II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah
Tanah dapat didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut (Das, 1995).
Tanah adalah kumpulan-kumpulan dari bagian-bagian yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air (Verhoef,1994). Sedangkan menurut Craig (1991) tanah merupakan akumulasi partikel mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan.
Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran (Hendarsin, 2000).
6
Menurut Bowles (1991), tanah adalah
campuran
partikel-partikel yang
terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut : 1. Berangkal (boulders), yaitu potongan batuan yang besar, biasanya lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran ukuran 150 mm sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut sebagai kerakal (cobbles) atau pebbes. 2. Kerikil (gravel), yaitu partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm. 3. Pasir (sand), yaitu batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm. Berkisar dari kasar (3 mm sampai 5 mm) sampai halus (< 1mm). 4. Lanau (silt), yaitu partikel batuan yang berukuran dari 0,002 mm sampai 0,074 mm. 5. Lempung (clay), yaitu partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesif pada tanah yang “kohesif”. 6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil dari 0,001 mm.
B. Klasifikasi Tanah Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda tetapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompokkelompok dan subkelompok-subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk menjelaskan secara
7
singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan yang terinci (Das, 1995).
Klasifikasi tanah berfungsi untuk studi yang lebih terinci mengenai keadaan tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian untuk menentukan sifat teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi, dan sebagainya (Bowles, 1989).
Sistem klasifikasi dimaksudkan untuk menentukan dan mengidentifikasikan tanah dengan cara sistematis guna menentukan kesesuaian terhadap pemakaian tertentu dan juga berguna untuk menyampaikan informasi tentang karakteristik
dan
sifat-sifat
fisik
tanah
serta
mengelompokkannnya
berdasarkan suatu kondisi fisik tertentu dari tanah tersebut dari suatu daerah ke daerah lain dalam bentuk suatu data dasar.
Sistem klasifikasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a.
Klasifikasi Berdasarkan Tekstur dan Ukuran Sistem klasifikasi ini didasarkan pada keadaan permukaan tanah yang bersangkutan, sehingga dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah dalam tanah. Klasifikasi ini sangat sederhana didasarkan pada distribusi ukuran tanah saja. Pada klasifikasi ini tanah dibagi menjadi kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (silt) dan lempung (clay) (Das,1993).
b.
Klasifikasi Berdasarkan Pemakaian Pada sistem klasifikasi ini memperhitungkan sifat plastisitas tanah dan menunjukkan sifat-sifat tanah yang penting. Pada saat ini terdapat dua
8
sistem klasifikasi tanah yang sering dipakai dalam bidang teknik. Kedua sistem klasifikasi itu memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batasbatas Atterberg.
Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah sebagai hasil pengembangan dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Tetapi yang paling umum digunakan adalah:
a. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System/ USCS)
Sistem klasifikasi tanah unified atau Unified Soil Classification System (USCS) diajukan pertama kali oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun 1942 untuk mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya dan selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian American Society for Testing and Materials (ASTM) memakai USCS sebagai metode standar untuk mengklasifikasikan tanah. Menurut sistem ini tanah dikelompokkan dalam tiga kelompok yang masing-masing diuraikan lebih spesifik lagi dengan memberi simbol pada setiap jenis (Hendarsin, 2000), yaitu:
1)
Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos ayakan No. 200 < 50 %.
9
Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini : a) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada saringan No. 4 b) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara ukuran saringan No. 4 dan No. 200
2) Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No. 200 > 50 %. Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C) dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada grafik plastisitas.
3) Tanah Organis Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat sebagai bahan bangunan yang diinginkan.
Tanah khusus dari
kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur dengan tekstur organis yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini adalah partikel-partikel daun, rumput, dahan atau bahan-bahan yang regas lainnya.
10
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Tanah Unified Jenis Tanah
Simbol
Sub Kelompok
Simbol
Kerikil
G
Pasir
S
Gradasi Baik Gradasi Buruk Berlanau Berlempung
W P M C
Lanau Lempung Organik Gambut
M C O Pt
WL<50% WL>50%
L H
Sumber : Bowles, 1989.
Dimana : W = Well Graded (tanah dengan gradasi baik), P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk), L = Low Plasticity (plastisitas rendah, LL<50), H = High Plasticity (plastisitas tinggi, LL> 50).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk mendapatkan klasifikasi yang benar adalah sebagai berikut : a. Persentase butiran yang lolos saringan No. 200. b. Persentase fraksi kasar yang lolos saringan No. 40. c. Batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI).
11
GC
Kerikil berlempung, campuran kerikil-pasir-lempung
SW
Pasir bergradasi-baik , pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Pasir dengan butiran halus
Tanah-tanah dengan kandungan organik sangat tinggi Sumber : Hary Christady, 1996.
SP
Pasir bergradasi-buruk, pasir berkerikil, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
SM
Pasir berlanau, campuran pasirlanau
SC
Pasir berlempung, campuran pasir-lempung
ML
Lanau anorganik, pasir halus sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung
CL
Lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai dengan sedang lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau, lempung “kurus” (lean clays)
OL
Lanau-organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah
MH
Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, lanau yang elastis
CH
Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi, lempung “gemuk” (fat clays)
OH
Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi
PT
Peat (gambut), muck, dan tanahtanah lain dengan kandungan organik tinggi
Klasifikasi berdasarkan prosentase butiran halus ; Kurang dari 5% lolos saringan no.200: GM, GP, SW, SP. Lebih dari 12% lolos saringan no.200 : GM, GC, SM, SC. 5% - 12% lolos saringan No.200 : Batasan klasifikasi yang mempunyai simbol dobel
Kerikil berlanau, campuran kerikil-pasir-lanau
Cu = D60 > 4 D10 Cc =
(D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI < 4 Batas-batas Atterberg di bawah garis A atau PI > 7 Cu = D60 > 6 D10 Cc =
Bila batas Atterberg berada didaerah arsir dari diagram plastisitas, maka dipakai dobel simbol
(D30)2 Antara 1 dan 3 D10 x D60
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW
Batas-batas Bila batas Atterberg di Atterberg berada bawah garis A didaerah arsir atau PI < 4 dari diagram Batas-batas plastisitas, maka Atterberg di dipakai dobel bawah garis A simbol atau PI > 7 Diagram Plastisitas: Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol. 60 Batas Plastis (%)
Kerikil bersih (hanya kerikil)
GM
Pasir bersih (hanya pasir)
GP
Kerikil bergradasi-buruk dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
Kerikil dengan Butiran halus
Kerikil bergradasi-baik dan campuran kerikil-pasir, sedikit atau sama sekali tidak mengandung butiran halus
GW
Lanau dan lempung batas cair ≥ 50% Lanau dan lempung batas cair ≤ 50%
Kerikil 50%≥ fraksi kasar tertahan saringan No. 4 Pasir≥ 50% fraksi kasar lolos saringan No. 4
Tanah berbutir halus 50% atau lebih lolos ayakan No. 200
Tanah berbutir kasar≥ 50% butiran tertahan saringan No. 200
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah USCS
50
CH
40
CL
30
Garis A CL-ML
20 4
ML
0 10
20
30
ML atau OH
40 50
60 70 80
Batas Cair (%) Garis A : PI = 0.73 (LL-20)
Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488
12
b. Sistem klasifikasi AASHTO
Sistem Klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 dan mengalami beberapa kali revisi hingga tahun 1945 dan dipergunakan hingga sekarang, yang diajukan oleh Commite on Classification of Material for Subgrade and Granular Type Road of the Highway Research Board (ASTM Standar No. D-3282, AASHTO model M145). Sistem klasifikasi ini bertujuan untuk menentukan kualitas tanah guna pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (sub-base) dan tanah dasar (subgrade).
Dalam sistem ini tanah dikelompokkan menjadi tujuh kelompok besar yaitu A1 sampai dengan A7. Tanah yang termasuk dalam golongan A-1 , A-2, dan A-3 masuk kedalam tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang masuk dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau lempung. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992). Percobaan yang dibutuhkan untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan batas plastis.
13
Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASTHO Tanah berbutir (35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200 A-2 A-3 A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7
Klasifikasi umum Klasifikasi kelompok Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)
A-1 A-1-a
Maks 50 Maks 30 Maks 15
Min 51 Maks 10
Maks 35
Maks 35
Maks 35
Maks 35
Maks 6
NP
Maks 40 Maks 10
Min 41 Maks 10
Maks 40 Min 11
Min 41 Min 41
Tipe material yang paling dominan
Batu pecah, kerikil dan pasir
Pasir halus
Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung
Penilaian sebagai bahan tanah dasar
Baik sekali sampai baik Tanah berbutir (Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi umum Klasifikasi kelompok NNNNNN Analisis ayakan (% lolos) No.10 No.40 No.200 Sifat fraksi yang lolos ayakan No.40 Batas Cair (LL) Indeks Plastisitas (PI)
Maks 50 Maks 25
A-4
A-5
A-6
A-7
Min 36
Min 36
Min 36
Min 36
Maks 40 Maks 10
Maks 41 Maks 10
Maks 40 Maks 11
Min 41 Min 11
Tipe material yang paling dominan
Tanah berlanau
Penilaian sebagai bahan tanah dasar
Biasa sampai jelek
Tanah Berlempung
Sumber: Das (1995).
Sistem klasifikasi ini didasarkan pada kriteria di bawah ini :
1) Ukuran Butir Kerikil
: bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 75 mm dan tertahan pada saringan diameter 2 mm (No.10).
14
Pasir
: bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 2 mm dan tertahan pada saringan diameter 0,075 mm (No. 200).
Lanau dan lempung
: bagian tanah yang lolos saringan dengan diameter 0,075 (No. 200).
2) Plastisitas Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis sebesar 10 atau kurang. Nama berlempung dipakai bilamana bagian-bagian yang halus dari tanah mempunyai indeks plastis, indeks plastisnya 11 atau lebih.
3) Apabila batuan (ukuran lebih besar dari 75 mm) ditemukan di dalam contoh tanah yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya, maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu. Tetapi, persentase dari batuan yang dikeluarkan tersebut harus dicatat.
Data yang akan didapat dari percobaan laboratorium telah ditabulasikan pada Tabel 3. Kelompok tanah yang paling kiri kualitasnya paling baik, makin ke kanan semakin berkurang kualitasnya.
C. Tanah Lempung
1. Definisi Tanah Lempung
Tanah lempung terdiri dari berbagai golongan tekstur yang agak susah dicirikan secara umum. Sifat fisika tanah lempung umumnya terletak
15
diantara sifat tanah pasir dan liat. Pengolahan tanah tidak terlampau berat, sifat merembeskan airnya sedang dan tidak terlalu melekat.
Tanah lempung merupakan partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi didalam tanah yang kohesif (Bowles, 1991).
Tanah lempung merupakan tanah yang berukuran mikroskopis sampai dengan sub mikroskopis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan, tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Pada kadar air lebih tinggi lempung bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak (Das, 1995). Tanah lempung lunak merupakan tanah kohesif yang terdiri dari tanah yang sebagian terbesar terdiri dari butir-butir yang sangat kecil seperti lempung atau lanau. Pada lapisan tanah lempung lunak, semakin muda umur akumulasinya, semakin tinggi letak muka airnya. Lapisan muda ini juga kurang mengalami pembebanan sehingga sifat mekanisnya buruk dan tidak mampu memikul beban.
Sifat lapisan tanah lempung lunak adalah gaya gesernya yang kecil, kemampatan yang besar, dan koefisien permeabilitas yang kecil. Jadi, bilamana pembebanan konstruksi melampaui daya dukung kritisnya maka dalam jangka waktu yang lama besarnya penurunan akan meningkat yang akhirnya akan mengakibatkan berbagai kesulitan.
16
2. Mineral Lempung
Mineral lempung merupakan pelapukan akibat reaksi kimia yang menghasilkan susunan partikel berukuran koloid dengan diameter butiran lebih kecil dari 0,002 mm. Partikel lempung dapat berbentuk lembaran yang mempunyai permukaan khusus.
Karena itu, tanah lempung
mempunyai sifat sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya permukaan.
Jenis-jenis mineral lempung diantaranya :
a. Kaolinite Kaolinite merupakan anggota kelompok kaolinite serpentin, yaitu hidrus alumino silikat dengan rumus kimia Al2 Si2O5(OH)4. Kekokohan sifat struktur dari partikel kaolinite menyebabkan sifatsifat plastisitas dan daya pengembangan atau menyusut kaolinite menjadi rendah. b. Illite Illite adalah mineral bermika yang sering dikenal sebagi mika tanah dan merupakan mika yang berukuran lempung. Istilah illite dipakai untuk tanah berbutir halus, sedangkan tanah berbutir kasar disebut mika hidrus. Rumus kimia illite adalah KyAl2(Fe2Mg2Mg3)(Si4yAly)O10(OH)2. c. Montmorilonite Mineral ini memilki potensi plastisitas dan mengembang atau menyusut yang tinggi sehingga bersifat plastis pada keadaan basah dan
17
keras pada keadaan kering.
Rumus kimia montmorilonite adalah
Al2Mg(SiO10)(OH)2 xH2O.
3. Sifat Tanah Lempung
Tanah lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus diantaranya daya dukung yang rendah, kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas yang tinggi, kadar air yang relatif tinggi, dan mempunyai gaya geser yang kecil. Kondisi tanah seperti itu akan menimbulkan masalah jika dibangun konstruksi diatasnya. Sifat-sifat
yang dimiliki tanah lempung adalah sebagai berikut
(Hardiyatmo, 1999) : a. Ukuran butir halus, kurang dari 0,002 mm. b. Permeabilitas rendah. c. Kenaikan air kapiler tinggi. d. Bersifat sangat kohesif. e. Kadar kembang susut yang tinggi. f. Proses konsolidasi lambat.
Tanah butiran halus khususnya tanah lempung akan banyak dipengaruhi oleh air. Sifat pengembangan tanah lempung yang dipadatkan akan lebih besar pada lempung yang dipadatkan pada kering optimum dari pada yang dipadatkan pada basah optimum. Lempung yang dipadatkan pada kering optimum relatif kekurangan air oleh karena itu lempung ini mempunyai
18
kecenderungan yang lebih besar untuk meresap air sebagai hasilnya adalah sifat mudah mengembang (Hardiyatmo, 2001).
Sifat yang khas dari tanah lempung adalah dalam keadaan kering, tanah akan bersifat keras, jika tanah dalam keadaan basah akan bersifat lunak plastis dan kohesif, mengembang dan menyusut dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan volume yang besar karena pengaruh air. Tabel 4. Sifat Tanah Lempung (Hary Christady, 2002) Tipe Tanah
Lempung
Sifat
Uji Lapangan
Sangat Lunak
Meleleh diantara jari ketika diperas
Lunak
Dapat diperas dengan mudah
Keras
Dapat diperas dengan tekanan jari yang kuat
Kaku Sangat Kaku
Tidak dapat diremas dengan jari, tapi dapat digencet dengan ibu jari Dapat digencet dengan kuku ibu jari
Faktor-faktor yang mempengaruhi plastisitas dan CBR tanah lempung (clay) adalah sebagai berikut : 1.
Faktor lingkungan Tanah dengan plastisitas tinggi dalam keadaan kadar air rendah atau hisapan yang tinggi akan menarik air lebih kuat dibanding dengan tanah yang sama dengan kadar air yang lebih tinggi. Perubahan kadar air pada zona aktif dekat permukaan tanah, akan menentukan besarnya plastisitas. Pada zona ini terjadi perubahan kadar air dan volume yang lebih besar. Variasi peresapan dan penguapan mempengaruhi perubahan kedalaman zona aktif. Keberadaan fasilitas
19
seperti drainase, irigasi, dan kolam akan memungkinkan tanah memiliki akses terhadap sumber air. Keberadaan air pada fasilitas tersebut akan mempengaruhi perubahan kadar air tanah. Selain itu vegetasi seperti pohon, semak, dan rumput menghisap air tanah dan menyebabkan terjadinya perbedaan kadar air pada daerah dengan vegetasi berbeda. 2.
Karakteristik material Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan sistem tanah dengan air yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan gayagaya di dalam struktur tanah. Gaya tarik yang bekerja pada partikel yang berdekatan yang terdiri dari gaya elektrostatis yang bergantung pada komposisi mineral, serta gaya Van der Walls yang bergantung pada jarak antar permukaan partikel. Partikel lempung pada umumnya berbentuk pelat pipih dengan permukaan bermuatan listrik negatif dan ujung-ujungnya bermuatan positif. Muatan negatif ini diseimbangkan oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat oleh suatu gaya listrik. Sistem gaya internal kimia-listrik ini harus dalam keadaan seimbang antara gaya luar dan hisapan matrik. Apabila susunan kimia air tanah berubah sebagai akibat adanya perubahan komposisi maupun keluar masuknya air tanah, keseimbangan gayagaya dan jarak antar partikel akan membentuk keseimbangan baru. Perubahan jarak antar partikel ini disebut sebagai proses kembang susut.
20
3.
Kondisi tegangan Tanah
yang
terkonsolidasi
berlebih
bersifat
lebih
ekspansif
dibandingkan tanah yang terkonsolidasi normal, untuk angka pori yang sama. Proses pengeringan dan pembasahan yang berulang cenderung mengurangi potensi pengembangan sampai suatu keadaan yang stabil. Besarnya pembebanan akan menyeimbangkan gaya antar partikel Ketebalan
sehingga dan
akan lokasi
mengurangi kedalaman
besarnya lapisan
pengembangan. tanah
ekspansif
mempengaruhi besarnya potensi kembang susut dan yang paling besar terjadi apabila tanah ekspansif yang terdapat pada permukaan sampai dengan kedalaman zona aktif.
D. Stabilisasi Tanah Stabilisasi tanah secara prinsip adalah suatu tidakan atau usaha yang dilakukan guna menaikkan kekuatan tanah, mempertahankan kekuatan gesernya, dan mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan dari tanah sehingga sesuai untuk proyek pembangunan. Stabilisasi dapat dikelompokkan berdasarkan empat jenis klasifikasi utama, yaitu : 1. Fisiomekanikal, contohnya dengan melakukan pemadatan. 2. Granulometrik, contohnya dengan pencampuran tanah berkualitas buruk dan tanah dengan kualitas yang lebih baik. 3. Fisiokimia, contohnya pencampuran tanah dengan semen, kapur, atau aspal.
21
4. Elektrokimia, contohnya dengan menggunakan bahan kimia sebagai zat additive. Beberapa tindakan yang dilakukan untuk menstabilisasikan tanah adalah sebagai berikut : 1. Menambah bahan yang menyebabkan perubahan-perubahan kimiawi atau fisis pada tanah. 2. Mengganti tanah yang buruk 3. Meningkatkan kerapatan tanah. 4. Menurunkan muka air tanah. 5. Menambah material yang tidak aktif sehingga meningkatkan kohesi dan kekuatan geser yang timbul.
Cara yang digunakan untuk menstabilisasi tanah terdiri dari salah satu atau kombinasi dari cara berikut (Bowles, 1989) :
1. Cara mekanis, yaitu pemadatan dengan berbagai jenis peralatan mekanis seperti mesin gilas, benda berat yang dijatuhkan, tekanan statis, dan sebagainya. 2. Dengan bahan pencampur, yaitu penambahan kerikil untuk tanah kohesif, lempung untuk tanah berbutir, dan pencampur kimiawi seperti semen, kapur, abu terbang, dan sebagainya.
22
E. Abu Ampas Tebu
Abu ampas tebu merupakan salah satu materi utama dalam penelitian ini. Abu ampas tebu dihasilkan dari ampas hasil limbah pabrik gula. Ampas tebu (Bagasse) adalah campuran dari serat yang kuat, dengan jaringan parenchyma yang lembut, mempunyai tingkat higroskopis yang tinggi, dan dihasilkan melalui proses penggilingan tebu (Kian dan Suseno, 2002).
Pada penggilingan tebu, terdapat 5 kali proses penggilingan dari batang tebu sampai menjadi ampas tebu, pada penggilingan pertama dan kedua dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan, kemudian proses penggilingan ketiga, keempat dan kelima menghasilkan nira dengan volume yang berbedabeda. Setelah gilingan terakhir, dihasilkan ampas tebu kering.
Pada proses penggilingan awal yaitu tahap penggilingan pertama dan kedua dihasilkan ampas tebu basah. Hasil dari ampas tebu gilingan kedua diberi tambahan susu kapur 3Be yang berfungsi sebagai senyawa yang menyerap nira dari serat ampas tebu sehingga pada penggilingan ketiga, nira masih dapat diserap meskipun volumenya lebih sedikit dari hasil gilingan kedua. Penambahan pada penggilingan ketiga, keempat dan kelima dilakukan dengan volume yang berbeda-beda. Semakin sedikit nira dalam ampas tebu, maka akan semakin banyak susu kapur 3Be yang ditambahkan. Proses penggilingan tebu dapat dilihat pada gambar 1.
23
Penggilingan I
Penggilingan III
Penggilingan II
Ampas Gilingan I
Ampas Gilingan II
Penggilingan V
Penggilingan IV
Ampas Gilingan III
Ampas Gilingan IV
Ampas Gilingan V
Tebu
Susu Kapur 3Be
Susu Kapur 3Be
Susu Kapur 3Be
Gambar 1. Proses Penggilingan Tebu
Abu ampas tebu (Bagasse Ash) adalah produk buangan yang dihasilkan dalam jumlah besar dari pembakaran ampas tebu (Bagasse) yang terdiri dari garamgaram inorganik. Tabel 5. Komposisi dari Mineral Abu Ampas Tebu Mineral
Komposisi (%)
Silica (SiO2)
71
Alumina (Al2O3)
1,3
Ferri Trioksida (Fe2O3)
7,8
Calsium Oksida (CaO)
3,4
Magnesium Oksida (MgO)
0,3
Kalsium Oksida (KaO)
8,2
Potasium Penta Oksida (P2O5)
3
Mangan (MnO)
0,2
Sumber : (Dubey dan Varma Sugar By-Products & Subsidiary Industries dalam Kian dan Suseno, 2002).
24
Dari hasil pengujian yang dilakukan di laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas MIPA Unila tahun 2005, kandungan SiO2 yang terkandung pada bagasse ash mencapai 44,87 % dan Fe2O3 sebesar 1,39 %. Pengujian yang dilakukan, menunjukkan bahwa senyawa SiO2 pada bagasse ash dapat bereaksi pada larutan basa kuat (NaOH) dan larutan asam pekat (HNO3) 10% yang ditunjukan dengan terdapatnya gelembung, timbulnya asap dan terjadinya penggumpalan. Kondisi ini menguatakan hipotesis bahwa bagasse ash memiliki sifat pozzolanik yaitu sifat dengan bertambahnya waktu, abu ampas tebu tersebut apabila bereaksi dengan alumina (Al2O3) dan CaO yang ada dilempung, maka tanah tersebut akan menjadi bertambah keras.
F. Abu Sekam Padi Sekam padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil penggilingan padi sekitar 20% dari bobot padi adalah sekam padi. Selama ini sekam padi hanya digunakan sebagai pupuk, pakan ternak, bahan bakar untuk pembakaran bata merah, pembakaran untuk memasak atau dibuang begitu saja. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30%, dedak antara 8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah. Sekam dengan prosentase yang tinggi tersebut dapat menimbulkan problem lingkungan.
25
Tabel 6. Komposisi Kimiawi Sekam Padi Komponen
Persentase Kandungan (%)
A. Menurut Suharno (1979)
B.
1. Kadar air
9,02
2. Protein kasar
3,03
3. Lemak
1,18
4. Serat Kasar
35,68
5. Abu
17,71
6. Karbohidrat Kasar
33,71
Menurut DTC-IPB 1. Karbon ( Zat Arang )
1,33
2. Hidrogen
1,54
3. Oksigen
33,64
4. Silika
16,98
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006.
Sekam padi dengan komposisi kandungan kimia seperti pada Tabel 5 dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di antaranya sebagai bahan baku pada industri kimia, terutama kandungan zat kimia furfural yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri kimia; sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan, terutama kandungan silika (SiO2) yang dapat digunakan untuk campuran pada pembuatan semen portland, bahan isolasi, husk-board dan campuran pada industri bata merah; sebagai sumber energi panas pada berbagai keperluan manusia, kadar selulosa yang cukup tinggi dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil.
Sekam yang dibakar mempunyai sifat pozzolan yang mengandung unsur silikat yang tinggi, rata-rata SiO2 91,72%. Abu sekam padi sangat kaya akan silica (Si) yang dalam oksidanya dikenal dengan silica dioxide. Sekam padi yang dibakar akan menghasilkan kandungan silica mencapai >90%. Dari
26
penelitian yang telah dilakukan, didapat kesimpulan akhir bahwa abu sekam padi ini sangat potensial digunakan dalam bidang geoteknik terutama untuk perbaikan tanah.
Tabel 7. Komposisi dari Mineral Abu Sekam Padi Mineral
Komposisi (%)
Silika Diokside (SiO2)
84,16
Aluminium Oxide (Al2O3)
4,57
Iron Oxide (Fe2O3)
0,37
Calcium Oxide (CaO)
3,99
Magnesium Oxide (MgO)
3,53
Carbon Dioxide (CO2)
0,51
Loss on Ignition (lain-lain)
3,8
Sumber : (Lazaro dan Moh dalam Terisna, 2002).
G. Semen
Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku : batu kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air. Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung senyawa Calcium Oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat adalah bahan alam yang mengandung senyawa : Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3 ) dan Magnesium Oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar sampai meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya, yang kemudian dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah yang sesuai. Hasil akhir
27
dari proses produksi dikemas dalam kantong/zak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50 kg.
Jenis-jenis semen menurut BPS adalah : 1. Semen abu atau semen portland adalah bubuk/bulk berwarna abu kebirubiruan, dibentuk dari bahan utama batu kapur/gamping berkadar kalsium tinggi yang diolah dalam tanur yang bersuhu dan bertekanan tinggi. Semen ini biasa digunakan sebagai perekat untuk memplester. Semen ini berdasarkan prosentase kandungan penyusunannya terdiri dari 5 (lima) tipe, yaitu tipe I sd. V. 2. Semen putih (gray cement) adalah semen yang lebih murni dari semen abu dan digunakan untuk pekerjaan penyelesaian (finishing), seperti sebagai filler atau pengisi. Semen jenis ini dibuat dari bahan utama kalsit (calcite) limestone murni. 3. Oil well cement atau semen sumur minyak adalah semen khusus yang digunakan dalam proses pengeboran minyak bumi atau gas alam, baik di darat maupun di lepas pantai. 4. Mixed & fly ash cement adalah campuran semen abu dengan Pozzolan buatan (fly ash). Pozzolan buatan (fly ash) merupakan hasil sampingan dari pembakaran batubara yang mengandung amorphous silika, aluminium oksida, besi oksida dan oksida lainnya dalam berbagai variasi jumlah. Semen ini digunakan sebagai campuran untuk membuat beton, sehingga menjadi lebih keras.
28
Semakin baik mutu semen maka semakin lama mengeras atau membatunya jika dicampur dengan air.
Konsentrasi semen dalam campuran sangat
mempengaruhi kekuatan campuran. Kekuatan campuran soil cement dapat diketahui dengan melakukan tes CBR (California Bearing Ratio). Pengaruh konsentrasi semen terhadap kekuatan yaitu semakin besar jumlah kadar semen dalam campuran maka semakin tinggi pula nilai kekuatannya, dan hal tersebut dipengaruhi juga oleh tanah yang digunakan (Nuraini, 2002).
H. Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah adalah suatu proses memadatnya partikel tanah sehingga terjadi pengurangan volume udara dan volume air dengan memakai cara mekanis. Kepadatan tanah tergantung pada nilai kadar air, jika kadar air tanah sedikit maka tanah akan keras begitu pula sebaliknya, bila kadar air banyak maka tanah akan menjadi lunak atau cair. Pemadatan yang dilakukan pada saat kadar air lebih tinggi daripada kadar air optimumnya akan memberikan pengaruh terhadap sifat tanah.
Tujuan pemadatan yang paling utama adalah untuk memadatkan tanah yang memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan spesifikasi pekerjaan tertentu. Energi pemadatan dilapangan dapat diperoleh dari alat-alat berat, pemadat getaran, mesin gilas dan dari benda-benda berat yang dijatuhkan. Di laboratorium untuk mendapatkan pemadatan dilakukan dengan gaya tumbukan (dinamik), alat penekan, alat tekan statik yang memakai piston dan mesin tekan.
29
Pemadatan berfungsi untuk meningkatkan kekuatan tanah, sehingga akan meningkatkan daya dukung pondasi diatasnya, mengurangi besarnya penurunan tanah (settlement) dan meningkatkan kemantapan lereng timbunan (Das, 1995). Pemadatan merupakan usaha untuk mempertinggi kerapatan tanah dengan pemakaian energi mekanis untuk menghasilkan pemampatan partikel (Bowles, 1989).
Menurut Bowles (1989), ada beberapa keuntungan pemadatan: 1. Berkurangnya penurunan permukaan tanah (subsidence) yaitu gaya vertikal pada massa tanah akibat berkurangnya angka pori. 2. Bertambahnya kekuatan tanah. 3. Berkurangnya penyusutan, berkurangnya volume akibat berkurangnya kadar air dari nilai patokan pada saat pengeringan. Kerugian utamanya adalah terjadinya pemuaian (bertambahnya kadar air dari nilai patokannya) dan kemungkinan pembekuan tanah itu akan membesar.
Salah satu parameter hasil uji pemadatan tanah ditunjukkan oleh suatu nilai yang disebut dengan nilai CBR.
CBR (California Bearing Ratio) adalah
perbandingan antara beban yang dibutuhkan untuk penetrasi tanah contoh sebesar 0,1” atau 0,2”. Jadi harga CBR adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban lalu lintas (Sukirman, 1992). Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), berdasarkan cara mendapatkan contoh tanah, CBR dapat dibagi atas :
30
1.
CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR). CBR lapangan memiliki kegunaan sebagai berikut: a. Untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi tanah pada saat itu. CBR lapangan umumnya digunakan untuk perencanaan tebal lapis perkerasan yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi. Pemeriksaan dilakukan dalam kondisi kadar air tanah tinggi (musim penghujan) atau dalam kondisi terburuk yang mungkin terjadi. b. Untuk mengontrol apakah kepadatan yang diperoleh sehingga sesuai dengan yang diinginkan.
Pemeriksaan seperti ini umumnya tidak
digunakan, dan lebih sering menggunakan pemeriksaan yang lain seperti sand cone, dan lain sebagainya. Pemeriksaan CBR lapangan dilakukan dengan meletakkan piston pada kedalaman dimana nilai CBR akan ditentukan lalu dipenetrasi dengan menggunakan beban yang dilimpahkan melalui gandar truk.
2.
CBR lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR). CBR lapangan rendaman berfungsi untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan pada keadaan tanah jenuh air, dan tanah mengalami pengembangan (swelling) maksimum.
Pemeriksaan ini dilaksanakan
pada musim kemarau dan kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air. Metode ini biasanya digunakan untuk menentukan daya dukung tanah di daerah yang lapisan tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan
31
lagi, terletak di daerah yang badan jalannya sering terendam air pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Pemeriksaan CBR lapangan rendaman dilakukan dengan mengambil contoh tanah dalam tabung (mold) yang ditekan masuk ke dalam tanah mencapai kedalaman tanah yang diinginkan. Mold berisi contoh tanah yang dikeluarkan dan direndam dalam air selama beberapa hari sambil diukur pengembangannya (swelling).
Setelah pengembangan tidak
terjadi lagi maka dilaksanakan pemeriksaan CBR.
3.
CBR Rencana Titik (CBR laboratorium atau design CBR) Tanah dasar (subgrade) yang diperiksa merupakan tanah dasar jalan raya baru yang berasal dari tanah asli, tanah timbunan atau tanah galian yang dipadatkan sampai mencapai 95% (kepadatan maksimum).
Dengan
demikian daya dukung tanah dasar merupakan kemampuan lapisan tanah yang memikul beban setelah tanah itu dipadatkan. Pemeriksaan CBR laboratorium dilaksanakan dengan dua macam metode yaitu CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR) dan CBR laboratorium tanpa rendaman (unsoaked design CBR) (Sukirman, 1992). Hal yang membedakan pada dua macam metode tersebut adalah contoh tanah atau benda uji sebelum dilakukan pemeriksaan CBR. Uji CBR metode rendaman adalah untuk mengasumsikan keadaan hujan atau saat kondisi terjelek di lapangan yang akan memberikan pengaruh penambahan air pada tanah yang telah berkurang airnya,
32
sehingga
akan
mengakibatkan
pengembangan
(swelling)
dan
penurunan kuat dukung tanah (Wikoyah, 2006) Pada metode CBR rendaman, contoh tanah di dalam cetakan direndam dalam air sehingga air dapat meresap dari atas maupun dari bawah dan permukaan air selama perendaman harus tetap kemudian benda uji yang direndam telah siap untuk diperiksa. Pengujian kekuatan CBR dilakukan dengan alat yang mempunyai piston dengan luas 3 sqinch dengan kecepatan gerak vertikal ke bawah 0,05 inch/menit, proving ring digunakan untuk mengukur beban yang dibutuhkan pada penetrasi tertentu yang diukur dengan arloji pengukur (dial). Penentuan nilai CBR yang biasa digunakan untuk menghitung kekuatan pondasi jalan adalah penetrasi 0,1” dan penetrasi 0,2” dengan rumus sebagai berikut: Nilai CBR pada penetrasi 0,1” =
A x 100% 3000
Nilai CBR pada penetrasi 0,2” =
B x 100% 4500
Dimana : A = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,1” B = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,2” Nilai CBR yang didapat adalah nilai yang terkecil diantara hasil perhitungan kedua nilai CBR. Berikut ini adalah tabel beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi bahan standar:
33
Tabel 8. Beban Penetrasi Bahan Standar Penetrasi
Beban Standar (lbs)
Beban Standar (lbs/inch)
0,1
3000
1000
0,2
4500
1500
0,3
5700
1900
0,4
6900
2300
0,5
7800
6000
(inch)
I. Batas-Batas Konsistensi Batas-batas konsistensi atau disebut juga batas-batas Atterberg (yang diambil dari nama peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun 1911) adalah batas kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah.
Pada setiap kondisi kadar air yang terkandung dalam tanah berbeda-beda dan bergantung pada interaksi antara partikel mineral lempung, bila kandungan air berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang pula yang mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikel-partikel. Sedangkan jika kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air akan menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, berdasarkan kadar air yang dikandung tanah, tanah dapat dibedakan ke dalam empat (4) keadaan dasar, yaitu : padat (solid), semi padat (semi solid), plastis (plastic), dan cair (liquid), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
34
Kering
Padat
Makin
Semi Padat
Basah
Plastis
Cair
Cakupan Plasticity Index (PI) PI LL - PL
Batas Susut (Shrinkage Limit)
Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas Cair (Liquid Limit)
Gambar 2. Batas Konsistensi Tanah
Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain: 1.
Batas cair (Liquid Limit) Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.
2.
Batas plastis (Plastic Limit) Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan semi plastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3 mm mulai retak-retak ketika digulung.
3.
Batas susut (Shrinkage Limit) Batas susut (SL) adalah kadar air yang didefinisikan pada derajat kejenuhan 100%, dimana untuk nilai-nilai dibawahnya tidak akan terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan terus. Harus diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah mengalami perubahan volume.
35
4.
Indeks plastisitas (Plasticity Index) Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis. Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat plastis.
5.
Berat spesifik (Specific Gravity) Berat jenis tanah (Gs) adalah perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperature tº C. 𝐺𝑠 =
𝛾𝑠 𝛾𝑤
J. Tinjauan Penelitian Terdahulu
1.
Penelitian yang dilakukan oleh Zulya Safitri pada tahun 2012 adalah mengenai “Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu (Bagasse Ash) Sebagai bahan Stabilisator Pada Tanah Lempung Lunak” mengatakan bahwa penggunaan bahan campuran abu ampas tebu sebagai bahan stabilisasi mampu meningkatkan daya dukungnya, dengan prosentase campuran yang digunakan yaitu 5%, 10% dan 15%. Hasil pengujian untuk CBR tanpa rendaman dengan waktu pemeraman selama 7 hari mengalami peningkatan sebesar 9.2 %, 10.7 % dan 12.6 % dari CBR tanah asli. Sedangkan nilai CBR rendaman dengan waktu perendaman selama 4 hari mengalami peningkatan, yaitu sebesar 5.4 %, 6.7% dan 8%, sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah stabilisasi yang dapat digunakan sebagai subgrade pada konstruksi jalan yaitu campuran abu ampas tebu dengan kadar 10% dan 15%, karena nilai CBR nya ≥ 6 %.
36
2.
Stabilisasi Tanah dengan Abu Ampas Tebu dan Semen pada tanah lempung lunak yang dilakukan oleh Eka Fitrian Sari, 2012 dengan judul penelitian “Pemanfaatan Abu Ampas Tebu pada Stabilisasi Tanah Lempung Lunak dengan Menggunakan Semen”. Hasil pengujian dengan bahan campuran abu ampas tebu dan semen dengan waktu pemeraman 7 hari dan rendaman 4 hari mampu meningkatkan nilai CBR terhadap nilai CBR tanah asli dengan prosentase campuran yang digunakan yaitu 6%, 9% dan 12% dengan perbandingan abu ampas tebu dan semen yaitu 1:2. Hasil pengujian untuk CBR unsoaked dengan waktu pemeraman selama 7 hari mengalami peningkatan sebesar 9.4 %, 11.3 %, dan 14.2 % dari CBR tanah asli. Sedangkan hasil pengujian untuk CBR soaked dengan waktu perendaman selama 4 hari juga mengalami peningkatan, yaitu sebesar 5.3%, 7.8%, dan 10%. Melihat hasil pengujian CBR tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah yang telah distabilisasi dengan campuran abu ampas tebu dan semen dengan kadar campuran 6% ( AAT 4% + PC 2%), 9% ( AAT 6% + PC 3%), 12% ( AAT 8% + PC 4%) dapat digunakan sebagai subgrade pada konstruksi jalan, karena nilai CBRnya ≥ 6 %.