BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
2.1.1
Defenisi PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.14
2.1.2
Epidemiologi PPOK Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada tahun 1997 penderita PPOK yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95%. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).15 Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar di dunia dan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 PPOK menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi di dunia. Angka prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi antar negara dan di antara kelompok populasi, umumnya berkaitan dengan prevalensi perokok serta kondisi polusi udara akibat pembakaran yang juga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko PPOK.14
Universita Sumatera Utara
Menurut Raherison (2009) prevalensi PPOK diperkirakan 7,6% (95% CI 6 9,2%. Berdasarkan 38 penelitian, prevalensi bronkitis kronis diperkirakan 6,4% (95% CI 5,3-7,7%). Prevalensi emfisema (melalui rontgen dada) diperkirakan 1,8% (95% CI 1,32,6%) berdasarkan delapan studi. Mayoritas studi (62%) menunjukkan umur pasien lebih dari 40 tahun, dengan rentang usia antara 40 dan 64 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan usia, dengan peningkatan risiko menjadi lima kali lipat bagi mereka yang berusia di atas 65 tahun dibandingkan dengan pasien berusia kurang dari 40 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan status merokok, tetapi perlu ditekankan bahwa prevalensi PPOK pada perokok adalah 4%, menunjukkan adanya faktor risiko lain, seperti merokok pasif, atau faktor paparan akibat kerja. PPOK terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak dibanding perempuan, tetapi perbedaan ini akan berkurang, mengingat fakta bahwa semakin banyak perempuan yang merokok terutama di negara berkembang, dan bahwa perempuan yang tidak merokok terkena produk hasil pembakaran dari biomassa di negara berkembang.16 Menurut Purba (2010) berdasarkan studinya menemukan penderita PPOK stabil yang berobat jalan di Poli RS H. Adam Malik sekitar 82 orang dalam satu tahun, lakilaki sekitar 85,4%, umur lebih dari 60 tahun sekitar 63,4%.17 Kondisi tersebut menunjukkan angka kematian yang disebabkan PPOK terus mengalami peningkatan tanpa disadari masyarakat.
2.1.3
Patogenesis PPOK Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum diketahui, kemungkinan dapat disebabkan faktor genetik. Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respon inflamasi yang terjadi belum
Universita Sumatera Utara
diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh tekanan oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.14 Mikroba tidak sendirian dalam memicu sistem imunitas tubuh melainkan terdapat keterlibatan tekanan selular, kerusakan jaringan akibat dari infeksi TLR. Hasil dari sel epitel yang cedera ini dapat bertindak sebagai ligan untuk TLR4 dan TLR2 yang akan mengaktifkan NF-kB. NF-kB ini akan menginduksi sel epitel untuk memproduksi mediator peradangan. Mediator ini akan mengaktifkan makrofag dan neutrofil, yang pada gilirannya akan mensekresikan enzim proteolitik dan bersama dengan ROS akan merusak jaringan paru-paru. Pada sebagian besar perokok proses penyakit ini tidak akan berkembang jika peradangan ini diminimalkan dan peristiwa pada tahap selanjutnya tidak terjadi.18 Pada perokok dengan PPOK, terjadi peningkatan sel dendritik yang matang di saluran napas perifer yang berhubungan dengan tingginya ekspresi chemoattractant dari sel dendritik di paru. Terdapat juga peningkatan sel T CD4+ yang mengekspresikan STAT4 di paru-paru. Ekspresi STAT4 dan IFN-γ berkorelasi dengan hambatan aliran napas pada PPOK. Pada paru-paru perokok, material yang berasal dari sel yang mengalami stres, cedera, nekrosis dan apoptosis diambil oleh sel dendritik dan disajikan melalui MHC-I ke sel T CD8+ yang menyebabkan sel T melimpah di paru-paru penderita PPOK. Selanjutnya sel T CD8+ dan CD4+ akan mengekspresikan reseptor kemokin spesifik jaringan seperti CXCR3, CCR5, dan CXCR6 dimana ekspresi dari reseptor dan ligan ini berkorelasi dengan keparahan penyakit PPOK. Kegagalan ringan dari mekanisme pengaturan ini menghasilkan GOLD derajat 1 atau derajat 2; kegagalan berat menjadi GOLD derajat 3 atau tahap 4.18 Asap rokok dapat mencetuskan pelepasan sitokin inflamasi dari berbagai sel termasuk IL-6, TNFα, IL-1β, TGF-β1, dan GM-CSF. Inhalasi asap rokok juga
Universita Sumatera Utara
menyebabkan terjadinya ROS yang akan manghambat aktivitas mediator anti protease terutama α1-antitripsin yang menyebabkan defisiensi anti protease. Masuknya IL-8 dan netrofil ke parenkim paru akan diikuti oleh makrofag dan sel T CD8+. Makrofag akan aktif dan melepaskan sejumlah MMP (MMP1, MMP2, MMP9, MMP12 dan MMP15) yang akan mendegradasi baik elastin dan kolagen. Netrofil juga berperan menghasilkan oksidan endogen dengan konsentrasi tinggi. Oksidan ini bersama dengan sitokin masuk ke sistem vaskular.19 Efek nikotin di seluruh saluran napas diperkirakan memicu pelepasan fibronektin yang mengakibatkan terjadinya fibrosis yang dimediasi oleh IL-8 dan TGF-β1. Pada penderita PPOK terjadi apoptosis struktur sel (sel epitel dan endotel) dan sel-sel inflamasi (neutrofil polimorfik) yang tidak teratur, sehingga terjadi peningkatan IL-6 dan IL-8.
Aktivasi NF-kB
berkaitan dengan penghambatan apoptosis, sehingga akan
memperpanjang umur netrofil dan remodeling.19 Jumlah sel CD4+ mengekspresikan IFN-γ dan berkorelasi dengan derajat obstruksi aliran napas. Perekrutan dan aktivasi sel-sel inflamasi, makrofag, neutrofil, eosinofil, sel T CD4+ dan CD8+, dan sel B memperburuk PPOK. Pada PPOK interaksi antara kemokin CXCL10 dan CXCL9, akan meningkatkan produksi MMP-12 sehingga menyebabkan kerusakan paru-paru. Fungsi sel dendritik yang meningkat, kecenderungan genetik, dan kegagalan regulasi imunitas adaptip dan penyakit berat (GOLD tahap 3 atau tahap 4).18
Universita Sumatera Utara
Gambar 1. Inflamasi pada PPOK. Paparan rokok yang kronik mengakibatkan aktifasi netrofil, makrofag, sel epitel, sel dendritik, sel T, sel B, fibroblast dan sel otot polos saluran napas sehingga terjadi pengeluaran sitokin, kemokin, dan protease. Amplifikasi sinyal sangat berperan dalam hal menambah respon inflamasi yang akan mempengaruhi derajat berat PPOK.20 1.
Tekanan Oksidatif Tekanan oksidatif dapat menjadi mekanisme penting dalam PPOK. Biomarker
tekanan oksidatip (misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat dalam sputum, hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Tekanan oksidatip ini lebih meningkat pada eksaserbasi. Oksidan bisa dihasilkan oleh asap rokok dan partikel lainnya serta partikel yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi seperti makrofag dan neutrofil, dan dapat juga terjadi penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK. Tekanan oksidatip menyebabkan aktifasi gen inflamasi, antiprotease menjadi tidak aktip, stimulasi sekresi mukus, dan stimulasi plasma meningkat.14
Universita Sumatera Utara
2. Ketidakseimbangan protease-antiprotease Proteinase berperan penting dalam patogenesis PPOK. Hipotesa proteinaseantiproteinase menyatakan bahwa kerusakan paru-paru penderita PPOK terjadi jika aksi proteinase tidak lagi dikendalikan oleh antiproteinase. Ini dapat terjadi ketika ada kelainan genetik antiproteinase, seperti defisiensi α1-antitrypsin, atau kehilangan fungsi antiproteinase dikarenakan proteolitik atau kerusakan oksidatip. Ketidakseimbangan juga dapat terjadi karena perekrutan yang berlebihan atau aktivasi proteinase.21 Proteinase diklasifikasikan sebagai serine proteinase, sistein proteinase, dan MMP. Peran MMP dalam PPOK adalah mendegradasi protein matriks, antiproteinase seperti α1-antitipsin dan α1-antichymotrypsin, memodifikasi sitokin dan menurunkan sejumlah protein seperti faktor adhesi dan substansi P.21
3. Remodeling saluran napas kecil Interaksi antara inflamasi dan remodeling saluran napas kecil telah diketahui mekanismenya melalui binatang percobaan. Ekspresi berlebihan dari Th2 sitokin IL-10 menyebabkan metaplasia sel mukus, sel B, sel T dan fibrosis subepitel saluran napas. Respon ini melibatkan banyak mekanisme. Metaplasia mukus tergantung pada sinyal IL13/IL-4 reseptor-α / STAT6. Selanjutnya ekspresi berlebihan dari IL-1β menginduksi fibrosis peribronkial. Pada kultur trakea tikus, asap rokok menyebabkan peningkatan regulasi TGF-β1.22 Sinyal faktor pertumbuhan fibroblast dan reseptor FGF (FGFR) tampaknya terkait dengan saluran napas dan remodeling pembuluh darah pada bronkitis kronis. Studi imunohistokimia jaringan paru-paru dari pasien PPOK menunjukkan bahwa FGF-1 dan reseptor FGFR-1 terdeteksi dalam otot polos pembuluh darah dan saluran
Universita Sumatera Utara
napas serta sel epitel saluran napas. Dasar FGF/FGF-2 terlokalisasi di sitoplasma, inti epitel saluran napas, otot polos pembuluh darah dan sel endotel.22
Gambar 2. Inflamasi perifer di paru dapat masuk ke sirkulasi sistemik.23 Pada pasien PPOK terutama saat eksaserbasi terdapat keterlibatan dari beberapa sitokin inflamasi mencakup TNFα, IL-6, CXCL8 (IL-8), IL-18, dan protein fase akut (CRP, SAA, fibrinogen) pada inflamasi sistemik. Sitokin ini juga mengalami peningkatan di sputum dan cairan BAL pasien PPOK, hal ini menjadikan sebagian ahli memandang bahwa sitokin sistemik berasal dari tumpahan mediator inflamasi perifer (paru). Namun hubungan antara mediator di sputum dan di darah tidaklah erat, sehingga keterlibatan faktor lain diperkirakan berperan dalam proses ini. Akibat dari keterbatasan aliran udara yang progresif menimbulkan aktivitas fisik menjadi tidak aktif, hal ini merupakan faktor penting dalam mencetuskan beberapa penyakit penyerta, seperti kelemahan otot rangka, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular.23 PPOK mencakup proses inflamasi dan aterosklerosis diketahui berperan penting sebagai komponen inflamasi kronik, CRP yang merupakan petanda inflamasi sistemik dan indikator penting pada penyakit kardiovaskular ditemukan juga meningkat pada pasien PPOK dan berkontribusi terhadap progresivitas aterosklerosis. Hal ini menjadikan
Universita Sumatera Utara
sebagian ahli memandang bahwa proses inflamasi di paru adalah salah satu bagian dari manisfestasi atau ekspresi proses inflamasi sistemik pada penderia PPOK. Akibat perbedaan konsep ini maka berbeda pula cara pandangnya terhadap penanganan PPOK, dimana konsep pertama menekankan terapi pada paru sedangkan pada konsep yang kedua lebih menekankan pengendalian inflamasi sistemik.24
2.1.4. Patologi 1.
Saluran napas sentral Perubahan morfologi dan seluler di saluran napas sentral telah menjadi fokus
suatu studi yang dilakukan pada perokok dengan gejala bronkitis kronis. Epitel biasanya utuh dan menunjukkan perubahan skuamosa metaplastik serta peningkatan jumlah sel goblet. Dalam subepitelium, sel-sel mononuklear muncul menjadi sel utama, dengan hanya sedikit neutrofil. Komponen mononuklear terdiri dari limfosit dan makrofag, peningkatan yang signifikan dilaporkan terjadi pada jumlah CD45+ (leukosit total), CD3+ (Limfosit T), CD25+ (aktivasi awal), sel VLA-1+ (akhir aktivasi) dan makrofag. Selain itu, ada juga laporan terdapatnya eosinofilia pada bronkitis kronis, khususnya selama eksaserbasi. Sitokin IL-10 berperan dalam mengurangi respon inflamasi dan kadarnya menurun dalam dahak perokok dengan PPOK, sitokin IL-8 berperan merangsang kemotakis neutrofil, sitokin TNF-α berperan mengaktifkan molekul adhesi, dimana kadar ketiga sitokin ini mengalami peningkatan. Peningkatan regulasi terhadap molekul adhesi E-selektin dan ICAM-1 pada subepitel pembuluh darah dan epitel bronkus pada perokok dengan bronkitis kronis mengarahkan pada
mekanisme
pengambilan neutrofil dari sirkulasi dan bermigrasi ke lumen saluran napas melalui epitelium.25
Universita Sumatera Utara
2.
Saluran napas perifer Pada perokok hambatan aliran udara yang terkait dengan perubahan patologis
lebih lanjut di saluran napas perifer termasuk remodeling saluran napas (fibrosis dan hipertrofi otot polos) dan inflamasi. Selain itu, peradangan dinding saluran napas dapat berkontribusi terhadap kerusakan dinding alveolar yang melekat pada saluran napas yang memungkinkan kerusakan dinding saluran napas dan penyempitan lumen.25 Mekanisme selanjutnya berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara pada perokok yang melibatkan sekresi mukus. Hiperplasia sel goblet pada perokok dapat berkontribusi terhadap pengembangan
keterbatasan aliran udara kronis dengan
memproduksi kelebihan mukus yang bisa mengubah tegangan permukaan jalan napas. Menariknya, pada epitel aliran udara perifer berhubungan
perokok, hiperplasia sel goblet
dengan peningkatan jumlah neutrofil. Sebagaimana neutrofil elastase
adalah penghasil sekresi mediator inflamasi yang sangat potensial, lokasi neutrofil dalam epitel dapat berperan penting untuk mengaktifkan fungsi sekresi sel goblet.25
3.
Parenkim paru Komponen yang paling penting dari definisi emfisema adalah proses destruksi.
Tergantung pada bagaimana asinus hancur, emfisema dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis: (1) emfisema sentriasinar (atau sentrilobular), yang ditandai dengan kehancuran terbatas pada bronkiolus dan bagian tengah dari asinus, dikelilingi oleh parenkim paruparu normal, dan (2) emfisema panasinar (atau emfisema panlobular), di mana keseluruhan asinus terlibat.25
2.1.5. Patofisiologi
Universita Sumatera Utara
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas, misalnya penurunan VEP 1 yang disebabkan peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun terjadi akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema.14
1.
Keterbatasan aliran udara dan hambatan udara Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil
berkorelasi dengan penurunan VEP 1 dan rasio VEP 1 /KVP. Penurunan VEP 1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.14 Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada aktifitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi hambatan udara, sehingga mengurangi volume residu dan gejala serta meningkatkan keterbatasan kapasitas latihan.14
2.
Mekanisme pertukaran gas Pada PPOK yang lanjut kombinasi dari obstruksi saluran napas perifer, destruksi
parenkim dan kelainan pembuluh darah pulmonal mengurangi kapasitas paru untuk pertukaran gas, menyebabkan hipoksemia pada tahap lanjut penyakit juga menyebabkan hiperkapnia. Korelasi antara tes fungsi paru rutin dan gas darah arteri memburuk. Hipoksemia biasanya terjadi jika melakuan aktifitas, tetapi jika penyakit terus berlangsung juga akan timbul pada saat istirahat.26
Universita Sumatera Utara
Ketidaksamaan rasio ventilasi/perfusi merupakan mekanisme utama yang menyebabakan hipoksemia pada PPOK, dengan tanpa melihat tingakatan penyakit. Hiperkapnia kronik biasanya menunjukkan disfungsi otot inspirasi dan hipoventilasi alveolar.26 Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada PPOK dikarenakan vasokonstriksi yang diakibatkan hipoksia dari arteri pulmonal yang kecil, yang mengakibatkan perubahan struktural termasuk hiperplasia intima dan selanjutnya hipertropi otot polos dan hiperplasia. Adanya respons inflamasi dalam pembuluh darah sering terlihat di saluran napas dan merupakan bukti dari disfungsi sel endotel. Jika hipertensi pulmonal terus berlangsung dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan dan biasanya menjadi gagal jantung kanan (cor pulmonale).14
3.
Eksaserbasi Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran
napas pasien PPOK. Keadaan ini dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum diketahui. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan netrofil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam sputum dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stress oksidatip.14 Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi, sehingga terjadi
Universita Sumatera Utara
peningkatan sesak napas. Terjadi juga perburukan yang mengakibatkan hipoksemia berat.14
2.1.6
Diagnosis Beberapa hal yang berhubungan dengan risiko timbulnya PPOK sampai saat ini
yaitu asap rokok, polusi udara (dalam ruangan, diluar ruangan) tekanan oksidatif, gen, tumbuh kembang paru, sosial ekonomi. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak semua perokok berkembang manjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor resiko genetik pada setiap individu. Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Gejala klinis yaitu berupa: 1. Sesak napas yang progresip dan bertambah berat seiring berjalannya waktu dan aktifitas, dan persisten 2. Batuk kronik yang hilang timbul dan mungkin tidak berdahak. 3. Batuk kronik berdahak 4. Riwayat terpajan faktor resiko berupa asap rokok, debu, bahan kimia di tempat kerja, asap dapur.27 Pemeriksaan fisis pada PPOK dini umumnya tidak dijumpai kelainan. Dari inspeksi dapat ditemukan: 1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucut) yaitu sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. 2. Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding). 3. Penggunaan otot bantu napas. 4. Hipertrofi otot bantu napas.
Universita Sumatera Utara
5. Pelebaran sela iga. 6. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai. 7. Penampilan pink puffer yaitu gambaran yang khas pada emfisema, pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing, atau blue bloater yaitu gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.27 Pada palpasi biasanya ditemukan fremitus melemah, sela iga melebar. Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Pada Auskultasi terdengar suara napas vesikuler normal atau melemah dan terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.27
Gambar 3. Gambaran radiologi penderita PPOK.28 Foto toraks PA dan lateral tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis PPOK tetapi dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang juga dapat menimbulkan gejala obstuksi saluran napas (bronkiektasis, kanker paru dan lain-lain). Temuan pada foto toraks dapat berupa: hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung pendulum (jantung menggantung).27 Spirometri merupakan baku emas untuk mendiagnosa PPOK. Hasil pengukuran spirometri penderita PPOK, didapati penurunan volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP 1 )
Universita Sumatera Utara
dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP). Nilai VEP 1 /KVP selalu kurang dari 80% nilai normal. VEP 1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.27 Tabel 1. Pembagian hambatan aliran udara berdasarkan spirometri setelah pemberian bronkodilator.14 Pasien dengan VEP 1 /FVC <70% GOLD 1 Ringan GOLD 2 Sedang GOLD 3 Berat GOLD 4 Sangat Berat
VEP 1 ≥ 80% prediksi 50 % ≤ VEP1 < 80% prediksi 30 % ≤ VEP1 < 50% prediksi VEP1< 30% prediksi
Combined assessment of COPD PENILAIAN PPOK MENURUT GOLD 2011
RESIKO KLASIFIKASI PPOK BERDASARKAN KETERBATASAN ALIRAN UDARA
(C)
(D)
2 >2 or more
3
2
mMRC 0-1, CAT<10
mMRC 0-1, CAT<10
(A)
1
(B)
1
RISK (Exacerbation history)
RISK (GOLD Classification of Airflow Limitation)
4
RESIKO RIWAYAT EKSASERBASI
0
mMRC 0-1
mMRC 2+
CAT <10
CAT 10+
SYMPTOMS
Note: When assessing risk, choose the highest risk according to GOLD/grade GEJALA SKOR mMRC CAT or exacerbation history (mMRC or CAT score) 14
Gambar 4. Penilaian PPOK menurut GOLD 2011.
2.1.7. Penatalaksanaan PPOK Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah meliputi beberapa komponen yaitu: mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, menurunkan kematian. Penatalaksanaan secara umum PPOK
Universita Sumatera Utara
meliputi beberapa hal yaitu edukasi, berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, dan nutrisi.27
2.2
C-reactive protein (CRP) CRP ditemukan oleh Tillett dan Francis pada tahun 1930, dinamai CRP karena
kemampuannya untuk mengendapkan C-polisakarida dari Streptococcus pneumoniae. CRP merupakan protein fase akut yang memiliki kemampuan untuk mengikat bakteri kemudian memfasilitasi pengikatan komplemen yang diperlukan untuk memfagositosis bakteri. CRP merupakan penanda sistemik yang sangat peka terhadap reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan. Respon fase-akut meliputi respon nonspesifik yang fisiologis dan biokimia terhadap berbagai bentuk kerusakan jaringan, infeksi, peradangan, dan keganasan. Protein fase-akut terdiri atas penghambat proteinase, koagulasi, komplemen dan protein transport, tetapi hanya molekul protein SAA yang memiliki sensitifitas, dan kecepatan respon yang sebanding dengan CRP.1
2.2.1
Struktur dan filogeni CRP CRP termasuk dalam famili pentraksin dari protein plasma calcium-dependent
ligand-binding, yang pada manusia merupakan komponen dari SAP. Molekul CRP pada manusia terdiri dari lima polipeptida yang identik, masing-masing terdiri atas 206 residu asam amino.29 Secara struktural CRP adalah molekul simetris yang terdiri dari lima protomers tidak kovalen yang berhubungan dengan promoter. Setiap protomer memiliki dua ion kalsium yang bertanggung jawab untuk pengikatan posfoklorin spesifik. Posfoklorin merupakan unsur utama dari polisakarida bakteri dan jamur dan yang paling banyak pada
Universita Sumatera Utara
sel membran biologis, seperti residu posfoklorin dari C (kapsuler)-polisakarida dari Streptococcus pneumoniae. Protein ini dinamakan "C-reactive" karena reaksi ini.30 Monosit memiliki reseptor untuk CRP dan selanjutnya CRP akan meningkatkan produksi sitokin. CRP berperan juga dalam proses atherogenesis. Aktifasi CRP lebih lanjut dapat mengakibatkan produksi sitokin pro-inflamasi dan diferensiasi monosit menjadi makrofag. Dengan keberadaan lipoprotein teroksidasi densitas rendah, CRP akan memfasilitasi produksi sel-sel busa yang akan menjadi plak aterosklerotik.31
Gambar 5. CRP pada patogenesis PPOK. LPS: lipopolisakarida; PAH: polyaromatic hydrocarbons; BEC: bronchial epithelial cell; GM-CSF: granulocytemonocyte colony-stimulating factor; MPO: myeloperoxidase; MØ: macrophage; TIMP: tissue inhibitors of metalloproteinase; aAT: a1-antitrypsin; VEGF: vascular endothelial growth factor; END: endothelial cell; CRP: C-reactive protein.19
2.2.2
Fungsi CRP CRP berperan dalam pertahanan tubuh manusia melalui respon inflamasi alamiah
yang merupakan pertahanan tubuh pertama. CRP bekerja secara bersamaan dengan sistem imunitas didapat untuk melawan patogen dan mikroba. CRP akan mengikat
Universita Sumatera Utara
antigen melalui mekanisme yang melibatkan kalsium yang berperan menambah aktifitas proses fagositosis. Konsentrasi serum CRP mencapai kadar patologis jika diatas 5 mg/l. CRP dapat digunakan untuk memonitor inflamasi akibat dari infeksi maupun tidak infeksi, dan untuk menilai kemajuan terapi.32 Nakou dkk (2008) dalam analisanya menyimpulkan CRP dapat berperan dalam menginduksi apoptosis sel otot polos pembuluh darah koroner, dapat menginduksi pelepasan IL-1 dan TNFα oleh monosit, meningkatkan pembentukan radikal oksigen dengan monosit dan netrofil, menginduksi aktivasi komplemen, menginduksi ekspresi dari molekul adhesi melalui sel endotel (ICAM-1, VCAM-1, E-selektin) dan menginduksi produksi dari tissue factor dari monosit.33 Gan dkk. (2004)
dalam studi metaanalisanya menganalisa 14 studi original
dengan membandingkan kadar serum CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF-α , IL-6, dan IL-8 pada pasien PPOK dan kontrol sehat. Hasilnya adalah pasien PPOK secara signifikan mengalami peningkatan kadar CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF-α dibandingkan dengan kontrol yang sehat, yang mengindikasikan bahwa inflamasi sistemik persisten terjadi pada PPOK. Ditemukan juga bahwa pada pasien PPOK yang telah berhenti merokok terdapat bukti adanya inflamasi sistemik yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa ketika terjadi PPOK, berhenti merokok tidak sepenuhnya menepis proses inflamasi yang berhubungan dengan kondisi ini.34 Bagaimana dan kenapa pasien PPOK mengalami inflamasi sistemik masih belum dapat dijelaskan. PPOK dikarakteristikkan dengan proses inflamasi yang kuat pada saluran napas, parenkim, dan pembuluh darah paru. Ada kemungkinan dalam beberapa kasus bahwa proses inflamasi ini meluas ke sirkulasi sistemik yang selanjutnya menimbulkan reaksi inflamasi yang luas. Bagaimanapun mekanismenya, proses inflamasi sistemik pada PPOK telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi seperti
Universita Sumatera Utara
kehilangan berat badan, kaheksia, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular. Hubungan antara PPOK, peradangan sistemik, dan penyakit kardiovaskular sangat erat dimana lebih dari setengah pasien dengan PPOK meninggal karena penyakit kardiovaskular. Selain itu, selama periode eksaserbasi
terjadi
peningkatan secara signifikan kadar
plasma CRP, fibrinogen dan kadar serum IL-6, yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan PPOK.34 Olafsdottir dkk. (2007) dalam studi kohort mengikutsertakan 53 pasien PPOK. Dengan hasil bahwa kadar CRP lebih besar pada penderita PPOK dibanding yang tidak (1,4 mg/l vs 1,0 mg/l, p=0,003), subjek dengan peningkatan kadar CRP (OR (95% CI) 3.21 (1.13–9.08)) memiliki resiko menderita PPOK dan penurunan FEV 1 pada laki-laki (rata-rata 44 mL) dan perempuan (rata-rata 31 mL). Laki-laki dengan kadar CRP > 0,46 mg/l mengalami penurunan FEV 1 sementara pada kadar yang sama perempuan tidak mengalami penurunan FEV 1 yang signifikan. Hubungan negatif antara CRP dan FEV 1 terjadi lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan (p=0,04), terdapat hubungan kadar CRP dan FVC (p=0,01) pada laki-laki saja.35 Olafsdottir (2011) dalam disertasinya menyimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dan gejala respirasi seperti mengi, sesak napas yang berhubungan dengan aktifitas, batuk malam hari, dimana hal ini menunjukkan bahwa penanda inflamasi sistemik tidak hanya bermanfaat sebagai penanda penyakit tahap lanjut tetapi juga untuk menilai perjalanan penyakit.36
2.2.3
Kadar CRP Secara tradisional, kadar serum CRP dapat diukur dengan nephelometry, yang
memiliki batas deteksi dari 6 sampai 10 mg / L yang disebut test "serum CRP". Bentuk komersialnya adalah "high-sensitivity CRP" (hs-CRP). Pemeriksaan ini memiliki batas
Universita Sumatera Utara
deteksi sesuai dengan nama dagangnya seperti metode immulite automated analyzer dengan batas deteksi pengukuran 0,10 – 500 mg/l, berdasarkan BNA nephelometer dengan batas deteksi pengukuran 0,18-115 mg/l, berdasarkan immage dengan batas deteksi pengukuran 0,2-1440 mg/l.37 Kao dkk. (2006) menuliskan bahwa populasi Asia memiliki kadar serum CRP yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi Eropa sehingga diperlukan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk menilai kadar CRP pada populasi Asia.30 Jika ada perangsangan terhadap protein fase akut ini, nilainya dapat meningkat antara lebih < 50 ug/l sampai > 500 mg/l, yaitu 10.000 kali lipat. Kadar CRP plasma diproduksi oleh sel hati, terutama di bawah kontrol transkripsi sitokin IL-6, TNF-a dan IL-1 meskipun telah pernah dikemukakan kemungkinan sumber lain dapat membentuk CRP lokal.38 Broz BR dalam studinya menyatakan bahwa parenkim paru dan jaringan bronkus juga dapat mensintesa CRP.39 Hutchinson dkk. (2000) dalam studi epidemiologi menilai kadar CRP pada populasi dewasa dari Augsburg (2291 laki-laki, 2203 perempuan, usia 25-74 tahun), Glasgow (604 laki-laki, 650 perempuan, usia 25-64 tahun) dengan hasil bahwa kadar CRP hampir sama pada kedua populasi yaitu 1 mg/l pada usia muda dan 2 mg/l pada usia tua, dimana kadarnya lebih tinggi pada wanita. Rata-rata kadar CRP pada kedua populasi yaitu 0,75 sampai 2,40 mg/l.40 Dalam semua kondisi (baik normal ataupun dalam kondisi sedang mengalami inflamasi) maka waktu paruh plasma CRP adalah sekitar 19 jam, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar CRP dalam sirkulasi akan berkurang dalam sebanyak 50% setiap 19 jam jika individu tersebut diberi stimulus yang memperbaiki penyebab peningkatan CRP, jika dibanding dengan parameter biokimia lain (viskositas plasma atau sedimentasi eritrosit), maka kadar sirkulasi CRP lebih akurat.38
Universita Sumatera Utara
Lacoma dkk. (2011) dalam studinya memeriksa kadar PCT, CRP dan neopterin, pada 46 pasien PPOK stabil, 217 PPOK eksaserbasi, 55 PPOK dengan pneumonia dengan hasil PCT dan CRP meningkat pada pasien pneumonia kemudian eksaserbasi (p<0,0001), sementara neopterin tidak menunjukkan perubahan. Ketiga biomarker ini meningkat lebih tinggi pada pasien yang meninggal dalam waktu satu bulan setelah pemeriksaan darah dibanding dengan yang meninggal dalam waktu lebih dari satu bulan. Dari 217 pasien PPOK eksaserbasi, 23 orang pasien diperiksakan kembali menemukan kadar PCT, CRP dan neopterinnya satu bulan kemudian dan hasilnya bahwa kadar PCT (P=0.0788) dan CRP (P=0.0181) mengalami penurunan setelah satu bulan episode eksaserbasi (fase pemulihan) sementara kadar neopterin meningkat (P =0.0325).41 Halvani dkk. (2006) dalam studi komperatif-deskriptif pada 45 pasien PPOK stabil dengan jenis kelamin laki-laki tanpa penyakit jantung iskemi dan 45 orang sehat sebagai kontrol menemukan bahwa kadar hsCRP pada pasien PPOK secara signifikan (p=0,04) berhubungan dengan derajat sesak napas dengan berdasarkan skala MMRC dimana derajat I, II, III masing-masing 22,78 ng/ml; 28,88 ng/ml dan 36.90 ng/ml. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar CRP dan beratnya penyakit, episode eksaserbasi dan penggunaan kortikosteroid inhalasi. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan faktor utama yang menyebabkan komplikasi ekstrapulmonal.42
2.2.4
Cut off CRP Hurst dkk. dalam studi kohort menyimpulkan bahwa cutoff CRP dapat dipilih
untuk memaksimalkan sensitivitas dan spesifisitas sesuai kebutuhan. Namun CRP saja tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk mengkonfirmasi eksaserbasi.7 Bircan dkk. (2008) dalam studinya pada 30 pasien PPOK stabil, 51 pasien PPOK eksaserbasi, 32 pasien PPOK dengan foto thorax pneumonia (PCOPD) , 30 pasien laki-
Universita Sumatera Utara
laki normal sebagai control, dengan kesimpulan bahwa nilai cutoff
CRP untuk
mendiagnosa PPOK atau infeksi bakteri sebagai penyebab eksaserbasi akut masih belum diketahui. Dalam studinya Bircan dkk. menggunakan cutoff CRP 10 mg/l untuk eksaserbasi akut dengan sensitivitas dan spesifisitas 72,5% dan spesifisitas 100%. Nilai kisaran normal yang digunakan adalah 0-10 mg/l. Hasilnya yaitu rata-rata kadar CRP pada PCOPD adalah 108.1 + 61.8 mg/l, SCOPD: 3,9 + 1,4 mg/l, AECOPD: 36,8+ 43,9 mg/l, kontrol normal : 2.1+ 0.9 mg/l. Hasil ini menunjukkan tidak satupun dari kontrol yang sehat dan pasien PPOK stabil memiliki kadar CRP >10 mg/l, sementara semua pasien PPOK eksaserbasi memiliki kadar CRP >10 mg/l.43 Broekhuizen dkk (2006) dalam studinya pada 102 penderita PPOK dengan hasil penderita PPOK dengan GOLD derajat III dan IV memiliki kadar CRP yang lebih tinggi dibanding GOLD derajat II (II: 1.92 (0.36–16.00) mg/l; III: 4.43 (0.47–75.60) mg/l; IV: 4.90 (0.47–65.70) mg/l; p<0.03). Nilai cut off yang digunakan untuk membedakan kadar CRP orang normal (rata-rata 1,49 mg/l) dan yang mengalami peningkatan (rata – rata 12,50 mg/l) adalah 4,21 mg/l.44
2.2.5
Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar CRP Telah banyak laporan bahwa pada beberapa populasi kadar CRP pada wanita
lebih tinggi dibanding pria. Data dari Ausburg juga menunjukkan demikian bahwa kadar CRP pada wanita (2,9 mg/L) secara signifikan lebih tinggi dibanding pria (1,5 mg/L) dan kebalikannya ditemukan pada populasi di Jepang.45 Alavi dkk. (2011) berdasarkan studinya menyatakan bahwa kadar hsCRP meningkat pada penderita PPOK eksaserbasi dengan BMI yang dibawah normal dan diatas normal dibandingkan dengan yang normal, pasien dengan PaCO 2 yang lebih tinggi juga menunjukkan kadar hsCRP yang lebih tinggi.13
Universita Sumatera Utara
Sin dkk. (2004) dalam studinya mengikutsertakan 41 pasien PPOK ringan sampai sedang, menemukan efek prednisolon oral 30 mg/hari menurunkan kadar CRP 71% dan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (flutikason 1000 dan 2000 μg/hari) menurunkan kadar CRP 50% pada pasien PPOK ringan sampai berat.46 Pinto-plata dkk. (2006) dalam studinya mengikutsertakan 88 pasien PPOK dan 33 kontrol merokok dan 38 kontrol tidak merokok, dengan hasil bahwa kadar CRP sekitar 20% lebih rendah pada pasien yang menggunakan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi budesonid 800-1200 μg/hari, kadar CRP lebih tinggi pada pasien PPOK (ratarata 1,51 mg/l) dibanding orang sehat baik merokok (1,04 mg/l) maupun tidak merokok (1,04 mg/l).47 Sementara itu Karadag dkk. (2008) menemukan tidak ada perbedaan
kadar
serum CRP, TNF-alfa atau IL-6 pada pasien PPOK yang sedang ataupun yang sudah berhenti menggunakan steroid inhalasi dengan dosis medium budesonide 400-800 μg/hari. Kadar CRP juga diketahui secara signifikan lebih tinggi pada pasien PPOK dengan BMI yang rendah.48 Kherad dkk. (2010) dalam studinya memeriksa kadar CRP (86 orang) dan PCT (81orang) penderita AECOPD dengan hasil medium kadar CRP 33 mg/l dan PCT 0,06 μg/l pada kasus yang ditemukan infeksi bakteri. Dan pada kasus yang ditemukan infeksi virus kadar medium CRP dan PCT adalah 45 mg/l dan 0,08 μg/l, namun hasil ini tidak ada perbedaan secara signifikan dengan pasien tanpa infeksi bakteri maupun virus.49
Universita Sumatera Utara
2.3.
Kerangka konsep
Dinding sal. napas IL-8, IL-6, TNF-α, IL-1β,GMCSF,TGF-β1 Masuknya PMN, MO, limfosit Oksidan, fibroblast, hambatan sal. napas, proliferasi otot polos, apoptosis, emfisema
↑TNF-α, oksidan
Arteri: aterosklerosis, plak ruptur
Sirkulasi pulmonal IL-8, IL-6 TNF-α, oksidan
Sirkulasi sistemik
Otot: kelelahan, kelemahan
↑IL-6
Tulang: osteoporosis Liver: ↑CRP, ↑IL-6, ↑αAT,
↑CRP ↑CRP››››
Gejala klinis
↑CRP ››
PPOK eksaserbasi
PPOK stabil
Kelompok A, B, C, D
Asap rokok Polusi udara Stres oksidatif Gen Tumbuh kembang paru Sos. ekonomi
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang: Spirometri, Foto thorax
Diagnosis PPOK
Gambar 6. Kerangka konsep penelitian 2.4
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi 2) Peningkatan CRP berhubungan dengan penurunan faal paru.
Universita Sumatera Utara