BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1
Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia
adalah
suatu
penyakit
yang
mempengaruhi
otak
dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia merupakan sebuah sindroma kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun anggotaanggota keluarganya. Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang merusak yang dapat melibatkan gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi (halusinasi) pembicaraan, emosi dan perilaku.Skizofrenia merupakan kumpulan dari beberapa gejala klinis yang penderitanya akan mengalami gangguan dalam kognitif, emosional, persepsi serta gangguan dalam tingkah laku. Penderita gangguan jiwa akan mengalami menunjukkan gejala gangguan persepsi, seperti waham dan halusinasi (Kaplan & Sadock’s, 2007). 2.1.2
Gejala Klinis Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self insight) buruk. Gejala-gejala Skizofrenia dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu GejalaPositif dan GejalaNegatif (Hawari, 2001). Gejala Positif Skizofrenia
Universitas Sumatera Utara
Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut (Hawari, 2001): a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu. c. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat danisi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya. d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. e. Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya. f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. g. Menyimpan rasa permusuhan. Gejala-gejala positif Skizofrenia sebagaimana diuraikan diatas amat mengganggu lingkungan (keluarga) dan merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa penderita berobat. Gejala Negatif Skizofrenia
Universitas Sumatera Utara
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut (Hawari, 2001): a. Alam perasaan (afect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang menunjukkan ekspresi. b. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawl) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming). c. Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam. d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan social. e. Sulit dalam berpikir abstrak. f. Pola pikir stereotip. g. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada inisiatif, tidak ada upaya, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serta tidak ingin apa-apa dan serta malas (kehilangan nafsu). Gejala-gejala negatif skizofrenia sebagaimana diuraikan di atas seringkali tidak disadari atau kurang diperhatikan oleh pihak keluarga, karena dianggap tidak “mengganggu” sebagaimana halnya pada penderita skizofrenia yang menunjukkan gejala-gejala positif. Oleh karenanya pihak keluarga seringkali terlambat membawa penderita berobat (Hawari, 2001). 2.1.3
Tipe skizofrenia Tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th edition, Text Revision) 2000, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan sebagai berikut:
a. Tipe Paranoid
Universitas Sumatera Utara
Tipe ini ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau dimatamatai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang kadang-kadang keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan bermusuhan. Para penderita skizofrenia tipe paranoid secara mencolok tampak berbeda karena delusi dan halusinasinya, sementara keterampilan kognitif dan afek mereka relative utuh. Mereka pada umumnya tidak mengalami disorganisasi dalam pembicaraan atau afek datar. b. Tipe Tidak Terorganisasi Tipe ini ditandai dengan afek datar atau afek tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan disorganisasi perilaku yang ekstrem. Kontras dengan tipe paranoid, para penderita tipe ini memperlihatkan disrupsi yang tampak nyata dalam pembicaraan dan perilakunya. Mereka juga memperlihatkan afek datar atau tidak pas, seperti tertawa dungu pada saat yang tidak tepat (American Psychiatric Association dalam Durand,2007). c. Tipe Katatonik Tipe ini ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata, baik dalam bentuk gerakan atau aktivitas motorik yang berlebihan, negativism yang ekstrem, mutisme, gerakan volunter yang aneh, ekolalia, atau ekopraksia. Imobilitas motorik dapat terlihat berupa katalepsi (fleksibilitas cerea) atau stupor. Aktivitas motorik yang berlebihan terlihat tanpa tujuan dan tidak diperngaruhi oleh stimulus eksternal. Selain respon motorik yang tidak lazim dalam bentuk diam pada posisi tetap (waxy flexibility), terlibat kegiatan yang eksesif, dan bersikap membangkang dengan bersikeras menolak usaha orang lain untuk mengerakkan/mengubah
Universitas Sumatera Utara
posisinya, individu-individu dengan tipe ini kadang-kadang memperlihatkan tingkah ganjil dengan tubuh dan wajahnya, termasuk grimacing (menyeringai) (American Psychiatric Association dalam Durand,2007). Mereka sering mengulangi atau meniru kata-kata orang lain (echolalia) atau gerakan orang lain (echopraxia). Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan bersifat suatu petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala-gejala katatonik dapat juga diprovokasikan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana perasaan (mood) (PPDGJ III dalam Butarbutar, 2012). d. Tipe Tak Terbedakan Orang-orang yang tidak pas benar dengan subtipe-subtipe di atas diklasifikasikan mengalami skizofrenia tipe tak terbedakan. Mereka meliputi orang-orang yang memilikigejala-gejala utama skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria tipe paranoid, terdisorganisasi/hebefrenik, atau katatonik. Tipe ini ditandai dengan gejala-gejala skizofrenia campuran (atau tipe lain) disertai gangguan pikiran, afek, dan perilaku. e. Tipe Residual Kategori diagnostik untuk orang-orang yang pernah mengalami setidaknya satu episode skizofrenia, yang sudah tidak lagi memperihatkan gejala-gejala utamanya tetapi masih memperlihatkan beberapa pikiran yang ganjil dan menarik diri secara sosial. Meskipun mereka mungkin tidak menderita delusi atau halusinasi yang aneh, mereka mungkin memperlihatkan gejala-gejala residual atau
Universitas Sumatera Utara
“sisa”, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapatmeliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar. 2.1.4
Etiologi Skizofrenia Skizofrenia tidak diduga sebagai penyakit tunggal tetapi sebagai
sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum. Banyak teori penting telah diajukan mengenai etiologi dan ekspresi gangguan ini, antara lain (Hawari, 2001): 1. Teori biologi dan genetik Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat mendukung teori bahwa faktor genetik mempunyai peran penting dalam transmisi skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat menjadi penyebab peningkatan insiden dari sindrom mirip-skizofrenik (gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik, dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga. 2. Hipotesis neurotransmitter Riset
terakhir
memusatkan
diri
di
sekitar
berbagai
kelainan
neurotransmitter yang ditemukan pada penderita skizofrenik dan berpusat pada sistem dopaminergik sebagai lesi atau “ketidakseimbangan Kimiawi’ yang bertanggung jawab, penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik dalam sistem saraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya, neuroleptic diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenia yang tidak diobati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara langsung
Universitas Sumatera Utara
berlawanan dengan teori bahwa temuan ini malah berhubungan dengan pemberian neuroleptik. 3. Pencetus Psikososial Stessor sosiolingkungan sering berkorelasi sementara dengan serangan awal dan kekambuhan dan dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan protektif,
dengantetap
mempertahankan
kerawanan
psikobiologik
dalam
pengendalian. Peningkatan angka kekambuhan berhubungan secara bermakna dengan tiga tindakan emosi yang dinyatakan (EE) di lingkungan rumah: komentar kritis, permusuhan, dan keterlibatan emosional yang berlebihan. Penelitian menunjukkan bahwa pemisahan pasien dari keluarga dengan EE tinggi (atau malah suatu penurunan dalam jumlah kontak) memperbaiki angka kekambuhan. 2.1.5
Terapi (Pengobatan)
Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut (kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada Skizofrenia memerlukan waktu relative lama berbulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relapse). Menurut Hawari 2001, terapi yang dilakukan pada pasien skizofrenia meliputi: terapi psikofarmaka, psikoterapi, terapi psikososial, dan terapi psikoreligius. 1. Psikofarmaka Pada Skizofrenia (dan juga gangguan jiwa lain)terdapat gangguan pada fungsi transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
gangguan pada alam pikir, alam perasaan dan perilaku (gejala-gejala klinis). Oleh karena itu obat psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tadisehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan atau dengan kata lain penderita skizofrenia dapat diobati. Obat psikofarmaka dapat dibagi dalam dua golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical). Yang termasuk golongan typical misalnya: Chlorpromazine HCL, Trifluoperazine HCL, Thioridazine HCL, Haloperidol. Dan golongan atypical misalnya: Risperidone, Clozapine, Quetiapine, Zotetine, Aripiprazole. Golongan obat anti Skozofrenia baik typical maupun atypical pada pemakaian jangka panjang umumnya menyebabkan pertambahan berat badan. Obat golongan typical khususnya berkhasiat dalam mengatasi gejala-gejala positif Skizofrenia, sehingga meninggalkan gejala-gejala negatif skizofrenia. Sementara itu pada penderita skizofrenia dengan gejala negatif pemakaian typical kurang memberikan
respons.
Selain
daripada
itu
obat
golongan
typical
tidakmemberikanefek yang baikpada pemulihan fungsi kognitif (kemampuan berpikir dan mengingat) penderita. Selain itu juga sering menimbulkan efek samping berupa gejala ekstra pyramidal (extrapyramidalsymptoms/EPS). Obat
golongan
atypical
memilikibeberapaperbedaandankelebihan
dibandingkan dengan golongan typical antara lain (Nemeroff, 2001): a).gejala positif maupun negative dapat dihilangkan, b), efek samping EPS sangat minimal dan boleh dikatakan tidak ada, c). memulihakan fungsi kognitif.
Universitas Sumatera Utara
2. Psikoterapi Psikoterapi inibanyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit (premorbid), sebagai contoh misalnya (Hawari, 2001): a.
PsikoterapiSuportif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan
semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya (fightingspirit) dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun. b.
PsikoterapiRe-edukatif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang
yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan ini dimaksudkan untuk mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar. c.
PsikoterapiRe-konstruktif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (re-
konstruksi) kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit. d.
PsikoterapiKognitif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi
kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika. Mana yang baik dan buruk, mana yang
Universitas Sumatera Utara
boleh dan tidak, mana yang halal dn haram dan lain sebagainya (discriminative judgment). Menurut Susan,salah satu tehnik dalam terapi kognitif yang dapat dilakukan adalah distraksi. e.
PsikoterapiPsiko-dinamik Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan
proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat memahami kelebihan dan kelemahan dirinya atau mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) dengan baik. f.
PsikoterapiPerilaku Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku
yang terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri). Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita dapat berfungsi kembali secara wajar dalam kehidupannya seharihari baik di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja dan lingkungan spasialnya. g.
Psikoterapi Keluarga Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan
penderita dengan keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai gangguan jiwa skizofrenia dan dapat membantu mempercepat penyembuhan penderita. Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut diatas adalah untuk memperkuat struktur
kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing
Universitas Sumatera Utara
personality), memperkuat ego (ego strength), meningkatkan citra diri (self esteem), memulihkan kepercayaan diri (self confidence), yang kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life). 3. Terapi Psikososial Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembeli beradaptasi dengan lingkungan social sekitarnya dan mampu merawat diri dengan limgkungan social sekitarnya dan mampu mandiri dan tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan banyak kesibukan dan banyak bergaul (silaturahmi/sosialisasi). 4. Terapi Psikoreligius Berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian Kitab Suci dan lain sebagainya. Dengan terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali ke jalan yang benar.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Halusinasi Pendengaran 2.2.1 Pengertian Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan (Dalami,dkk 2009). Halusinasi terjadi pada berbagai kondisi, tetapi yang paling umum pada gangguan psikotik. Pada skizofrenia biasanya dijumpai halusinasi audiotorik, sedangkan halusinasi visual lebih umum dijumpai pada kondisi organik. Halusinasi taktil sering terdapat pada keadaan putus zat alkohol dan hipnotik-sedatif (Tomb, 2004). Halusinasi pendengaran adalah halusinasi yang seolah-olah mendengar suara, paling sering suara orang. Suara dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai suara orang berbicara mengenai klien, klien mendengar orang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien dan memerintah untuk melakukan sesuatu dan kadang-kadang melakukan hal yang berbahaya (Dalami,dkk 2009). 2.2.2 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala pada halusinasi pendengaran dapat dikarakteristikkan dalam beberapa kategori yaitu karakteristik fisik meliputi: jumlah dan isi dari suara, frekuensi terjadinya, kekuatannya, kejelasan suara yang didengar, lokasi, keyakinan pasien terhadap suara yang didengarnya, tingkat atau derajat kemampuan mengontrol suara-suara, efek dan konsekuensi emosional dan perilaku akibat suara (Smith, 2003 dalam Wahyuni, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Halusinasi pendengaran harus menjadi fokus perhatian untuk segera ditangani karena kalau tidak ditangani secara baik dapat menimbulkan resiko terhadap keamanan diri pasien sendiri, orang lain dan juga lingkungan sekitar. Pasien halusinasi mengalami distress oleh karena isi halusinasi yang didengarnya, juga karena frekuensi halusinasi muncul sedikitnya 5 kali dalam sehari dan dengan durasi yang lebih dari 3 jam perhari (Nayani dan Davis, 1996 dalam Birchwood, 2009 dalam Wahyuni, 2010). Menurut penelitian Wong (2008 dalam Wahyuni, 2010) tentang karakteristik halusinasi pendengaran didapatkan bahwa frekuensi terjadinya halusinasi, 27% terjadi beberapa kali dalam satu jam, pada 18% pasien terjadi satu kali dalam setiap jam, 41% terjadi setiap hari dan 14% terjadi setiap minggu. Dan durasi halusinasi pendengaran didapatkan 63% terjadi selama lebih kurang 10 menit, dan 27% melaporkan bahwa durasi terjadinya halusinasi selama kurang dari satu jam dan 9% mengatakan bahwa halusinasi terjadi sepanjang hari.
2.2.3 Proses Terjadinya Halusinasi terjadi apabila yang bersangkutan mempunyai kesan tertentu tentang sesuatu, padahal dalam kenyataan tidak terdapat rangsangan apapun atau tidak terjadi sesuatu apapun atau bentuk kesalahan pengamatan tanpa objektivitas penginderaan tidak disertai stimulus fisik yang adekuat (Sunaryo dalam Dalami,dkk 2009). Halusinasi pendengaran merupakan bentuk yang paling sering
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada gangguan jiwa (Schizoprenia). Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara ribut-ribut dan dengung. Tetapi paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang memperngaruhi tingkah laku klien, sehingga menghasilkan respon tertentu, seperti: bicara sendiri, atau respon lain yang membahayakan membuat klien bertengkar sehingga dapat mencederai orang lain atau diri klien sendiri. Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati. Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor yang terjadi pada gangguan skizofrenia dan satu syarat diagnostik minor untuk melankonia involusi, psikosa mania depresi dan syndrome otak organik (Erlinafsiah, 2010). 2.2.4 Tahapan Halusinasi Klien merasa banyak masalah, ingin Stage I: Sleep disorder Fase awal seseorang sebelum muncul menghidar dari lingkungan, takut halusinasi diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah. Stage II: comforting moderate level Pasien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, of anxiety Halusinasi secara umum ia terima kesepian, perasaan berdosa, ketakutan sebagai sesuatu yang alami dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan, ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia control bila kecemasannya diatur, dalam tahap
Universitas Sumatera Utara
Stage III: Condemning severe level of anxiety Secara umum halusinasi sering mendatangi pasien
Stage IV: Controlling severe level anxiety Fungsi sensori tidak relevan dengan kenyataan Stage V: Conquering Panic level of anxiety Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya
ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya. Pengalaman sensori klien menjadi sering dating dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas waktu yang lama. Klien mencoba melawan suara-suara atau sensory abnormal yang datang. Klien mulai merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah mulai fase gangguan psychotic. Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam dengan datagnya suara-suara terutamabilaklientidakdapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila tidak mendapatkan komunikasi terapeautik. Terjadi gangguan psikotik berat (Yosep, 2009)
2.2.5 Intervensi keperawatan Pada Halusinasi Perencanaan disusun berdasarkan masalah utamanya adalah halusinasi pendengaran. Tujuan umum adalah klien dapat mengontrol halusinasi. Tujuan khususnya antara lain: 1. Membina hubungan saling percaya dengan cara: a). sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non-verbal, b). perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, c). tanyakan nama lengkap dan panggilan yang disukai klien, d). tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi, e). tunjukkan sikap empati dan
Universitas Sumatera Utara
menerima klien apa adanya, f). berikan perhatian pada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien, g). buat kontrak interaksi yang jelas, h). dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien 2. Klien dapat mengenal halusinasinya dengan cara: a). adakan kontak sering dan singkat secara bertahap, b). observasi: tingkah laku klien yang terkait dengan halusinasinya, dengar, lihat, penghidung, raba, dan pengecapan, jika menemukan klien yang sedang halusinasi maka:tanyakan apakah klien mengalami halusinasi dengar. Jika klien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang didengarnya. Katakana bahwa perawat percaya klien mengalami hal tersebut, namun perawat sendiri tidak mengalaminya (dengan nada bersahabat tanpa menuduh dan menghakimi). Katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal yang sama. Katakan bahwa perawat akan membantu. c). Jikaklien tidak sedang berhalusinasi, klarifikasi tentang adanya pengalaman halusinasi, diskusikan dengan klien tentang isi, waktu, dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam) atau sering dan kadang-kadang. Juga situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya. Kemudian diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila klien berhalusinasi 3. Klien dapat mengontrol halusinasinya, caranya: a). identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur,
Universitas Sumatera Utara
marah, menyibukkan diri dan lain-lain). b) diskusikan cara yang biasa digunakan. Jika cara yang dilakukan klien adaptif, maka berikan pujian, dan jika
cara yang digunakan maladaptive, diskusikan dengan klien
kerugian cara tersebut. c). diskusikan cara baru untuk memutuskan atau mengontrol timbulnya halusinasi dengan cara menghardik, menemui orang lain atau perawat teman ataupun anggota keluarga untuk menceritakan halusinasinya. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain, terjadi distraksi; fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain (Keliat, 2010). Kemudian dengan membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan harian yang telah disusun.Cara lain dengan meminta keluarga, teman, perawat menyapa klien jika sedang berhalusinasi. d). Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya. e). Beri kesempatan pada klien untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih. f). Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih, jika berhasil beri pujian. g).Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realitas stimulasi persepsi. 4. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya, caranya: a). Buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan (waktu, tempat, dan topik), b). Diskusikan dengan keluarga tentang pengertian, tanda dan gejala halusinasi, cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi, obat-obatan halusinasi, cara merawat anggota keluarga yang bila halusinasi di rumah (beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, memantau obat-obatan dan cara pemberiannya
Universitas Sumatera Utara
untuk mengatasi halusinasi. Dan juga berikan informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana cara mencari bantuan jika halusinasi tidak dapat diatasi di rumah. 5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik: a). diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian bila tidak minum obat, nama, warna, dosis, cara, efek terapi dan efek samping penggunaan obat, b). pantau klien saat penggunaan obat, c). berikan pujian bila klien menggunakan obat dengan benar, d). diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter, e).anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter/perawatjika hal yang tidak diinginkan terjadi (Dalami,dkk, 2009). 2.3 Distraksi Pada Halusinasi Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Stimulus sensori yang menyenangkan akan merangsang sekresi endorphin. Perawat dapat mengkaji aktivitas-aktivitas yang dinikmati klien sehingga dapat dimanfaatkan sebagai distraksi. Aktivitas tersebut dapat meliputi kegiatan menyanyi, berdoa, menceritakan foto atau gambar dengan suara keras, mendengarkan musik, dan bermain (Young & Koopsen (2007). 2.3.1 Tujuan dan Manfaat Distraksi Tujuan penggunaan teknik distraksi dalam intervensi keperawatan adalah untuk pengalihan atau menjauhi perhatian terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya rasa sakit (nyeri). Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini, yaitu agar seseorang
yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai, dan
Universitas Sumatera Utara
merasa berada pada situasi yang lebih menyenangkan dan nyaman selama mungkin (Young & Koopsen (2007). 2.3.2
Jenis tehnik distraksi Beberapa jenis distraksi menurut Young & Koopsen (2007) antara lain: 1) Distraksivisual Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat
pemandangan,dan gambar termasuk distraksi visual. 2) Distraksipendengaran Mendengarkan musik yang disukai, suara burung, atau gemercik air. Kliendianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik yang tenang, sepertimusik klasik. Klien diminta untuk berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu, seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki. 3) Distraksi bernafas ritmik Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitungan satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik. Bernafas ritmik dan massase, instruksikan klien untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada bagian
Universitas Sumatera Utara
tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri. 4) Distraksi intelektual Antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (ditempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita. 5) Distraksi imajinasi terbimbing Adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan mengonsentrasikan
diri
pada
bayangan
tersebut
serta
berangsur-angsur
membebaskan diri dari perhatian terhadap nyeri. Menurut Stuart dan Laraia(2001), Modulasi stimulasi sensori ke tingkat yang optimal merupakan tehnik yang berguna untuk membantu mengurangi kebingungan persepsi klien. Beberapa pasien skizofrenia dengan halusinasi menggunakan dengan baik stimulasi lingkungan yang minimal, sedangkan yang lain menemukan bahwa kebisingan dan distraksi membantu menghilangkan halusinasi.Buccheri et al.,(1996 dalam Mandal, 2004) berbagai tehnik yang dapat dilakukan meliputi: pemantauan diri, membaca dengan suara keras dan meringkas, mendengarkan kaset relaksasi, memakai plug telinga unilateral, berbicara dengan orang lain, menonton dan mendengarkan TV,mengataka ‘berhenti’ dan penamaan benda, mengataka ‘berhenti dan pergi’, mendengarkan music, dan bersenandung catatan. Pendekatan distraksi telah berhasil digunakan untuk megurangi keparahan halusinasi pendengaran (Margo et al.,1981; Nelson et al., 1991; Gallagher et al., 1994 dalam Mandal,2004). Meskipun hanya memberikan
Universitas Sumatera Utara
pengurangan jangka pendek dalam keparahan halusinasi dan tidak mengatasi deficit moitoring realitas yang mungkin menggarisbawahi halusinasi (Margo et al.,1981; Nelson et al.,1991 dalam Mandal, 2004). Pada penelitian ini distraksi yang dilakukan adalah membaca dengan suara keras dan meringkas karena beberapa tehnik distraksi yang lain telah didapatkan pada saat asuhan keperawatan generalis yaitu pada SP 1-4. Dan juga tidak memungkinkan bagi peneliti untuk melakukan semua tehnik distraksi tersebut. Pasien diminta untuk membaca dengan suara keras dan meringkas. Strategi kombinasi memberikan perhatian – menuntut aktivitas dan input pendengaran dengan struktur dan makna (Buccheri, et al., 1996 dalam Mandal, 2004). Margo et al., (1981 dalam Mandal, 2004) melaporkan efektivitas ‘membaca dengan suara keras dan meringkas’ dalam mengurangi durasi, kenyaringan, dan kejelasan dari halusinasi pendengaran dibandingkan dengan berbagai strategi lainnya. Distraksi telah banyak digunakan pada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran.
Universitas Sumatera Utara