BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bedah Mayor 1. Pengertian Bedah mayor adalah istilah yang di pakai untuk tindakan operasi besar yang biasanya dikerjakan dengan anastesi umum/general anastesi (Mansjoer, 2000). Bedah mayor adalah tindakan bedah yang dilakukan dalam rangka tindakan pengobatan terhadap adanya kelainan-kelainan pada organ tubuh (Nuraini, 2006). 2. Indikasi bedah mayor Bedah mayor diindikasikan untuk : a. Prosedur diagnostik seperti ketika dilakukan biopsi atau laparatomi eksploratif. b. Kuratif seperti untuk mengeksisi masa tumor atau mengangkat appendik yang mengalami inflamasi. c. Reparatif seperti untuk memperbaiki luka multiple. d. Rekonstruksi seperti ketika melakukan mamoplasti atau perbaikan wajah. e. Paliatif seperti pemasangan selang nasogastrik untuk mengkompensasi ketidak mampuan menelan. (Brunner & Suddart, 2002)
3. Prinsip-prinsip pembedahan a. Tiap tindakan pembedahan harus didasarkan atas indikasi yang tepat. b. Perlu dipilih tindakan yang paling aman bagi klien yang akan dioperasi. c. Tindakan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin tidak timbul komplikasi pada klien. (Nuraini, 2006) 4. Syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam pembedahan a. Persiapan pra bedah yang baik. b. Asepsis dan antisepsis yang baik. c. Analgetik yang baik. d. Prosedur yang baik. e. Evaluasi dan penatalaksanaan post bedah yang baik. (Nuraini, 2006)
B. Nyeri Post Bedah 1. Pengertian Menurut Melzak dan Wall (1965) yang dikutip dari Brunnert dan Suddart, nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Sedangkan menurut ISPA (International Association of the Study of Pain), nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak atau tergambarkan seperti itu. Nyeri adalah suatu mekanisme protektif
bagi tubuh yang timbul bilamana jaringan sedang di rusak dan ia menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri tersebut (Guyton, 1995). Nyeri post bedah adalah nyeri akut yang berhubungan dengan kerusakan jaringan (Nuraini, 2005). Pengertian yang lain menyebutkan bahwa nyeri post bedah merupakan nyeri akut yang berlangsung kurang dari 6 bulan dengan serangan yang muncul mendadak dengan sebab dan daerah nyerinya yang dapat diketahui ( Brunner & Suddart, 2002 ). Nyeri post bedah merupakan nyeri menetap selagi luka dalam masa penyembuhan yang ditandai dengan nyeri yang berlebihan bila daerah luka tersebut terkena rangsangan yang biasanya hanya sebabkan nyeri ringan (Ganong, 2003 ).
2. Bentuk nyeri post bedah Bentuk nyeri pada post bedah merupakan nyeri akut yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena adanya insisi pada saat pembedahan yang memiliki karakteristik nyeri sbb: a. Awitannya mendadak. b. Intensitas ringan sampai berat. c. Durasinya singkat ( dari beberapa detik sampai 6 bulan ). d. Meningkatkan respon otonum seperti: konsisten dengan stress simpatis, frekuensi jantung meningkat, volume sekuncup meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi pupil meningkat, tegangan otot meningkat, motilitas gastrointestinal dan prodoksi saliva menurun.
e. Komponen psikologis yang berperan adalah ansietas. f. Berhubungan dengan kerusakan jaringan. ( Brunner & Suddart, 2002, Kozier, Glenora, Berman, Snyder, 2004 ). 3. Mekanisme nyeri post bedah Menurut Melzak dan Wall (1965), mekanisme nyeri berawal dari reseptor nyeri (nosiseptor). Reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang hanya berespon pada stimulus yang kuat yang secara potensial merusak jaringan (Brunner & Suddart, 2002). Antara kerusakan jaringan (sumber rangsang nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi terdapat suatu proses elektrofisiologis yang disebut nociceptive. Terdapat 4 proses yang terjadin pada nociceptive: a. Proses Transduksi, merupakan proses pengubahan rangsangan nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung syaraf. Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, tekanan, suhu dan kimia. b. Proses Transmisi, merupakan penyaluran hasil isyarat listrik yang terjadi pada proses transduksi melalui syaraf A delta bermielin dari perifer ke medula spinalis, kemudian isyarat nyeri tersebut melalui medulasi sebelum diteruskan ke thalamus melalui traktus spinotalamikus yang selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di kortek serebri dimana isyarat tersebut diterjemahkan c. Proses Modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgetik endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang masuk di medulla spinalis. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
d. menjadi sangat subyektif bagi setiap individu dan sangat ditentukan oleh makna atau arti dari asupan nyeri. e. Proses Persepsi, merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang diterjemahkan oleh daerah somatosensorik kortek serebri yang menghasilkan suatu perasaan subyektif sebagai persepsi nyeri (Sylvia & Lorraine, 2006). Pada nyeri post bedah rangsangan nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanik yaitu luka (insisi) dimana insisi ini akan merangsang mediatormediator kimia dari nyeri seperti histamin, bradikinin, asetilkolin dan subtansi prostaglandin dimana zat-zat ini diduga dapat meningkatkan sensitifitas reseptor nyeri yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Selain zat yang mampu merangsang kepekaan nyeri, tubuh juga memiliki zat yang mampu menghambat (inhibitor) nyeri yaitu endorfin dan enkefalin yang mampu meredakan nyeri (Brunner & Suddart, 2002). 4. Teori nyeri Telah
diajukan
sejumlah
teori
untuk
menjelaskan
mekanisme
neurologik yang mendasari sensasi nyeri termasuk dua teori yang terbaru yaitu: a. Theory Kontrol Gerbang Melzack dan Wall (1965) menciptakan teori pengendalian gerbang. Teori ini berusaha menjelaskan variasi persepsi nyeri terhadap stimulus yang identik
dengan
menggambarkan
menggunakan gagasan
suatu
mereka.
model
Teori
skematik
pengendalian
untuk gerbang
menjelaskan mengapa aktivitas penggosokan, pemijatan, TENS, dan
teknik relaksasi napas dalam dapat menghilangkan nyeri karena karena aktivitas-aktivitas di serat besar dirangsang oleh tindakan ini, sehingga gebang untuk aktifitas serat berdiameter kecil (nyeri) tertutup. Prinsip dasar pada teori kontrol gerbang adalah sbb: (price & Wilson, 2006) 1). Baik serat sensorik bermielin besar (L) yang membawa informasi mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer (A-a dan A-b) maupun serat kecil (S) yang membawa informasi mengenai nyeri (serat A-a dan C) menyatu di korno dorsalis medulla spinalis. 2). Transmisi impuls saraf dari serat-serat aferen ke sel-sel transmisi (T) medula spinalis di korno dorsalis dimodifikasi oleh suatu mekanisme gerbang di sel-sel subtansi gelatinosa. Apabila gerbang tertutup, impuls nyeri tidak dapat dirasakan. Apabila gerbang terbuka atau sedikit terbuka, impuls nyeri akan merangsang sel T di kornu dorsalis dan kemudian naik melalui medula spinalis ke otak, tempat impuls tersebut dirasakan sebagai nyeri. 3). Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh jumlah relatif aktifitas di serat aferen primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil (S). Aktivitas di serat besar cenderung menghambat transmisi nyeri (menutup gerbang), sedangkan aktivitas di serat kecil cenderung mempermudah transmisi nyeri (membuka gerbang). Serat berdiameter besar merangsang neuron-neuron substansi gelatinosa inhibitorik sehingga input ke sel T berkurang sehingga nyeri dihambat. Sebaliknya, serat berdiameter kecil menghambat substansi gelatinosa
inhibitorik sehingga terjadi peningkatan transmisi nyeri dari aferen primer ke sel T dan karenanya meningkatkan intensitas nyeri. Inhibisi dan fasilitasi diperkirakan dilakukan oleh mekanisme prasinaps dan pascasinaps. 4). Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf yang turun dari otak. Aspek mekanisme ini didasarkan oleh banyaknya faktor psikologis yang diketahui mempengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa kornu dorsalis medula spinalis dipengaruhi oleh beberapa jalur yang turun dari otak. Berbagai sistem modulasi-nyeri desendens yang melibatkan nukleus-nukleus batang otak dan neuron serotonergik dan noradrenali nyang berproyeksi ke substansi gelatinosa di kornu dorsalis 5). Apabila keluaran dari sel T medula spinalis melebihi suata ambang kritis, terjadi pengaktivan “sistem aksi” untuk perasaan dan respon nyeri. Apabila pengaktivan ini terjadi, input sensorik akan disaring dan aktivitas sensorik dan afektif yang berkelanjutan terjadi ditingkat SSP; sebagai contoh, terjadi interaksi antara sistem pengendalian gerbang dan sistem aksi atau otak menganalisi dan bekerja berdasarkan input sensorik yang diterimanya. b. Theory Endorfin-Enkefalin Pada tahun 1975, Hughes dan rekan-rekannya menemukan enkefalin yang merupakan zat opioid endogen yang bersifat mirip morfin dan berkaitan dengan reseptor opioid. Sampai saat ini terdapat 3 golongan
utama peptida opioid endogen yaitu: golongan enkifalin, betaendorfin, dan dimorfin. Enkifalin ditemukan di hipotalamus, sistem limbik, PAG, RVM (yang banyak mengandung neuron serotonergik), dan korno dorsalis medula spinalis. Diluar SSP enkefalin juga ditemukan di saluran gastro intestinal dan kelenjar adrenal. Dipercaya bahwa enkifalin mungkin menghambat pelepasan zat p di kornu dorsalis medula spinalis. Beta-endorfin adalah
suatu pragmen peptida yang berasal dari
proopiomelanokortin (POMC) di kelenjar hipofisis yang memiliki efek analgetik. Beta-endorfin terdapat dalam jumlah signifikan di hipotalamus dan PAG serta sedikit di medula spinalis. Dimorfin merupakan endorfin yang paling akhir ditemukan yang memiliki efek analgetik yang paling kuat. Dimorfin berasal dari pro-dimorfin yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior. Semua opioid endogen ini bekerja dengan mengikat reseptor opioid, dengan efek analgetik serupa dengan yang ditemukan oleh opioid eksogen. Dengan demikian reseptor opioid dan opioid endogen membentuk suatu “sistem penekan nyeri” intrinsik. Bukti eksperimental
mengisyaratkan
bahwa
tindakan-tindakan
untuk
mengurangi nyeri seperti plasebo, akupungtur, TENS dan teknik relaksasi napas dalam mungkin bekerja karena tindakan-tindakan tersebut merangsang pelepasan opioid endogen (Price & Wilson, 2005).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah sbb: a. Ambang nyeri Intensitas rangsangan terkecil yang akan menimbulkan sensasi nyeri bila rangsangan tersebut digunakan untuk waktu yang lama disebut dengan ambang nyeri (Guyton, 1995), karena hal inilah maka tidak semua orang yang terpajang terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Bisa saja suatu sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain, hal ini disebabkan karena masing-masing orang memiliki ambang nyeri yang berbeda ( Brunner & Suddart, 2005 ). b. Toleransi nyeri Toleransi nyeri mengacu pada lama atau intensitas nyeri yang masih dapat ditahan oleh pasien sampai secara ekplisit pasien tersebut mengaku dan mencari pengobatan. Berbeda dengan ambang nyeri, toleransi nyeri lebih besar kemungkinannya bervariasi antar individu. Faktor-faktor yang menurunkan toleransi nyeri adalah pajanan nyeri yang berulang, kelelahan, kurang tidur, rasa cemas dan ketakutan. Sedangkan yang meningkatkan toleransi nyeri adalah keadaan hangat atau dingin, adanya pengalihan, konsentrasi alcohol, hypnosis dan keberagamaan (Price & Wilson, 2005)
c. Arti nyeri Nyeri mempunyai arti yang berbeda bagi orang, berbeda untuk orang yang sama pada waktu yang berbeda. Pada umumnya orang memandang nyeri sebagai pengalaman negatif. d. Persepsi terhadap nyeri Sistem yang terlibat dalam persepsi nyeri disebut sistem nosiseptif yang terletak pada kortek cerebri. Sensitifitas dari sistem nosiseptor di pengaruhi oleh berbagai faktor dan berbeda diantara individu oleh karena itulah tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. e. Pengalaman masa lalu Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang hidupnya. Orang yang mempunyai pengalaman yang multipel dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibandingkan orang yang hanya mengalami sedikit nyeri, namun bagi sebagian orang hal ini tidak selalu benar. f. Sosial budaya Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri, namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri ( Zatzik & Dimsdale, 1990 ). Sejak dini pada masa kanak-kanak individu belajar dari sekitar mereka tentang respon nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau
tidak diterima, misalnya budaya pasien mungkin saja menerima orang untuk menangis ketika merasa nyeri dan menggunakan kata-kata sifat seperti “ tidak tertahankan” dalam menggambarkan istilah nyeri. Namun pada budaya lain bisa bertingkah secara berbeda seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri dengan suara keras. g. Usia Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis yang berkaitan dengan beberapa penyakit, tetapi pada lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah. Lansia juga cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama. h. Efek plasebo Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-banar bekerja. Efek flasebo ditimbulkan oleh endorfin yang mampu menurunkan intensitas nyeri.
6. Tingkat nyeri Rentang intensitas nyeri dapat di tentukan dengan 4 cara yaitu dengan menggunakan skala intensitas nyeri baik yang berupa skala intensitas nyeri diskriptif sederhana, skala intensitas nyeri numerik 0 sampai dengan 10, dengan skala analog visual dan dengan menggunakan
kuesioner McGill. Penggunaan skala intensitas nyeri ini didasarkan pada pertimbangan bahwa individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya individu diminta untuk memverbalkan atau menunjukkan tingkat nyerinya. Berdasarkan kuesioner McGill nyeri dibagi menjadi lima (5) tingkatan, yaitu: a. Nilai 0
: tidak nyeri
b. Nilai 1
: nyeri ringan
c. Nilai 2
: tidak nyaman
d. Nilai 3
: menderita
e. Nilai 4
: sangat menderita
f. Nilai 5
: menyiksa
(Kozier, Glenora, Berman, Snyder, 2004)
7. Stategi penatalaksanaan nyeri Menghilangkan nyeri merupakan tujuan dari penatalaksanaan nyeri yang dapat dicapai dengan dua (2) pendekatan yaitu: pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan klien secara individu. a. Pendekatan farmakologis Pendekatan
farmakologi merupakan
suatu pendekatan
yang
digunakan untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan obat-obatan. Obat merupakan bentuk pengendalian nyeri yang paling sering diberikan
yang diberikan oleh perawat dengan berkolaborasi dengan dokter. Terdapat 4 kelompok obat nyeri yaitu: 1). Analgetik Nonopioid (Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAISN) Efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai dengan sedang terutama asetaminofen (Tylenol) dan OAISN dengan efek anti peritik, analgetik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat (Aspirin) dan ibuprofin (Morfin, Advil) merupakan OIANS yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan. OAINS menghasilkan analgetik dengan bekerja ditempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekorsor asam arakidonat. Prostaglandin mensintesis nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan prodok inflamatorik lain ditempat cedera, misalnya bradikinibin dan histamin untuk menimbulkan hiperanalgetik. Dengan demikian OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintisis prostaglandin. 2). Analgetik Opioid Merupakan analgeti yang kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri dengan skala sedang sampai dengan berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin merupakan salah satu jenis obat ini yang digunakan untuk mengobati nyeri berat. Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek analgetiknya di sentral. Morfin menimbulkan efek dengan mengikat
reseptor opioid di nukleus modulasi nyeri di batang otak yang menghambat nyeri pada sistem assenden. 3). Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid Merupakan obat yang melawan obat opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalakson merupakan salah satu contoh obat jenis ini yang efektif jika diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dibandingkan dengan opioid murni. 4). Adjuvan atau Koanalgetik Merupakan
obat
komplementer
yang
dalam
memiliki
efek
penatalaksanaan
analgetik nyeri
atau
yang
efek
semula
dikembangkan untuk kepentingan lain. Contoh obat ini adalah Karbamazopin (Tegretol) atau Fenitoin (Dilantin) (Price & Wilson, 2006).
b. Penatalaksanaan non farmakologis Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu banyak aktifitas keperawatan non farmakologi yang dapat
membantu
dalam
menghilangkan
nyeri.
Bentuk-bentuk
penatalaksanaan non farmakologi menurut brunnert dan suddart (2002) meliputi:
1). Stimulasi dan Massage Kutaneus Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada pinggang dan bahu. Massage menstimulasi reseptor tidak nyeri. Massage juga membuat pasien lebih nyaman karena membuat pasien lebih nyaman karena membuat relaksasi otot. 2). Terapi Es dan Panas Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri 3). Stimulasi Syaraf Elektris Transkutan (TENS) TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektrode yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gate kontrol dimana mekanisme ini akan menutup transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf pusat untuk menurunkan intensitas nyeri. 4). Distraksi Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulus nyeri yang di transmisikan ke otak. Keefektifan transmisi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri.
5). Teknik Relaksasi Relaksasi
merupakan
kebebasan
mental
dan
fisik
dari
ketegangan dan stress yang mampu memberikan individu kontrol ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri/stress fisik dan emosi pada nyeri. 6). Imajinasi Terbimbing Dilakukan dengan menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Individu di instruksikan untuk membayangkan bahwa dengan setiap napas yang diekhalasikan (dihembuskan) secara lambat akan menurunkan ketegangan otot dan ketidak nyamanan dikeluarkan. 7). Hipnosis Efektif untuk menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit 8. Efek nyeri post bedah Menurut Yeagar (1987) dan Benedetti (1984) yang dikutip dari brunnert dan suddart selain ketidaknyamanan nyeri yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan efek yang membahayakan yaitu mempengaruhi sistem pulmonal, kardiovaskuler, gastrointestinal, endogrin dan imonologik, efek tersebut dapat berupa peningkatan laju metabolisme dan curah jantung, kerusakan respon insulin, peningkatan prodiksi kortisol, dan retensi cairan.
C. Teknik Relaksasi Napas Dalam 1. Pengertian Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan pra bedah, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah ( Brunner dan Suddart, 2002 ). 2. Indikasi Teknik relaksasi napas dalam di indikasikan pada klien yang akan menjalani pembedahan, klien yang mengalami gangguan ventilasi paru seperti pada penderita PPOM dan klien yang mengalami kecemasan. 3. Tujuan Menurut Alimul (2006), Burnner dan Suddart (2005). Tujuan teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional
yaitu
menurunkan intensitas nyeri dan menurunkantingkat kecemasan. 4. Prosedur teknik relaksasi napas dalam Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomenbagian atas sejalan dengan
desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sbb : a. Atur posisi: Lakukan dalam posisi yang sama seperti posisi anda ditempat tidur nanti setelah pembedahan yaitu posisi semi fowler (posisi setengah duduk dengan sudut antara 15 derajat sampai 30 derajat) atau berbaring di tempat tidur dengan punggung dan bahu tersangga baik dengan bantal. b. Dengan tangan dalam posisi ganggam kendur, biarkan tangan berada di atas iga paling bawah. Jari-jari tangan menghadap dada bagian bawah untuk merasakan gerakan. c. Keluarkan napas dengan perlahan dan penuh bersamaan dengan gerakan iga menurun dan kedalam mengarah pada garis tengah. d. Kemudian ambil napas dalam melalui hidung dan mulut anda, biarkan abdomen mengembang bersamaan dengan paru-paru terisi udara. e. Tahan napas dalam hitungan ketiga. f. Hembuskan dan keluarkan semua udara melalui hidung dan mulut anda g. Ulangi 15 kali dengan istirahat singkat setelah setiap lima kali h. Lakukan hal ini 2 kali pra operasi (Potter & Perry, 2006)
D. Pengaruh Teknik Relaksasi Napas Dalam Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui tiga (3) mekanisme yaitu:
1. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabakan oleh insisi (trauma) jaringan pada saat pembedahan. 2. Relaksasi otot-otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami trauma sehingga mempercepat penyembuhan dan menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri karena nyeri post bedah merupakan nyeri yang disebabkan oleh trauma jaringan oleh karena itu jika trauma (insisi) sembuh maka nyeri juga akan berkurang (hilang). 3. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorfin dan enkefalin. (Brunner & Suddart, 2002, Price & Wilson, 2006)
E. Penelitian Terkait Penelitian tentang nyeri yang penulis temukan adalah penelitian milik Irawati dengan judul Perbedaan Intensitas Nyeri Kala I Persalinan Normal Sebelum dan Sesudah Diberikan Teknik Relaksasi Napas Dalam di Puskesmas Srondol Semarang (skripsi). Universitas Diponegoro tahun 2003. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah: Ada perbedaan secara bermakna intensitas nyeri kala I persalinan normal sebelum dan setelah diberikan teknik relaksasi napas dalam. Nyeri persalinan kala I yang dirasakan ibu sebelum pemberian teknik relaksasi napas dalam yaitu tidak nyaman (skala nyeri 2) 13,3 %, menderita (skala nyeri 3) 16,7%, sangat menderita (skala 4) dan manyiksa (skala nyeri 5) 30%, sedangkan setelah pemberian teknik relaksasi napas dalam yaitu kondisi tidak nyaman (skala nyeri 2) 6,7%, menderita (skala nyeri 3) 53,3%, sangat menderita (skala nyeri 4) 26,7%, dan menyiksa (skala nyeri 5) 13,3%.
Selain penelitian milik Irawati penulis juga menemukan penelitian milik Maya Dewi Yustini dengan judul Hubungan Relaksasi Pernapasan Dalam dengan Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pemasangan Kateter Menetap Program Sectio Sesaria di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang (skripsi). Universitas Diponegoro tahun 2002. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah: Ada hubungan yang bermakana antara pemberian teknik relaksasi pernapasan dalam dengan penurunan intensitas nyeri yang dirasakan ibu pada pemasangan kateter menetap program section sesaria yaitu dari 30 sample yang dilakukan teknik relaksasi pernapas dalam 22 sample mengeluh nyeri sedang dan 8 sample mengerasa nyeri berat, sedangkan pada 30 sample yang tidak dilakukan teknik relaksasi pernapasan dalam 9 sample mengeluh nyeri sedang dan 21 sample mengeluh nyeri berat.
E. Kerangka Teori
Post bedah mayor
Kerusakan jaringan (luka insisi)
Nyeri
Perawat
Penatalaksanaan non farmakologi: pemberian teknik relaksasi napas dalam
Factor yang mempengaruhi: - Ambang nyeri - Toleransi nyeri - Arti nyeri - Persepsi nyeri - Pengalaman masa lalu - Sosial budaya - Usia - Efek flasebo
Berdasarkan kuesioner McGill nyeri dibagi: 0 : tidak nyeri Perubahan intensitas nyeri
1 : nyeri ringan 2 : tidak nyaman 3 : menderita 4 : sangat menderita 5
menyiksa
Skema 2. 1: kerangka teori penelitian (Sumber: Brunner & Suddart, 2002, Price & Wilson, 2006)
G. Kerangka Konsep
Intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi napas dalam
Intensitas nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi napas dalam
Skema 2. 2: Kerangka konsep penelitian
H. Hipotesis Uraian ringkas dalam latar belakang masalah yang telah ditulis memberi dasar bagi peneliti dalam merumuskan hipotesa sebagai berikut: Ada penurunan intensitas nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi napas dalam pada klien post bedah mayor.