TINJAUAN PUSTAKA Tanah-tanah yang Berkembang dari Bahan Volkan Jenis dan Terminologi Bahan-bahan Erupsi Volkan
Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkan atau tanah abu vofkan, biasanya memjuk pada tanah-tanah yang terbentuk dari bahan-bahan lepas gunung api yang sering disebut tephra atau pyroclastic mater~als,yang dihasilkan oleh serangkaian proses yang berkaitan dengan letusan gunung api (volkan). Tanah-tanah yang terbentuk dari bahan ini seringkali diasosiasikan dengan Andisol, meskipun tidak semua tanah yang berkembang dari abu volkan adalah Andisol. Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkan memiliki berbagai sifat khas yang jarang dijumpai pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk lain.
Meskipun
tanah-tanah yang berasal dari bahan muntahan volkan mencakup Lasan yang relatif kecil (sekitar 0.8% dari permukaan bumi) namun kebanyakan wilayah yang produktif di dunia beriokasi dekat volkan aktif atau dorman, dan merupakan daerah dengan penduduk paling padat, seperti di sekitar Gunung Merapi Yogyakarta (Shoji, Nanzyo dan Dahlgren, 1993). Bahan-bahan muntahan volkan (tephra) merupakan kumpulm bahan-bahan baik yang berasal dari bahan jatuhan piroklastika @ahan yang disemburkan dan diangkut oleh angin) maupun bahan-bahan aliran (misalnya lahar). Bahan-bahan ini terdiri atas berbagai ukuran yang pengelompokannya berbeda-beda menurut beberapa pakar. Hirokawa (1980) mengelompokkan bahan volkan atas: bongkahan volkan (diameter > 32 TIUTI), lapili (4 - 32
mm) dan abu volkan (< 4 mm).
Beberapa pakar menyebutkan bahwa a h volkan
berdiameter (2 mm Istilah abu volkan ddam nmu Tanah, mencakup keselumhan bahan tersebut, bukan hanya yang berukuran (2 mm tetapi termasuk bahan-bahan berukuran
>32 mm (Shoji et al., 1975). Oleh karena sulit mengkiasitikasikan abu volkan berdasarkan klasifikasi mineraloginya rnaka Shoji et al
(1975) mengklasifikasikan abu volkan
mengikuti klasifikasi batuan yaitu berdasarkan kandungan silika tanah sbb:
Kelompok Batuan Felsik (masam)
.Tenis Batuan
Total SiOdOh)
Riolit Dasit Andesit Andesit basaltik Basalt
Intermedier Mafik (basa)
100 - 70 70 - 62 62 - 58 58 - 53.5 53.5 - 45
Susunan mineral masing-masing jenis batuan tersebut berbeda-beda, namun semuanya mengandung sejurnlah kecil mineral-mineral opak yang terdiri dari magnetit, titano-magnetit dan ilmenit. Abu yang bersifat masam (riolitik clan dasitik) mengandung mineral-mineral utama sbb: gelas volkan, plagioklas, piroksin (augit dan hipersten), kuarsa, hornblende dan biotit. Abu intermedier (andesitik) ditandai oleh jumlah gelas vokan yang sedikit, sedikit atau tanpa kuarsa, plagioklas intermedier, piroksin (augit, hiperstin), sedikit hornblende dan sedikit atau tanpa biotit.
Abu basaltik terdiri dari gekas volkan, plagioktas basa, sedikit
piroksin, olivin dan sedikit atau tanpa hornblende ( M o b et al., 1972). Bahan volkan yang banyak mengandung gelas (>75%) disebut bertipe vitrik, sedangkan yang tidak atau sedikit mengandung gelas tetapi banyak mengandung fragmen batuan disebut b d p e litik. Bahan volkan yang berasal dari gunung Merapi menurut Baak (1949) banyak mengandung fragmen batuan dengan tanpa atau sedikit sekali geias volkan. Asosiasi mineralnya terdiri dari augit 0 7 0 % ) dan hipersten (>20%).
IClasifikasi Tanah-tanah yang Bemsal dari Bahan Volkan Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkan seringkali memilii sifkt tanah andik sehingga kebanyakan termasuk dalam ordo Andisol. Namun beberapa t
d yang
berkembang dari bafian vokan terutzma yang memiliki tekstw bahan mduk yang kasar (berpasir, pasir berkerikil) pada daerah beriklirn agak kering tidak memenuhi sifat t andik, sehingga tergolong ordo Inceptisol atau bahkan Entisol.
d
Pada daerah dengan
pelapukan yang intensif dapat terbentuk tanah-tanah ordo Mollisol, Spodosol, M s o l ,
Ultisol dan Oxisol, seperti diuraikan d i bawah ini Penelitian tanah-tanah yang berasal dari bahan volkan di Indonesia menemukan jenis tanah yang berbeda-beda, tergantung dari jenis bahan volkan serta iklim setempat. Pada bahan volkan andesit di wilayah iklim humid, van Schuylenborgh (1958 dalam Mohr et al., 1972) menemukan Andisol (elevasi >600 m dpl), serta Alfisol dan Ultisol (elevasi 0
- 300 m dpl). Tanah yang berkembang dari bahan andesit tetapi di bawah iklim monsun (2 - 3 bulan kering, 10 - 7 bulan basah), Tan dan van Schuylenborgh (1959) menemukan tanah yang setara dengan Andisol (Eutrandept) pada elevasi > 1400 m dpl,
Andisol
(Vitrandept) pada elevasi I000 - 1400 m dpl dan Alfisol (Haploxeralf) pada elevasi 1000 -
300 m dpl.
Tan dan van Schuylenborgh (1961 dalam Mohr ei a/, 1972) ddam
penelitiannya pada daerah iklim humid tetapi dari bahan volkan riolitik menemukan tanahtanah yang setara dengan Spodosol (2000 dan Ultisol(500
-
1500 m dpl), Inceptisol (1500
-
500 m dpl)
- 0 m dpl).
Menurut Mohr et al. (1972) tanah-tanah abu volkan yang sangat muda tanpa atau dengan sedikit perkembangan proiil termasuk Entisol. Tanah-tanah abu volkan yang mengalami pelapukan sangat lanjut tennasuk Oxisol, tanah yang mempunyai horison spodik terrnasuk Spodosol, sedangkan yang memiliki horison argilik dapat digolongkan sebagai sub-giup an&
dari Hapludalf dan Hapludult.
Pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkan seringkali dijumpai duripan yang merupakan horison bawah yang tersementasi silika amorf atau silika opal yang terbentuk dalam bahan-bahan volkan oleh mekanisme sbb: pelepasan silika ke dalam larutan tanah karena adanya pelapukan gelas v o l h yang berlangsung dengan cepat dan terjadinya perkolasi larutan tanah kaya silika ke bawah, diihti pengendapan silika dekat
wetting front atau pada diskontinuitas litologik untuk membentuk duripan (Chadwick et al., 1987a). Sementasi silika ddam lapisan bawah mencegah gerakan air menyebabkan terbentuknya regim lengas akuik dalarn prom t
d (Shoji et aL,1993).
Mineralogi Tanah-tanah yang Berkembang dari Bahan Volkan dan Yerubahannya
Mineral Primer Komposisi mineral tanah-tanah yang berkernbang dari bahan volkan sangat tergantung dari petrografi bahan volkan asal dan tingkat pelapukan tanah. Besoain (1969) menguraikan berbagai jenis mineral menurut ukuran fraksinya sbb: Fraksi pasir (2 mm
-
50 pm) mengandung mineral yang sering dijumpai dalam
tanah-tanah bukan-abu volkan, bersama-sama dengan mineral-mineral lain yang memang merupakan bagian dari bahan voIkan seperti mineral feromagnesian (ofivin, piroksin, arnfibol), kuarsa dan kristobalit, tridimit, magnetit serta berbagai kompleks silikat dan gelas volkan. Fraksi debu (50 pm
-
2 pm) terdiri dari mineral-mineral primer dan sekunder.
Mineral sekunder terutama dalam tanah yang mengandung alofim, merupakan agregat liat yang berada sebagai bentuk semu (pseudomorf) dari debu dan pasir yang terutama ditemukan dalam fraksi debu kasar. Bahan-bahan pseudomorf tersebut terbentuk karena adanya koagulasi atau sementasi dengan matriks dari bahan feri amorf atau komponen organik. Seringkaii pula gibsit dan oksida-oksida besi yang terhidrasi, berakumulasi dalam fraksi debu M u s ( 5 pm
- 2 pm).
Fraksi pasir dan debu pada Andosol dan Latosol yang b e r d dari bahan volkan di Jawa umumnya terdiri dari kuarsa, kristobalit, felspar, magnetit, gelas volkan, piroksin, amfibol, hematit d m tridimit (Supriyo ef al.. 1992, Utami, 1998). Susunan dan dorninasi jenis mineral, berbeda-beda untuk tiap volkan. Fraksi liat
--
(< 2 pm) terutama terdiri atas mineral sekunder tetapi seringkali
terdapat beberapa mineral primer seperti a-kristobalit, kuarsa bahkan felspar terutama
dalam fkaksi liat kasar (2 pm - 0.2 pm ). Mineral Sekunder Pelapukan bahan vollcan dapat menyebabkan pembendcan mineral-mineral sekunder yang berbeda-beda di bawah kondisi drainase baik dan lengas yang cukup.
Mineral-mineral amorf (bersusunan buruk) dominan dalam tanah-tanah muda, sedangkan alofan dan haloisit/metahaloisit dominan dalam tanah-tanah yang telah berkembang (mature) (Besoain, 1969). Mneral sekunder dapat merupakan hasil bentukan baru (neofomution) atau pecahan (staie of rupfure) dari mineral primer. Pada kondisi lengas dan bahan organik yang terbatas, serta basa-basa yang cukup kaya merangsang pembentukan mineral kristdin tipe 2: 1 dan 2:2 (montmorilonit, vermikulit, klorit) (Besoain, 1969). Urutan pelapukan yang berlangsung dalam tanah-tanah abu volkan menurut Fieldes (1955) &lam Parfitt et al. (1985) adalah sbb: abu VOW -------+alofans -
haloisit.
Urutan tersebut dikuatkan oleh peneltian-penelitian berikumya antara lain oleh Wada dan Harward (1974) dan Wada (1989). Wada (1989) mengemukakan bahwa pembentukan d m perubahan bahan volkan menjadi bahan-bahan liat bukan-kristalin (dofan dan imogolit) diikuti oleh pembentukan dan perubahan mineral-mineral lain serta akumulasi humus. Pelapukan awal bahan volkan ditandai oleh adanya silika opal (opaCine silica), kompleks Al- clan Fe-humus, bahan-bahan mirip-alofan, tanpa alofan dan imogolit. A l o h dan imogolit terbentuk bersarnaan dengan meningkatnya umur bahan volkan. Menurut Wada (1989) pembentukan Al-humus akan: (a) menghambat pembentukan alofan dan imogolit melalui kompetisi terhadap A1 yang dibebaskan dari pelapukan abu v o h dan (b) menunjang pembentukan silika opal.
Jika tidak terdapat humus atau tidak m y a
aksunulasi humus maka dofan dan imogolit akan terbentuk. Pernbentukan a l o k dan imogolit menurut Shoji dan Fujiwara (1984), sangat dipengaruhi oleh pH, yaitu sesuai pada pH Q 3 2 0 ) >5.
Menurut Wada dan Harward (1974) hampir semua jenis abu volkan
(basaltik, andesit, dasitik dan riolit) menghadkan dofan melalui pelapukan.
Imogolit
dapat terbentuk baik melalui transformasi alofan melalui desilikasi ataupun oleh pengendapan larutan hasil pelapukan (Wada, 1989). Bahan-bahan bukan-kristalin yang terbentuk dari pelapukan bahan vollcan dapat dibedakan atas: s i b opal, kompleks Al- dan Fe-humus, bahan-bahan mirip-alofru5 dofan,
imogolit dan ferihidrit, yang menurut Wada dan Harward (1974):
-
silika opal (opalir~esilica), terdiri atas tabung (sphere) siIika amorf yang berukuran halus terdapat dalam jumlah berlimpah dalam fkaksi liat tanah-tanah abu volkan muda.
- kompleks AI-hzcmus dm F e - h u s , merupakan b a h e yang telah dikenal lama terdapat pada Spodosol dan disarankan diekstrak dengan 0.1M Na4P207.
-
bahan-bahi m i r z ' l o f i merupakan aluminosilikat amorf dengan nisbah molar
Si02/AI203 berkisar antara 0.2 - 1.4. Fase ini tidak pemah dapat diarnati langsung.
-
a l o f i merupakan anggota dari sen mineral yang terbentuk secara alami yang
merupakan aluminosilikat hidrus dengan susunan kisaran pendek dan didominasi oleh ikatan Si-0-AI. Alofan dibedakan atas: a l o h dengan nisbah AVSi = 2/1 dan alofan dengan nisbah AVSi = 1/1 (Wada, 1989).
-
zmogolit merupakan mineral berbentuk tabung dengan susunan kisaran pendek
berdiameter f 22
A dan tebal dinding f
7
A. Rumusnya adalah (OH)3A120aSiOH
dengan permukaan ekstemal mengandung gugus AI-OH yang serupa dengan gibsit.
-
mineral-mineral aipz terdiri dari bahan-bahan Fe dan Al
- OH bebas.
Besi kebanyakan
terdapat sebagai mineral tidak berkristal atau berkristal buruk, termasuk di ,antaranya ferifiidrit. Sebelumnya disebut sebagai oksida besi amorf atau gel besi (Wada, 1980). Al dilaporkan sebagai gel Al-hidrus (gibsit yang bersusunan buruk) dan gibsit berlaistal. Mind-mineral berkristal yang terbentuk dari bahan volkan adalah haloisit, kaolinit, dan mineral-mineral tipe 2: 1. Silika opal biasanya ditemukan dalam horison A kaya bahan organik pada tanahtanah muda yang terbentuk dari bahan volkan. Pembentukan silika opal ditunjang oleh adanya pelapukan cepat bahan induk kaya gelas, adanya periode musiman yang nyata dari desikasi agar terjadi pengentalan larutan dan rendahnya aktifitas Al (karena terjadinya pembentukan
kompleks
Al-humus)
sehingga
mencegah
pembentdan
mineral
atuminosilikat. Tingginya konsentrasi Si dapat larut diperlukan untuk mencapai kondisi sangat jenuh yang dibutuhkan untuk mengendapkan a k a (DaNgren et al.. 1 9 9 3 ) . Permukaan silika mampu mengabsorbsi Fe dan Al. Tingginya tingkat sangat jenuh dari a S i 0 4 dapat larut, disebabkan oleh evapotranspirasi dari horison permukaan selama
periode kering yang nyata. Konsentrasi maksimum dari silika opal terdapat dalam tanah
yang berumur kurang dari 500 tahun (Dahlgren el al., 1993). Menurut Drees et al. (1989) silika opal anorganik pada daerah Mediteran, semi-
arid dan arid berfungsi sebagai penyemen utama pada duripan. Tanah ini mempunyai pH dan regim lengas yang sesuai bagi pelarutan silika dan translokasi ke tempat yang lebih dalam dari profil tanah. Secara geografis duripan terbatas pada daerah piroklastik serta batuan beku basa dan intermedier yang merupakan sumber Si dapat larut (Flach et al., 1969; Soil Survey Staff, 1975 dan 1999). Bahan-bahan bersilika yang mengeras dalam pasir kasar atau fiaksi berkerikil pada kebanyakan tanah, dapat tersusun oleh Lcristobalit talc-bersusunan kristal (opal CT) p e e s et al.,1989). Pembentukan kompleks AI- dan Fe- humus sangat cocok dalam lingkungan pedogenik kaya bahan organik dengan pH <5.0 (Shoji et al., 1982 &am
Dahlgren et al..
1993). Pada nilai pH (5, asam-asam organik memaidcan peran utama sebagai donor proton. Nilai pH rendah, lebih lanjut menunjukkan bahwa pasokan basa-basa dari tanah lebih lambat dibandingkan dengan produksi asam organik sehingga bagian dari gugus fen01 tetap tidak ternetralisir. Oleh karena itu, ligan-ligan yang berdisosiasi dari asam-asam organik dapat tersedia untuk membentuk kompleks logam-humus.
Di bawah kondisi
demikian, humus cenderung mengikat A1 sebhgga menghambat pembentukan mineral aluminosilikat.
E - b l ini merupakan contoh proses anti-allophanic yang menghambat
pembentukan alofim dan imogolit. Karena Fe mempunyai stabilitas yang besar sebagai oksida dibandingkan dengan pembentukan kompleks Fe-humus, maka konsentrasi kompleks Fe-humus umumnya sangat rendah dalam kebanyakan tanah. Menurut Dahlgren et aZ. (1993), pembentukan alofan dan imogolit ddam
lingkungan tanah ideal pada kondisi: (a) pH (HzO) 5 - 7, @) rendalmya senyawa organik pengkompleks, (c) bahan volkan kaya dengan basa-basa, (d) jenis vegetasi tertenhr dan (e)
tidak terdapat mineral silikat 2: 1. Rumput Pampas Jepang (Miscanthus sinemis) sangat efektif dalam mendaur (hiocycling) kation-kation basa yang membantu mempertahankan pH tin& sehingga menunjang pembentukan do&.
Ketersediaan A1 merupakan faktor penentu ddam pembentukan dofan dan imogolit. Alofan jarang terbentuk pada tanah dengan regim lengas tanah ustik, xerik dan arid karena rendahnya pencucian
Kalaupun terbentuk d o h , maka biasanya yang
dijumpai adalah alofan kaya Si. Dalam lingkungan kering tersebut, haloisit sering dijumpai sebagai aluminosilikat dorninan dalam tanah abu volkan.
Alofan dan imogolit banyak
dijumpai dalam tanah-tanah yang berkembang pada bahan volkan yang mengandung gelas berwarna, karena mempunyai laju pelapukan 1.5 kali lebih cepat dari geias tidak berwarna (Shoji et al., 1993). Laju pelapukan yang cepat melepaskan unsur-unsur lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan mineral laistalin, menyebabkan terjadinya keadaan larutan tanah sangat jenuh untuk pembentukan bahan-bahan rnetastabil seperti alofan clan imogolit. Ferihidrit merupakan besi oksihidroksida yang dominan dalam tanah-tanah berbahan volkan di Jepang.
Tingginya tingkat disorder merupakan akibat dari
pembentukannya yang cepat sehingga menghambat proses kristalisasi.
Pembentukan
ferihidrit lebih dimungkinkan jika air yang rnengandung ~ e ' +teroksidasi sangat cepat atau terdapat
bh-bahan
yang
mencegah
pembentukan
dan
pertumbuhan
kristal
(Schwertmann dan Taylor, 1989). Kondisi pelapukan abu volkan terutarna tingginya laju pelapukan dan tingginya kadar silika dalam larutan tanah, mendukung pembentukan f&drit.
Pelapukan yang berlangsung sangat cepat dari gelas dan olivin rnelepaskan
sejumlah besar Fe dalam larutan t d . Dalam kisaran pH yang khas untuk tanah-tanah abu volkan (pH 4
- 7), Fe sangat tidak larut clan cepat mengendap membentuk ferihidrit.
Proses ini berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan walctu yang dibutuNcan untuk
membentuk mineral kristalin seperti goetit dan hematit. Pembentukan haloisit dan kadang-kadang juga metahaloisit, ideal pada lingkungan musim kering yang nyata dan relatif kaya siWra. Haloisit dapat berkristal langsung dari
hasil pelarutan mineral primer, alterasi felspar atau sebagai produk transformasi dari d o h dan irnogolit melalui pelarutan dan resilikasi. Menurut Mizota dan van Reeuwijk (1989), haloisit dominan dalam tanah-tanah abu voikan dengan curah hujan (1500 mmftahun, dan berkaitan dengan musim kemarau yang nyata.
Selama m u s h kemarau, diperkirakan
larutan tanah menjadi sangat kental dengan bahan-bahan larut sehingga rnemungkinkan terjadinya resilikasi bahan-bahan liat.
Konsentrasi Si yang tinggi juga rnenunjang
pernbentukan alofan kaya Si dan haloisit. Drainase bumk dalam profil tanah juga menyebabkan lingkungan kaya silika sehingga menunjang pembentukan haloisit, alofan kaya Si dan juga srnektit (Wada dan Harward,
Kecenderungan
1974).
pembentukan
minerd-mineral
tersebut
tidak
berhubungan dengan proses dehidrasi, melainkan sebagai akibat dari konsentrasi silika yang sangat tinggi. Mineral liat 2: 1 dan hidroksi Al-interlayer asal pedogenik dapat terbentuk melalui reaksi solid-state yang berhubungan dengan mobilitas SiOa, MgO dan K20 dalam gelas volkan tidak berwarna. Shoji el al (&lam Dahlgren et al., 1993) mengusulkan urutan pelapukan sbb: gelas kaya K--Wit+
liat silikat 2: 1
gelas (tidak bewarn oksida hidmus amorf dari Al, Fe dan Si Sintesis smektit terdapat dalam horison permukaan tanah abu volkan dalam lingkungan kaya Si. Dalam menduga kandungan masing-masing bahan tersebut d i m a n berbagai pendekatan antara lain dengan analisis beda termal (rhflerential t h e m l anaCysis), analisis termografj (rhermogrqhic mZysis) dan pelarutan selektif (selecrive dissolution
anays~s)). Tan (1993) mengemukakan ciri beberapa mineral liat yang umum pada tanah volkan. Alofan mempunyai pun& Haloisit mempunyai pun& eksotermik 900
-
endotermik 50 - 150 "C dan eksotermik 800 - 900 "C.
endotermik pada 100
-
200 "C dan 500
1000 "C. Kaolinit mempunyai pun&
puncak eksotermik 900
-
tidak
600 "C, pun&
endotermik 500 -600 "C dan
1000 "C. Menurut Paterson dm Swafifield (1987), imogolit
mempunyai puncak endotermik sekitar 400 "C dan pun& sedangkan DTA
-
merupakan penciri bagi
eksotennik sekitar 1000 "C,
alofsn,
dan
disarankan untuk
mengidentifikasi bahan-bahan beralofan menggunakan teknik pelarutan selektif, mM atau
dengan infia-merah. Pendekatan pelarutan selektif bertujuan melarutkan satu atau beberapa komponen tanpa mempengaruhi komponen laimya.
Analisis pelarutan selektif menggunakan 3
macam pengekstrak yaitu: (I). ditionit dalam sitrat (Ald, Fed); (2). oksalat masam (Alo, Feo, Sio); dan (3). pirofosfat (Alp, Fep).
Pengekstrak ditionzt (Ald. Fed) Menurut Mizota dan van Reeuwijk (1989), ekstraksi dengan larutan Na-ditionit + Na sitrat + Na-bikarbonat digunakan untuk menentukan oksida-oksida besi bebas yang terkandung dalam tanah. Oksida-oksida besi bebas terdiri dari: ferihidiit dan FnisfaIgoetit serta pnrtikel-partikel hematit. Komponen-komponen tanah lain yang dilarutkan dengan ekstraksi ini adalah kompleks AI- cian Fe-humus & Al-(oksi) hidroksida yang bersusunan buruk (poorly ordered).
Alofan dan imogolit sedikit terpengamh.
Keuntungan dari
ekstraksi ini adalah dimungkinkan .untuk menduga tingkat pelapukan dalam tanah dengan membandingkan Fe-terekstrak ditionit (Fed) dengan Fe yang terekstrak oksalat masam Wo). Nisbah Feo/Fed atau disebut nzsbah akiivitas digumkan sebagai indeks tingkat kristalinitas atau umur dari oksida besi.
Andisol muda mempunyai d a i yang tinggi
(>0.75), tanah-tanah yang lebih tua jauh lebih rendah dari 0.75 dan &sot
mempunyai
nisbah (0.1 (Mizota dan Reeuwijk, 1989).
Penge-ak
O h l a t A 4 b . m ~(Alo, Feo, SJO)
Menumt Mizota dan van Reeuwijk (1989), ekstraksi dengan larutan 0.2 M amonium oksalat masam (pH 3) selama 4 jam dengan nisbah tanah : larutan mengekstrak semua Al-y
=
1:50,
dm Fe-aktg drm Sz yang berkaitan, meliputi: alofm,
imogolif, kompleks Al-rkm Fe-humus, oksiab-oksiab bersmumm b u d seperii ferihidrit. Jadi tidak termasuk gibsit, goetit, hematit clan lempeng silikat. Menurut Baril dan Button (1969 &Cum McKeague et al-, 1971) oksalat masam dapat mengekstrak Fe dari magnetit dalam jumlah besar, sehingga membingungkan
interpretasi Feo beberapa tanah. Jika ditemukan nilai nisbah FeoRed > 1 maka ha1 ini menurut McKeague et al. (1971) dan Walker (1983) dapat disebabkan oleh karena larutan oksalat masam mampu membebaskan besi dari magnetit selain metarutkan oksida-oksida besi yang dibebaskan dari pelapukan. Feo mempakan indikator yang baik dari kandungan ferihidrit ddam tanah yaitu dengan mengalikan Feo dengan faktor 1.7 (Child, 1985 rialam Mizota dan van Reuwijk, 1989).
Pengekstrak Pirofoflat (Alp,Fep,Cp) Menumt Mizota dan van Reeuwijk (1989), ekstraksi dengan larutan 0.1 M Napirofosfat (semalam dengan nisbah tanah : larutan 1:100) secara seiektif melarutkan Al dan Fe yang berasosiasi dengan bahan organik, ddam tanah. Berdasarkan selisih antara Fe-ditionit (Fed) dengan Fe-oksalat (Feo) dapat diprediksi jumlah mineral Fe berbentuk kristdm seperti goetit dan hematit (Shoji ei al., 1988). Besi sebagai ferihidrit dan kompleks Fe-humus dapat dilarutkan ddam amonium oksalat masam (Parfitt, 1980), sedangkan Na-pirofosfat (Fep) hanya dapat melarutkan FeSelisih antara Feo d m Fep m e n c h n k a n jumlah Fe sebagai mineral ferihidrit
humus.
(Parfitt et al.. 1983; Shoji ef al.,1988).
Pembentukan Padas dan Jenis-jenis Padas Padas @an) merupakan horison tanah pedogenik yang padat atau yang ters-entasi
sehingga dapat menghambat penetrasi akar serta gerakan udara dan air.
Lapisan keras dan padat asal geologi tidak temmsuk padas.
Menurut van Breemen,
Buurman clan Brinkman (1992), padas dibedakan atas padas yang tidak tersementasi dan padas tersementasi. Padas tidak tersementasi misalnya 6agipan dan tap& bajak, dijumpai pada bagian bawah horison Ap. Padas t m e n t a s i misalnya padas besi tipis (horison plasik), lapisan konlcresi besi di bawah lapisan olah dalam tanah sawah, duripan, dm lain-
lain.
Padas yang tidak atau sedikit tersementasi hancur ddam air, sedangkan yang
tersementasi tidak hancur (van Sreemen et al., 1992). Dalam sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1975; 1998; 1999), dikenal berbagai
macam padas
yaitu:
fragipan, duripan,
horison
(petro)kalsik, horison
(petrolgipsik, horison plasik dan orstein. Lapisan-lapisan tersementasi asal geologi tidak dianggap sebagai horison tanah penciri dalam Taksonomi Tanah. Perbedaan jenis bahan-bahan tersementasi atau bahanbahan geologi yang keras yang terdapat di dalam tanah dikenal sebagai: litik (jika bahan padu tersebut mempunyai kelas ketahanan terhadap kehancuran adalah tersementasi kuat hingga amat sangat kuat), paralitik (jika mempunyai kelas ketahanan terhadap kehancuran adalah tersementasi amat sangat lemah hingga cukup tersementasi) dan petroferik (jika bahan tersementasi terutama oleh senyawa besi) (Soil Survey Staff, 1998; 1999). Padas yang terbentuk pada tanah-tanah berbahan volkan ternyata merupakan masalah yang cukup menarik di negara-negara Amerika Latin (Chili, Peru, Ekuador, Kolumbia), Amerika Tengah dan Meksiko (Zebroswski, 1992 didam Quantin, 1994) dan juga di Jepang (Yamada, el al-, 1994), sehingga cukup banyak penetitian yang dilakukan dalam hal ini. Pembentukan padas pada bahan volkan masih diperdebatkan apakah merupakan proses geologi (vollcanogenik) atau merupakan proses pedogenik.
Hal ini disebabkan
karena tanah-tanah berpadas umumnya terdapat pada wilayah dengan m u s h kemarau yang nyata dan dijumpai bukti terjadinya akumulasi secara pedologi (yaitu liat, silika, kapur dan lain-lain), sehingga ahli pedologi tidak menyadari tentang kejadian struktur geologi terkonsotidasi yang sudah ada sebelumnya. Meskipun demikian dalam sejumlah besar kasus, proses-proses pedogenesis secara langsung bertanggung jawab
terhadap
pengerasan horison tan& tersebut (Quanrin, 1994). Oleschko et al. (1994) menyimpulkan ada 4 faktor yang diidentifikasi sebagai persyaratan untuk pembentukan padas yaitu: (1) pengendapan bahan volkan secara berkala (bahan tersebut diperlukan agar tiat atau bahan penyemen lain mempercepat sintesis); (2) SirMasi bebas dari larutan yang mengandung Fe, Si, liat dengan konsentrasi tinggi; (3)
perubahan tekstur yang drastis antara horison-horison dalam profil tanah yang berkaitan dengan pernutusan litologi atau kronologi, dari bahan-bahan asal; dan (4) erosi yang kuat yang menyebabkan tersingkapnya lapisan padat ke permukaan tanah sehingga tejadi pengerasan tak-balik. Di bawah ini padas yang mungkin dijumpai di daerah penelitian diuraikan, seperti dikemukakan dalam penelitian d m hasil survei tanah (Darea, 1989; Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994).
Tapak Bajak Tapak bajak @low pan atau iraflc pan) merupakan lapisan padat, terdapat di bawah lapisan olah ddam profil tanah sawah, yang terbentuk karena pemadatan selama pembajakan lapisan olah dalam keadaan basah, atau oleh pemadatan lain (tekanan kaki manusia atau hewan). Pelumpuran pada tanah sawah menyebabkan perusakan sebagian atau seluruh mekanik.
agregat tanah yang disebabkan oleh swelling koloid atau oleh dampak
Selain itu pori malcro menghilang dan pori mikro menjadi sangat meningkat,
menyebabkan kapasitas menahan air tanah melumpur ini lebih tinggi. Pengolahan yang berulang-ulang menyebabkan pemadatan lapisan bawah dari lapisan atas yang diolah dan membentuk tapak bajak atau padas &@c.
Pernadatan menurunkan porositas dan
perkolasi air ke bawah melalui tanah.
Padas BesilMangan Padas besi/mangan terbentuk dalam tanah sawah di bawah lapisan olah, apabila kondisi oksidasi terhadap Mh2' dan Fez" berada pada tingkat tertentu sehingga keduanya akan dioksidasi menjadi h4n3' dan ~ e kemudian ~ ' mengendap. potensial redoks yang lebih rendah daripada Mn2'.
~ e "dioksidasi pada
Karena adanya peningkatan gradien
redoks di bawah horison melumpur, maka Fez' pertama kali mencapai kondisi untuk tejadinya oksidasi, dan kemudian diendapkan.
Mn2' bergerak lebih dalam, hingga
tercapai kondisi redoks cukup untuk tejadinya oksidasi dan pengendapan. Dengan cara
ini, terbentuk dua lapisan akumulasi yang nyata:
bagian atas berwarna kecoklatan
(dominan ~ e ~ ' )sedangkan , lapisan di bawahnya, berwarna kehitaman (dominan Mn4'?. Proses ini berlangsung berulang-ulang sehingga terbentuk lapisan padas yang teguh sehingga meningkatkan kekedapan tanah sawah. Padas besilmangan bukan merupakan istilah dalam Taksonomi Tanah. Istilah ini digunakan antara lain oleh Grant (1964) dan Driessen & Moonnann (1985) yang setara dengan lapisan besi danlatau lapisan mangan menurut Koenigs (1950).
Fragipan
Fragipan (L. fragilzs, rapuh; padas yang rapuh) adalah horison bawah yang mengalami perubahan, yang menghambat masuknya air dan akar ke dalam matriks tanah. Fragipan dapat (tetapi tidak harus) terietak di bawah horison argilik, kambik, albik atau spodik.
Fragipan memiliki sifat fiagik yang sangat berkembang.
Biasanya memiliki
kandungan bahan organik yang relatif rendah dan bobot isi yang lebih tinggi dari horison di atasnya. Pecahan kering udara akan hancur jika di~endamdalam air. Kebanyakan fiagipan mempunyai
gejda
redoksimorfik
dan
memiliki
bukti
adanya
translokasi
liat.
Permeabilitasnya lambat atau sangat lambat. Beberapa fiagipan tersusun oleh bahan albik. Menurut Soil Survey Staff (1998) fiagipan hams memenuhi semua karakteristik berilcut: (1) lapisan mempunyai tebal 15 c m atau lebih; dan (2) terdapat bukti proses pedogenesis ddam horison atau paling tidak pada permukaan satuan-satuan struktural; dan (3) memiliki strukhur prisma, tiang atau gumpal berukuran sangat besar dengan tingkat
perkembangan
yang
beragam
serta m
d
struktur
berbagai
ukuran
dengan
perkembangan lemah atau masif; pemisahan ankara satuan struktural yang memungkinkan akar dapat masuk, mempunyai jarak horisontal rata-rata 10 c m atau lebih, dan (4) pecahan kering-udara dari fabrik tanah alami, yang berdiamater 5
- 10 cm, dari >SO% dari horison
akan hancur jika direndam &am air; dan (5) dalam 60% (voIume) atau lebih, memiliki konsistensi yang teguh atau sangat teguh, juga memiliki s a t rapuh pada atau sekitar kapasitas lapangan, dan tidak terdapat akar tumbuhan. Soil Survey Staff (1975; 1999) mengemukakan bahwa genesis &@pan masih belum jelas. Jalinan poligonal dari bahan-bahan memucat terbentuk dari reduksi besi bebas
setelah air menjenuhi rekahan yang terbentuk karma adanya desikasi Bahan-bahan pucat umumnya diikat oleh suatu zona tipis, tempat besi terkonsentrasi.
Duripan Duripan (L.durus = keras; padas keras) adalah horison bawah yang tersementasi oleh silika dan/atau tanpa bahan penyemen tambahan yang hams memenuhi persyaratan berikut (Soil Survey Staff, 1998) :
( 1
tersementasi atau mengeras hingga >SO%
(volume) dari beberapa horison; dan (2) mempunyai bukti adanya akumulasi opal atau bentuk lain dari siiika sebagai tudung laminar ( i c m i n m capping), selaput, lensa, sebagian sebagai pengisi celah (interstices), sebagai jembatan antara butir-butir berukuran-pasir, atau penyelaput pada batuan atau pecahan pararock; dan (3) b a n g dari 50% (volume), akan hancur dalam IN HCI, sekalipun direndam dalam waktu yang lama, tetapi lebih dari 50% (volume) dapat hancur dalam KOH, NaOH pekat atau dalam asam dan alkali secara
bergantian, dan (4) mempunyai kontinuitas lateral sedemikian mpa, sehingga akar-akar tidak dapat menembus kecuali sepanjang rekahan vertikal yang mempunyai jarak horisontd 10 cm atau lebih. Sementasi yang sangat h a t umumnya terdapat pada tanah yang mengandung gelas volkan dalam jumlah yang cukup dalam horison atas yang menunjukkan d o m i m y a silika yang larut dalam proses genesis.
Bila tidak terdapat gelas vokan pa& lapisan atas,
setidak-tidalcnya gelas tersebut pernah terdapat sebelumnya.
Secara geografis duripan
terbatas pada daerah volkanis tempat hujan abu terus berlangsung atau tanah-tanah yang mendapat pasolcan sedimen yang berasal dari wilayah k a p bahan-bahan pioklastik seperti
tuff dan ignimbrit. Gelas cenderung melapuk iebih cepat dan jika kaya akan basa, maka peiapukan dapat membebaskan silikat yang dapat larut dengan cepat.
Padas yang tersementasi sangat h a t di daerah Mediteran mempunyai seiaput opal yang menutupi bagian atas maupun bagian sisi polihedron. Selaput tersebut lebih tebal dari padas yang tersementasi lemah. Air dapat bertahan sementara di atas padas selama m u s k bujan. Pada kebanyakan padas tersebut, selaput besi, mangan dan fiat terdentasi sering dijumpai.
Dalam horison yang tersementasi silika (duripan), meskipun hanya terdapat sejumlah kecil semen silika, narnun dapat mempunyai pengaruh yang nyata terhadap sifat fisika tanah (Flach et al.. 1969). Semen silika nampaknya tidak berpengaruh terhadap KTK atau sifat mengembang dan mengkerut dari liat smektit (Dress et al., 1989) Semen silika dari duripan dapat berasal dari hasil pelapukan mineral-mineral felspar dan feromagnesian (yang berlangsung lamban dan dalam waktu yang lama) ataupun dari hasil pelapukan gelas volkan dan bahan-bahan amorf (yang berlangsung secara cepat). Silika yang mernbentuk duripan pada tanah-tanah muda dapat berasal dari profil tanah yang sama melalui pelarutan atau pelapukan clan akumulasi dalam bagian lain dari profil tanah tersebut, atau dapat berasal dari daerah lain yang berdekatan (Flach et al..1969). Flach et al. (1992a) mengemukakan bahwa meskipun teknik mikromorfologi dalam Taksonomi Tanah, tidak secara spesitik dibicarakan dalam pembahasan duripan, narnun kajian mikromorfologi perlu karena (a)selaput silika dalam kebanyakan tanah terlalu tipis untuk dapat diidentifikasi secara positif di lapangan menggunakan lensa tangan atau dengan alat sejenis, (b) selaput silika seringkali terlalu tipis untuk dapat dipisahkan dan diidentifikasi dengan berbagai prosedur mineralogi, (c) pengekstrak kirnia tidak cukup spesifik bagi opal, meskipun opal lebih larut dibandingkan dengan kebanyakan mineral primer, namun opal biasanya merupakan komponen minor dalam massa tanah, selain itu kebanyakan mineral la-istalin dan m o r f yang terdapat dalam duripan juga dapat larut, (d) Iokasinya lebih kritis dibandingkan jumlah total semen opal.
Meskipun sangat sedikit
jumlah opal pada titik kontak dari mineral primer atau dalam asosiasinya dengan liat, namun opal dapat bertindak sebagai semen yang sangat efektif, dan (e) perubahan dalam tingkat sernentasi jika diperlakukan dengan KOH panas sulit diamati clan bahkan lebih sulit dihitung. Pengamatan yang akurat harus dibuat hanya jika fkagmen tanah kembali pada kandungan lengas padas alarni.
Karena rendahnya porositas kebanyakan padas maka
menjadikannya sulit untuk &pat dibasahi dengan KOH. Pada irisan tipis duripan tedihat sebagai kumpulan wock) opal yang baur, dalam j d a h banyak dan berukuran halus (diameter 1 - 5 urn) dalam s-matrix tanah atau sebagai silan yang cukup jelas dan selalu ber inter-lqyer dalam argilan. Flock tersebut terutarna
terdiri atas opal A sedangkan siIan terdiri atas opal-CT (Chadwick, 1985). Pembentukan opal A ideal jika konsentrasi Si(OH)4 dalam larutan 260 mgA; opal-CT jika 20 - 60 mg/l sedangkan kuarsa mikrokristal, terbentuk jika 120 mg!l (Flach ef al., 1992b). SiIika dapat bempa bulatan (globule) yang baur yang seluruhnya isotropik ddam smahiks padas tersebut atau sebagai selaput pada ped bagian luar terutama permukaan vertikalnya.
Pada padas yang sangat berkembang, semen silika dalam irisan tipis nampak
sebagai 'stringer ' birefringent lemah yang amat-sangat tipis (=1 mm) sepanjang s-matriks dan dalam selaput liat.
Sfringer ini mungkin terdiri atas bahan-bahan serupa dengan
bahan-bahan yang mirip-kdsedon dan jika dapat terlihat dalam 2 dimensi kemungkinan kisi dari kerangka (skeleton) yang menyerupai porn (struktur busa) yang tidak beraturan,
meresap dalam matriks tanah.
Karakteristik Tanah Sawah Tanah sawah merupakan tanah yang sengaja didatarkan dan dibatasi pematang
agar &pat menahan air yang diperuntukkan bagi penanaman padi. Tanah sawah diolah dalam keadaan jenuh air dan dibiarkan dalam keadaan tergenang selama periode tertentu sesuai dengan kebutuhan air tanaman padi. fengolahan tanah dalam keadaan tergenang serta tindakan penggenangan yang sengaja dilakukan tersebut, menyebabkan terjadinya
berbagai perubahan s f i t tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia maupun biologi tanah. Menurut Tan (1968) dan Moonnann dan van de Wetering (I985), tanah sawah adalah tanah yang
mengalami perkembangan morfoiogi dan sifat kimia yang khusus
seperti .terbentuknya glei permukaan dan tapak-bajak, sebagai akibat dari penggenangan
buatan
yang berkaitan dengan penanaman padi.
Koenigs (1950) memperlihatkan
morfologi proiil tanah sawah tipikal pada tanah kering yang disawahkan di sekitar Bogor, yaitu adanya lapisan oIah, lapisan tapak bajak, lapisan besi we),lapisan mangan (Mn) serta
lapisan tanah a d yang tidak dipengaruhi penyawahan (Gambar 1).
Gambar 1. Profil Tanah Sawah sekitar Bogor (Koenigs, 1950) Karakteristik tanah sawah sangat dipengamhi oleh tanah asal sebelum disawahkan, karena sebelurnnya tanah telah mengalami perkembangan sesuai dengan faktor--or pembentuk tanah yang berpengamh. Oleh karena itu, profii tanah sawah tipikal tersebut tidak selalu terbentuk pada setiap jenis tanah yang disawafikan. Berdasarkan ketersediaan airnya, maka tanah sawah dapat ditanami padi sawah terus-menerus sepanjang tahun, atau bergiliran dengan tanaman palawija, atau sengaja diberakan. Menurut Kanno (1978) pengaruh pengelolaan terhadap genesis tanah sawah tergantung pada perubahan dalam t e r n bertani, penanaman dan pola tanam. Perbedaan dalam pola tanam menyebabkan perbedaan dalam periode penggenangan dan jumlah air irigasi yang diberikan. Pembentukan tanah sawah meliputi 2 aspek yaitu: eluviasi dan pengaruh penanaman dan pemupukan.
Eluviasi
dipercepat oleh terjadinya perkolasi air irigasi,
sementara itu kondisi reduksi memungkinkan teijadinya pencucian beberapa unsur yang tidak dapat tercuci pa& kondisi lahan-kering (Gong, 1986). Moormann dan van Breemen (1978) mengemukakan bahwa perubahan s a t y.mg terjadi dalam tanah sawah dapat dibedakan atas perubahan yang b d h t sementara dan
perubahan pemtanen.
Perubahan yang bersifat sementara dalam tanah-tanah yang
disawahkan berkaitan dengan pengolahan dalam keadaan tergenang (pelumpuran) dan pembahan sifat kimia yang berhubungan dengan proses reduksi dan oksidasi. Perubahanperubahan tersebut lebth lanjut akan menyebabkan perubahan sifat morfologi tanah. Pengolahan dalam keadaan tergenang menyebabkan perubahan sifat fisika tanah antara lain hancurnya agregat (struktur) tanah, pori-pori kasar berkurang sedangkan pori halus meningkat, tanah dalam keadaan melumpur sehingga partikel-partikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi membentuk lapisan tapak bajak, di bawah lapisan olah, sehingga bobot isi pada lapisan ini menjadi meningkat (Moormann dan van Breemen, 1978; Kanno, 1978; Ghildyal, 1978). Penggenangan berpengaruh terhadap sifat kimia, melaiui menurunnya nilai potensial redoks sehingga mobilitas besi dan mangan meningkat. Jumlah besi feri @e3') yang tereduksi menjadi fero (~e") selama penggenangan menurut Mtsuchi (1974 &lam Kanno, 1978) sangat beragam dari beberapa persen hingga 90%. Sebagian besar besi fero terdapat dalam bentuk padat dan terjerap, sedangkan yang terdapat dalam larutan hanya I
- 5% (Moormann dan van Breemen,
1978).
Akibat penggenangan dan pengeringan berulang-ulang besi-besi feri yang mudah direduksi seperti ferihidroksida (Ee(OH)3) amorf, meningkat jumlahnya, k a s a . dari feri oksida (FezOa) yang I e b i stab3 seperti goetit dan hematit yang kristah. Mekanisme perubahan besi oksida kristalin tersebut oleh Moormann dan van Breemen (1978) digambarkan sbb: red& lambat
oksidasi cepat Fern (oksida amorfi
(goetio redukri cepal krista~isasiIambat
Kristalisasi menjadi goetit jauh lebih lambat daripada pembentukan oksida (hidroksida) amorf
Oksidasi ~e'' dapat ditukar menghasilkan
H' dapat
ditukar selain Fe(0H)s.
Meningkatnya Ht dapat ditukar dapat menuninkan pH tanah dan menyebabkan
.
penghancuran sebagian mineral liat . Perubahan tanah sawah yang bersifat permanen terlihat dari sifat morfologi profil tanahnya yang seringkali menjadi sangat berbeda dengan profil tanah asalnya. Perubahanperubahan yang bersifat permanen profil tanah tersebut menurut Moormann dan van Breemen (1978) disebabkan oleh: (a) perataan dan penterasan dalam pembuatan sawah, yang sangat dipengaruhi oleh kemiringan tanah asal (b)
perubahan sifat fisik tanah
tertentu, karena praktek budidaya padi dan ( c ) perubahan sifat-sifat kimia dan mineralogi tanah yang merupakan bagian dari proses pembentukan tanah (misalnya eluviasi dan iluviasi Fe dan Mn, proses ferolisis, pembentukan oksida-oksida besi, Mn dan lain-Iain).
Horison Genetik Tanah Sawah Tanah-tanah yang disawahkan, akan mengalami perubahan-perubahan dalam morfologi profilnya. Menurut Kanno (1978),
tanah sawah tipikal mempunyai horison
utarna sebagai berikut: (1) horison eluviasi yang tereduksi (Ag) yang terdiri dari lapisan olah dan lapisan tapak bajak, (2) horison iluviasi yang mengalami oksidasi (Bg) dengan karatan besi d m mangan, dan (3) horison iluviasi yang secara berkala tereduksi (BgG) dengan noda-noda glei dan karatan kuning-kecoklatan, dan
(4) horison yang selalu
tereduksi (G). Simbol-simbol horison tambahan (g dan G) yang digunakan oleh Kanno (1978) tersebut tidak mengikuti simbol yang balcu seperti yang dikemukakan dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey St&,
1975; Survey Division Staff, 1993). Simbol g menunjukkan
adanya karatan Fe dadittau A h , sedangkan G menunjukkan horison tereduksi oleh air tanah. Kanno (1978) beranggapan bahwa simbol g dari USDA (Soil Survey Staff, 1975) tidak seIalu memuaskan untuk menunjukkan perbedaan sifat hidromorf tanah sawah, sehingga ia mengusulkan penggunaan simbol tenebut.
Lavisan Olah Lapisan ini merupakan horison paling atas dari profil tanah sawah yang terbentuk di bawah pengaruh penanaman yang berulang-ulang dan penggenangan serta drainase musiman
Horison ini memiliki ketebalan antara 12 - 18 cm
Selama musim
penggenangan, seluruh lapisan olah tergenang air irigasi d m berada dalam keadaan tereduksi, kecuali pada beberapa mm lapisan teratas yang berada dalam keadaan teroksidasi karena tejadinya diksi oksigen dari air irigasi
Dalam kondisi anaerob, hasil
dekomposisi reduksi sebagian hilang dalam bentuk gas, sebagian tertinggal dan sebagian tercuci ke bawah bersama air irigasi. Horison ini berada dalarn keadaan teroksidasi setelah terjadi drainase dan pengeringan (Gong, 1986). Horison ini diberi simbol Apg jika masih dijumpai karatan besi dan/atau mangan, sedangkan jika tidak ada karatan disebut ApgG (Kanno, 1978)
Simbol yang digunakan
dalam Taksonomi tanah untuk horison ini adalah Apg (jika terdapat gleisasi kuat) atau Ap (jika tidak terjadi gleisasi kuat).
Ta~ak Ba-iak Tapak bajak terletak di bawah lapisan olah, terbentuk .oleh adanya tekanan pembajakan, mempunyai struktur agak laminer dan padat, dengan tebal 8
-
10 cm, bobot
isi sekitar 1.5 g/cm3. Kanno (1978) menyandikan horison ini sebagai A12g jika tidak djumpai karatan besi d a d atau mangan, atau AlZgG, jika terdapat karatan tersebut. Gong (1986) cenderung menyatakannya dengan simboi P. Dalam Taksonomi Tanah simbol
untuk horison ini adalah Ad atau Bd Tapak bajak @low-pan atau trwc-pan) terletak di bawah lapisan olah, terbentuk sebagai &bat terjadinya penghancuran agregat-agregat tanah (setama pengolahan tanah)
di lapisan olah yang berlangsung berutang-ulang selama bertahun-tahun, menyebabkan terjadinya penyumbatan pori makro sehingga terjadi pemadatan pada horison ini. Adanya akumulasi mangan dan besi pa& tapak bajak, membantu terjadiiya sementasi dan pernadatan (Eswaran, 1989). Bobot isi tapak bajak biasanya l e b i tinggi serta mempunyai pori berukuran besar dan sedang yang lebih sedikit, dibandingkan dengan lapisan olah
(Moorman dan van Breemen, 1978). Tapak bajak berpengaruh positif pada penanaman padi tetapi tidak untuk tanaman palawija yang ditanam setelah padi. Pada tanah-tanah yang tapak bajaknya berkembang dengan baik, menyebabkan tanah menjadi dangkal dan sangat mengganggu pertumbuhan akar, serta ketersediaan lengas dan hara bagi tanaman palawija (Moorman dan van
Breemen (1978). Horison Iluviasi Oksidatif Horison iluviasi ini (Bg) terbentuk dalam kondisi oksidatif dan dijurnpai dalam tanah sawah berdrainase baik dengan muka air tanah >1 meter (Kanno, 1978)
Ion-ion
fero dan mangano dalam air perkolasi teroksidasi oleh oksigen bebas, menyebabkan pembentukan horison iluvial besi-mangan dengan warm coklat-kekuningan atau coklat kemerahan (Gong, 1986). Menurut Kanno (1978) horison in dibedakan atas Bir (jika besi lebih dominan), Bmn (jika mangan yang dominan), dan Bir-mn atau Birn (jika terdapat campuran besi dan mangan dalam jumlah sebanding). Dalam Taksonomi Tanah hanya dikenal simbol Bsm yang menunjukkan adanya sementasi oleh besi.
Sementasi oleh Mn dalam talcsonomi
tanah tidak m e d i k i simbol tersendiri, sehingga daiam hal ini simbol Bsm mencakup sementasi oleh besi maupun mangan. Horison Iluviasi vang Tereduksi Secara Berkala. Horison ini merupakan horison iluvial yang terbentuk oleh oksidasi dan reduksi yang bergantian. Horison ini berkembang dari horison AG dan horison glei (G) ddam tanah-tanah sawah berdrainase agak bumk hingga buruk. Horison ini rnerupakan horison transisi yang ditandai oleh noda glei dan karatan besi-mangan yang dominan. Karena adanya perbaikan drainase, horison BgG berubah menjadi Bg yang diikuti oleh hilangnya noda giei dan terjadinya perkembangan karatan besi coklat-kemerahan (Kanno, 1978). Dalam Taksonomi Tanah horison ini dinyatakan dengan Bg.
Horison Miri~-glei(Pseudo-alev - - Horizon) Horison ini terbentuk pada tanah sawah yang pengairamya hanya berasal dari airirigasi (pengaruh air tanah tidak berarti), sehingga pembentukan glei tidak sempurna. Kanno (1978) membedakan horison Bg ini menjadi 2 jenis yaitu horison Bg yang mengalami perubahan hidrornorfik lemah (bemama coklat muda yang berasal warna tanah asalnya, serta warna kelabu sepanjang saluran akar dan permukaan ped), dan horison yang mengalami perubahan hidrornodk kuat (terdapat banyak karatan besi dan mangan berwama coklat atau coklat kemerahan). Horison ini diberi simbol Bg dalam Taksonomi Tanah. Horison vang Seldu Tereduksi Horison ini dijurnpai pada tanah berdrainase buruk - sangat buruk, dengan muka
air tanah ( 1.5 m dari permukaan. Wama beragam dari kelabu kebiru-biruan hingga birukekelabuan disebabkan oleh reduksi yang kuat. perkembangan struktur
Horison G atau Gg ini mempunyai
sangat Iemah dan bafikan tidak berstruktur (Kanno, 1978)
Dalam Taksonomi Tanah horison ini dinyatakan dengan simbol B g atau Cg. Horison-horison tanah yang dikemukakan di atas, tidak semuanya selalu terdapat pada setiap profil tanah sawah. Pola perkembangan profit tanah sawah sangat beragam tergantung dari kondisi dan jenis tanah asahya. Menurut Moorman dan van Breemen (1978), tidak semua tanah sawah yang digenangi mempunyai lapisan tapak bajak seperti rnisalnya pa& tanah sawah yang sangat berpasir karena jumLah titik kontak dalarn tsnah berpasir relatif'kecil sehingga kohesi antara butir-butir pasir rendah. Lapisan tapak bajak
akan terdapat jika tekstur tanah lebii hdus. Kondisi optimal untuk pembentukan tap* bajak terdapat pada tanah-tanah berlempung halus (Mitsuchi, 1968 d a I m Moorman dan van Breemen, 1978).
Meskipun demikian jika kandungan liat terldu tinggi maka
pembentukam tap& bajak menjadi kurang nyata.
Klasifikasi Tanah Sawah Upaya untuk mengklasifikasi tanah sawah telah banyak dilakukan, meskipun hingga kini belum ada yang memuaskan, dan merupakan masalah yang agak rumit Adanya perbedaan pandangan menyebabkan perbedaan dalam cara klasifikasi
Menurut
Gong (1986), hingga kini pada dasarnya terdapat 3 sistem klasifikasi yaitu (a) Taksonomi Tanah dari USDA, @)
klasifikasi tanah F A 0 (1974) yang ditekankan berdasarkan
pengaruh air sehingga tanah sawah disetarakan dengan Gleisol clan (c) sistem klasifikasi yang menempatkan tanah sawah pada posisi yang penting ddam klasitikasi @anyak dilakukan di Jepang). Melalui metode yang berbeda, Kanno (1962) mengklasifikasikan tanah sawah menjadi 3 yaitu' tipe air tanah, tipe air permukaan dan tipe peralihan
Di Cina, tanah
sawah dibagi atas 3 jenis yaitu berdasarkan sebaran geografi, faktor genetik dan proses genetik. Pada klasifikasi yang didasarkan pada sebaran geografi great-group tanah sawah dibagi berdasarkan zona bioklimat, yaitu padi di utara dan padi di selatan. Klasifikasi yang didasarkan pada -or
genetik, jenis tanah didefinisikan secara luas atas 3 faktor yaitu:
d, regim kelemhban, dan Rem-
dengan penekanan utama pada kelembaban
tanah, misalnya adanya pemucatan, permeable, penggenangan, perkolasi dan stagnasi. Klasijikasi genetik didasarkan pada morfologi tanah serta sifktnya, sehingga dibedakan atas sub-grup submergik, hidromorfik dan gleik.
Gong (1986) berdasarkan proses
oksidasi-reduksinya, mengusulkan tiga sub-grup tanah sawah yaitu tanah sawah oksidasi, tanah sawah reduksi dan tanah sawah redoks.
KIasifikasi tanah sawah menurut Taksonomi Tanah sejak tahun 1992 (Soil Survey St&,
1992) dapat dibuat lebih rinci dibandingkan sebelumnya, karena sejak itu mulai
diperkenalkan istilah kondisi akuik, yang mempertimbangan segi hidrologis tejadinya kondisi akuik tersebut. Soil Survey StaE(1998) mendefinisikan tanah dengan kondisi akuik adalah tanah-
tanah yang saat ini mengalami keadaan jenuh (saturasi) dan reduksi terus-menerus atau secara berkala. Berdasarkan kondisi saturasinya, dikenal istilah endosatunsi, episaturasi
clan saturasi antiuik.
Selain itu juga dikenal istilah kondisi antrakuik yang menunjukkan
jenis khusus dari kondisi a h i k yang terjadi dalam tanah-tanah yang diirigasi. Dengan diperkenalkannya istilah-istilah tersebut klasifikasi tanah-tanah sawah pada tingkat subgrup lebih beragam. Klasifikasi tanah sawah daIam Taksonomi Tanah edisi ke 8 (Soil Survey Staff, 1998) lebih mengena dibandingkan edisi sebelumnya sejak great-grozrp yang berawalan trop difiilangkan, sehingga misalnya great-group Epiaqupet yang mencerminkan tanah yang disawahkan sering muncuI.
Tanah Sawah di Indonesia Tanah sawah di Indonesia terbatas pada tanah-tanah yang relatif subur dengan ketersediaan air yang cukup serta keadaan relif yang memungkinkan yaitu di Jawa, BaEi, Lombok, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan Sulawesi Selatan. Tanah sawall umumnya dijumpai pada jenis tanah Aluvial (Entisol, Inceptisoi), Tanah-tanah Glei (Aquept), Regosol (Entisol, Inceptisol), Grurnosol (Vertisol), Podsolik (Ultisol), Latosol (Ultisol) dan dalam j u d a h yang sempit pada Andosol (Andisol) dan Mediteran (Alfisol) (Soepraptohardjo d m Suhardjo, 1978). Kawaguchi dan Kyurna (1977) mengemukakan bahwa lebii dari 60% dari total luas sawah di Indonesia berada di pulau Jawa, dan terutama berada pada tanah-tanah dengan bahan induk volkan dan aluvial.
Secara fisiografis tanah sawah terdapat pada
aluvial sungai maupun aluvial pantai, serta pa& lereng bawah volkan yang berasal dari bahan-bahan piroklastika Tanah sawah di Indonesia pada umumnya terdapat pada tanah yang berkembang dari bahan volkan, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai sebaran gunung api terbesar di dunk
Tanah sawah di Pulau Jawa yang subur, sebagian
besar berada pada tanah berbahan induk bahan volkan. Penelitian tentang tanah sawah di Indonesia masih sangat terbatas dan sebagian besar berkenaan dengan masalah agronominya (Tan, 1968). Kajian morfoiogi tanah sawah
di Indonesia diawali oleh Koenigs (1950) pada Latosol di daerah Bogor.
Menurut
Soepraptohadjo dan Suhardjo (1978) pengetahan tentang sebaran dan variasi tanah sawah dipexoleh meialui survei tanah tinjau secara sistematis di Jawa, Bali, Sulawesi
Selatan dan Sumatera, yang dilakukan terutarna oleh Puslittanak rnaupun peneliti lainnya. Namun penelitian-penelitian tersebut tidak khusus rnengkaji genesis tanah sawah.
Tan
( 1 968),melakukan kajian genesis tanah sawah pada tanah-tanah Andosol, Latosol coklat-
kernerahan dan Latosol merah di Jawa Barat. Munir (1987) melakukan penelitian tentang pengaruh penyawahan terhadap morfologi, genesis, elektrokimia dan klasifikasi dari tanah Podsolik, Muvial, Grumosol dan Latosol di Jawa.
Prasetyo, Soekardi dan Soebagyo (1996) melakukan penelitian
tentang susunan mineral, sifat-sifat kimia dan klasifikasi tanah-tanah sawah intensifikasi di Jawa dari bahan induk aluvial (Indramayu) dan tufa voikan intermedier (Madiun). Penelitian terhadap genesis tanah-tanah yang berasal dari bahan volkan bertekstur kasar dan berkerikil (lahar) baik pada Iahan kering apakagi yang disawahkan masih sangat jarang dilakukan. Tanah-tanah berbahan vollgan kasar umumnya &asifrkasikan
sebagai
Regosol (Entisol dan Inceptisol). Tanah-tanah sawah pada Regosol di Indonesia menurut Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978), sebagian besar terletak pada daerah koluvial atau kipas aluvial dari bahan volkan muda di Pulau Jawa ,Bali, Lombok, Sumatera dan Sulawesi. Sifat kimia Regosol beragam dengan curah hujan dan sifat bahan volkan.
Pada tanah ini sering dijumpai
lapisan padas. Sdah satu publikasi yang mengungkapkan adanya padas di Indonesia adalah p u b l i i dari Dames (19551, meskipun tidak secara khusus membahas sifat dan pembentukannya. Menurut Dames (1955), pada berbagai tanah yang berasai dari bahan vokan, terutama yang disawahkan, dijumpai padas pada kedalaman tertentu (30-80 cm) yang hampir sejajar dengan permukmn tanah. Padas tersebut sering terjadi pada transisi antara 2 lapisan yang teksturnya berbeda. Di lereng volkan Merapi dijumpai 2 macam padas yaitu padas curi dan padas
kapur.
Padas curi mempakan padas yang umumnya terdapat pada tanah berbatu dan
berkerikil. Padas ini berwarna kelabu, biasanya dengan ketebalan 20 hingga 100 cm, tersementasi oleh silika dan dapat dilalui air, meskipun tidak dapat ditembus a h . Padas
kapur, berwarna coklat, agakferntginmts, tidak terlalu keras, terdapat pada tanah berpasir
di Iereng bawah volkan. beberapa tahun kemudian.
Padas ini dapat hancur, tetapi dapat terbentuk lagi dalam
LINGKUNGAN FISIK DAERAH PENELITIAN Lokasi Daerah penelitian terletak di lereng-bawah gunung Merapi bagian selatan, antara daerah Kaliurang dan kota Yogyakarta, ketinggian 100 - 500 m dpi, yang tercakup dalam Peta Topografi skala 1:50.000, Lembar Muntilan dan Lembar Yogyakartq. administratif termasuk
Secara
dalam wilayah kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Lokasi daerah penelitian disajikan dalarn Gambar 2.
Geologi Gunung Merapi menurut van Padang (1951 &am
Reksowirogo,
1979),
merupakan gunung-api yang paling aktif, terletak pada titik sitang dua buah sesar yang penting dilifiat dari sudut regional, yakni sebuah sesar transversal yang memisahkan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Daerah lereng selatan Gunung Merapi, merupakan daerah yang terbentuk dari erupsi volkan yang dibedakan atas bahan-bahan yang berumur 'tua' dan berumur 'muda'. Gunung Merapi tua berumur Pleistosin Atas dan Holosin. Pemusnahan kerucut Merapi tua tejadi tahun 1006.
Sisa periode Merapi Tua
membentuk suatu dinding yang
menjulang dari lereng muda di sebelah utara dan timur gunung tersebut dan tertoreh oleh patahan dan erosi (van Bemmelen, 1949). Penelitian ini dllaksanakan pada bahan-bahan letusan Merapi berumur muda yang berada pada kisaran ketinggian 100 m dpl hingga 500 m dpl. Menurut Dames (I955) erupsi muda gunung Merapi menghasilkan batuan andesit dengan asosiasi mineral augithipersten. Letusan Merapi 'muda' menurut van Bemrnelen (1949) ditandai oleh terjadinya guguran (avalanche)dari fiagmen lava panas, pasir dan debu, bercampur dengan pecahan sisa-sisa puncak ma. Guguran ini disebut ladu, bergerak mengikuti daerah depresi pada lereng gunung. Guguran yang disertai awan dari debu panas yang jika terjadi secara besar-
Gambar 2
Peta Lokasi Daerah PeneLieian
besaran disebut nue ardante d'avalanche (Dames, 1955).
Ladu, bersama awan panas
umumnya terbatas pada daerah puncak volkan. Bahan-bahan lepas tersebut diangkut ke lereng volkan bawah sebagai lahar.
Selama pengangkutan dalam bahan-bahan lahar
tersebut hampir tidak terjadi pemilahan menurut besar butir, dimana ukuran
butir
bervariasi mulai dari debu hingga bongkahan lava yang berukuran beberapa meter kubik. Bahan-bahan hdus dari medan lahar diangkut meldui sungai, mengdami pemilahan dan diendapkan di dataran.
Bahan-bahan halus juga diendapkan sebagai bahan aeolin.
Sehubungan dengan cara sedimentasi tersebut maka tekstur bahan voIkan umumnya menjadi lebih halus dengan semakin jauh jaraknya dari puncak volkan. Dengan demikian pada lereng setatan Merapi, pola pengendapan bahan-bahan volkan dengan jelas dapat diamati yaitu berbatu, pasir berkerikil pada bagian kerucutnya yang meluas secara linear dan bahkan hingga ke lereng bagian bawah. Di bagian lereng bawah dengan kemiringan landai hingga hampir datar, dijumpai bahan-bahan bertekstur lebih halus (Dames, 1955). Menurut Rahardjo el al. (1977), daerah penelitian termasuk ddam formasi endapan volkanik muda (Qmi) berupa tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava.
Iklim di daerah penelitian ditandai oleh musim hujan dan musim kemarau yang sangat nyata. Berdasarkan data yang dikumpulkan baik selama penelitian ini berlangsung maupun oleh Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994), pada 11 stasiun di daerah penelitian periode 1978 s/d 1993 dan periode 1985 - 1 9 9 6 terlihat rata-rata curah hujan setahun berkisar dari 1 3 5 3 mm/tahun (Stasiun Adi Sucipto, 115 m dpl) hingga 3 192 mm/tahun (Stasiun Turi, 425 m dpl), dengan bulan basah berkisar dari 1 - 6 bulan dan bulan kering 2 - 6 bulan (Tabel 1). Zona agroklimat (Oldeman, 1975) dominan addah C-3 (5-6 bulan basah (>ZOO mm/bulan) berturut-turut dengan periode kering 5 - 6 bulan berturut-turut (Tabel 1).
Tabel 1. Data Curah Hujan dari 11 Stasiun, Zona Agrokhmat (Oldeman, 1975) dan Regim Lengas Tanah*), di Daerah Penelitian No
Name
Alt
Stasiun
rn
Tahun
Jan I Peb 1 Mar 1 Pgr 1 Mei <
1
Jun 1 Jul 1 Agu
I Sep (
Okt
1
1
I
Ncp Des Tahun
BE
BK
Zona
RLT@
+-------------,
Ad Sudpto UGM 3 Tun 4 Pakem 5 Ngemplak 6 Cangkringan 7 Ngaglik 8 Depok 9 Kalasan 10 Mlati 11 Slernan 1
2
') Regh langas tanah pda bebenpa lahan yangdsarlahkan adalah Akuik r) RLT =re@ lengas tanah
(Sumber: T i Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi, 1994; dan Hasil Pengumpulan Data Saat Penelitian)
Ustik Ustik Udik Udik Ustik Udik Udik Ustik Ustik Ustik Ustik
Hasil perhitungan regim Iengas tanah dan regim suhu tanah, menggunakan program Newhall S~rnrrlationMadel (van Wambeke, 1985) disajikan dalam Tabel 1 . DaIam Tabel 1 terlihat bahwa di daerah penelitian, regim lengas tanah berkisar dari ustik hingga udik (pada lahan kering atau lahan yang tidak disawahkan). Beberapa lahan sawah merniliki regim lengas tanah akuik. Suhu udara tahunan rata-rata dari 1 1 stasiun di daerah penelitian adalah 24.7 "C, dan suhu tersebut hampir merata sepanjang tahun dengan selisih bulan terdingin dan terpanas < 5 "C
Jika dianggap suhu tanah di daerah tropika adalah
2 5" C lebih panas dari suhu udara rata-rata, maka regim suhu tanah di daerah penelitian
termasuk isohipertennik. Poligon Thiessen yang menggambarkan pola sebaran lengas tanah S a r a umum berdasarkan data iklim dari berbagai stasiun klimatologi di daerah penelitian disajikan dalam Gambar 3.
Fisiografi dan Bentuk-lahan Fisiografi Daerah Istimewa Yogyakaxta secara u m u m me~pztkandaerah vollcan, angkatan, karst dan aluvial (Tim Pusat PeneIitian Tanah dan Agrokfimat, 1994). Bahanbahan volkan berasal dari gunung Merapi yang me~pt3kanvolkan-strato yang hingga kini masih aktif.
Dari puncak Merapi melereng dengan sangat terjd hingga Kaliurang,
kemudian melandai secara berangsur-angsur hingga ke kota Yogyakarta, dijkuti oleh fisiografi dataran yang relatif datar di daerah BantuI hingga ke pantai selatan. Di daerah penelitian profil diamati pada bentuk-lahan (landform) lereng bawah volkan (lereng 3
-
8%) dan dataran volkan (1 - 3%).
Vegetasi dan Penggunaan Lahan Vegetasi asli di lereng selatan Gunung Merapi, hanya dijumpai pada fereng curam, mulai dari Kaliurang ke atas (ke arah utara). Di daerah penelitian, vegetasi asli tidak lagi
Gambar 3 .
Pola Sebaran Regim Lengas Tanah Berdasarkan Data lklim dari Berbagai Stasiun Klimatologi di Daerah Penelitian
dijumpai. Penggunaan lahan sebagian besar adalah persawahan sedangkan lainnya berupa pekarangan. Pada lahan persawahan, pola tanam yang umum diterapkan petani adalah 1 kali padi, 2 kali padi dan 3 kali padi dalam setahun, tergantung dari ketersediaan air. Pada tanah-tanah yang hanya ditanami padi 1 dan 2 kali, biasanya setelah padi, ditanami dengan tanaman palawija (terutama jagung, kacang tanah atau kedelai) dan kadang-kadang tembakau, di beberapa tempat. Tanaman utama di lahan pekarangan umumnya adalah melinjo, kelapa, nangka, pisang dan salak. Akhir-akhir ini, banyak pekarangan penduduk bahkan beberapa luasan lahan sawah di daerah penelitian, digunakan untuk penanaman salak jenis pondoh, sehubungan dengan keberhasilan daerah Kecamatan Turi (tennasuk dalam d a d penelitian) yang mulai dikenal sebagai daerah Agrowisata Salak Pondoh.
Dames (1955) mengemukakan bahwa tanah abu volkan di daerah penelitian terdiri dari produk volkan segar yang belum atau hanya sedikit melapuk. Abu volkan dalam hal
ini adalah semua bahan lepas volkan seperti debu, pasir, kerikil dan batu.
Diferensiasi
horison belum jelas sehingga mineral dan tekstur tanah merupakan faktor utama pernbagian satuan tanah. Di daerah Yogyakarta berdasarkan titlgkat perkembangatmya dibedakan 2 macam tanah yaitu tanah-tanah sangat muda, belum melapuk dan tanah tua yang agak melapuk. Secara minerdogi, komposisi tanah-tanah abu Merapi muda adalah augit-hipersten. Fraksi pasir dari tanah ini terutama terdiri dari plagioklas intermedier, augit dan gelas bemkuran halus, kemudian hipersten, hornblende, magnetit dan limonit.
Tanah-tanah di daerah peneiitian menurut Dames (1955) semuanya tennasuk tanah muda, dan berdasarkan teksturnya dibedakan atas: (1) muda, kelabu (yAl); (2)
tanah pasir berkerikil andesitik,
tanah pasir andesitik, muda, kelabu (yAZ), dan (3)
lernpung berpasir, muda, kelabu (yA3).
tanah
Tanah pasir berkerikil andesitik (yAl) meliputi bagian selatan lereng volkan pada elevasi di atas 400 m dpl, dan juga terdapat dalam beberapa kompleks yang lebih rendah. Tanah ini terdiri atas iadu s e p i dan lahar yang umumnya sangat berbatu. Karena tanah in] hanya mengandung liat dalam j u d a h sangat kecil, maka tanah ini umumnya berstruktur butir tunggal yang Iepas. Tanah ini sangat permeabel dan kapasitas menahan airnya sangat rendah. Tanah pasir andesitik (yA2) berada pada lereng votkan lebih rendah dan dibedakan dari pasir berkerikil karena rendahnya persentase kerikil, sedangkan bongkahan besar dan batu besar rerdapat hanya setempat-setempat.
Umumnya pada kedalaman yang relatif
dangw, dijumpai padas wklat yang lunak, mengandung besi (ferruginous) dan agak permeabel, disebut padaF kapur atau padas hidup. Tanah lempung berpasir (yA3) terdapat pada lereng bawah volkan dan pada daerah dataran di bawah 100 m dpi dengan topografi berombak hingga hampir datar.
Pada
beberapa tempat yang terlindung dari diran lahar, tanah ini juga ditemukan hingga pada ketinggian 500 m dpl. Permeabilitas tanah baik dan memiliki kapasitas menahan air yang cukup tinggi.
Darea (1989) dalam penelitiannya di daerah Yogyakarta, menyimpulkan bahwa tanah-tanah yang disawahkan pada ketinggian (850, 500, 350 dan 230 m dpl) tennasuk famili Aquic Eutropepts, berpasir, campuran, isohipertemik, sedangkan pada lahan kering (tidak disawahkan) termasuk Typic Eutropepts, berpasir, campuran, isohipertermik. Pada ketinggian 150 m dpl, dijumpai Aquic Eutropepts bertempung halus, campuran, isohipertermik
(sawah)
dan
Typic
Eutropepts,
berlempung
bar,
csmpuran,
isohipertermik (lahan kering). Darea (1989) juga menyimpulkm bahwa tapak bajak hanya diumpai pada tanah-tanah yang disawahkan. Tim Pusat Penelitian Tanah d m Agroidimat (1994) dari beberapa pengamatan di
daerah penelitian im, mengklasifikasikan tanah atas beberapa famili tanah, seperti disajikan dalam Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada t
d
sawah dengan tekstur lempung
berpasir (Dames, 1955) dijumpai fragipan, sedangkan pada sawah dengan tekstur pasir berkerikil (Dames, 1955), dijumpai kontak litik. Ordo tanah yang dijumpai di lahan kering
adalah Inceptisol, Mollisol dan Andisof, sedangkan di lahan sawah adalah Inceptisol dm Molisoll.
Tabel 2.
I
Elevasi
Penggunaan
Famili Tmah
Tanah Pasir Berkertkil Oames, 1955) 410 Sawah (Padi clan Palawija) 530 Lahan kering 700 Lahan kering
Lithic Hapludolls,berpasir, campuran, isohiperermik Typic Hapludands, berabq campuran, isohipertermik Andic Dystropepts, berabu-skeletal,campuran isohipertermik
Tanah Pasir ( D a ~ ~ i e 1955) s, 250 Lahan-kering 350 Lahan kering
Andic Hapludolls, berabu, campuran, isohiper-termik Andic Haplubolls, berm-skeletal, campuran, isohipertermik
Tanoh Lempung Berpasir {Dames, 1955) 300 Lahan kering 300 Sawah: 2x Padi + lx Palawija 112 Sawah: 2x Padi + lx Pdawija
Andic Eutropepts, berabu, campwan, isohipenermik Andic Hapludolls, berabu, camman, isohipertermik Typic Fragiaquepts, berlempung-kasar, campwan, isohiper-
118 240 360
I
Famili Tanah yang Dijumpai di Daerah Penelitian
Sawah: 2x Padi + lx Palawija Lahan kering Lahan kering
I
telmik
m i c Fragiaqueptf,berpasir, campuran, isohipertermik Andic Eutropepts, berabu, campuran, isohipertennik Andic Hapludolls, berabu, campwan, isohipertermik
(Sumber: Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agrokhnat, 1994)
I