TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Proses Pembentukan Tanah Gambut Pengertian Tanah Gambut Tanah Garnbut
dikenal
dengan
berbagai narna.
Istilah tanah gambut
merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang bahan tanahnya sebagian besar bahan organik.
Nama garnbut berasal dari narna suatu desa di dekat Banjarmasin,
Kalimantan Selatan, dimana sebagian besar tanahnya adalah bahan tanah organik. Di daerah inilah pertanian di tanah organik berhasil dengan baik untuk pertarna kalinya, sehingga tanah organik mendapatkan nama tanah gambut. Nama lain tanah garnbut pada berbagai negara adalah; mire (Finlandia), moor (Jerrnan), bog (Irlandia, Rusia dan Amerika), muskeg (Kanada), muck (Skandinavia, Inggris), peat (Amerika, Inggris), Veen (Belanda) (Hardjowigeno, 1998). Tanah gambut merupakan tanah yang dicirikan oleh kandungan bahan organik yang tinggi berupa sisa-sisa jaringan turnbuhan. Hardjowigeno (1998) rnengernukakan terdapat dua ha1 utarna yang rnenjadi dasar pendefinisian tanah organik
yaitu : (1)
kandungan bahan organik minimum dan (2) ketebalan minimum. Kedua persyaratan tersebut harus mernenuhi ketentuan yang menunjukkan bahwa sifat-sifat tanah lebih banyak dipengaruhi oleh sifat bahan organik daripada sifat bahan (tanah) mineralnya. Narnun demikian kriteria kandungan dan ketebalan lapisan bahan organik merupakan surnber ketidaksepakatan dari banyak pakar. Brady (1990) rnembedakan tanah gambut berdasarkan perbedaan kandungan bahan organiknya, apabita berkisar
antara 18 hingga 50 persen dinyatakan sebagai mucks, dan jjika lebih dari 50 persen disebut pea&.
Kanapathy (1975) membedakan tanah gambut berdasarkan komposisi
fraksi mineral, jika kandungan fraksi mineralnya kurang dari 35 persen disebut peas, sedangkan mucks memiliki kandungan fraksi mineral antara 35 hingga 55 persen. Selanjutnya Soil Survey Staff (1975) dan Daubenmire (1959) membedakan mucks dan peats berdasarkan perbedaan tingkat pelapukan bahan organiknya, dimana mucks lebih melapuk dibanding peats. Tetapi kedua istilah ini tidak banyak digunakan secara resrni, lebih banyak digunakan istilah tanah organik. Polak (1950) menyatakan bahwa tanah organik adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65
persen.
Sedangkan
McKinzie (1974)
menggunakan kriteria ketebalan bahan organik setengah dari-ketebalan solum tanah 80 cm atau lebih tanpa memperhatikan hamparan batuan. Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) mengajukan kriteria yang lebih terinci dan kuantitatif untuk mendefinisikan tanah organik. Untuk membedakan tanah organik dan tanah mineral
, terlebih
dahulu perlu dipahami pengeti~antentang bahan
tanah organik dan bahan tanah mineral.
Bahan tanah organik adalah bahan tanah
dengan diameter < 2 mm dan memenuhi syarat-syarat berikut : 1. Jenuh air kurang dari 30 hari (kumulatif) dan mengandung C-organik sebesar 20
persen atau lebih, atau 2. Jenuh air selama 30 hari atau lebih per tahun (kumulatif) dan mengandung Corganik (tidak termasuk akar-akar hidup) sebesar: a) 18 persen atau lebih (setara dengan 30 persen bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral mengandung liat 60 persen atau lebih, atau
b) 12 persen atau lebih (setara 20 persen bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral tanpa liat atau,
c)
12 persen ditarnbah (persen liat dikalikan 0.1)
bila fraksi tanah mineral
rnengandung kurang dari 60 persen Iliat. Sedangkan bahan tanah mineral adalah bahan tanah yang mengandung C-organik lebih rendah dari ketentuan yang berlaku pada tanah mineral. Berdasarkan kriteria klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) tanah garnbut digolongkan ke dalam tanah organik atau Histosol dengan sifat-sifat: 1.
Tidak rnempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60 persen atau lebih ketebalan diantara perrnukaan tanah dan kedalaman 60 crn, atau diantara perrnukaan tanah hingga ke kontak densik, litik,
atau paralitik atau duripan, apabila lebih dangkaf;
dan 2.
Mernpunyai bahan tanah organik yang tebalnya adalah sebagai berikut: a.
Pada tanah berkerikil atau berbatu (bersinder, fragmental, berbatu apung) dan ada
kontak litik atau paralitik dibawahnya;
tebal
bahan organik tidak
disyaratkan asalkan disela-sela kerikil/batu tersebut terisi oleh bahan tanah organik; atau b. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi tidak ada kontak litik atau paralitik dibawahnya,
tebal lapisan tanah organik ditambah dengan tebal lapisan
berkerikil atau berbatu yang sela-selanya terisi bahan tanah organik 40 c m atau lebih (dihitung dari permukaan tanah hingga kedalaman 50 cm); atau c.
Pada tanah berkerikil atau berbatu, dibawahnya, tebal lapisan
tetapi ada kontal litik atau paralitik
bahan tanah organik 2/3 tebal tanah atau lebih
sarnpai kontawparalitik, tebal tanah mineral (bila ada) adalah 10 cm atau kurang;atau d. Jenuh air selama 30 hari atau lebih, tiap tahun pada tahun-tahun normal (atau telah didrainase), mempunyai batas atas di dalam 40 crn dari permukaan tanah, dan rnemiliki ketebalan total salah satu berikut:
-
Apabila tiga perempat bagian volumenya atau lebih terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya, lembab, sebesar kurang 0.1 g.cm3, 60
-
crn atau lebih; atau
Apabila terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau bahan fibrik kurang dari 3/4 (berdasarkan volume) terdiri dari serat-serat lumut dan berat jenisnya,
lembab sebesar 0.1 g.cm-' atau febih, 40 cm atau lebih
Pernbentukan Tanah Garnbut Pembentukan gambut di Indonesia dimulai sejak periode Holosen yaitu pada waktu terjadinya transgresi air laut akibat mencairnya es di kutub (Andriesse, 1974). Peristiwa ini t eqadi sekitar 4200 sarnpai 6800 tahun yang lalu (Morley. 1981; Sabiham,
1988). Pada periode sebelum Holosen yaitu Pleistosen, perrnukaan laut berada kira-kira 60 m di bawah permukaan laut sekarang. Kenaikan permukaan laut pada periode Holosen menyebabkan daratan disekitar pantai menjadi tergenang dan batas pantai bergeser lebih ke pedalaman membentuk rawa-rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam oleh air dan rnengalami
proses dekomposisi secara larnbat,
sehingga te rjadi akumulasi bahan organik (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Hardjowigeno, (1993) rnengemukakan garnbut terbentuk dari bahan organik yang terdekomposisi secara anaerob dirnana laju penarnbahan bahan organik lebih
cepat dari pada laju dekomposisinya. Keadaan demikian t e j a d i pada tempat-tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen sangat terlambat. Hal ini akan mernperlambat proses dekornposisi bahan organik dan tejadilah akurnulasi bahan organik. Hal serupa dikemukakan oleh Maltby (1997) bahwa tanah gambut terbentuk akibat akumulasi bahan organik sebagai hasil perombakan tidak sernpurna dari sisa jaringan
tanaman
yang
mati
pada
suatu
kondisi
air
yang
berlimpah
yang
mengakibatkan kekurangan oksigen. Akumulasi ini dipicu oleh faktor-faktor lingkungan antara lain pH rendah dan pasokan hara sedikit. Pada saat proses perombakan bahan organik berjalan larnbat dan sisa-sisa tumbuhan terus rnenimbun maka terbentuklah deposit garnbut.
-
Van Heuveln eta/.,(1960) rnernbedakan proses pembentukan garnbut dalarn
dua tahap;
(1) proses geogenesis, rnerupakan proses akurnulasi bahan organik
(menghasilkan bahan induk), (2) proses pedogenesis, merupakan proses pernatangan gambut yang t e j a d i pada awal reklamasi atau pengeringan tanah garnbut yang rneliputi,
(a) pematangan fisik, proses pernatangan disebabkan dehidratasi akibat
drainase dan evaporasi,
(b)
pernatangan
kirniawi,
diakibatkan oleh kehilangan
kelembaban dan masuknya udara kedalarn pori-pori tanah garnbut, (c) pematangan biologi, akibat pencarnpuran oleh mikrofauna (moulding), yang menghasilkan mu//atau moder. Pembentukan mu// terjadi pada tanah gambut yang rnengandung liat dan pH tinggi atau sedang. Sedangkan pembentukan m o d e r t erjadi pada lapisan atas (topsoi, tanpa atau dengan kadar liat yang rendah. Pada kondisi curah hujan yang tinggi, keadaan yang sangat basah pada tanah gambut tetap terjaga, dengan demikian penimbunan bahan organik berlangsung terus;
akibatnya perrnukaan tanah gambut meningkat dan membentuk gambut yang tebal. Tanah garnbut yang tebal ini dikenal sebagai tanah gambut ornbrogen atau gambut air hujan,
yaitu tanah garnbut yang pernbentukannya
dipengaruhi oleh air hujan
(Andriesse, 1974). Tanah garnbut ini urnurnnya dikenal sebagai garnbut pedalaman. Menurut Hardjowigeno, (1996) tebalnya garnbut ornbrogen ini menyebabkan akar tanaman tidak rnampu lagi rnencapai tanah mineral dibawahnya selain itu juga luapan air sungai tidak dapat lagi rnenggenangi perrnukaan tanah gambut ini. Hal ini menyebabkan garnbut ombrogen tidak subur. Pembentukan garnbut pantai dimulai dari akurnulasi bahan organik d i daerah belakang tanggul sungai (/evee) yaitu di daerah backswamp. Pada waktu garnbut belum tebal, akar-akar tanarnan rnasih dapat mengambil unsur hara dari tanah mineral di bawahnya serta mendapat tambahan unsur hara dari luapan air sungai, sehingga vegetasi yang turnbuh juga kaya unsur hara. Bila vegetasi ini membusuk akan mernbentuk tanah garnbut yang subur (Hardjowigeno, 1996). Gambut transisi berada diantara garnbut pantai dan garnbut pedalarnan yang rnernpunyai sifat-sifat transisi dengan vegetasi mangrove dan hutan kayu-kayuan berdaun lebar (Angiospermae) (Riwandi, 2000).
Klasifikasi Tanah Gambut Cara-cara klasifikasi tanah garnbut sangat dipengaruhi oleh latar belakang ilrnu pengetahuan yang ditekuni oleh orang yang rnengklasifikasikan. Sedangkan kerincian dalam klasifikasinya sanqat dipengaruhi oleh sejauh rnana orang tersebut mengetahui keragaman sifat-sifat tanah gambut yang ditemukan diberbagai wilayah (Hardjowigeno, 1998).
Andriesse (1974)
rnengusulkan klasifikasi tanah gambut didasarkan pada;
asosiasi tumbuhan yang rnernbentuk tanah garnbut (kornposisi fisik), kornposisi kimia, fisiografi rawa garnbut, dan jenis bahan mineral d i bawah garnbut, serta ketebalan gambut itu sendiri.
Faktor-faktor ini penting dalarn mengkaji nilai kegunaan lahan
gambut untuk pertanian serta potensi reklarnasi yang lebih ditekankan pada tujuan praktis. Dalarn sistern klasifikasi Pusat Penelitian Tanah (1983) tanah gambut atau Organosol dibagi dalam tiga kategori, yaitu; Organosol Fibrik, yang didominasi oleh bahan fibrik sedalarn 50 crn atau berfapis sampai 80 crn dari perrnukaan.
Organosol
Hemik, yang didominasi bahan hernik sedalarn 50 crn atau berlapis sarnpai 80 crn dari perrnukaan,
dan Organosof Saprik, ialah Organosol selain Organosol Fibirik dan
Organosol Hernik, yang umumnya didominasi oleh bahan saprik. Berdasarkan klasifikasi tanah FA0 (1974) tanah gambut di~olongkansebagai Histosol, dan dibagi rnenjadi: Histosol Gelik, Histosol Distrik, dan Histosol Eutrik. Histosol Gelik rnempunyai sifat permafrost sarnpai kedalarnan 200 cm dari permukaan. Histosol Distrik adalah H~stosolyang mempunyai pH (HzO) kurang dari 5.5, sekurangkurangnya pada beberapa bagian lapisan antara 20 dan 50
cm dari permukaan.
Histosol Eutrik adalah Histosol lain yang tidak tergolong ke dalam Histosol
Gleik
dan
Histosol Distrik serta rnempunyai pH lebih dari dan sarna dengan 5.5 dan kejenuhan basa lebih dari 50 persen. Menurut Hardjowigeno (1998) awalnya klasifikasi tanah garnbut rnasih sangat terbatas dan sederhana namun dengan rneningkatnya pengetahuan tentang sifat-sifat tanah gambut maka Wasifikasi tanah garnbut menjadi sangat rinci seperti yang
disajikan dalam Kunci Taksonorni Tanah.
Histosol rnenurut Taksonorni Tanah
(Soil
Survey Staff, 1999), pada kategori subordo dibedakan berdasarkan jenuh air atau tidak selama
pernbentukan,
dan
tingkat
dekornposisinya.
Histosol
yang
selarna
pembentukannya hanya jenuh air selarna kurang dari 30 hari disebut Folist, sedangkan yang selarna pernbentukannya jenuh air dalam jangka panjang adalah Fibrist (sedikit terlapuk), Hemist (pelapukan sedang), dan Saprist (pelapukan lanjut).
Pada tingkat
great group klasifikasi Histosol sebagian besar didasarkan pada regim suhu tanah, regim kelembaban tanah, asal bahan serat (spagnum), ada tidaknya horison sulfurik, bahan sulfidik,
atau bahan humiluvik.
Pada tingkat subgroup didasarkan pada
keberadaan lapisan air, lapisan mineral (terik), limnik, batuan (litik), fluvaquentik, asal bahan serat (spagnik),
dan lapisan bahan organik lain (fibrik,
hemik,
saprik).
Sedangkan pada tingkat farnili dibedakan rnenurut kelas ukuran butir (hanya digunakan dalam subgroup terik), kelas rnineralogi, kelas reaksi tanah (euik, dysik), regim suhu tanah, dan kedalaman tanah.
Sifat Umum Tanah Garnbut
Kesuburan Tanah G a m b u t Kualitas gambut sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya, jenis garnbut, jenis turnbuhan pembentuk garnbut dan lingkungan pembentukan garnbut. Andrjesse (1974) mengemukakan bahwa kesuburan alamiah tanah garnbut sangat beragarn tergantung pada berbagai faktor, seperti ketebalan lapisan tanah garnbut dan tingkat dekomposisi, kornposisi penyusun garnbut dan tanah mineral yang berada di bagian bawah lapisan tanah garnbut.
Gambut yang terbentuk diatas endapan pasir kuarsa lebih miskin dibanding yang terbentuk diatas endapan liat dan dari daerah vulkan. Garnbut yang dipengaruhi air sungai yang berhulu di daerah vulkan lebih kaya dibandingkan yang berhulu didaerah rawa atau tergantung hanya pada air hujan saja (Widjaja-Adhi, 1988). Ketebalan garnbut dan jenis
tanah
mineral yang ada dibawahnya juga
berpengaruh terhadap kesuburan tanah garnbut. Garnbut tebal pada umurnnya lebih miskin dari garnbut tipis. Narnun kenyataannya dilapangan menunjukkan tidak semua gambut tipis baik diusahakan untuk pertanian. Ternyata gambut tipis yang berada diatas pasir kuarsa rniskin unsur hara (Widjaja-Adhi, 1988). Polak (1941 dalam Ismunadji dan Soepardi, 1984) rnengusulkan beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai pertirnbangan dalarn mengklasifikasikan gambut sekaligus rnenentukan kesuburan tanahnya, yakni: (a) posisi relatif gambut terhadap air, yaitu berada diatas atau dibawah muka gambut, (b) pembentukan garnbut terjadi secara lokal (autochUIone) atau dari luar (al/ochChone), (c) kandungan bahan organik, (d) kornposisi vegetasi dan (e) keberhasilan mernbentuk lapisan gambut. Fleischer (da/am Driessen dan Soepraptohardjo, 1974) menggolongkan gambut ke dalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan N, KzO, PzO5, CaO dan kadar abunya, yaitu: (1) garnbut eutrofik mernpunyai tingkat kesuburan yang tinggi, (2) garnbut mesotrofik dengan tingkat kesuburan sedang, dan (3) gambut oligotrofik mempunyai tingkat kesuburan yang rendah. Menurut Leiwakabessy (1978) tingginya kandungan basa-basa gambut eutrofik disebabkan pembentukannya antara lain dipengaruhi oleh air payau (carnpuran air laut dan air sungai).
Sedangkan pembentukan gambut rnesotrofik dipengaruhi oleh air
sungai dan gambut oligotrofik dipengaruhi oleh air hujan.
Umurnnya gambut di
Sumatera Selatan bersifat eutrofik dan mesotrofik, d i Jambi bersifat mesotrofik dan oligotrofik, sedangkan di Katimantan bersifat oligotrofik.
Ketersediaan Unsur Hara Ketersediaan unsur hara terutama unsur-unsur rnakro seperti N, P, dan K serta sejumtah unsur mikro dalam tanah gambut tergolong rendah. Kadar N (N-total) dalam tanah gambut tergolong tinggi, tapi sebagian besar dalam bentuk tidak tersedia, karena dalarn bentuk N-organik. Nitrogen tanah dalarn bentuk kornplek organik dapat menjadi tersedia bagi tanaman apabila telah diubah menjadi N-anorganik rnelalui mineralisasi (Stevenson, 1994). Kandungan N-total tanah gambut berkisar antara 2000-4000 kg N/ha pada lapisan 0-20 cm dari perrnukaan tanah (Driessen, 1978). Seperti halnya Nitrogen, fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijurnpai dalam bentuk P-organik, yang dapat rnenjadi tersedia jika telah mengalami proses mineralisasi oleh jasad mikro. Menurut Tisdale, et a/., (1985) proses mineralisasi Porganik oleh jasad rnikro sangat dipengaruhi oleh nisbah C dan P.
Pada keadaan
nisbah C dan P rnencapai 300 akan terjadi imobilisasi P oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad rnikro.
Sedangkan pada
nisbah C dan P rnencapai 200, proses mineralisasi akan bejalan lebih cepat daripada proses imobilisasi, sehingga P akan dapat lebih tenedia bagi tanaman.
Proses
rnineralisasi ini akan lebih konstan bila nisbah C, N dan P mencapai lebih sebesar 100 : 10 : 1.
Dengan demikian proses mineralisasi yang t e j a d i pada tanah gambut
berlangsung larnbat, karena nisbah C dan P sangat lebar (Miller dan Donahue, 1990). Berbeda dengan tanah mineral yang urnurnnya mengandung berbagai jenis mineral yang kaya akan unsur Kalium, seperti mineral mika dan feldspar. Pada tanah
garnbut,
kandungan unsur ini tergolong rendah. Hal ini menurut Ismunadji dan
Soepardi, (1984) karena urnurnnya tanah garnbut di Indonesia tergolong ke dalarn garnbut ornbrogen yang bersifat oligotropik.
Selain itu unsur K terikat karena gaya-
gaya kolurnbik dan elektrostatik sehingga rnudah digantikan unsur lain (Senesi, 1994). Kandungan unsur rnikro tanah garnbut urnurnnya terdapat dalarn jurnlah yang sangat rendah. Menurut Kanapathy (1972) tanah-tanah yang berkadar bahan organik tinggi seperti garnbut, sebagian besar hara rnikro, terutarna tembaga dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanarnan.
Andriesse (1988)
rnengemukakan grup karboksilat dan fenolat dari tanah garnbut dapat mernbentuk ikatan kompleks dengan unsur rnikro, sehingga mengakibatkan unsur rnikro rnenjadi tidak tersedia bagi tanarnan. Menurut Driessen (1978) kandungan unsur rnikro tanah garnbut pada fapisan bawah jauh lebih rendah daripada kandungan unsur rnikro pada 25 crn teratas. Meskipun demikian dalam beberapa kasus, kandungan unsur haia rnikro
lapisan bawah bisa lebih tinggi karena adanya pencampuran dari bahan liat atau mineral dibawah garnbut.
Kemasaman Tanah Kernasamarn rnerupakan indikasi yang penting bagi reaksi-reaksi kimia yang
t e qadi di dalarn tanah. Urnurnnya tanah garnbut d i Indonesia, bereaksi masarn hingga sangat rnasam dengan pH kurang dari 4.0, (Isrnunadji dan Soepardi, 1984). Nilai pH yang rendah rnenurut Polak (1952 da/am Andriesse, 1974) disebabkan oleh asarn organik bebas sepei-ti asam hurnat dan asam fulvat yang merupakan hasil perornbakan bahan organik. Disarnping itu adanya kornplek koloid dari garnbut (gugus fungsional)
yang banyak rnengandung ion hidrogen rnenyebabkan pH-nya lebih rendah dari tanah rnineraf (Brady, 1990). Menurut Tisdale e t a/.(1985) asam-asam organik tergolong k e dalam asarn lemah, sehingga memiliki kernarnpuan besar dalarn rnernpertahankan reaksi-reaksi karena perubahan kernasaman. Apabila pH dinaikkan akan t eqadi disosiasi ion H pada gugus reaktif dan pH akan berubah rnendekati pH awal dan tidak rnelonjak jauh. Oleh sebab itu untuk rnenaikkan pH sampai pH tertentu diperlukan basa-basa dalarn jumlah banyak.
Kapasitas Tukar Kation dan Basa-basa Kapasitas tukar kation tanah garnbut rnenurut Kussow (1971) berkisar antara 100 dan 300 rne/100 g tanah. Hasil penelitian Salarnpak (1999) rnenunjukkan nilai Kapasitas Tukar Kation bervariasi rnenurut lokasi dan tingkat pelapukan garnbut. Secara keseluruhan tanah gambut pantai Samuda rnernpunyai kisaran KTK sebesar 138.4-
238.31 rne/100 g, kisaran KTK gambut transisi Sampit adalah 137.1-268.5 me/100 g, dan kisaran KTK tanah garnbut pedalarnan Berengbengkel adalah sebesar 183.0 me/100 g tanah. Tingginya kapasitas tukar kation garnbut disebabkan oleh rnuatan negatif bergantung pH yang di rniliki oleh tanah garnbut.
Surnber rnuatan ini sebagian besar
berasal dari gugus karboksil dan sedikit dari gugus fenol dan enol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na) tergolong rendah terutarna garnbut oligotrofik.
dalam tanah garnbut urnurnnya Menurut Lucas (1982)
kandungan Ca pada tanah garnbut eutrofik adalah sekitar 2.0%
rata-rata
dan pada tanah
oligotrofik sekitar 0.3%.
Kandungan Mg pada kedua jenis tanah garnbut tersebut
masing-masing sekitar 0.3 dan 0.6%. Walaupun rnerniliki nilai KTK yang tinggi
,
tanah garnbut memiliki nilai
Kejenuhan Basa (KB) yang sangat rendah. Hasil penelitian Tim Fakultas Pertanian IPB, (1974) rnenunjukkan niiai KB tanah garnbut di Kalimantan Tengah < 10%. Hal ini berhubungan dengan kandungan basa-basa yang rendah pada tanah garnbut ini dan disertai dengan nilai KTK tanahnya tinggi,
sehingga ketersediaan basa-basa juga
rnenjadi rendah.
Asam-asam Fenolat dalam Tanah Gambut Menurut Driessen (1978) tanah garnbut tebal di Indonesia rnengandung kurang dari 5 % fraksi anorganik sedangkan selebihnya adalah fraksi organik, yaitu lebih dari 95%.
Fraksi organik tersebut sebagian besar terdiri dari senyawa-senyawa non hurnat,
sedangkan senyawa-senyawa hurnat hanya sekitar 10 hingga 20 %.
Senyawa non
hurnat sebagian besar rneliputi senyawa lignin, selulosa, herniselulosa, lilin, tanin, resin, suberin, sejurnlah kecil protein, dan lain-lain. Sedangkan senyawa-senyawa hurnat tersebut terdiri dari asarn hurnat, hirnatomelanat, dan hurnin (Tan, 1993; Stevenson, 1994).
Dekomposisi bahan organik
dalarn keadaan anaerob akan rnenghasilkan
beberapa senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida
, etilen,
asam
asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti asam-asam fenol. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi tanarnan (Wang e t al., 1967; Tsutsuki dan Kondo, 1995).
Kornposisi bahan organik berkaitan erat dengan jenis asam-asam organik yang dihasilkan
selarna
proses dekornposisi.
Flaig,
Rietz (1975)
Beuteelspacher dan
rnengernukakan bahwa dari proses degradasi lignin dihasilkan asam-asam fenolat, sedangkan dari selulosa dan herniselulosa dihasilkan asam-asam karboksilat. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat lebih bersifat fitotoksik bagi tanarnan dan menyebabkan pertumbuhan tanarnan rnenjadi terharnbat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Tsutsuki, 1984; Prasetyo, 1996). Beberapa jenis asarn fenolat yang rnerupakan hasil dari proses disintegrasi lignin adalah asam pkurnarat,
asam o-kumarat,
asarn phidroksibenzoat,
asam
fenilasetat, asarn klorogenat, asarn o-hidroksifenilasetat, asam 4-fenilbutarat, asarn p hidroksifenil-propionat, asam 3,4-dihdroksifenil-propionat, asarn vanilat, asarn ferulat,
asam salisilat,
asarn galat,
asam sinapat,
prokatekuat dan asarn syringat (Stevenson,
asam gentisat,
asam
kafeat,
asarn
1994). Secara ringkas Orlov (1995)
rnenggambarkan proses disintegrasi lignin dalam suatu skerna hipotesis seperti disajikan pada Garnbar 1.
Pengaruh Asam-asam Fenolat Terhadap Tanaman Driessen,
(1978)
rnengernukakan bahwa
asam-asam
fenolat
mernpunyai
pengaruh langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanarnan, serta penyediaan hara di dalam tanah. Menurut Takajima (1960 da/am Tsutsuki, 1984) pada kisaran konsentrasi
asam-asam
fenolat
0.6 - 3.0 mM dapat rnengharnbat perturnbuhan
perturnbuhan akar padi sampai 50 %. Hasil penelitian Prasetyo, rnenggunakan beberapa
asarn fenolat murni
rnenunjukkan gejala
(1996)
yang
terharnbatnya
COOH
COOH Sinabic acid
Fsrulic
COOH P;Cwrnaric acid
acid
OH
I
I
COOH Vanilic acid
COOH Syringic acid
I
coou Protocalf~huic acid Oxidation
COOH P-h~droxybenzoic acid
-
COOH Gallic acid
1
Decarboxylation
Gambar 1. Skema Disintegrasi Lignin (Orlov, 1995)
perturnbuhan akar tanaman padi dalam kultur larutan, pada kadar asam-asam fenolat yang relatif rendah yakni, 0.52 mM/I untuk asarn ferulat, 0.61 mM/I untuk asam p kurnarat, 0.73 mM/I asarn phidroksibenzoat, 1.19mM/I asarn vanilat, l.lOlrnM/I asam siringat, dan 1.12 mM/I asarn sinapat. Menurut Tadano et a/.,(1992) berdasarkan tingkat toksisitasnya asarn ferulat mernpunyai efek toksik paling tinggi, kemudian diikuti oleh asam pkumarat, asam vanilat, asarn siringat dan asarn phydroxybenzoat. Percobaan yang dilakukan oleh Tadano et a/. (1992)
yang khusus melihat
pengaruh asam phidroksibenzoat terhadap tanaman padi dalarn kultur air yang diperkaya unsur hara, rnenunjukkan perlakuan asam phidroksibenzoat yang diberikan terus menerus sampai panen dengan konsentrasi lebih dari 0.1 mMakan rnenurunkan -
bobot kering tanaman bagian atas dan biji saat panen. Perubahan dalarn jumlah biji rnatang
, biji hampa,
dan biji total pertanaman juga t ej a d i dengan meningkatnya kadar
asam phidroksibenzoat dengan pofa yang sama dengan pengaruhnya terhadap bobot kering tanarnan padi. Menurut Patrick (1971) pengaruh penting yang disebabkan oleh bahan-bahan fitotoksik hasil pelapukan bahan organik adalah tejadinya perubahan perrneabilitas sel tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan Lain rnengalir keluar dari sel, nekrosis pada sel akar, rnenghambat dan menunda perkecambahan. Selain itu, bahan fitotoksik ini dapat mematikan biji, rnenghambat pertumbuhan akar, pertumbuhan tanarnan kerdil, mengganggu serapan hara, khlorosis, layu dan mernatikan tanaman. Asam-asam fenolat juga
berpengaruh terhadap serapan unsur hara oleh
tanaman. Serapan hara kalium oleh tanaman barley sangat nyata berkurang karena
adanya asam-asam fenolat pada konsentrasi 250 pM; asarn salisilat dan ferulat rnenyebabkan terharnbatnya serapan kaliurn dan fosfor oleh tanarnan gandum; serta serapan fosfor oleh tanaman kedelai terganggu oleh adanya asarn ferulat pada konsentrasi 500 hingga 1000 pM (Hartley dan Whitehead, 1984). Hasil penelitian Whitehead (1964 d&m
Stevenson, 1982) pada tanarnan tebu menunjukkan pada
konsentrasi > O . l p M / 100 g tanah dapat menirnbulkan keracunan yang rnenyebabkan akar kurang berkembang, pendek-pendek, tidak rnemiliki akar rambut, berwarna coklat, ujung daun berwarna kuning dan tumbuh kerdil.
Pembentukan Senyawa Komplek Organo
- Kation
Konsep Dasar Pembentukan Senyawa Kornplek Pembentuk komplek t e j a d i rnelalui suatu reaksi antara suatu ion logarn polivalen dan ligan rnelalui pemakaian bersama pasangan elektron.
I o n logam atau
kation berfungsi sebagai penerima pasangan elektron sedangkan ligan sebagai donor pasangan elektron. Suatu ligan dapat berupa anion (CI-, R-CH2-COOH) atau suatu rnolekul (NH3).
I o n logam berlaku sebagai kation pusat yang dikelilingi oleh ligan.
Beberapa ligan organik marnpu mengikat kation iogarn dengan lebih dari satu gugus funsional yang dimilikinya sehingga rnernbentuk suatu cincin heterosiklik yang disebut kelat (bahasa Yunani : chela; cakar kepiting) (Stevenson, 1994; Tan, 1993). Tan (1993) rnengemukakan ikatan kation dengan gugus fungsiona[ dapat tej a d i karena elektrostatik, reaksi komplek (kelat) dan ko-adsorbsi. Disarnping itu terdapat juga ikatan yang disebabkan oleh penggunaan pasangan elektron secara bersarna-
sama, sehingga rnernbentuk posisi geometri yang sangat kuat, serta ikatan Van der Waals yang merupakan interaksi dipol-dipol jarak pendek. Pernbentukan komplek (kelat) dapat bersifat unidentat, yaitu apabila suatu molekul berikatan dengan satu katiin; Bidentat, tridentat, tetradentat atau pentadentat apabila rnolekul ligan masing-masing sebanyak dua, tiga, empat atau lima berikatan dengan kation yang sarna.
Pernbentukan kompleks antara molekul organik dan ion
logarn dengan lebih dari satu ikatan akan meningkatkan kestabilan kornplek tersebut. Stevenson (1994) rnengemukakan bahwa kation-kation polivalen seperti Cazf, ZnZ+,
~e'+, cenderung rnernbentuk ikatan polidentat yang menempati posisi dua atau lebih ikatan dengan kation-kation tersebut. Contoh reaksi pernbentukan kelat disajikan pada Gambar 2.
Erapan Kation dan Sta bilitas Kompleks Reaksi pertukaran ion-ion logarn sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya pH tanah, afinitas logam terhadap ion, dan stabiiitas kompleks yang terbentuk (Tan, 1993). Schniher dan Skinner (1967) rnenemukan bahwa stabilitas (log K) senyawa kornplek yang terbentuk antara sembihn k a t i n divalen dengan asam fulvat yang diekstrak dari W i n Bh suatu tanah Podzol lebih tinggi pada pH 5.0 dibanding pH 3.5. Hal ini disebabkan meningkatnya ionisasi gugus fungsional terutama gugus karboksil dengan naiknya pH. Urutan stabilitas yang ditemukan adalah sebagai berikut :
Pada pH 3.5 : Cu
>
5.78
> 5.06
Fe >
Ni >
Pb
> 3.47 > 3.09
> Co '2
> Ca
>
Zn
> Mn
2.20 > 2.09 z 1.73 > 1.47
>
Mg
z
1.23
Gambar 2. Contoh Dua Tipe Reaksi Pengkelatan (Tan, 1993) Pada pH 5.0 : Cu
>
Pb
8.63
>
6.13
>
Fe
>
Ni
> 5.77 > 4.14
>
Mn
>
Co
> 3.78 > 3.69
r
Ca
> 2.92
>
Zn
>
> 2.34 >
Mg 2.09
Urutan ini rnenunjukkan bahwa ion Cu rnenempati ikatan terkuat dengan senyawa organik dan terendah dijurnpai pada Mg. Kenaikan konstanta stabifitas akibat perubahan pH disebabkan meningkatnya ionisasi gugus fungsi, karboksilat (COOH).
terutama gugus
Selain itu adanya kompetisi antara ion H+ dengan kation pada
tapak erapan ligan, sehingga pada pH yang lebih tinggi afinitas erapan kation dengan asarn fulvat meningkat (Stevenson, 1994). Stevenson,
Fitch, dan Bar (1993)
mcngemukakan bahwa kornpleks yang
terbentuk antara asam humat dan ion cuZCdipengaruhi oleh kekuatan ion (I) dan
konsentrasi asam humat.
Pada nilai kekuatan ion yang sarna (I= 0.005), konstanta
stabilitas kornpleks meningkat dengan meningkatnya pH, seperti terlihat dibawah ini : PH
:
4.0
4.5
5.0
Log K
:
7.62
7.80
8.50
Sedangkan bila pH diusahakan tetap (pH = 4.0)
nilai log K rnenurun dengan
rneningkatnya kekuatan ion, sebagai berikut : I
: 0.005
Log K : 7.62 Penelitian
mengenai
0.025
0.05
0.10
7.10
7.00
6.81
Afinitas
dan
kemarnpuan
berbagai
kation
untuk
membentuk ikatan yang stabil dengan molekul organik dari tanah gambut yang dilakukan oleh Saragih (1996) rnenunjukkan ~ e ~ + p a l i stabil ng berinteraksi dan rnemiliki afinitas tertinggi jika dibandingkan dengan kation cu2+, ca2+, zn2+, ~ n ' + , d a n~ 1 ~ ' . Erapan kation pada asam hurnat mernpunyai pola interaksi yang berbeda bila dibandingkan dengan 1986)
asam fulfat.
Kerdoff dan Schnitzer (1980, da/arn Schniber,
menyatakan bahwa interaksi asarn hurnat dengan kation meningkat dengan
rneningkatnya pH dan kandungan asam humat serta menurunnya konsentrasi kation. Urutan erapan pada berbagai nilai pH adalah sebagai berikut : pH 2.4 : Hg > Pb > Cu = Al > Ni > Cr = Zn
= Cd t Co .;Mn
pH 3.7 : Hg > Fe > Al > Pb > Cu z Cr > Cd = Zn z Ni t Co pH 4.7
: Hg .;Fe = Pb = AI = Cu r Cr > Cd > Ni = Zn
pH 5.8 : Hg = Fe . ;Pb = Ai
Cr
; .
2
r
Mn
Co r Mn
= Cu > Cd > Zn > Ni > Co Mn
Sedikit bcrbeda dengan pola erapan asarn hurnat, Menurut Aleksandrova (1967) asarn fulvat mengerap lebih banyak Al dan Fe persatuan bobot dari pada asarn hurnat karena asam fulvat rnengandung lebih banyak gugus fungsi.
Hasil penelitian Rachirn (1995), pada gambut Air Sugiharn Surnatera Selatan ' dengan nilai erapan rnenunjukkan erapan kation rnengikuti pola : AI3+ > ~ e >~ cu2+, maksimurn berturut-turut sebesar 12611, 12319 dan 15537 pg/g atau 1.40, 0.66 dan 0.49 rne/g. Pola yang agak berbeda dilaporkan oleh Saragih (1996) yang melakukan
percobaan pada tanah garnbut Jarnbi, yakni : Fe3* > ~ e >~A I+~ + > Cu2+ > ca2' > ~
n
> zn2+dengan nilai erapan rnaksimurn : ~ e ~ + d Aa In~ 'berturut sebesar 23706 dan 4500 pg/g. Secara urnurn jurnlah ~ e tererap ~ + pada tapak aktif garnbut mengikuti pola Saprik
> hemik > fibrik. Pola ini berkaitan dengan kandungan asarn humat yang tinggi dengan rneningkatnya humifikasi. Tapak ligan utarna sebagai pengikat kation pada asam humat dan asam fulvat terdapat pada gugus yang rnengandung oksigen seperti karboksilat, hidroksil dari fenolat,
alkohol,
enol dan karbonil.
Selain itu,
gugus amino dan gugus yang
rnengandung S dan P juga dapat mengkelat ka:ion
(Stevenson dan Fitch, 1986).
Beberapa kernungkinan reaksi yang dapat terjadi antara logarn dengan tapak reaktif dalarn senyawa organik ditunjukkan pada Garnbar 3.
Gas Rumah Kaca Beroya (2000) mengemukakan efek rumah kaca adafah sebuah fenomena dirnana energi yang berasaf dari radiasi rnatahari diserap oleh permukaan bumi dan dilepas kembali sebagai energi infra merah yang
tidak dapat rnenernbus ke luar
angkasa karena terhambat oleh berbagai macam gas yang ada di dalam atrnosfir. Fenornena ini mengakibatkan peningkatan temperatur bumi, menurut laporan IPCC (Intergovernmenta/ Pane/ on C/imaCe Change) (1990) ternperatur uda ra permukaan
~
+
x-x-3 COO
.......... .*..(*)
[%25]-
COO
0
0
1
I
C -02
Gambar 3.
c==o
+
OH
COO
M*-w.
11
a ..-
(HlOhhf*
.................... (9)
OH
Kemungkinan RealiY Antara Logam dan Senyawa Organik (Senesi, 1994)
burni rata-rata telah meningkat dari dari 0,3 menjadi 0,6OC dalam 100 tahun terakhir dan diperkirakan pada tahun 2030 ternperatur mengalami kenaikan 1.5 hingga 4,s
OC.
rata-rata
permukaan bumi akan
Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan
gasa-gas rurnah kaca datam atmosfir. Menurut Bouwman (1989) Gas rumah kaca terpenting yang diemisikan dari tanah dan atau penutup tanah adalah gas karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrous oksida (NO), nitrik oksida (N20), dan uap air.
Keberadaan gas rumah kaca di alam
dalam jurnlah yang wajar dibutuhkan untuk menjaga suhu permukaan burni menjadi hangat dan nyarnan bagi kehidupan. dingin dari pada suhu sekarang.
Tanpa gas rurnah kaca suhu udara akan lebih Namun dernikian bila jurnlah gas rurnah kaca
berlebihan dan cenderung meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Indonesia merupakan salah satu negara penyurnbang gas rumah kaca yang cukup besar. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1999) melaporkan total ernisi COz pada tahun 1994 rnencapai 748.607.31 Gg. Surnber utama emisi COz berasal dari sektor kehutanan dan energi, kedua sektor ini ernisi COz yang ada.
menyurnbang sekitar 97% dari total
Tingginya ernisi COz dari sektor kehutanan disebabkan oleh
pembakaran biomassa hutan dan kegiatan konversi lahan padang rurnput. Jumlah gas CH, menernpati urutan kedua terbesar setelah C02, total ernisi CH4 mencapai 6.409.08 Gg.
Surnber utama ernisi metan berasal dari sektor pertanian, yakni -t
jurnlah tersebut sekitar 70% berasal dari areal pertanaman padi.
51%, dari
Sedangkan total
emisi dari gas-gas rurnah kaca lainnya, seperti NzO, CO, dan No, berturut-turut adalah sebesar 11 966.23, 61.11, dan 928.33 Gg.
Dekornposisi bahan garnbut rnenyebabkan kehilangan C-organik.
Kehilangan C-
organik rnelalui proses r e d u b i dan oksidasi bahan garnbut dapat dalam bentuk COz dan CU4 yang diemisikan ke atmosfer.
Yagi dan Minami (1990) rnelaporkan bahwa
konsentrasi CH4i tertinggi sebesar 44.8 g C H ~ . diemisikan ~ . ~ oleh tanarnan padi pada tanah garnbut yang disawahkan, kernudian diikuti oleh tanah yang tereduksi sebesar 8
- 27 g C H ~ . ~ . Gas ~ . rnetana merupakan yang gas reaktif dan rnempunyai kemampuan menyerap sinar infra rnerah yang dipancarkan oleh permukaan burni sebesar 25 - 35 kali lebih besar dibanding dengan C02 (Bouwman, 1992).
Kontribusi CH4 terhadap
pemanasan global sebesar 15 - 22 % urutan kedua setelah COz, yaitu sekitar 55 % (Lashof dan Ahuja, 1990). Pernberian kation ~ e dapat ~ + meningkatkan stabilitas tanah garnbut rnelalui penekanan laju kehilangan C-organik.
Hasil penelitian Sulistyono (2000) dalarn skala
laboratorium menunjukkan pemberian Fe dalarn bentuk FeCI3.6Hz0 sarnpai taraf 5% erapan maksirnurn rnarnpu rnenurunkan ernisi C02 pada garnbut Jarnbi sebesar 22.94% dan ernisi CH, sebesar 23.01% sedangkan pada garnbut Kalimantan ernisi COz rnenurun sebesar 27.67% dan CH, sebesar 32.97%.