung antibiotik yang mampu melumpuhkan bermacam bakteri pathogen, khususnya Escherichia coli penyebab diare. Antibiotik membunuh mikroorganisme biasanya dengan dua mekanisme: 1. Menghentikan jalur metabolik yang dapat menghasilkan nutrient yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menghambat enzim spesifik yang dibutuhkan untuk membantu menyusun dinding sel bakteri. 2. Mekanisme yang dilakukan oleh protein yang dimiliki oleh cacing tanah dengan membuat pori di dinding sel bakteri. Hal ini menyebabkan sitoplasma sel bakteri menjadi terpapar dengan lingkungan luar yang dapat mengganggu aktivitas dalam sel bakteri dan menyebabkan kematian. 2. Bahan campuran kosmetik Cacing tanah dapat menghasilkan minyak yang mengandung berbagai macam enzim dengan cara ekstraksi. Di Negara-negara maju, enzim cacing tanah digunakan sebagai bahan industri kosmetik untuk menghaluskan dan mengencangkan kulit, pelembut kulit, pelembab wajah, antiinfeksi dan bahan baku pembuatan lipstik. Enzim yang terkandung dalam tubuh cacing tanah: a. Enzim peroksidase katalase yang berfungsi untuk memperlambat penuaan sel. b. Selulase lignase, berfungsi mengembalikan dan menstabilkan fungsi pencernaan. c. Asam arakidonat, berfungsi untuk mempercepat pembentukan sel-sel baru.
12
Universitas Sumatera Utara
d. Alfa-tokoferol, berfungsi mempertahankan elastisitas dan peremajaan kulit. e. Taurin, berfungsi mempercepat metabolisme lemak untuk menambah energi. 3. Sebagai agen penyubur lahan pertanian 4. Sebagai pengolah sampah dan penghasil pupuk kascing 5. Sebagai bahan pakan ternak. 2.2 Ekstraksi 2.2.1
Pengertian ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses untuk memperoleh sediaan pekat dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). 2.2.2
Tujuan ekstraksi Tujuan ekstraksi dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat dalam
simplisia masih berada dalam kadar yang tinggi sehingga memudahkan untuk mengatur
dosis
zat
berkhasiat
karena
dalam
sediaan
ekstrak
dapat
distandardisasikan kadar zat berkhasiat sedangkan kadar zat berkhasiat dalam simplisa sukar diperoleh kadar yang sama (Anief, 1999).
13
Universitas Sumatera Utara
2.2.3
Jenis ekstraksi Menurut Ditjen POM (2000) jenis-jenis ekstraksi terdiri dari:
1. Ekstraksi secara dingin A. Metode maserasi Maserasi meupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks, dan lilin. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Sedang kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras. B. Metode perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien. 2. Ekstraksi secara panas A. Metode refluks Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung.
14
Universitas Sumatera Utara
Kerugiannya adalah membutuhkan volume pelarut yang besar dan sejumlah manipulasi dari operator. B. Metode destilasi uap Destilasi uap adalah metode yang popular untuk ekstraksi minyak-minyak menguap (esensial) dari sampel tanaman. Metode destilasi uap air diperuntukkan menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal. C. Metode soxhletasi Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon 2.3 Salep Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Ditjen POM, 1979). Fungsi salep adalah: a. Pembawa (vehicle) substansi obat untuk pengobatan kulit. b. Pelumas (emollient) pada kulit dan c. Pelindung (protective) untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsang terhadap kulit (Anief, 1986).
15
Universitas Sumatera Utara
Salep dapat mengandung obat atau tidak mengandung obat, yang disebutkan terakhir biasanya dikatakan sebagai “dasar salep” dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat (Ansel, 1989). Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar: dasar salep hidrokarbon, dasar salep absorpsi, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan dasar salep yang larut dalam air (Ansel, 1989). 1. Dasar salep hidrokarbon: bersifat lemak dan sukar dicuci dengan air. Misalnya adalah parafin, vaselin, minyak nabati. 2. Dasar salep serap (absorpsi) Dasar salep dapat menyerap air dalam jumlah terbatas. Misalnya adalah: Adeps lanae, lanolin, lilin (cera). 3. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air Dasar salep yang merupakan emulsi minyak dalam air, misalnya salep hidrofilik, vanishing cream. 4. Dasar salep yang dapat larut dalam air, yaitu dasar salep yang mengandung komponen larut dalam air. Misalnya adalah: polietilenglikol (Ditjen POM, 1979). Kualitas dasar salep adalah: a. stabil, selama dalam proses pengobatan. Maka salep harus bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu dan kelembaban pada suhu kamar. b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi dan inflamasi. c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit.
16
Universitas Sumatera Utara
d. Dasar salep yang cocok, yaitu dasar salep yang kompatibel secara fisika dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati. e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep padat atau cair pada pengobatan (Anief, 2007). Menurut Anief (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi efek absorpsi obat dalam salep oleh kulit adalah: 1. Segi fisiologi: keadaan kulit, luas daerah pemakaian, banyaknya pemakaian, letak pemakaian dan lama pemakaian. 2. Keadaan hidrasi pada stratum corneum. 3. Temperatur kulit. 4. Adanya pelarut yang dapat campur atau melarut dalam stratum corneum. 5. Konsentrasi obat. 2.4 Sterilisasi Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada suatu benda atau bahan (Pratiwi, 2008). 2.4.1 Sterilisasi uap Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh di bawah tekanan berlangsung di suatu bejana yang disebut autoklaf, dan mungkin merupakan proses sterilisasi yang paling banyak digunakan (suatu siklus autoklaf yang ditetapkan dalam farmakope untuk media atau pereaksi adalah selama 15 menit
17
Universitas Sumatera Utara
pada suhu 121ºC kecuali dinyatakan lain). Prinsip dasar kerja alat adalah udara di dalam bejana sterilisasi diganti dengan uap jenuh, dan hal ini dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus (Ditjen POM, 1995). 2.4.2 Sterilisasi panas kering Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di Farmakope dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan suatu proses bets di dalam suatu oven yang didesain khusus untuk tujuan itu. Oven modern dilengkapi dengan udara yang dipanaskan dan disaring, didistribusikan secara merata ke seluruh bejana dengan cara sirkulasi atau radiasi menggunakan sistem semprotan dengan peralatan sensor, pemantau, dan pengendali parameter kritis. Validasi fasilitas sterilisasi panas kering dilakukan dengan cara yang sama seperti pada sterilisasi panas uap. Unit yang digunakan untuk sterilisasi komponen seperti wadah untuk larutan intravena, harus dijaga agar dapat dihindari akumulasi partikel di dalam bejana sterilisasi. Rentang suhu khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi kosong adalah lebih kurang 15 menit, jika alat sterilisasi beroperasi pada suhu tidak kurang dari 250ºC (Ditjen POM, 1995). Sebagai penambahan pada proses bets tersebut di atas, suatu proses berkesinambungan digunakan untuk sterilisasi dan depirogenisasi alat kaca sebagai suatu bagian sistem pengisian dan penutupan kedap secara aseptik yang berkesinambungan terpadu (Ditjen POM, 1995). 2.4.3 Sterilisasi gas Pilihan untuk menggunakan sterilisasi gas sebagai alternatif dari sterilisasi termal sering dilakukan jika bahan yang akan disterilkan tidak tahan terhadap suhu tinggi pada proses sterilisasi uap atau panas kering. Bahan aktif yang
18
Universitas Sumatera Utara
umumnya digunakan pada sterilisasi gas adalah etilen oksida dengan kualitas mensterilkan yang dapat diterima. Keburukan dari bahan aktif ini antara lain sifatnya yang sangat mudah terbakar, walaupun sudah dicampur dengan gas inert yang sesuai, bersifat mutagenik, dan kemungkinan adanya residu toksik di dalam bahan yang disterilkan, terutama yang mengandung ion klorida. Proses sterilisasi pada umunya berlangsung di dalam bejana bertekanan yang didesain sama seperti pada autoklaf, tetapi dengan tambahan bagian khusus yang hanya terdapat pada alat sterilisasi yang menggunakan gas. Fasilitas yang menggunakan bahan sterilisasi seperti ini harus didesain sedemikian rupa hingga mampu mengeluarkan gas sesudah proses sterilisasi, mampu untuk memantau mikroba yang masih hidup, dan mengurangi paparan gas yang sangat berbahaya terhadap petugas yang menangani alat tersebut (Ditjen POM, 1995). 2.4.4
Sterilisasi dengan radiasi ion Perkembangan yang cepat alat kesehatan yang tidak tahan terhadap
sterilisasi panas dan kekhawatiran tentang keamanan etilen oksida mengakibatkan peningkatan penggunaan sterilisasi radiasi. Tetapi cara ini juga dapat digunakan pada bahan obat dan bentuk sediaan akhir. Keunggulan sterilisasi iradiasi meliputi reaktivitas kimia rendah, residu rendah yang dapat diukur, dan kenyataan yang membuktikan bahwa variabel yang dikendalikan lebih sedikit. Kenyataannya sterilisasi radiasi adalah sesuatu kekhususan dalam dasar pengendalian yang penting adalah dosis radiasi yang diserap, dan dapat diukur secara tepat. Oleh karena sifat khas tersebut, banyak prosedur baru yang telah dikembangkan untuk menetapkan dosis sterilisasi. Walaupun begitu, hal ini masih dalam peninjauan dan pertimbangan, terutama mengenai kegunaannya, paling tidak, untuk
19
Universitas Sumatera Utara
pengendalian tambahan dan tindakan keamanan. Iradiasi hanya menimbulkan sedikit kenaikan suhu, tetapi dapat mempengaruhi kualitas dan jenis plastik atau kaca tertentu (Ditjen POM, 1995). Ada dua jenis radiasi ion yang digunakan, yaitu disintegrasi radioaktif dari radioisotop (radiasi gamma) dan radiasi berkas elektron. Pada kedua jenis tersebut, dosis radiasi yang dapat menghasilkan derajat jaminan sterilitas yang diperlukan harus ditetapkan sedemikian rupa hingga dalam rentang satuan dosis minimum dan maksimum, sifat bahan yang disterilkan dpat diterima (Ditjen POM, 1995). 2.4.5 Sterilisasi dengan penyaringan Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan dengan penyaringan menggunakan bahan yang dapat menahan mikroba, hingga mikroba yang dikandung dapat dipisahkan secara fisika. Perangkat penyaring umumnya terdiri dari suatu matriks berpori bertutup kedap atau dirangkaikan pada wadah yang tidak permeabel. Efektivitas suatu penyaring media atau penyaring substrat tergantung pada ukuran pori bahan dan dapat tergantung pada daya adsorpsi bakteri pada atau di dalam matriks penyaring atau tergantung pada mekanisme pengayakan. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa pengayakan merupakan komponen yang lebih penting dari mekanisme. Penyaring yang melepas serat, terutama yang mengandung asbes, harus dihindarkan penggunaanya kecuali tidak ada cara penyaringan alternatif lain yang mungkin digunakan. Jika penyaring yang melepas serat memang diperlukan, merupakan keharusan, bahwa proses penyaringan meliputi adanya penyaring yang tidak melepas serat diletakkan pada arah hilir atau sesudah langkah penyaringan awal (Ditjen POM, 1995).
20
Universitas Sumatera Utara
2.5 Uraian Bakteri Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1994). Berdasarkan proses pewarnaan gram, bakteri dibagi menjadi dua golongan yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif menyerap zat warna pertama yaitu kristal violet yang menyebabkan warna ungu, sedangkan bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan menyebabkannya berwarna merah. Perbedaan hasil dalam pewarnaan gram disebabkan perbedaan struktur, terutama dinding sel kedua bakteri tersebut (Waluyo, 2010). 2.5.1 Morfologi sel bakteri Ada beberapa bentuk dasar sel bakteri menurut Fardiaz (1992), yaitu bulat (tunggal: coccus, jamak: cocci), batang atau silinder (tunggal: bacillus, jamak: bacilli), dan bentuk spiral. a. Bentuk bulat (cocci) Berdasarkan pengelompokkan selnya, bakteri berbentuk bulat dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain diplococci (sel yang berpasangan atau dua sel), streptococci (rangkaian sel yang membentuk rantai panjang atau pendek), tetrad (empat sel bulat yang membentuk persegi empat), staphylococci (kumpulan sel yang tidak beraturan seperti buah anggur), dan sarcina (kumpulan sel berbentuk kubus yang terdiri dari 8 sel atau lebih).
21
Universitas Sumatera Utara
b. Bentuk bacilli Sebagian besar bacilli tampak sebagai batang tunggal. Terbagi dalam dua bentuk yaitu diplobacilli (bentuk berpasangan) dan streptobacilli (membentuk rantai). c. Bentuk spiral Bakteri berbentuk spiral (tunggal, spirilium; jamak, spirila) terdapat secara terpisah-pisah (tunggal), tetapi masing-masing spesies berbeda dalam panjang, jumlah, dan lekukan spiralnya. Bakteri yang ukurannya pendek dengan spiral yang tidak lengkap disebut bakteri koma atau vibrio. 2.5.2 Pengaruh faktor lingkungan pada pertumbuhan Faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan
mikroorganisme
dapat
dibedakan menjadi faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi temperatur, pH, dan tekanan osmosis. Faktor kimia meliputi karbon, oksigen, trace element dan faktor-faktor pertumbuhan organik termasuk nutrisi yang terdapat dalam media pertumbuhan (Pratiwi, 2008). A. Pengaruh faktor fisik pada pertumbuhan I. Temperatur Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas kimia. Peningkatan temperatur sebesar 10ºC dapat meningkatkan aktivitas enzim sebesar dua kali lipat. Pada temperatur yang sangat tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein yang tidak dapat balik (irreversible) sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan berhenti. Pada temperatur pertumbuhan optimal akan terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan
22
Universitas Sumatera Utara
jumlah
sel
yang
maksimal.
Berdasarkan
kisaran
temperatur
tumbuh,
mikroorganisme dibagi atas empat golongan: a. Psikrofil, tumbuh pada temperatur maksimal 20oC dengan suhu optimal 0 sampai 15oC. b. Psikrofil fakultatif/psikotrof, tumbuh pada temperatur maksimal 30ºC dengan suhu optimal 20 sampai 30ºC, dapat tumbuh pada 0ºC. c. Mesofil, tumbuh pada temperatur 15 sampai 45oC dengan suhu optimal 20 sampai 40oC. d. Termofil, tumbuh pada temperatur 45 sampai 100oC dengan suhu optimal 55 sampai 65oC. II. pH pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan ionisasi gugus-gugus dalam protein, amino dan karboksilat. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang mengganggu pertumbuhan sel. Kebanyakan bakteri memiliki pH optimum terletak antara 6,5 dan 7,5. III. Tekanan osmosis Tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan akibat adanya proses osmosis. Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel mikroorganisme, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan ke luar dari dalam sel mikroorganisme sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis), serta menyebabkan sel secara metabolik tidak aktif (Pratiwi, 2008).
23
Universitas Sumatera Utara
B. Pengaruh faktor kimia pada pertumbuhan I. Nutrisi Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen, yaitu elemen yang diperlukan dalam jumlah banyak dan mikroelemen yaitu elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit (Pratiwi, 2008). II. Media kultur Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium disebut media kultur. III. Oksigen Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan kebutuhan oksigen dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: a. Aerob mutlak, oksigen sebagai syarat utama metabolisme. b. Anaerob mutlak, tidak mentoleransi adanya oksigen atau akan mati bila ada oksigen. c. Anaerob fakultatif, mampu tumbuh baik dalam suasana dengan atau tanpa oksigen. d. Mikroaerofilik, hanya tumbuh baik pada konsentrasi oksigen yang rendah yaitu kurang dari 20%, pada konsentrasi oksigen yang tinggi menyebabkan toksik (Pratiwi, 2008). 2.5.3 Staphylococcus aureus Berikut sistematika Staphylococcus aureus (Dwidjoseputro, 1994):
24
Universitas Sumatera Utara
Divisi :
Protophyta
Kelas :
Schizomycetes
Bangsa :
Eubacteriales
Suku
:
Micrococaceae
Marga :
Staphylococcus
Jenis
Staphylococcus aureus
:
Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bulat (kokus) dengan diameter 0,7-0,9 μm yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti buah anggur. Nama bakteri ini berasal dari bahasa latin “staphele” yang berarti anggur. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, tumbuh secara anaerobik fakultatif, tumbuh dengan cepat pada temperatur 37ºC namun pembentukan pigmen yang terbaik yaitu pada temperatur kamar (2530ºC), patogen utama pada manusia, biasanya membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas (Fardiaz, 1992; Jawetz, et al., 2001). 2.5.4 Media pertumbuhan bakteri Pembiakan bakteri di laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi bakteri. Zat hara diperlukan untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme dan pergerakan. Lazimnya, media biakan mengandung air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen, ke dalam bahan dasar media dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam amino dan vitamin. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:
25
Universitas Sumatera Utara
I. Berdasarkan asalnya, media dibagi atas: a. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat. b. Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton (Lay, 1996). II. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: a. Media umum Media yang paling sering digunakan dalam penelitian mikrobiologi, contohnya : Nutrient Agar merupakan media yang kaya dan subur. b. Media selektif Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi, contohnya: MCA, PDA, Saboaraut Agar (SA). c. Media diferensial Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar, contohnya: EMB, SSA. d. Media diperkaya Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit, beberapa zat organik yang mengandung zat karbon dan nitrogen (Irianto, 2006).
26
Universitas Sumatera Utara
III. Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas (Irianto, 2006): a. Media padat/ solid b. Media semi solid c. Media cair 2.5.5 Metode isolasi biakan bakteri a) Cara gores Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat. b) Cara sebar Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat. c) Cara tuang Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut (Stanier, et al., 1982). 2.5.6 Pengukuran aktivitas antibakteri Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu dilusi atau difusi. Penting sekali menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba. a.
Metode dilusi Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara
bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri
27
Universitas Sumatera Utara
uji dan dieramkan. Tahap akhir dimasukkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz, et al., 2001). b. Metode difusi Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Jawetz, et al., 2001). c. Metode turbidimetri Bakteri yang bertambah banyak pada media cair akan menyebabkan media menjadi keruh. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah spektrofotometer dengan cara membandingkan densitas optik antara media tanpa pertumbuhan bakteri dan media pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008).
28
Universitas Sumatera Utara