BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Skizofrenia 2.1.1
Defenisi Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003). Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif (Buchanan, 2005). Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan biasanya dalam jangka panjang (Durand, 2007). Skizofrenia berdasarkan kriteria diagnostik dari DSM-IV-TR, merupakan suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan adanya: a) dua atau lebih gejala
Universitas Sumatera Utara
karakteristik, masing-masing ada secara bermakna dalam periode satu bulan, berupa waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi atau gejala negatif. b) adanya disfungsi sosial atau pekerjaan. c) Durasi sekurangnya enam bulan. d) Bukan disebabkan oleh gangguan mood atau skizoafektif. e) Bukan disebabkan oleh gangguan zat atau kondisi medis umum. f) tidak ada pengaruh dengan gangguan pervasif. Menurut Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders – IV – Text Revised (DSMIV-TR) definisi skizofrenia menekankan pada kronisitasnya dengan memasukkan kriteria, gejala psikosis berlangsung selama jangka waktu minimum satu bulan dan kemunduran fungsi berlangsung minimum selama enam bulan (Sadock, 2003).
2.1.2
Epidemiologi Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003). Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang.
Universitas Sumatera Utara
Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008).
2.1.3
Etiologi Penyebab pasti skizofrenia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa
faktor yang berperan dalam terjadinya skizofrenia. Bukti kuat dari penelitian pada kembar identik menyimpulkan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi yang besar pada etiologi skizofrenia. Walaupun demikian sampai saat ini belum diketahui secara pasti gen yang terlibat pada skizofrenia dan juga belum diketahui bentuk kontribusinya (Tattan et.al, 2001). Penelitian terhadap faktor
risiko mendapatkan bahwa sejumlah faktor
lingkungan juga berpotensi memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa berbagai jaras neurotransmiter terlibat pada dasar biologi gangguan ini. Faktor lingkungan dinyatakan berhubungan dalam timbulnya gangguan skizofrenia serta dapat menjadi pencetus pada suatu predisposisi genetik (Sena, 2003). Telah bertahun-tahun dilakukan penelitian tentang etiologi gangguan skizofrenia, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi pasti gangguan ini (Durand, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4
Perjalanan Penyakit Perjalanan penyakit
skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005). Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagaian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003). Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh. (Buchanan, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5
Penatalaksanaan Penatalaksanaan skizofrenia masih merupakan tantangan besar walaupun
perkembangan antipsikotik dan intervensi keluarga serta sosial telah mengalami kemajuan pesat. Meskipun secara relatif hasil yang diperoleh dapat menurunkan lama perawatan di rumah sakit melalui pembinaan masyarakat dan penggunaan psikofarmaka, namun ternyata angka kekambuhan pasien dengan skizofrenia masih tetap tinggi (Fleischacker, 2003). Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia perlu mempertimbangkan tiga hal berikut ini : 1. Pasien skizofrenia mempunyai profil psikologik individual, familial dan sosial yang unik. Penentuan bentuk pengobatan yang akan diberikan memperhatikan bagaimana skizofrenia mempengaruhi pasien dan bagaimana pengobatan akan membantu pasien. 2. Berbagai penelitian menyatakan bahwa 50% kejadian pada kembar monozigotik menunjukkan kemungkinan faktor lingkungan dan psikologik yang berperan. Sehingga penatalaksanaan farmakologik hanya ditujukan pada ketidakseimbangan kimiawi sedangkan masalah nonbiologi membutuhkan strategi nonfarmakologik. 3. Skizofrenia merupakan kelainan yang kompleks sehingga pendekatan terapi tunggal tidak memadai untuk menghadapi berbagai masalah yang ada. Sejak dua dekade diperkenalkannya obat antipsikotik dan dehospitalisasi pasien, maka meningkatlah kecenderungan untuk mengembalikan pasien skizofrenia ke masyarakat. Banyak pasien skizofrenia yang kembali ke masyarakat ini masih
Universitas Sumatera Utara
merupakan beban bagi keluarganya. Beban ini berupa rasa malu mempunyai anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Lingkungan masyarakat di sekitar pasien pun sering berpengaruh dalam kehidupan pasien tersebut. Saat ini, baik di rumah sakit maupun di masyarakat, obat antipsikotik masih merupakan obat utama untuk pasien dengan skizofrenia. Telah dibuktikan kemanjuran obat antipsikotik pada penatalaksanaan episode psikotik akut dan mencegah kekambuhan, namun demikian efektifitas obat-obat ini masih kontroversi. Sekitar 40% responsnya buruk terhadap antipsikotik konvensional dan selanjutnya akan menunjukkan gejala negatif. Gejala-gejala ini bervariasi dari sedang sampai buruk (Kinon, 2003). Pengobatan farmakologik skizofrenia terus berkembang sejak pertama ditemukan klorpromazin sebagai obat antipsikotik yang efektif. Antipsikotik yang bekerja seperti klorpromazin dengan kemampuan sebagai antagonis reseptor dopamin2 (D2) dikenal dengan sebutan antipsikotik konvensional atau generasi pertama. Antipsikotik konvensional ini efektif mengatasi gejala positif skizofrenia, namun terhadap gejala negatif dan defisit kognitif efeknya terbatas. Antipsikotik generasi pertama biasanya menimbulkan efek samping ekstrapiramidal (EPS), berupa parkinsonism, akatisia dan tardive dyskinesia (Sena, 2003). Suatu variasi modalitas pengobatan dibutuhkan untuk perawatan yang menyeluruh pada pasien skizofrenia. Obat-obat antipsikotik merupakan dasar pengobatan, penggunaannya untuk meminimalkan beratnya gejala skizofrenia. Untuk mencapai dan mempertahankan pemulihan fungsi dan hilangnya gejala skizofrenia
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan pula intervensi lain termasuk psikoterapi individual dan kelompok, terapi keluarga, case management, perawatan di rumah sakit, kunjungan rumah dan pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional (Sadock, 2003). Dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia digunakan pendekatan eklektik holistik, bahwa manusia harus dipandang sebagai suatu keseluruhan yang paripurna, termasuk adanya faktor lingkungan yang terdekat yaitu keluarga. Keluarga berperan dalam pemeliharaan dan rehabilitasi anggota keluarga yang menderita skizofrenia (Durand, 2007). Pemahaman konsep skizofrenia tentang defenisi, etiologi, perjalanan penyakit dan penatalaksanaan skizofrenia akan memudahkan peneliti didalam menjelaskan hasil penelitian yang akan dilakukan.
2.2 Perawatan Kembali Rawat Inap di Rumah Sakit (RS) terutama dilakukan atas indikasi keamanan pasien skizofrenia karena adanya ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu Rawat Inap RS diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik, stabilisasi pemberian medikasi (Sadock, 2003; Durand, 2007). Perjalanan penyakit skizofrenia dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah pengobatan dan faktor psikososial berupa dukungan keluarga serta lingkungan sosial sehari-harinya. Pemahaman keluarga dan lingkungan pada pasien skizofrenia
Universitas Sumatera Utara
akan sangat mempengaruhi bagaimana mereka berinteraksi dalam kehidupan seharihari. Stigma yang dialami keluarga pasien skizofrenia dapat menimbulkan reaksi yang beragam mulai dari ekspresi emosi yang tinggi yang dapat mengakibatkan kekambuhan dan usaha untuk mengembalikan pasien skizofrenia ke rumah sakit. Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006) Keluarga pasien skizofrenia sebagai pendamping yang mengamati dan merasakan akibat perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pada pasien atau sekitarnya berperan dalam menentukan apakah pasien akan menjalani rawat inap atau tetap bersama keluarga di rumah (Fenton, 2005). Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk subtipe penyakitnya. Hampir separuh pasien skizofrenia yang diobati dengan pelayanan standar akan kambuh dan membutuhkan perawatan kembali dalam dua tahun pertama. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal yang berkaitan pekerjaan.
dengan keuangan dan
Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan
pasien dengan skizofrenia (Lauriello, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan mencegah kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan. (Geddes J, 2008; Lauriello, 2005). Perawatan
kembali
merupakan
bagian
komponen
perawatan
pasien
skizofrenia yang memberi kontribusi pada beban pembiayaan langsung. Penelitian pada orang-orang dengan penyakit mental serius dan menetap di Minnesota, didapatkan tingkat perawatan kembali yang lebih rendah secara bermakna pada daerah rural dibandingkan tingkat perawatan kembali pada daerah dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Advokasi, pembuat keputusan dan penelitian dalam bidang kesehatan mental terus menunjukkan keprihatinan pada konsekuensi rawat inap psikiatrik yang lama atau sering (Kazadi, 2008; Kane, 2008). Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, bagaimanapun parameter ini cukup signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan keluarganya, seringkali mengakibatkan perawatan kembali /rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan. Lebih jauh lagi, pertanyaan apakah dan berapa lama pencegahan kekambuhan dengan menggunakan antipsikotik dapat diandalkan. Di sisi lain, keuntungan dengan melanjutkan penggunaan antipsikotik dalam mencegah eksaserbasi klinis dari skizofrenia merupakan suatu penegasan, menunjukkan perbedaan yang besar secara signifikan dalam hal angka kekambuhan
Universitas Sumatera Utara
antara pengobatan aktif dan placebo. Pada saat ini
angka kekambuhan dapat
diturunkan dari 75% menjadi 15% dengan pengobatan antipsikotik. Artinya, tidak hanya membuat perbaikan yang sangat besar dalam kualitas hidup pasien, akan tetapi secara langsung telah menyelamatkan milyaran dolar uang negara (Ayuso, 1997). Prognosa penyakit skizofrenia dipengaruhi beberapa faktor diantaranya awitan, faktor genetik, keadaan lingkungan, kepribadian dan frekwensi kekambuhan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin sering seorang penderita mengalami kekambuhan, maka semakin meningkat pula disabilitas yang terjadi pada dirinya membuat penderita semakin tergantung pada keluarganya yang juga akan menimbulkan beban bagi keluarga dan lingkungan. Pemahaman mengenai teori perawatan kembali akan menjelaskan frekwensi kekambuhan yang menyebabkan pasien menjalani perawatan berulang di rumah sakit.
2.3 Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada skizofrenia adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Menurut data Ayuso-Guiterrez, banyak sekali pasien skizofrenia yang mengalami eksaserbasi klinis dan membutuhkan perawatan akibat tidak menuruti peñatalaksanaan yang diberikan. Menurut Kinon et al, kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
1. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan > dua episode dari : a. Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif. b. Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang diberikan. c. Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan. 2. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan. 3. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh
orang lain
dalam waktu sebulan. 4. Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut. 2.3.1. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Efek Samping Pasien
yang
tidak
mengalami
efek
samping
terhadap
pengobatan
kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan sebab dapat berperan dalam menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek extrapiramidal berupa parkinsonism, akatisia, dan diskinesia, gangguan seksual dan penambahan berat badan. Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal
lebih
mau
meneruskan
pengobatan
dibandingkan
penderita
yang
menggunakan antipsikotik konvensional (Lauriello, 2005; Amir N, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Masalah tambahan dalam pengobatan skizofrenia adalah kebanyakan obatobat antipsikotik kerja obatnya (onset of action) lambat,
sehingga pasien tidak
merasakan dengan segera efek positif dari antipsikotik. Malahan kadang-kadang pasien lebih dahulu merasakan efek samping sebelum efek obat terhadap penyakitnya tersebut. Begitu juga dengan pasien skizofrenia yang sudah dalam remisi biasanya relaps tidak langsung segera terjadi bila pengobatan dihentikan. Kekambuhan dapat terjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah obat antipsikotik dihentikan, sehingga penghentian pengobatan tidak terlalu berpengaruh dengan memburuknya keadaan pasien. Pasien mungkin juga merasakan obat-obatan tersebut tidaklah seefektif atau bahkan berbahaya tidak seperti yang mereka harapkan. Hal ini menjadi tanggung jawab dokter dalam melakukan pengobatan untuk melengkapi pasien dengan pandangan yang seimbang dan realistik mengenai profil keuntungan dan kerugian antipsikotik yang akan diberikan (Fleischacker, 2003). Beragamnya obat yang diresepkan juga memiliki peran penting dalam kepatuhan. Pasien yang menerima regimen pengobatan yang kompleks, misalnya mengkonsumsi beberapa obat dengan waktu yang berbeda dalam satu hari atau mengkonsumsi dua macam atau lebih obat-obatan, mempunyai permasalahan dalam ketaatan terhadap obat yang diberikan dibanding pasien yang hanya mengkonsumsi satu macam obat dengan dosis tunggal. Cara pemberian obat dapat juga mempengaruhi kepatuhan. Namun hasil ketidakpatuhan yang sama diperoleh pada pasien yang tidak patuh terhadap
Universitas Sumatera Utara
pemberian obat oral yang diganti dengan depot neuroleptik. Hal ini yang sering terjadi kesalahpahaman bahwa pemberian obat depot akan meningkatkan kepatuhan. Namun penggunaan antipsikotik kerja lama dapat mengatasi kepatuhan yang parsial sehingga dapat memperbaiki outcome penyakit. Dosis minimum efektif yang telah direkomendasikan dalam suatu konsensus adalah sebagai berikut : (Ayuso, 1997) 1. Haloperidol 2,5 mg/hari. 2. Fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari. 3. Fluphenazine Decanoate 6,5 -12,5 mg i.m tiap 2 minggu. 4. Haloperidol Decanoate 50-60 mg i.m tiap 4 minggu. Bila dosis di bawah (kurang dari) yang tersebut di atas, maka risiko kekambuhan akan meningkat secara signifikan.
2.3.2
Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Pasien Beberapa karakteristik demografi telah dihubungkan dengan perilaku patuh.
Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya ketidakpatuhan.
Tampaknya
pasien-pasien
yang
berusia
lanjut
dengan
mempunyai
permasalahan tentang kepatuhan terhadap rekomendasi yang diberikan. Di kalangan usia muda, terutama pria cenderung mempunyai tingkat kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan. Alasan untuk hal ini kemungkinan bahwa pada dewasa muda sehubungan dengan segala bentuk terapi atau dalam mengatur perjanjian, mereka menganggap dirinya istimewa dan berbeda dengan yang lain. Sedangkan pada
Universitas Sumatera Utara
orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan. Selain itu, pada orangtua sering mendapat berbagai macam obat-obatan sehubungan dengan
komorbiditas fisik. Wanita cenderung lebih patuh terhadap
pengobatan dibandingkan pria, begitu juga wanita muda menunjukkan kepatuhan yang lebih baik dibandingkan yang tua (Fleischacker, 2003). Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai hubungan yang kuat dalam penerimaan terhadap pengobatan. Pasien yang merasa tersiksa atau kwatir akan diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan (Amir N, 2004). Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia
adalah
penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit-penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan. Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat
Universitas Sumatera Utara
positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simtom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan. Terakhir adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat juga mengganggu kepatuhan pasien.
Beberapa pasien mungkin tidak
mampu untuk
membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan trnsportasi dapat menjadi penghalang (Fleischacker, 2003).
2.3.3. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Dokter Hubungan terapetik yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Bagaimana menunjukkan bahwa dokter memiliki perhatian kepada pasien dan dokter mau meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhan pasien adalah penting. Terciptanya
suatu
hubungan yang baik merupakan persyaratan untuk masuk kedalam ikatan terapetik dan memberikan informasi adalah hal yang penting dalam hubungan ini. Informasi dapat diberikan pada pasien pada pasien ataupun keluarga baik dalam jadwal konsultasi
ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan keluarga diberi
informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan dilakukan. Psikoedukasi
telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan secara
signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk mendiskusikan perencanaan pengobatan baik kepada pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya (Fleischacker, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Adanya efek samping dapat memunculkan ketidakpatuhan dan sering menimbulkan kesalahpahaman (Amir N, 2004). Penting juga bagi dokter agar dapat menepati jadwal pertemuan selanjutnya. Pasien yang sudah menerima jadwal pertemuan berikutnya dan dokter akan menepati dan untuk tidak menjadwal ulang walaupun sangat sibuk. Dokter juga dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan pasien baik itu dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat tercipta pengaruh terapetik yang baik yang nantinya dapat meningkatkan kepatuhan. Klinisi juga harus mengikuti
pedoman terapi yang direkomendasikan.
Dengan mengikuti pedoman yang telah ditentukan maka pengobatan akan menjadi berguna, rasional dan gampang dimengerti oleh pasien dan mereka tidak menjadi bingung bila mereka mencoba mencari pendapat dokter lain (Fleischacker, 2003; Durand, 2007).
2.3.4. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Lingkungan Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Sebagai kemungkinan lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan psikiatri atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan. Interaksi sosial yang penuh dengan stress dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien tinggal dengan orang lain. Sebagai contohnya situasi emosional
Universitas Sumatera Utara
yang tinggi dari keluarga atau pihak lain yang tidak mau memperhatikan sikap positif pasien terhadap pengobatan (Fleischacker, 2003). Tidak kalah penting faktor yang mempengaruhi perilaku pasien terhadap kepatuhan adalah pengaruh obat terhadap penyakitnya. Sangat penting untuk menambah sikap yang positif terhadap pengobatan pasien. Sebagai dokter kadangkadang melupakan hal tersebut bahwa pasien memerlukan perhatian dan
perlu
dibantu terus menerus. Lingkungan terapeutik juga harus diperhitungkan dalam pasien rawat inap dimana teman sekamar pasien pernah mengalami pengalaman yang buruk terhadap satu jenis obat dan menceritakannya maka akan merubah sikap pasien terhadap obat yang sama (Fleischacker, 2003).
2.4 Stigma Pada Keluarga Stigma adalah label dari masyarakat yang memandang negatif pasien dengan skizofrenia karena dianggap sebagai penyakit yang memalukan dan membawa aib. Bagi masyarakat, penderita dengan skizofrenia dirasakan sebagai ancaman dan sering membuat resah karena dianggap sering berperilaku yang membahayakan. Hal ini membuat penderita skizofrenia dan juga keluarga sering dikucilkan, mengalami isolasi sosial dan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya (Fenton, 2005). Adanya stigma terhadap penyakit skizofrenia menimbulkan beban, berupa beban subyektif maupun beban obyektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi penderita, hal tersebut menjadikan halangan baginya untuk mendapat perlakuan yang
Universitas Sumatera Utara
layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan, dan sebagainya. Sebuah penelitian di Singapura memperlihatkan,
terdapat 73% responden yang mengalami kesulitan
dalam pekerjaan, 52% mengalami rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia (Irmansyah, 2001). Sementara bagi keluarganya, memiliki anggota keluarga yang menderita skizofrenia menimbulkan aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial. Karenanya, penderita skizofrenia sering kali disembunyikan dan dikucilkan agar tidak diketahui oleh masyarakat. Hal ini justru akan memberatkan gangguan yang dialami sehingga tentunya juga akan memberatkan bagi keluarga yang merawatnya (Durand, 2007). Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi stigma pada pasien dengan skizofrenia. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Sikap keluarga dan masyarakat yang menghindar Keluarga dan masyarakat pada umumnya tidak dapat menerima penyimpangan perilaku, persepsi dan pikiran pada pasien dengan skizofrenia. Penyimpangan tersebut tidak dianggap sebagai gejala penyakit, berbeda dengan penyimpangan fisik yang dapat dipahami dan diterima sebagai penyakit. 2. Konsep yang salah dalam memberikan label Label
yang diberikan pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seringkali
membedakannya dari kelompok lain. Ungkapan yang digunakan biasanya adalah perbedaan antara kita dan mereka. Masyarakat memberikan label negatif terhadap pasien dengan skizofrenia, seperti : gila, tidak waras dan sebutan sejenis lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Ungkapan ini memberi kesan negatif daripada menggambarkan keadaan penyakitnya. 3. Media Massa Media massa, disatu
sisi turut mempengaruhi sikap negatif perorangan dan
masyarakat terhadap pasien skizofrenia. Di sisi lainnya media massa merupakan faktor yang vital sebagai sumber informasi utama dan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap pasien skizofrenia. 4. Profesi Sartorius meyakini bahwa profesi medis, terutama psikiater, berkontribusi terhadap stigma dengan menggunakan label diagnosis secara kurang hati-hati dan memberi pengobatan yang menimbulkan efek samping, misalnya EPS. Efek samping yang dialami pasien memberi kesan bahwa pasien mengalami sakit yang lebih berat daripada gejala penyakit sebenarnya. 5. Kekambuhan Pasien skizofrenia sering mengalami kekambuhan, sehingga menyababkan masyarakat beranggapan bahwa penyakit skizofrenia tidak dapat disembuhkan. Anggapan ini berakibat pasien yang telah mendapat label tersebut akan melekat terus dan menambah stigma pada penderitanya. 6. Pasien Pasien skizofrenia mengalami gejala yang menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-harinya seperti pasien kurang memperhatikan kebersihan dirinya dan menarik diri.
Universitas Sumatera Utara
7. Faktor Budaya Budaya mempengaruhi persepsi keluarga terhadap gejala yang dialami pasien skizofrenia. Di beberapa daerah pasien dengan skizofrenia sering dikucilkan atau dibawa berobat ke dukun atau paranormal karena dianggap bahwa penyakit mental diakibatkan karena kutukan atau disebabkan kekuatan jahat. 8. Faktor Edukasi Keluarga dengan tingkat edukasi yang relatif tinggi mengalami efek stigma yang lebih besar. Stigma yang diinternalisasikan ke dalam dirinya tampak pada pasien sebagai keyakinan bahwa mereka tidak sempurna dan tidak pantas. Manifestasi stigma pada keluarga, dapat berupa dipinggirkan oleh lingkungan dan masyarakat dengan diskriminasi dan pembatasan integrasinya dalam masyarakat (Amir N, 2001). Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia memang bukanlah hal yang mudah. Namun bantuan keluarga sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan pasien skizofrenia. Stigma yang dialami keluarga dan pasien dengan skizofrenia merupakan problem yang menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga. Hal ini membuat ekspresi emosi tinggi dalam keluarga yang dapat mempengaruhi kekambuhan pasien.Berbagai kalangan berpendapat
stigma dapat bermanifestasi
dalam bentuk keinginan memasukkan anggota keluarga yang menderita gangguan mental berat ke rumah sakit jiwa. Di kalangan lain dapat saja terjadi dalam bentuk lain seperti sikap menghindar bertemu dengan psikiater karena takut “dinilai tidak normal” (Irmansyah, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Teori tentang stigma pada keluarga diatas digunakan sebagai variabel yang akan diteliti untuk mengetahui hubungannya
dengan perawatan kembali pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
2.5
Kerangka Teori
Biologis : - Neurotransmiter
- Kerusakan struktur otak - Abnormalitas perkembangan saraf
Genetik / Herediter
Psikososial / lingkungan
Terapi somatik :
Skizofrenia
Skizofrenia dalam keadaan remisi
Perawatan kembali
Terapi psikososial /rehabilitasi
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Sadock BJ, 2003; Buchanan RW, 2005; Durand VM, 2007
Universitas Sumatera Utara
2.6
Kerangka Konsep VARIABEL BEBAS (INDEPENDEN)
VARIABEL TERGANTUNG (DEPENDEN)
PASIEN SKIZOFRENIA
X1 Ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang diamati keluarga
Y1 Perawatan kembali Frekwensi rawat inap dalam 2 tahun terakhir
X2 Stigma yang dialami Keluarga
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara