BAB 1 : DEFINISI DAN TINJAUAN Hal penting : Penyakit paru obstruktif kronis (COPD) adalah penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara yang biasanya bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon peradangan kronis dalam saluran udara dan paru hingga partikel yang bracun atau gas. Kondisi yang memburuk dan komorbiditas mempengaruhi tingkat keparahan pada pasien perorangan. COPD adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dan mengakiabtkan beban ekonomi dan sosial yang bersifat substansial dan terus meningkat. Mengisap asap rokok dan partikel racun lainnya seperti asapo dari bahan bakar biomassa menyebabkan inflamasi paru, respon normal yang terlihat dimodifiaksi pada pasien yang mengalami COPD. Respon radang kronis ini tentu dapat mempengaruhi kerusakan jaringan parenchymal (menghasilkan empohysema), dan menganggu mekanisme pertahanan dan perbaikan normal (menghasilkan fibrosis saluran udara kecil). Perubahan patologio ini mengarah pada perangkap udara dan bataan aliran udara secara progreeif dan dengan demikian mengalami sesak nafas dan gejala karakteristik dari COPD.
1
Definisi Penyakit poaru obstruktif kronis (COPD) adalah penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara yang biasanya bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon peradangan kronis dalam saluran udara dan paru hingga partikel yang bracun atau gas. Kondisi yang memburuk dan komorbiditas mempengaruhi tingkat keparahan pada pasien perorangan. Karakteristik terbatasanya aliran udara kronis dari COPD ini adalah disebabkan oleh berbagai penyakit saluran udara kecil (bronkiolitis obstruktif) dan kerusakan parenchymal (empohysema), kontribusi relatif yang bervariasi untuk setiap orang (Gambar 1.1). Peradangan kronis ini menyebabkan perubahan struktural dan poenyempitan saluran udara kecil. Kerusakan parenkhyma paru juga akibat proses peradangan, mengarah apa kehilangan tempelan alveolar pada saluran udara kecil dan mengurangi recoil elastis paru;
dalam hal ini, poerubahan ini meminimumkan
kemamopuan saluran udra untuk tetapo terbuka selama pembuangan nafas. Keterbataan aliran udra dapat diukur dengan mengggunakan spirometer,
yang
banyak tersdia dan merupakan uji fungsi paru. Beberapa definisi terdahulu dari COPD juga menekankan istilah emphysema dan bronchitis kronis yang tidak termasuk dalam definisi yang digunakan dalam laoporan ini dan dalam laporan GOLD awal. Emphysema atau keruakan permukaan pertukaran gas dari paru (alveoli) adalah istilah patologi yang seringkali digunakan secara klinis dan menjelaskan salah satu kelainan struktural yang ada pada pasien
2
dengan COPD. Bronchitis kronis, atau adanya batuk dan poroduksi sputum setidaknya 3 bulan dalam dua tahun berturut-turut, masih menjadi istilah yang bermanfaat secara klinis dan epidemiologi. Juga poerlu untuk mengenali bahwa batuk kronis dan produksi spoutum (bronchitis kronis) adalah entitas penyakit idnepoenden yang mendahului atau mengikuti poerkembangan keterbatasan aliran udara dan terkait dengan perkembangan dan atau percepatan keterbataan aliran udara yang tetap. Bronkhitis kronis juga terdapat pada pasien dengan spirometer yang normal. Beban COPD COPD adalah poenyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dan mengakiabtkan beban sosial dan ekonomi yang bersifat substansial dan mengalami peningkatan terus menerus. Prevalensi COPD, morbiditas dan mortalitas bervariasi di sleuruh negara dan mengikuti kelompok yang berbeda di suatu negara. COPD adalah diakiabtkan oleh paparan kumulatif dalam beberapa dekade. Seringkali, prevalensi COPD adalah berhubungan langsung dengan prevalensi merokok tembakau, meskipoiiun di beberapa negara, pencemaran udara di dalam dan di luar ruangan – diakiabtkan oleh pembakaran kayu dan bahan bakar biomassa lainnya merupakanf aktor resiko COPD utama. Prevalensi dan beban COPD adalah diproyeksikan mnengalami peningkatan dalam dekade mendatang akibat terhaparnya pada faktor resiko COPD terus menerus dan perubahan struktur usia dari poopulasi dunia (dengan sebagian ebar orang hidup lebih lama dan oleh karena itu akabn mengalami efek jangka panjang akiabt kontak dengan faktor resiko COPD).
3
Informasi tentang beban COPD dapat ditemukan pada website internaisonal seperti website WHO. P0penuaan juga merupakan faktor resiko COPD dan penuaan saluran udra dan parenkhyma menyerupaio perubahan struktural trkait COPD. Prevalensi Data keberadaan prevalensi COPD memperlihatkan variasi yang dapat terlihat terkait dengan perbedaan dalam metode survey, kriteria diagnosa dan pendekatan analitik. Esdtiamsi terendahd ari prevalensi ini adalah didasarkan pada laporan diagnosa dokter terhadap COPD atau kondisi yang ekuivalen. Misalnya, sebagian besar data nasional memperlihtkan bahwa kurang dari 6%
populasi dewaa
mengalami COPD. Ini menggambarkan penyebaran dibawah poengenalan dan di bawah diagnosa COPD. Disamping kompleksitas itu, data yang ada memungkinkan bebeapa kesimpulan diambil terkait prevalensi COPD, bukan setidaknya karena peningkatan data pengendalian mutu. Tinjauan sistematis dan meta analisis dari penelitian yang dilakukan di 28 negara selama taahun 1990 dan 2004, dan poenelitian tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi COPD ini lebih tinggi pada perokok dan bekas perokok dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok, dalam usia dia tas 40 tahun dibandingkan mereka yang berusdia di bawah 40 tahun, dan pada laki-laki dibanidngkan dengani pada wantia. Proyek Amerika Latin untuk penelitian penyakit paru obstruktif (PLATINO) menguji prevalensi dari keterbatasan aliran duara paska bronchodilator diantara mereka yang berusia di atas 40 tahun di lima kota Amerika
4
Latin, masing-masing di negara yang berbeda – Brazil, Chile, Mexico, Uruguay dan Venezuela. Di setiap engasra, prevalensi COPD meningkat seiring dengan pertambahan usia, dengan prevalensi tertinggi diantara mereka yang berusia di atas 60 tahun, mulai dari total populasi terendah 7.8% di Mecico City, Mexico hingga yang tertinggi 19.7% di Montevideo, Uruguay. Di semua kota/negara prevalensi ini lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada wanita, yang bertolak belakang dengan hasil temuan dari kota Eropa seperti Salzbvurg. Beban porogram penyakit paru obstruktif (BOLD) juga telah melakukan survey di beberapa belahan dunia dan mencatat penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan sebelumnya ditemukajn dan prevalensi substqansialnya (3 – 11%) dari COPD diantara mereka yang tidak pernah merokok. Morbiditas Ukuran morbiditas pada dasarnya meliputi kunjungan dokter, kunjungan ke unit gawat darurat dan rawat inap. Meskipun database COPD untuk parameter hasil ini belum banyak tersedia dan biasanya kurang handal dibandingkan dengan dastabase mortalitas, ketersediaan data yang terbatas menunjukkan bahwa morbiditas terkait COPD meningkat seiring dengan penambahan usia. Morbiditas dari COPD dapat dipengaruhi oleh kondisi komorbid kronis (seperti penyakit kardiovaskular, gangguan muskuloskeletal, diabetes mellitus) yang terkait dengan COPD dan jgua berdampak terhadap status kesehatan pasien, termasuk interferensi dengan penanganan COPD.
5
Mortalitas Organisasi kesehatan dunia mempublikasikan statistik mortalitas untuk penyebab kematianj pioihan setiap tahun untuk semua wilayah WHO; informasi tambahan juga diperoleh dari Departemen kebijakan kesehatan WHO. Dadsta ini harus diinterpretasikan secara hati-hati karena poenggunaan istilah yang tidak konsisten untuk COPD. Dalam revisi ICD ke 10, kematian akibat COPD dan gangguan aluran udara kronis termasuk dalam kategori COPD dan kondisi lainnya. (CD – 10 kode J42-46) Dibawah pengenalan dan di bawah diagnosa COPD masioh mempengaruhi keakuratan data mortalitas. Meskipun COPD seringkali menjadi penyebab utama kematian, namun sangat dimungkinkan dicatat sebagai penyebab utama kematian atau diabaikan dari surat kematian secara keseluruhan. Semakin jelas bahwa COPD adalahs alah satu penyebab kematian terpoenting di sebagian ebasr negara. Global Burdern of Disease Study memproyeksikan bahwa COPD yang menduduki urutan keenam sebagai penyebab kematian di tahun 1990 akan menjadi penyebab ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2020; proyeksio terbaru memperkirakan bahwa COPD akan menjadi penyebab kematian di urutan keempat pada tahun 2030. Peningkatan mortalitas ini terutama dipicu oleh pengembangan epidemik merokok, pengurangan mortalitas dari penyebab kematian umum (seperti penyakit jantung iskemia, penyakit ifneksi) dan penuaan penduduk dunia.
6
Beban ekonomi COPD berkaitan dengan beban ekonomi yang cukup signifikan. Di Uni Eropa, total biaya langsung penyakit pernafasan ini diperkriakan mencapaio 6% dari total anggaran perawatan kesehatan, dengan COPD diperhitungkan mencapaio 56% (38.6 juta Euro) dari biaya penyakit pernafasan. Di Amerika Serikat, biaya langsung COPD yang diestiamsi adalah $29.5 juta dan biaya tidak langsungnya adalah $20.4 juta. Pemvburukkan COPD diperhitungkan pada proporsi yang lebih besar dari total beban COPD terhadap sistem perawatan kesehatan. Tidak mengejutkan bahwa ada hubungan langsung antara tingkat keparahan COPD dan biaya perawatan dan distribusio perubahan biaya akibat kemajuan penyakit. Misalnya, rawat inapo dan biaya oksigen ambulatorri yang membengkak seiring dengan peningkatan keparahan COPD. Estimasi biaya medis langsung untuk perawatan di rumah menunjukkan biaya perawatan rumah bagi masyarakat karena mengabaikan nilai ekonomi dari perawatan yang diberikan kepada penderita COPD oleh anggota keluarga. Di negara sedang berkembang, biaya medis langsung tentu kurang penting dibandingklan dengan dampak COPD di tempat kerja dan produktivitas di rumah. Krena sektor perawatan kesehatan tentu tidak akan memberikan layanan perawatan pendukung dalam jangka panjang untuk mereka yang tidak mampu, COPD juga dapat mendorong dua orang untuk meninggalkan tempat kerja
-- mereka yang
tersrang dan anggota keluarga yang harus tinggal di rumah untuk merawat saudaranya itu. Karena sumber daya mausia serijgkali menjadi asset nasional yang penting di
7
negara-negara sedang berkembang, biaya tidak langsung COPD ini tentu menggambarkan ancaman yang serius bagi perekonomian. Beban sosial Karena mortalitas menawarkan perspektif terbatas tentang beban penyakit bagi manusia, maka diharapkan akan menemukan ukuran lain dari beban penyakit yang lebih sesuai dan dapat terukur. Penulis dari Global Burden of Disease Study merancang metode untuk mengestimasi bagian mortalitas dan kelumpouhan terkait dengan penyakit utama dan cidera yang menggunakan ukuran komopsit dari beban masalah kesehatan, kehidupan yang disesuaikand engan disabilitas (DALY). DALY untuk kondisi spesifik adalah jumlah tahun yang hilang karena mortaltias prematur dan tahun hdiupo yang dijalani dengan kelumpouhan, yang disesuaikan dengan tingkat keparahan kelumpuhan dimaksud. Tahun 1990, COPD adalah poenyebab kedua belas dari kerugian DALY di dunia, berkaitan dengan 2.1% dari toalnya. Menurut proyeksinya, COPD akan menjadi penyebab ketujuh dari kerugian akibat DALY di seluruh dunia pada tahun 2030. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan penyakit Meskipun merokok adalah faktor resiko COPD yang sudah diteliti dengan baik, namun bukan hanya satu-satunya dan masih ada bukti yang konsisten dari kajian epidemiologi bahwa mereka yang bukan perokok juga dapat mengalami gangguan aliran udara kronis. Sebagian bukti menyangkut faktor resiko untuk COPD berasal dari kajian epidemiologi yang mengidentifiaksikan hubungan dari pada
8
hubungan sebab akibat. Meskipoiunj bebrapoa kajian longitudinalk dari COPD telah mengikuti kelomkpok dan poipulasio selama 20 tahun, namun tak satupun yang dapat memonitor kemanjuan penyakit ini secara keseluruhan atau melibatkan periode pra dan perinatal yang menjadi penting dalam pembentukan resiko COPD yang akan datang. Sehingga, pemahaman tentang faktor resiko saat ini untuk COPD adalah masih belum lengkap. COPD yang dihasilkan dari interaksi gen – lingkungan. Diantara mereka yang memiliki riwayat merokok yang sama, tidak semuanya mengalami COPD akibat perbedaan predisposisi genetika pada penyakit atau seberapa lama mreka hidup. Faktor-faktor resiiko untuk COPD dapat dikaitkan dengan cara yang lebih komopleks. Misalnya, gender dapat mempengaruhi apoakah seseoang merokok atau mengalami papasran pada pekerjaan atau lingkungan, status sosial ekonomi juga dikaitkand engan berat lahir anak (sebagai dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan paru terhadap kerentanan untuk mengalami penyakit); dan usia hasrapan hidupo yang lebih lama akan memungkinkan kontak yang lebih besar pada faktor resiko. Memahami hubungan dan interaksi diantara faktor resiko menuntut penelitian lebih lanjut. Gen Faktor resiko genetika yang terdokumentasi dengan baik adalah merupakan kelainani bawaan yang cukupo parah dari alfa – 1 antitrypsin, poenghambat sirkulasi utama dari serine proteases. Meskipun kelainan alfa – 1 antitrypsin adalah hanya
9
terkait pada sebagian kecil penduduk dunia, ini mengilsutrasikan interaksi antara gen dan paparan lingkungan yang dapat menimbulkan COPD. Resiko kelaurga yang cukup signifikan dari keterbatasan aliran udara telah diamati pada saudara sepupu perokok pasien penderita COPD yang parah yang menunjnukkan bahwa genetika secara bersama-sama dengan faktor lingkungan akan mempoengaruhi kerentanan. Gen tunggalk seperti matriks poengkodean gen metalloprofeinase 12 (MMP12) juga terkait dengani penurunan fungsi paru. Meskipun beberapa kajian terkait genome menunjukkan peran gen untuk reseptor acetylcholine alfa nikotin termasuk interaksi gen protein dan kemungkinan satu atau dua yang lainnya, masih terjadi penyimpangan antara temuan dari analisis COPD dan fungsi paru termasuk antara analisis kajian asosiasi genome dan analisis gen kandidat. Usia dan gender Usia adalah seringkali dicatat sebagai faktor resiko untuk COPD. Masih belum jelas apakah penuaan juga menyebabkan COPD atau bila usia merefleksikan jumlah poapasran kumulatif sepanjang hidupnya. Di masa lampoau, sebagian penelitiajn memperlihatkan bahwa prevalensi COPD dan mortalitas adalah lebih besar diantara laki-laki dibanidngkan wanita tetapoai dsata dari negara maju memperlihatkan bahwa prevalensi dari penyakit ini hampir sama antara laki-laki dan perempoiuan, kemungkinan merefleksikan perubahan pola merokok. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa wanita lebih rentan terhadap efek merokok tembakau dibandingkan dengan laki-laki.
10
Pertumbuhan dan perkembangan paru Pertumbuhan paru adalah terkait dengan proses yang berlangsung selama masa kehamilan, kelahiran dan terpapar pada masa anak-anak dan remaja. Penurunan maksimal dari poencapaioan fungsi paru (sebagaimana diukur dengan spirometer) dapat mengidentifikasi
mereka yang mengalami peningkatan resiko untuk
mengalami COPD. misalnya, penelitian dan meta analisis mengkonfirmasi hubungan positif antara berat badan lahir dan FEV1 pada orang dewasa dan beberapa penelitian menemukan pengaruh infeksi paru pada masa anak-anak. penelitian menemukan bahwa faktor pada usia dini disebut sebagai faktor kelemahan pada usia kanak-kanak adalah sangat penting seperti halnya perokok berat dalam memprediksikan fungsi paru pada kehidupan orang dewasa. Terpapar pada partikel Di seluruh dunia, merokok adalah merupakan faktor resiko yang umum bagi COPD. Perokok memiliki prevalensi yang tinggi terhadap gejala kelainan pernafasan dan fungsi paru, angka penurunan tahunan yang besar dalam FEV, dan angka mortalitas COPD yang lebih besar dari mereka yang tidak perokok. Jenis tembakau lainnya (pipa, cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan faktor resiko untuk COPD. Terpapar pasif pada asap rokok (yang juga dikenal sebagai perokok lingkungan aau ETS) dapat mempengaruhi gejala pernafasan dan COPD akibat peningkatan total beban paru dari partikel dan gas yang terhirup. Merokok selama kehamilan juga
11
memiliki resiko bagi janin, dengan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru dalam uteroi dan kemungkinan menganggu sistem kekebalan. Terpapar di tempat kerja termasuk debu organik dan anorganik dan zat kimia serta asap adalah merupakan faktor resiko yang terapresiasi untuk COPD. Analisis survey NHANES III berbasis penduduk di Amewrika Serikat dari 10.000 sorang dewasa berusia 30 – 75 tahun diperkirakan fraksi COPD terkait pekerjaan adalah 19.2% secara keseluruhan dan 31.1%
dikalangan mereka yang tidak pernah
merokok/. Estimasi ini sesuai dengan laporan yang dipublikasikan oleh American Thoracic Society yang menyimpulkan bahwa paparan pekerjaan diperhitungkan 10 – 20% dari gejala atau gangguan fungsional sesuai dengan COPD. Resiko paparan di tempat kerja pada wilayah yang kurang teratur di dunia kemungkinan lebih tinggi dibandngkan dengan laporan penelitian dari Eropa dan Amerika Utara. Kayu, bulu hewan, residu tanaman dan batu bara khususnya yang dibakar di tungku terbuka atau tungku dengan fungsi yang kurang baik dapat mengakibatkan tingkat pencemaran udara dalam ruangan yang cukup tinggi. Bukti ini terus berkembang dimana pencemaran dalam ruangan akibat memasak menggunakan biomassa dan pemanasan dalam ruang berventialsi buruk adalah faktor resiko bagi COPD. Hampir 3 juta orang di seluruh dunia menggunakan biomassa dan batu abra sebagai sumber energi utama untuk memasak, pemanasan dan kebutuhan rumah tangga ainnya sehingga penduduk beresiko lebih besar. Tingkat pencemaran udara yang tinggi adalah juga membahayakan bagi mreka enderita penyakit paru atau penyakit jantung/ peran pencemaran udara di luar
12
ruangan dalam menyebabkan COPD masih belum jelas tetapi tentu sangat kecil bila dibandingkan dengan merokok. Juga sangat sulit untuk menilai pengaruh polutant tunggal yang terpapar pada pencemaran udara dalam waktu yang lama. Pencemaran udara dari pembakaran bahan bakar fossil terutama dari emisi kendaraan bnermotor di kota-kota besar adalah berkaitan dengan penurunan fungsi pernafasan. Pengaruh relatif dari paparan jangka pendek dengan puncak tinggi, dan juga paparan jangka panjang dengan level rendah dapat diatasi. Status ekonomi Kemiskinan adalah merupakan faktor resiko bagi COPD tetapi komponen kemiskinan yang mempengaruhi hal ini masih belum jelas. Ada bukti kuat bahwa resiko berkembangnya COPD adalah berhubungan terbalik dengan status sosial ekonomi. Belum jelas apakah poola ini merefleksikan paparan dengan pollutant udara di dalam dan di luar ruangan. Kerumunan yang apdat, gizi buruk, infeksi atau faktor lain terkait dengan status sosial ekonomi. Asma / hiperaktivitas bronchial Asma dapat menjadi faktor resiko untuk berkembangnya COPD, meskipun bukti ini belum bersifat kesimpulan. Dalam laporan kelompok longitudinalk kajian epidemiologi Tucson untuk penyakit gangguan saluran udara, orang dewasa penderita asma ditemukan memiliki resiko duapuluh kali lebih besar mengalami COPD sepanjang waktu dibandingkan mereka tandpa asma, setelah penyesuaian untuk merokok. Kajian longitudinal lainnya bagi reka penderita asma menemukan sekitar
13
20% dario subjek mengalami keterbatasan aliran udra dan mengurangi keofisien transfer dan dalam studi longitudinal untuk asma yang dikaitkan dengan kehilangan FEV yang belebihan dalam populasi umum. Dalam survey kesehatan pernafaan Masyarakat Eropa, hiperspoonsif bronkhialk adalah kedua setelah merokok sebagai faktor resiko utama untuk COPD, yang menyerang 15% dari penduduk dengan resiko tersebut. Patologi keterbataan aliran udara kronis pada perokok penderita asma dan perokok tanpa asma adalah berbeda, yang menyaakan bahwa kedua entitas penyakit ini dapat saja berbeda ketika muncul dengan penurunan fungsi paru yang sama. Pemisahan asma secara klinis dari COPD tidaklah mudah. Hiperreaktivitas bronchial dapat ada tanpa diagnosa klinis dari asma dan terlihat sebagai prediktor inde3pendend ari COPD pada kajian populasi termasuk indikator resiko penurunan berlebihan pada fungsi paru pasien penderita COPD ringan. Bronkhitis kronis Dalam studi semiknal oleh Fletcher dkk, bronkhitis kronis tidak dikaitkan dengan penurunan fungsi paru. Kajian ini tentu menemukan hubungan antara hipersekresi lendir dan FEV1 yang mengalami penurunan, dan apda orang dewasa muda yang merokok dengan menderita bronkhitis kronis terkait dengan peningkatan kemungkinan mengalami COPD. Infeksi
14
Riwayat infeksi pernafasan anak-anak yagn cukup parah dikaitkan dengan penurunan fungsio paru dan peningkatan gejala pernafasan pada orang dewasa. Kerentanan terhadap infeksi memainkan peran di dalam memperburuk COPD tetapio efek terhadapo perkembangan penyakit masih belum jelas. Infeksi HIV juga terlihat mempercepat serangan empohysema terkait merokok. Tuberkulosis ditemukan sebagai faktor resiko untuk COPD. Disampoing itu, tuberkulosis adalah diagnosa pembeda untuk COPD dan komorbiditas potensial. Patologi, patogenesis dan patofisiologi Asap rokok yang dihirup dan partikel racun lainnya seperti asap dari bahan bakar biomassa menyebabkan peradangan paru, respon normal yang termodifikasi pada pasien
yang mengalami COPD. Respon peradangan kronis ini dapat
mempengaruhi kerusakan jaringan parenchyumal (akiabt emfisema) dan kerusakan perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (akibat fibrosis saluran udara yang kecil). Perubahan patologi ini mengarah pada terperangkapnya udara dan keterbataan aliran udara secara progresif. Tinjauan yang jelas mengikuti perubahan patologi pada COPD, mekanisme selular dan molekularnya dan bagaimana kelainan fisiologi dan karakteristik gejala penyakit ini. Patologi Karakteristik perubahan patologi dari COPD adalah ditemukan dalam saluran udara, parenchyma
paru dan perubahan struktural diakiabtkan oleh cidera yang
berulang dan perbaikannya. Secara umum, peradangan dan perubahan struktural
15
dalamk saluran udara meningkat seiring dengan tingkat keparahan penyakit dan adanya pada sensasi merokok. Patogenesis Peradangan pada saluran pernafasan pasien COPD terlihat sebagai modifikasi respon peradangan dari dari saluran pernafaan untuk iritant kronis seperti merokok. Mekanisme untuk peradangan amplifikasi masih belum dipahami tetapi tentu dapat ditentukans ecara genetika. Pasien dapat mengalami COPD dengan jelas tanpa merokok, tetapi sifat respon peradangan pada pasien ini masih belum diketahui. Tekanan oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru lebih lanjut memodifikasi radang paru. Secara bersama-sama, mekanmisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologi dalam COPD. Peradangan paru ada setelah berhenti merokok melalui mekanisme yang masih belum diketahui, meskipun autoantigen dan mikroorganisme yang ada memainkan sebuah peran. Tekanan oksidatif. Tekanan oksidatif dapat menjadi mekanisme amplifikasi yang penting dalam COPD. Biomarker tekanan oksidatif (seperti hidrogen peroksida, 8-isoprostane) adalah mengalami peningkatan pada kondensat pernafaan yang dibuang, sputum dan sirkulasisistemik dari pasien COPD. Tekanan oksidatif adalah mengalami peningkatan pemburukkan. Oksidant adalah dihasilan oleh aapo rokok dan partikulat lain yang terhirup dan dilepaskan dari sel anti radang yang sudah diaktifkan seperti makrofage dan neutrofil. Juga ada pengurangan dalam antioksidan endogen pada pasien COPD sebagai akibat penurunan faktor transkrpisi yang disebu8t Nrf2 yang mengatur gen antioksidant.
16
Ketidakseimbangan protease – antiporotease. Ada bukti tertentu terhadap ketidakseimbangan dalam paru pasien COPD antara protease yang memutus komponen jaringan ikat dan antiprotease yang melindunginya terhadap keadan ini. Beberapa protease yang diambil dari sel peradangan dan sel epithelial adalah mengalami peningkatan pada pasien COPD. Juga terjadio peningkatan bukti bahwa mereka apat berinteraksi dengan yang lainnya. Kerusakan elastin yang dimediasi oleh protease, komponien jaringan iakt utama pada parenchyma paru adalah diyakini menjadi gambnaran penting dari empohysema dan kemungkinan tidak dapat balik. Sel peradangan. COPD ditandai oleh pola radang spesifik yang melibatkan peningkatan jumlah CD8+ (sitotoksik) Tc1 lymphocyte yang hanya terdapat pada perokok yang menderita penyakit ini. Sel ini bersama-sama dengan neutrofil dan makrofage melepaskan mediator radang dan enzim dan berinteraksi dengan sel strukturalk dalam saluran udara, parenchyma paru dan vaksulatur pulmonal. Mediator radang. Variasi mediator radang yang terlihat mengalami peningkatan pada pasien COPD menarik sel radang dari sirkulasi (faktor kemotaktik), memperbesar proses peradangan (poroinflamatory cytokine) dan mempengaruhi perubahan struktural (faktor pertumbuhan). Perbedaan dalam peradangan antara COPD dan Asma. Meskipiun COPD dan asma adalah terkait dengan peradangan kronis dari saluran pernafasan, namun ada perbedaan dalam sel radang dan mediator yang terlibat dalam dua penyakit, yang adalah diperhitungkan untuk perbedaan dalam efek fisiologi, gejala dan respon
17
terhadap terapi. Sebagian pasien penderita COPD memiliki gambaran yang sesuai dengan asma dan mengalami pola radang campuran dengan peningkatan eosinofil. Patofisiologi Terdapat pemahaman baru tentang bagaimana proses penyakit ini pada COPD mengarah pada kelaionan dan gejala fisiologi karakteristik. Misalnya, peradangan dana penyempitan saluran udara tepi yang mengakibatkan penurunan FEV. Kerusakan parenchymal terkait emphysema juga memberikan kontribusi bagi keterbatasan saluran udara dan mengakibatkan penurunan transfer gas. Keterbatasan aliran udara dan udara yang terperaqngkap. Cakupan peradangan, fibrosis dan eksudasi luminal pada saluran udara yang kecil adalah berkorelasi dengan penurunan dalam FEV, dan rasio FEV1/FVC dan kemungkinan dengan penurunan FEV yang dipercepat dengan karakteristik COPD. Gangguan saluran udara tepi secara progresif akan menahan udara selama ekspirasi, mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun emphysema lebih terkait dengan kelainan pertukaran gas dari pada penurunan FEV1 namun ini juga memebrikan kontribusi terhadap terperangkapnya
gas selama ekspirasi. Ini tentu berkaitan dengan
penempelan alveolar pada saluran udara kecilk yang telah rusak ketika penyakit menjadi lebih parah. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspiratory seperti kapasitas residu fungsinal yang mengalami peningkatan, terutama selama latihan (hipereinflasi dinamis) yang mengakiabtkan peningkatan dyspnea dan batasan kapasitas latihan. Faktor-faktor ini mempengaruhi gangguan sifat kontraktil intrinsik otot pernafasan;
18
ini mengakiatkan tidak teraturnya sitokine pro inflamatory lokal. Dipikirkan bahwa hiperinflasio berkembang lebih awal pada penyakit ini dan merupakan mekanisme utama untuk eksersional dysponea. Bronchodialtor bekerja pada saluran udara tei mengurangi udara yang terperangkap, sehingga mengurangi volume paru dan memperbaiki gejala dan kapasitas latihan. Kelainan pertukaran gas. Kelainan pertukaran gas ini mengakibatkan hipoksemia dan hipercapnia dan juga memiliki mekanisme dalam COPD. Secara umum, pengalihan gas untuk oksigen dan karbon dioksida akan memburuk ketika penyakit
mulai
berkembang.
Berkurangnya
ventilasi
juga
terkait
dengan
berkurangnya dorongan ventilasi. Ini mengarah pada retensi karbon dioksida yang dikombinasikan dengan ventilasi yang dikurangi pada kerja pernafasan yang lebih tinggi karena gangguan yang parah dan hiperinflasi dipadukand engan gangguan otot ventilasi. Kelainan dalam ventilasi alveolar dan berkurangnya bed vaskular pulmonal lebih lanjut memperburuk kelainan Va/Q. Hipersekresi lendir. Hipersekresi sekresi lendir yang berlebihan
yang
diakiabtkan oleh batuk produktif kronis adalah merupakan gambaran bronchitis kronis dan tidak terkait dengan keterbatasan saluran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien penderita COPD mengalami gejala hipersekresi lendir. Ketika ada, maka ini terkait dengan peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submucosal dalam merespon iritasi saluran duara kronis oleh asapo rokok dan zat beracun lainnya. Bebrapa mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir dan sebagian berpengaruh elalui aktivasi reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR).
19
Hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal dapat berkembang pada akhir COPD dan terutama terkait dengan vasoconstriksi hipoksik dri arteri pulmonal kecil, yang menghasilkan perubahan struktural termasuk hiperplasia intimal dan hiperplasia / hipertrofi otot halus. Juga ada respon peradangan pada pembuluh darah yang sama seperti yang terlihat pada saluran udara dan bukti kelainan fungsi sel endothelial. Kehilangan bed kapiler pulmonal pada emphysema juga mempengaruhi peningkatan tekanan pada sirkulasi pulmonal. Kemajuan hipertensi pulmonal dapoat mengarah pada hipertrofi ventricular yang benar dan juga pada kegagalan jantung sisi kanan. Pemburukkan. Pemburukkan gejala pernafasan seringkali terjadi pada pasien COPD yang dipicu oleh infeksi bakteri atau virus (yang dapat muncul bersamaan), polutant lingkungan, atau faktor yang tidak diketahui. Pasien dengan episode bakterial dan virus juga memiliki respon karakteristik dengan peningkatan radang. Selama poemburukkan pernafaan maka terjadi peningkatan hiperinflasi dan perangkapo gas dengan berkurangnya aliran ekspiratori, sehingga memperhitungkan dispnea yang terus meningkat. Juga ada pemburukkan dari kelainan VA/Q yang dapat mengakibatkan hipoksemia.
Kondisi lain (pneumonia, thromboembolisme dan
kegagalan jantung akut dapat meniru atau memperburuk COPD. Gambaran sistemik. Ini terus diakui bahwa beberapa pasien penderita COPD memiliki komorbiditas yang berdampak terhadap kualitas hidup dan survival. Keterbatasan aliranj udara dan hiperinflasi tertentu mempengaruhi fungsi dan pertukaran gas. Mediator radang dalam sirkulasi tentu dapat memberikan kontribusi
20
bagi keletihan otot rangka dan cachexia dan memulai atau memperburuk komorbiditas seperti penyakit jantung iskemia, kegagalan jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindrome metabolisme dan depresi.
21
BAB 2 : DIAGNOSA DAN PENILAIAN Hal penting : Diagnosa klinis dari COPD harus dipertimbangkan pada beberapa pasien yang menderita dyspnea, batuk kronis atau produksi spoutum dan riwayat terpapar pada faktor resiko untuk penyakit. Spirometer dibutuhkan untuk melakukan diagnosa dalam konteks klinis ini; keberadaan FEV1/FVC < 0.70 paska bronchodilator menegaskan keberadaan keterbatasan aliran duara dan COPD. Tujuan pemeriksaan COPD adalah meentukan tingkat keparahan penyakit termasuk keparahan keterbatasan aliran udara, damkpaknya terhadap status kesehatan pasien dan resiko kejadian di masa depan seperti pemburukkan, kunjungan ke rumah sakit atau kematian) untuk memandu terapi. Komorbiditas terjadi lebih sering pada pasien COPD, termasuk penyakit kardiovaskular, kelainan fungsi otot, sindrome metabolisme, osteoporosis, depresi, dan kanker paru. Terlihat bahwa ini terjadi pada pasien dengan keterbatasan aliran udara yang ringan, sedang dan parah dan pengaruh mortalitas dan rawat inap secara independen, komorbiditas harus dilihat secara aktif dan ditangani dengan baik bila ada. Diagnosis Diagnosa klinis dari COPD harus dipertimbangkan pada beberapa pasien yang menderita dyspnea, batuk kronis atau produksi spoutum dan riwayat terpapar
22
pada faktor resiko untuk penyakit. Spirometer dibutuhkan untuk melakukan diagnosa dalam konteks klinis ini; keberadaan FEV1/FVC < 0.70
paska bronchodilator
menegaskan keberadaan keterbatasan aliran duara dan COPD. Kriteria spirometer untuk keterbatasan aliran udara masih menjadi rasio tetapo paska bronchodilator FEV1/FVC < 0.70. Kriteria ini sederhana,a tidak tergantung pada nilai rujukan dan digunakan di sejumlah uji coba klinis
yang
membentuk dasar bukti dimana sebagian sasran akan diberikan. Kesederhanaan dan konsistensi diagnosa adalah kunci bagi kesibukan petugas klinis non spesialist. Sementara spirometer paska bronchodilator dibutuhkan untuk diagnosa dan pemeriksaan tingkat keparahan COPD, tiongkat reversibilitas keterbatasan alrian udara (seperti poengukuran FEV1 sebelum dan sesudah bronchodialtor atau corticosteroid) adalah tidak lagi dianjurkan. Tingkat reversibilitas tidak pernah terlihat ditambahkan pada diagnosa, diagnosa pembeda dengan asma, atau memprediksikan respon untuk penanganan jangka panjang dengan bronchodilator atau corticosteroid. Tabel 2.1. Indikator utama untuk mempertimbangkan diagnosa COPD Perhatikan COPD dan lakukan spirometer, bila indikasi ini ditemukan pada seseorang yang berusia di atas 40 tahun. Indikator ioni bukan indikator diagnosa tetapoio keberadaan berbagaio indikator yang meningkatkan probabilitas diagnosa COPD. Spirometer dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa COPD. Dyspnea :
23
o berkembang (memburuk sepanjang waktu. o Memburuk pada saat latihan secara karakteristik o Persisten Batuk kronis : dapat berupa intermitent dan tidak produktif Produksi sputum kronis : berbagai pola poroduksi sputum kronis dapat menunjukkan COPD. Riwayat terpapar faktor resiko : o Merokok tembakau (termasuk persiapan lokal yang populer) o Asap dari memasak di rumah dan bahan bakar pemanas o Debu dan zat kimia di tempat kerja. Riwayat COPD pada keluarga. Peran pemeriksaan dengan spirometer pada populasi umum adalah bersifat kontroversial. FEV1 dan FVC memprediksikan semua penyebab mortalitas tanpa tergantung pada asapo tembakau, dan kelainan fungsi paru yang mengidentifiaksikan sub kelompok perokok pada resiko kanker paru yang terus meningkat. Ini tentu menjadi dasr argumen bahwa pemeriksaan spirometer harus digunakan sebagai alat penilaian kesehatan global. Juga tidak ada data yang menunjukkan bahwa pemerisdkaan spirometer adalah efektif dalam mengarahkan keputusan manajemen atau memperbaiki hasil COPD pada pasien yang diidentifiaksis ebelumk perkembangan gejala yang signifikan. Sehingga FOLD menyarankan temuan aksus aktif tetapi tidak pemeriksaan spirometer.
24
Penggunaan rasio FEV1/FVC untuk mendefinisikan keterbatasan aliran udara tentu akan menghasilkan diagnosa frekwensi COPD pada orang lanjut usia, dan diagnosa yang kurang sering pada orang dewasa muda diastas 45 tahun, khususnya penyakit riongan, dibandingkan dengan menggunakan potongan didasarkan pada batas normal bawah untuk FEV/FVC. Nilai LLN ini adalah didasrkan pada distribusi normal dan mengklasifiaksi 5% dario populasi yang sehat sebagai hal yang tidak normal. Dari sudut pandang ilmiah maka sangat sulit untuk menentukan kriteria yang benar untuk diagnosa COPD, dan tidak ada kajian yang ada untuk membandingkan diagnosa klinis didasarkan pada dua pendekastan. Nilai LLN adalah sangat tergantung pada pilhan persamaan referensi sah menggunakan FEV1 post bronchodilator dan tidak ada kajian lingitudinal yang mengabsahkan penggunaan LLN juga tidak ada penelitian yang menggunakan peramaan referensi pada populasi dimana merokok bukan penyebab COPD utama. Resiko kesalahan diagnosa dan penanganan berlebihan dario pasien menggunakan rasio tetapo sebagai kriteria diagnosa akan sangat terbatas, dimana spirometer hanya merupakan satu parameter untuk menetapkan diagnosa klinis COPD, yang lain adalah gejala dan faktor resiko. Gejala Gejalala karakteristik COPD adalah dyspnea kronis dan progresif, batuk dan produksi sputum yang bervariasi dari hario ke hari. Batuk kronis dan produksi sputum mendahului pengembangan batasan aliran udara selama beberapa tahun. Individu terutama yang kontakd engan faktor resiko COPD yang terdapat pada gejala
25
ini harus diperiksa untuk mencari penyebab dan melakukan intervensi yang tepat. Sebaliknya, keterbatasan aliran duara yang signifikan tentu dapat berkembang tanpa batuk kronis dan produksi sputum. Meskipun COPD didefinisikan atas dasar batasan aliran udara, dalam prakteknya keputusan untuk mencari
bantuan medis (dan
memungkinkan dilakukanna diagnosa) adalah ditentukan oleh dampoak dari gejala atas kehidupan pasien. Orang dapat mencari perhatian medis baik karena gejala kronis atau karena pemburukkan pertama. Dyspnea. Dyspnea gejala kardinal COPD adalah poenyebab utama kelumpuhan dan kegelisahan terkait dengan penyakit. Poasien COPD menjelaskan dysponeanya sebagai peningkatan usaha untuk bernafas, terasa berat, lapar udara atau gasping. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan dyspnea baik secara individu atau secara budaya. Batuk. Batuk kronis, seringkali menjadi gejala pertama dari COPD untuk dikembangkan yang seringkali dianjurkan oleh pasien sebagai akibat merokok dan atau terpapar paa lingkungan. Pada awalnya, batuk dapat bersifast intermittent tetapi kemudian muncul setiapo hari, seringkali sepanjang hari. Batuk kronis pada COPD dapat berupa batuk tidak produktif. Dalam beberapa kasus, keterbatasan aliran duara yang signifikan dapat berkembang tanpa adanya batuk. Tabel 2.2. mencaat beberapa penyebab batuk kronis. Produksi sputum. Pasien COPD umumnya mengalami sejumlah kecilk spoutum kentalk setelah batuk. Poroduksi sputum yang teratur 3 bulan atau lebih dalam 2 tahun berturut-turut (tanpa adanya kondisi laion yang menjelaskannya)
26
adalah merupakan definisi epidemiologi dari bronkhitis kronis, tetapi ini masih merupakan definisi acak yang tidak merefleksikan produksi sputum pada pasien COPD. Poroduksi sputum adalah sangat sulit dievaluasio karena pasien dapat menelan sputum dari pada mengeluarkannya, sebuah kebiasaan yang mengarah paa variasi gender dan budaya yang signifikan. Pasien menghasilkan sejumlah bear spotum akan mengalami bronchiektasis. Adanya sputum purulent merefleksikan peningkatan
mediator
peradangan
dan
perkembangannya
tentu
dapat
mengidentifikasikan serangan pemburukan oleh bakteri. Desah dan dada sesak. Desah dan dada sesak merupakan gejala non spesifik yang bervariasi antara beberapa hari, dan bahkan hanya dalam satu hari. Suara desah ini muncul pada level laryngeal dan tidak disertai oleh kelainan auskultatory. Sebagai alternatif, suasra inspirasi atau ekspiratori yang luas dapat ada pada saat mendengar di bagian dada. Sesak dada seringkali mengikuti eksersi, yang kurang terlokalisasi sebagai akrakter muskular dan kemudianj meningkat dari kontraksi isometrik dari otot intercostal. Ketiadaan suara desah atau sesak nafas
tidak mengesamingkan
diagnosa COPD, namun tidak ada gejala yang mengkonfirmasi diagnosa asma. Gambaran tambahan pada beberapa penyakit. Keletihn, penurunan berat badan dan kurangnya selera makan atau anoreksia adalah masalah umum pada pasien dengan COPD yang parah dan sangat parah. Kemungkinan ini penting secara prognosis dan dapat menjadi tanda penyakit lain (seperti tuberkulosis, kanker paru) dan oleh karena itu harus selalu diteliti. Syncope batuk terjadi dengan peningkatan yang cepat pada tekanan intratoracik selama serangan batuk yang lebih lama. Kondisi
27
batuk ini juga dapat menyebabkan keretakkan rusuk yang kadangkala bersifat asiptomatik. Pembengkakkan pergelangan kaki dapoat menajdio pointer simptomatik bagi perkembangan cor pulmonale. Gejala depresi dan/aaua kegelisahan mendorong pada poenelitian spesifik pada riwayat klinis karena bersifat umum dalam COPD dan dikaitkan dengan peningkatan resiko pemburukkan dan status kesehatan yang kurang baik. Riwayat Medis Riwayat medis yang rinci dari pasien baru dikenal atau dipikirkan mengalami COPD harus menilai : Kontak pasien terhadap faktor resiko seperti merokok dan pekerjaan atau kontak lingkungan. Riwayat medis masa lalu, termasuk asma, allergi, sinusitis, atau polips nasal; infeksi pernafasan pada masa kanak-kanak serta penyakit pernafasan lainnya. Riwayat keluarga dari COPD atau penyakit pernafasan kronis Pola perkembangan gejala : COPD biasanya berkembang pada kehidupan orang dewasa dan sebagian bear pasien menyadri peningkatan sesak nafas, lebih sering atau lebih lama sebagai batuk musimk hujan dan beberapa pembatasan sosial untuk beberapa tahun sebelum mendapatkan bantuan medis. Riwayat pemburukkan atau rawat inap sebelumnya untuk kelainan pernafasan. Pasien tentu menaydri pemburukkan ebrkala dari gejala bila episode ini tidak diidentifiaksikans ebagai pemburukkan dari COPD.
28
Keberadaan komorbiditas sepertio penyakit jantung, osteoporosis, kelainan muskuloskeletal dan keganasan yang mempengaruhi batasan aktivitas. Dampak penyakit terhadapo kehidupan pasien, termasuk batasan aktivitas, kehilangan kerja dan dampak ekonomi, pengaruh terhadap rutinitas keluarga, perasaan depresi atau kegelisahan dan juga termasuk aktivitas seksual. Dukungan keluarga dan sosial yang tersedia bagi pasien Kemungkinan mengurangi faktor resiko khususnya berhenti merokok. Pemeriksaan fisik Meskipoun bagian penting dari perawatan pasien pemerisdkaan fisik adalah jarang menajdi diagnosa dalam COPD. Tanda-tanda fisik dari batasan aliranj duara adalah umumnya tidak ada hingga gangguan fungsi paru yang cukup signifikan terjadi, dan deteksinya memiliki sensitivitaqs dan spesifisitas yang rendah. Jumlah tanda-tanda fisik juga dapat ditemukan pada COPD, tetapi tanpa mengesampingkan diagnosa. spirometer Spirometer adalah ukuran yang objektif
dan lebih reporoduksi dari
keterbatasan aliran udara. Poengukuran aliran ekspiratori puncak sendiri tidak digunakan secara handal sebagai uji diagnosa, disamping sensitivitas yang baik, karena spesifisitas lemahnya. Pengukuran spiro9meter kualtias baik adalah dimungkinkan dalam kondisi perawatan kesehatan dan semua pekerja perawatan
29
kesehatan yang merawat pasien COPD yang juga telah memeriksa dengan spirometer. Tabel 2.3 meringkaskan beberapa faktor yang dibutuhkan untuk mencapaio hasil test yang lebih akurat. Spirometer harus mengukur volume udra yang dikeluarkan dari titik inspirasi maksimal (kapasitas vital yang dipaksakan, FVC) dan volume udara yang dibuang selama detik pertama dari manuver ini (volume ekspiratori dalam satu detik, FEV1) dan rasio kedua ukuran ini (FEV1/FVC) harus dihitung. Rasio antara FEV1 dan kapasitas vital yang lambat (VC), FEV1/FVC adalah kadangkala diukur disaming rasio FEV1/FVC. Ini sering mengarah pada nilai yang rendah dari rasio, khususnya pada keterbatasan aliran udara, dengan titik potong 0.7 dan ahrus diberikan. Ukuran spirometer adalah dievaluasi melalui perbandingan dengan nilai acuan didasrkan pada usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Tabel 2.3. Pertimbangan dalam melakukan spirometer Persiapan o Spirometer perlu dikalibrasi secara berkala o Spirometer harus menghasilkan hard copy atau memiliki disoplay digitalk dari kurva ekspiratori untuk memungkinkan deteksi kelainan teknis atau adanya promot otomatis untuk mengidentifiaksikan test yang kurang memuaskan dan alasannya. o Pengawas dari tes ini membutuhkan pelatihan pada kinerja efektif
30
o Usaha pasien maksimal dalam melakukan tes dibutuhkan untuk menghindari estimasi nilai yang kurang dan disini ada kesalahan dalam diagnosa dan manajemen. Bronchodilasi o Kemungkinan dosisnya adalah 400 mcg beta agonist 160 mg anticholinergik atau gabungan keduanya. FEV1 harus diukur dalam 30 – 45 menit setelah anticholinergik singkat atau kombinasinya. Kinerja o Spirometer harus dilakukan dengan menggunakan teknik yang memenuhi standar yang telah dipoublikasikan. o Volume ekspoiratori/jejak waktu harus lebih halus dan bebas dari ketidakteraturan. o Rekaman harus
berlangsung lama untuk volume yang dicapaio yang
kemudian membutuhkan waktu selama 15 detik pada penyakit yang parah. o FVC dan FEV1 harus menajdi nilaio yang lebih besar yang diperoleh dari kurva yang memuaskan dan FVC dan FEV dalam tiga kurva yang bervariasi tidak lebih dari 5% atau 150 ml mana yang lebih besar. o Rasio FEV1/FVC harus diambil dari kurva yang dapat diterima secara teknis dengan jumlah FVC dan FEV1 terbesar. Evaluasi
31
o Pengukuran spirometer adalah dievaluasi melalui perbandingan hasilk dengan nilai acuan yang tepat didasarkan pada usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. o Keberadaan post bronchodilator FEV1/FVC < 0.70 mengkonfirmasi adanya batasan aliran udara. Gambar 2.1A memperlihatkan jejak spirometer normal. Gambar 2.1B merupakan ejak spirometer dari pasien dengan penyakit obstruktif. Pasien dengan COPD secara khusus mempoerlhatkan penurunan pada FEV1 dan FVC.; Pemeriksaan penyakit Tujuan pemeriksaan COPD adalah menentukan tingkat keparahan penyakit, dampaknya terhadap status kesehatan pasien dan resiko kejadian di masa depan (seperti pemburukkan, kunjungan ke rumah sakit atau kematian), terutama untuk memandu pelaksanaan terapi. Untuk mencapai tujuan ini, pemeriksaan COPD harus mempertimbangkan aspek berikut dari penyakit tersebut secara terpisah : Tingkat gejala yang dialami pasien dewasa ini Tingkat keparahan kelainan spirometer Resiko pemburukkan Adanya komorbiditas
32
Pemeriksaan gejala Di masa lampau, COPD dilihat sebagai penyakit yang ditandai dengan sesak nafas. Ukuran sederhana dari sesak nafas ini adalah seperti kuesioner Modified British Medical Research Counsil (mMRC) (Tabel 2.4) yang dianggap cukup untuk memeriksa gejala, dimana mMRC akan berhubungand engan ukuran lain dari status kesehatan dan memrpediksikan resiko mortalitas di masa depan. Juga tidak diketahui bahwa COPD memiliki efek multi siomptomatik. Untuk itu, pemeriksaan gejala komprehensif adalah direkomendasikans elain dari ukuran seak nafas. Sebagian besar kualitas terkait kesehatan dengan penyakti spesifik atau kuesioner status kesehatan seperti CRQ dan SGRQ adalah terlalu kompleks untuk digunakan dalam praktek rutin, tetapi dua ukuran komprehensif yang lebih pendek (uji pemeriksaan COPD, CAT dan kuesioner kontrol COPD, CCQ) telah dikembangkan dan dinyatakan sesuai. Uji pemeriksaan COPD (CAT). Tes pemeriksaan COPD adalah ukuran gangguan satus kesehatan tanpa dimensi dalam COPD. Ini dikembangkan dengan terjemahan yang dapat diaplikasi dan divalidasi yang terseia dalam berbagai rentang bahasa. Kisaran skor dari 0-40 menghubungkannya secara tertutup dengan SGRQ, dan telah didokumentasikan dalam seumlah publikasi. Kuesioner pengendalian COPD (CCQ). Kusioner pengendalian COPD adalah kuesioner mandiri 10 item yang dikembangkan untuk mengukur kontrol klinis pada pasien dengan COPD. Meskipun konsep kontrol dalam COPD masih tetap bersifat
33
kontroversial, CCQ adalah lebih singkat dan mudah untuk dilakkan. Juga lebih handalk dan responsif yang tersedia dalam berbagai bahasa dan kemudian divalidasi. Pilihan titik potong CAT dan CCQ memberikan ukuran dampak simptomatik COPD tetapi tidak mengkategorikan pasien ke dalam gejala yang lebih rendah dan lebih tinggi untuk tujuan penanganan. SGRQ adalah ukuran komprehensif yang sudah terdokumentasi; nilainya kurang dari 25 adalah kurang umum pada pasien COPD yang terdiagnosa, dan skor ≥ 25 adalah yang tidak umum pada orang yang sehat. Dalam uji klinis untuk pengobatan bronchodilator jangka panjang, bobot dasar dari skor SGRQ adalah 44, dan salah satu deviasi standr di bawah rata-rata adalah 26. Oleh karena itu disarankan agar skor gejala ekuivalen dengan skor SGRQ ≥ 25 yang harus digunakans ebagai titik potong dengan mempertimbangkan tindakan regular untuk gejala termasuk seska nafas, terutama karena berkaitand engan rentang tingkat keparahan yang terlhat pada pasien yang direkruit untuk uji coba dan memeberikan dasar bukti bagi rekomendasi penanganannya. Titik potong ekuvialen untuk CAT adalah 10. Titik potong ekuivalen untuk CCQ akhirnya telah ditentukan, tetapi terlihat dalam kisaran 1.0 – 1.5. Skor mMRC ekuivalen tidak dapat dihitung karena titik potong sesak nafas sederhana tidak sama dengan titik potong skor gejala yang komprehensif. Sebagian besar pasien dengan SGRQ 25 atau lebih akan memiliki mMRC 2 atau lebih; pasien dengan mMRC < 2 dapat memiliki sejumlah gejala COPD yang lain. Sementara penggunaan mMRC ≥ 2 sebagai titik potong yang dianggap cukup untuk pemeriksaan
34
sesak nafas, yang juga mengkategorikan jumlah pasien dengan gejala selain dari sesak nafas sebagai beberapa gejala. Untuk itu, penggunaan pemeriksaan gejala komprehensif telah dianjurkan. Karena poenggunaan mMRC adalah masih menyebar, mMRC dari ≥ 2 masih termasuk sebagai titik potong untuk pemisahan kondisi yang tidak terlalu sesak nafas dari kondisi yang lebih sesak nafas. Pengguna perlu berhatihati dalam memeriksa gejala yang terjadi. Pemeriksaan spirometer Tabel 2.5 memperlhiatkan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada COPD. Titik potong spirometer spesifik adalah digunakan untuk tujuan penyederhanaan. Spirometer harus dilakukan setelah pemebrian dosis yang cukup dari bronchodilator yang terhirup untuk meminimumkan variabilitasnya. Juga hanya ada korelasi yang lemah antara FEV1, gejala dan gangguan kualitas hidup terkait kesehatan pasien. Ini diilustrasikan ddalam Gambar 2.2 di dalam mana kualitas hidup terkait kesehatan diplotkan terhadap FEV1 post bronchodilator dengan klasifikasi spirometer GOLD. Gambar ini mengilustrasikan bahwa di dalam kategori yang diberikan, pasien dapat memiliki sesuatu antara apa yang dipertahankans ecara relatif untuk berbagai status kesehatan yang kurang baik. Untuk itu, pemeriksaan gejala formal ini juga sangat dibutuhkan. Pemeriksaan resiko pemburukkan Pemburukkan COPD didefinisikan sebagai kejadian akut yang ditandai oleh emburukkan gejala pernafasan pasien yang termasuk dalamv ariasi normals ehari-hari
35
dan mengarah pada perubahan dalam pengobatan. Laju dimana pemburukkan terjadi sangat bervariasi antara passien. Prediktor terbaik dengan pemburukkan yang sering terjadi (2 pemburukan lebih per ahun) adalah riwayat kejadian yang ditangani sebelumnya. Disaming itu, pemburukkan pembatasan aliran udara adalah berkaitan dengan peningkatan prevalensio pemburukkan dan resiko kematian. Rawat inapo untuk pemburukkan COPD adalah terkait dengan prognosis yang kurang baik dengan peningkatan resiko kematian. Data yang cukup beasr telah terakumulasio pada pasien yang diklasifikasikan dengan sistem penilaian spirometer GOLD. Ini memperlihatkan peningkatan dalam resiko pemburukkan, rawat inapo dan kematian dengan memburuknya batasan aliran udara. Data dalam tabel 2.6 adalah diturunkand ari data yang dikupulkan dari uji coba klinis jangka menengah. Ini tentu tidak mengestimasi
pemberlakuannya untuk
masing-masing pasien, tetapi mereka mengilustrasikan dengan jelas peningkatan reisko pemburukkan dan kematian antara level spirometer. Meskipun hingga 20% dari GOLD 2 (batasan aliran udara
yang sedang) pasien
dapat mengalami
pemburukkan yang menuntut perlakuan dengan antibiotik dan/atau corticosteroid sistemik, resiko pemburukkan yang secara signifikan akan meningkat dalam GOLD 3 (parah) dan GOLD 4 (sangat parah). Sejak pemburukkan meningkat, penurunan apa fungsi paru, kemunduran dalam status kesehatan dan resiko kesehatan, pemeriksaan resiko pemburukkan dapat terlihat sebagai penilaian resiko hasil yang kurang baik.
36
Pemeriksaan komorbiditas Karena COPD seringkali berkembang pada perokok yang sudah lama pada usia paruh baya, pasien seringkali memiliki berbagai jens penyakit lain terkait dengan merokok atau penuaan. COPD itu sendiri memiliki efek ekstrapulmonal (sistemik) yang signifikan termasuk penurunan berat badan, kelainan nutrisional dan kelainan fungsi otot rangka. Yang terakhir ditandai oleh sarcopenia (kehilangan sel otot) dan fungsi kelainan dari sel yang masih tersisa. Penyebabnya adalah
multifaktorial
(inaktivitas, diet yang kurang baik, inflamasi, hipksia) dan dapat memberikan kontribusi bagi intoleransi latihan dan status kesehatan yang kurang pada pasien penderita COPD. Yang terpenting, kelainan fungsi otot rangka adalah sumber dari intoleransi latihan. Komorbiditas sering terjadi pada pasien COPD termasuk penyakit kardiovaskular, kelainan fungsi otot rangka, sindrome metabolisme, osteoporosis, depresi dan kanker paru. Keberadaan COPD dapat meningkatkanr esiko untuk penyakit lain; ini tentu mengarah pada COPD dan kanker paru. Apakah hubungan ini terkait dengan faktor resiko (yaitu merokok), keterlibatan gen yang dicurigai dan jkelaransi yang terganggu dari karsinogen tidak jelas. Komorbiditas dapat terjadi pada pasien dengan batasan aliran udara yang ringan,s edang atau parah, mempengaruhi mortalitas dan rawat inap secara inependen, dan mempertahankan penanganan spesifik. Oleh karena itu, komorbiditas harus terlihat untuk rutinitas dan ditangani dengan tepat pada pasien penderita COPD. Panduan untuk diagnosa, pemeriksaan tingkat keparahan dan penanganan komorbiditas individu pada pasien COPD adalah
37
sama seperti untuk pasien lainnya. Uraian yang lebih rinci dari poenanganan COPD dan komorbiditas diberikan dalam bab 8. Kombinasi pemeriksaan COPD Pemahaman
terhadap
dampak
COPD
terhadap
pasien
perorangan
mengkombinasikan openilaian simptomatik dengan klasifikasi spirometer pasien dan atau resiko pemburukkan. Pendekatan terhadap pemeriksaan ini diilustrasikan dalam Gamabr 2.3. Sebagaimana telah diuraikan, CAT adalah direkomendasikan sebagai ukuran gejala komprehensif, dengan skor CAT ≥ 10 menunjujkkan tingkat gejala yang lebih tinggi. Pemeriksaan komrpehensif dari dampak simptomatik penyakit ini jauh lebih disukai, tetapi tanpa adanya skor mMRC akan memebrikanpemeriskaan dari dampak dyspnea. Tidak terlalu penting dan kemungkinan akan membingungkan untuk menggunakan lebih dari satu skala. Ada tiga metode penilaian resiko pemburukkan. Salah satunya adalah metode berbasis populasi menggunakan kklasifikasi spirometer GOLD (Tabel 2.5), dengan GOLD 3 atau kategori GOLD 4 yang menunjukkan resiko tinggi. Kedua didasasrkan pada riwayat pemburukkan yang dialami pasien dengan dua pemburukkan atau lebih dalam tahun sebelumnya yang menunjukkan resiko tinggi. Ketiga adalah riwayat rawat inap terkait dengan emburukkan dalam tahun terdahulu. (Bila ada penyimpangan antara kriteria ini, maka pemeriksaan merujuk pada resiko tertigngi yang harus digunakan). Untuk menggunakan gambar 2.3, pertama kali periksa gejala
38
dengan skala CAT (atau dyspnea dengan mMRC) dan tentukan bila pasien termasuk pada kotak di sisi kiri – gejala yang lebih kecil (CAT < 10) atau kurangnya sesak nafas (mMRC 0-1); atau termasuk pada kotak di sisi kanan – gejala yang lebih besar (CAT ≤ 10) atau sesak nafas berlebihan (mMRC ≥ 2). Kemudian perika resiko pemburukkan untuk menentukan apakah pasien termasuk pada bagian bawahd ari kotak – resiko rendah – atau bagian atas dari kotak – resiko tinggi. Ini tentu dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga metode ini : (1) gunakan spirometer untuk menentukan golongan GOLD dari batasan aliran udara (kategori GOLD 1 dan GOLD 2 mnenunjukkan resiko rendah,s ementara GOLD 3 dan GOLD 4 menunjukkan resiko tinggi); (2) periksa jumlah pemburukkan yang dialami pasien dalam 12 bulan terakhir (0 atau 1 menunjukkan resiko rendah, sementara 2 atau lebih menunjukkan resiko tinggi),; (3) tentukan apakayh pasien telah dirawat inap sekali atau lebih dalam tahun sebelumnya akibat pemburukkan COPD. Pada beberapa pasien, ketiga cara pemeriksaan resiko pemburukkan ini tidak akan mengarah pada level resiko yang sama; dalam kasus ini, resiko harus ditentukan dengan metode yang menunjkkan resiko tinggi. Contoh : bayangkan pasien dengan skor CAT 18, FEV1 55% dari yang dirpediksikan dan riwayat 3 kali pemburukkan dalam 12 bulan terakhir. Poemeriskaan gejala menggunakan CAT memperlihatkan bahwa pasien adalah lebih simkptomatik (CAT≥ 10) dan oleh karena itu termasuk dalam kelompok B atau kelompok D. spirometer menunjukkan resiko rendah ketika pasioen adalah GOLD 2 (batasan aliran duara yang sedang), tetapi ketika pasien mengalami 3 pemburukkan dalam 12 bulan
39
terakhir maka ini menunjukkan resiko tinggi dan pembobotan penilaian resiko rendah didasarkan pada spirometer. Oleh karena itu pasien termasuk dalam kelompok D. Kelompok ini tentu dapat diringkaskan sebagai berikut : Pasien kelompok A – resiko rendah, sedikit gejala. GOLD 1 atau GOLD 2 (batasan aliran duara ringan atau sedang); dan/atau 0-1 pemburukkan per tahun dan tiak ada rawat inapo untuk pemburukkan; dan skor CAT < 10 atau mMRC nilai 0 – 1. Pasien kelompok B – resiko rendah, lebih banyak gejalanya. Secara khusus GOLD 1 atau GOLD 2 (batasan aliran udara ringan atau sedang) dan /atau 01pemburukkan per tahun dan tanpa rawat inap akibat pemburukkan itu dan skor CAT ≥ 10 atau mMRC golongan ≥ 2. Pasien kelompok C – resiko tinggi, sedikit gejala. Secara khusus GOLD 3 atau GOLD 4 (batasan aliran udara parah atau angat parah) dan /atau ≥ 2 pemburukkan per tahun adtau ≥ 1 dengan rawat inap akibat pemburukkan dan skor CAT < 10 atau mMRC grade 0-1. Pasien kelompok D – resiko tinggi, gejala lebih banyak. GOLD 32 atau GOLD 4 (batasan alrian udara yang parah atau sangat parah); dan./atau ≥ 2 kali pemburukkan per tahun atau ≥ 1 dengan rawat inap akibat pemburukkan dan skor CAT ≥ 10 atau mMRC grade 2. Bukti yang mendukung sistem klasifikasi ini adalah :
40
Pasien dengan resiko pemburukkan yang tinggi cenderung tergolong dalam GOLD kategori 3 atau 4 (batasan aliran udara yang parah atau sangat parah, gamabr 2.3) dan dapat diidentifiaksikand engan cepat dari riwayat masa lalunya. Angka pemburukkan tertinggi adalah terkait dengan kehilangana FEV1 yang lebih beasr dan pemburukkan status kesehatan. Rawat inap untuk pemburukkan COPD adalah terkait dengan prognosis yang kurang baik. Skor CAT ≥ 10 adalah terkait dengan gangguan status kesehatan yang cukup signifikan. Bahkan tanpa adanya pemburukkan frekwensi, pasien dalam kategori GOLD 3 atau 4 dapat beresiko lebih besar dari kunjungan rumah sakit dan kematian. Peningkatanr esiko yang penting menjadi dasar pemikiran untuk melibatkan pasien dalam kelompok beresiko tinggi. Pendekatan ini dikombinasikand engan pemeriksaan komorbiditas ptoensial, meggambarkan komopleksitas COPD yang jauh lebih baik dibandingkan dengan analisis uni dimensional dari batasan alrian duara sebelum digunakan untuk poentahapan penyakit dan bejntuk dasar panduan untuk manajemen individual dalam bab 4. Penelitian tambahan Penelitian tambahan berikut ini dapat dipertimbangkan sebagai bagian diagnosa dan pemeriksdaan COPD.
41
Gambar. Sinar X dada tidak bermanfaat untuk menegakkan diagnosa pada COPD, tetapi sangat berharga dalam mengesamingkan diagnosa alternatif dan menetapokan keberadaan komorbiditas yang signifikan seperti
pernafasan yang
bersamaan (fibrosis pulmonal, bronchiektasis, penyakit pleural), penyakit skeletal 9seperti kyphoscoliosis) dan penyakit jantung (seperti cardiomegaly). Poerubahan radiologi terkait dengan COPD melipouti tanda-tanda hiperinflasi paru (diagram datar pada film dada lateral dan peningkatan volume dari ruang udara retrosternal), hiperlusensi paru dan juga tapering yang cepat dari tanda vaskular. Computed tomograpoy (CT) dari dada tidak dianjurkan secara rutin. Ketika ada keraguan tentang diagnosa COPD, CT scanning dapoat membantud alam diagnosa pembeda dimana penyakit itu ada. Disamping itu, bila prosedur pembedahan seperti pengurangan volume paru terkontemplasikan, maka scan CT paru adalah perlu sejak distribusi empohysema adalah salah satu determinan yang penting dari kessuaian pembedahan. Vlume paru dan kapasitas difusi. Poasien COPD memperlihatkan gas yang terperangkapo (peningkatan volume resiko) daari awal penyakit dan juga keterbatasan aliran udara yang memeprburuk hiperinlasi statis (peningkatan dalam total kapasitas paru). Perubahan ini dapat didokumentasikan oleh polethysmografi tubuh atau kurang akurat dengan difusi helium ukuran volume paru. Ukuran ini membantu menandai tingkat keparahan COPD tetapi tidak esensial untuk penanganan pasien. Pengukuran kapasitas difusi memberikan informasi tentang dampakl fungsional dari emphysema
42
dalam COPD dan seringkali membantu pasien dengan kondisi sesak nafas yang dapat menjadi bagian proporsi dengan tingkat keterbatasan aliran udara. Oksimeteri dan pengukuran gas darah arterial. Oksimetri denyut jantung dapat digunakan untuk mengevaluasi kejenuhan oksigen pasien dan perlunya terapi oksigen tambahan. Oksimetri denyut jantugn ini harus digunakan untuk memeriksa semua kestabilan pasien dengan FEV1 < 35% sebagaimana dirpediksikan atau dengan tanda klinis dari kegagalan pernafasan atau kegagalan jantung kanan. Bila kejenuhan tepoi adalah < 92% gas darah arterialk harus diperiksa. Pemeriksaan kekurangan alfa – 1 antitrypsin. WHO merekomendasikan bahwa pasien COPD dari daerah dengan prevalensi yang tinggi dari kekurangan alfa – 1 antitrypsoin harus diperiska terhadap kelainan genetika. Pasien ini cendrung telrihat pada usia mudanya (< 45 thun) dengan rendahnya empfisema lobus. Anggota keluarga dapat diidentifikasikan dan pemeriksaan keluarga adalah sangat bermanfaat untuk konseling yangsesuai. Konsentrasi serumk alfa-1 antitrypsoin di bawah 15 – 20% dari nilai normal adalah sangat sugestif dari kekurangan alfa 1 antitrypsin homozigot. Poengujian latihan. Gangguan latihan yang diukur secara objektif, dinilai dengan mengurangi jarak berjalan atau selama pengujian latihan di laboratorium, adalah indikator dari gangguan status kesehatan dan prediktor prognosis; kapasitas latihan yang turun dalam tahun-tahun sebelum kematian. Uji berjalan sangat bermanfaat untuk menilai kelumpouhan dan digunakan ubntuk menilai efektivitas rehabilitasi pulmonal. Keduanya adalah merupakan uji berjalan dengan alat dan
43
tanpa alat. Poengujian laboratorium menggunakan sepeda atau ergometri tradmill dapat mengidentifikasikan keberadaan atau kondisi alternatif seperti diagnosa jantung. Monitoring dari aktivitas fisik akan lebih relevan menyangkut prognosis dari pada kapasitas latihan evaluatif. Ini tentu dapat dilakukan dengan menggunakan akselerometer atau instrumen multisensor. Skor komposit,. Beberapa variabel termasuk toleransi latihan FEV1 dinilai dengan jarak berjalan atau konsumsi oksigen puncak, pebnurunan berat badan dan pengurangan ketegangan oksigen arterial mengidentifikasi pasien peningkatan resiko mortalitas.
dengan
Poendekatan yang relatif sederhana untuk
mengidentifikasikan tingkat keparahan penyakit menggunakan kombinasi variabel di atas telah diajukan. Metode BODE
memberikan skor kompoosit (indeks massa
tubuh, obstruksi, dyspnea dan latihan) yang merupakan prediktor yang lebih baik dari kelangsungan hidup dari pada satu komponen, dan sifat ini sebagai alat ukuran yang sedang diteliti. Alternatif sederhana tidak termasuk dalam tes latihan yang disarankan tetapi semua poendekatan ini membutuhkan validasi pada berbagai tingkat keparahan penyakit dan dalam kondisi klinis untuk mengkonfirmasi apa yang sesuai untuk penggunaan klinis rutin. Diagnosa pembeda Pada beberapa psien penderita asma kronis, poerbedaan yang jelas dari COPD adalah tidak dimungkinkan dengan menggunakan gambar dan teknik pengujian fisiologi dan diasumsikan bahwa asma dan COPD ditemukan pada pasien. Dalam
44
kasus ini, manajemen ini melioputio penggunaan obat anti radang dan tindakan lain yang perlu dilakukan. Diagnosa potensial lainnya adalah lebih mudah dibedakan dari COPD.
45