TINJAUAN PUSTAKA
Hiperreaktivitas Bronkus pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Dian Wisnuwardhani PPDS I Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK Hiperreaktivitas bronkus adalah penyempitan saluran napas akibat rangsangan spesifik atau nonspesifik pada orang-orang yang sensitif dengan manifestasi klinis berupa batuk, sesak, atau mengi akibat meningkatnya kepekaan bronkus dan dapat dideteksi dengan menggunakan metakolin ataupun histamin challenge test. Hiperreaktivitas bronkus biasanya ditemukan pada asma namun dapat juga ditemukan pada hay fever, fibrosis kistik, bronkiektasis, influenza, infeksi saluran napas, dan bekas tuberkulosis paru ataupun PPOK. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah kondisi yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat progresif disertai inflamasi abnormal paru terhadap gas toksik. Hiperreaktivitas bronkus ditemukan pada sekitar 11-45% pasien PPOK. Hingga saat in, mekanisme terjadinya hipereaktivitas bronkus pada PPOK masih belum diketahui dengan jelas. Kata kunci: hiperreaktivitas bronkus, PPOK, uji provokasi
ABSTRACT Bronchial hypereactivity is defined as narrowing of the airways in sensitive individuals due to specific or non specific agents and manifest as cough, dyspnea, or wheeezing, and could be detected by metacholine or histamine challenge test. This condition commonlly found in asthma but also could be detected in hay fever, cystic fibrosis, bronchiectasis, influenza, respiratory tract infection , post tuberculosis or even COPD. COPD is defined as limitation of airways flows and partially irreversible and progressive with abnormal inflammation. 11 to 45% of COPD patients were detected to have airway hyperreactivity. The mechanism underlying this condition in COPD are still unknown. Dian Wisnuwardhani, Jamal Zaini, Faisal Yunus. Bronchial Hyperreactivity in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Key words: bronchial hyperreactivity, COPD, provocation test
PENDAHULUAN Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian dan keterbatasan aktivitas tersering di dunia. Pada tahun 1990 angka kematian akibat PPOK di dunia adalah 2,2 juta dan diperkirakan meningkat menjadi 4,7 juta pada tahun 2020.1,2 Data dari Amerika, didapatkan PPOK sebagai penyebab kematian keempat, lebih dari 20 juta orang menderita PPOK, lebih dari 1,5 juta kunjungan ke IGD setiap tahun, 726 ribu kasus harus dirawat, 120 ribu pasien meninggal dan lebih dari 32 milyar dollar Amerika dihabiskan tiap tahun.3 Global Initiative on Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) menyebutkan PPOK sebagai penyakit paru yang mempunyai karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan bersifat progresif ini disebabkan inflamasi kronik akibat Alamat korespondensi
pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala utama sesak napas, batuk dan produksi sputum.4,5 American Thoracic Society (ATS) menyebutkan bahwa PPOK merupakan penyakit ditandai dengan obstruksi saluran napas progresif pada bronkitis kronik atau emfisema dapat disertai hiperreaktivitas saluran napas.6 Penyakit Paru Obstruktif Kronik ditandai dengan penurunan nilai Volume Ekspirasi Paksa pada detik pertama (VEP1) yang ireversibel, peningkatan sesak napas atau tanda respirasi lain, penurunan status kesehatan yang progresif dan dihubungkan dengan respons inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel gas yang merusak terutama asap rokok. Faktor risiko lain yang berhubungan dengan perkembangan PPOK adalah pekerjaan, status sosial ekonomi rendah, diet dan pajanan lingkungan pada fase awal kehidupan.7,8
PPOK adalah proses khas akibat bronkitis kronik dan emfisema yang menimbulkan obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas tidak selalu terdapat pada tahap perjalanan penyakit. Sebagian penderita dengan penyakit dasar yang sulit ditentukan seperti asma, bronkitis kronik atau emfisema, menunjukkan obstruksi saluran napas reversibel dengan batuk kronik produktif. Gejala klinis PPOK adalah sesak napas selama aktivitas dan hilang selama istirahat yang menunjukkan perburukan penyakit. Pada autopsi saluran napas penderita PPOK menunjukkan gambaran inflamasi kronik disertai pelebaran alveolus dan destruksi dinding alveolus.9 Pemeriksaan faal paru berguna untuk membantu diagnosis, melihat perkembangan dan perjalanan penyakit serta menentukan prognosis penyakit. Pada dewasa normal usia
email:
[email protected]
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
579
TINJAUAN PUSTAKA Tabel 1 Penyebab konstriksi otot polos saluran napas pada hiperreaktivitas bronkus9,15 Perubahan
Jenis
Otot polos saluran napas
a. b.
Bertambahnya massa otot Peningkatan kontraktilitas
a. b. c.
Peningkatan aktivitas parasimpatik Peningkatan aktivitas alfa atau penurunan aktivitas beta adrenergik Peningkatan aktivitas nonadrenergik
Pengaturan saraf autonom
Tabel 2 Beberapa faktor yang mempengaruhi hiperreaktivitas bronkus9 Faktor
Infeksi saluran napas Vaksinasi influenza Pajanan antigen (respons lambat) Occupational sensitizers Perokok Obat-obat oral • Agonis β2-adrenergik • Teofilin • Antihistamin • Bronkodilator inhalasi
Interval waktu yang dianjurkan sebelum dilakukan uji hiperreaktivitas bronkus 17 minggu 3 minggu 1-6 minggu Beberapa bulan 2 jam 12 jam 12-48 jam 48 jam 4-12 jam
580
Hiperreaktivitas secara klinis menggambarkan derajat obstruksi bronkus pada pasien yang mendapatkan agen percobaan. Pada orang normal, dosis agen yang sesuai tidak menimbulkan respons.8 Hiperreaktivitas bronkus terjadi akibat interaksi berbagai faktor yaitu peran sel inflamasi, mediator inflamasi, kerusakan epitel, kebocoran mikrovaskular dan peranan saraf sensoris. Hiperreaktivitas bronkus dapat ditemukan pada penyakit asma bronkial, hay fever, fibrosis kistik, bronkiektasis, PPOK, influenza, infeksi saluran napas, dan bekas tuberkulosis paru.10,11 Mekanisme Hiperreaktivitas bronkus merupakan fenomena multifaktorial. Komponen yang bekerja pada hiperreaktivitas bronkus dapat berupa komponen endogen maupun eksogen. Komponen endogen terdapat seumur hidup dan kemungkinan bersifat genetik, misalnya pada pasangan kembar identik, sedangkan komponen eksogen merupakan rangsangan dari luar, seperti alergen, infeksi, obat, bahan kimia, dan rokok. Mekanisme dasar hiperreaktivitas bronkus diduga akibat9: • Kontraktilitas otot polos saluran napas • Gangguan pengaturan autonom saluran napas • Peningkatan berbagai rangsang pada otot saluran napas.
Gambar 1 Mekanisme kontraksi otot polos14
20-60 tahun, VEP1 akan menurun sekitar 28 ml setiap tahun dan pada penderita PPOK terjadi penurunan VEP1 sekitar 80 mL setiap tahun. Penelitian terhadap 19 penderita PPOK di RS Persahabatan menunjukkan penurunan VEP1 rata-rata 52 mL pertahun. Setiap terjadi eksaserbasi akut maka akan terjadi perburukan penurunan nilai faal paru, setelah fase ini membaik, nilai faal paru tidak pernah kembali ke nilai awal karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat agar eksaserbasi akut dapat dicegah dan harus diatasi segera supaya fase ini berlangsung sesingkat mungkin mengingat semakin lama fase ini berlangsung semakin buruk faal paru penderita. Hadiarto meneliti
sesak atau mengi.10-12 Pada kepustakaan lain, disebutkan bahwa hiperreaktivitas bronkus adalah peningkatan kepekaan bronkus sehingga menimbulkan penyempitan saluran napas akibat berbagai rangsangan berupa bahan kimia, SO2, asap rokok, perubahan suhu, dan beban kerja.9
30 penderita PPOK dibagi atas kelompok teratur berobat dan tidak teratur berobat selama 5 tahun. Pada kelompok yang teratur berobat, penurunan VEP1 rata-rata per tahun hanya sebesar 42,53 mL, sedangkan pada kelompok yang tidak teratur berobat penurunan VEP1 pertahun sebesar 86,90 mL. Kedua nilai ini menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik.9 HIPERREAKTIVITAS BRONKUS Definisi Hiperreaktivitas bronkus adalah penyempitan saluran napas akibat rangsangan spesifik atau nonspesifik pada orang-orang yang sensitif dengan manifestasi klinik berupa batuk,
Kelainan yang mendasari timbulnya konstriksi otot polos saluran napas pada hiperreaktivitas bronkus dapat dibagi atas perubahan otot polos dan pengaturan saraf autonom.12 Pada otot polos saluran napas, terjadi hipertrofi dan hiperplasia karena penambahan jaringan otot yang menyebabkan tegangan lebih besar sehingga saluran napas akan semakin sempit dan menambah hiperreaktivitas bronkus. Persarafan autonom saluran napas manusia meliputi reseptor kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik. Pemberian obat perangsang saraf kolinergik atau parasimpatis, alfa adrenergik, dan agonis muskarinik dapat menyebabkan kontraksi otot polos.9,13
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA Proses inflamasi berperan penting pada hiperreaktivitas bronkus. Diduga terdapat keterlibatan sel inflamasi, berbagai mediator dan saraf. Sel mast berperan pada respons tipe cepat terhadap alergen sedangkan eosinofil dan makrofag pada respons tipe lambat. Pelepasan Major Basic Protein (MBP) oleh sel eosinofil mengakibatkan kerusakan epitel. Zat ini memiliki efek toksik terhadap sel epitel sementara limfosit melepas limfokin (interleukin-5) yang berperan terhadap inflamasi. Sel alveolar melepas mediatormediator tromboksan, prostaglandin dan Platelet Activating Factor (PAF). 9 Mediator histamin, prostaglandin dan leukotrien menimbulkan kontraksi otot polos saluran napas, kebocoran mikrovaskuler, menarik dan mengaktifkan sel-sel inflamasi serta melepas berbagai mediator sekunder. Mediator PAF meningkatkan hiperreaktivitas bronkus, dibentuk dari fosfolipase A2 pada membran fosfolipid dan menyebabkan bronkokonstriksi. Selain itu, PAF dihasilkan oleh sel-sel inflamasi, makrofag, eosinofil, dan neutrofil.13 Hiperreaktivitas bronkus dapat disebabkan oleh gangguan pengendalian saraf autonom. Neuropeptida merupakan neurotransmiter pada saraf. Pada saluran napas dikenal neuropeptida substansi P, neurokinin, dan Calcitonin Gene Reaktane Peptide (CGRP) yang dilepas melalui refleks akson. Neurokinin A menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan substansi P menyebabkan kebocoran mikrovaskuler dan sekresi mukus sementara CGRP menyebabkan bronkokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah bronkial. Neuropeptida tersebut meningkatkan respons inflamasi saluran napas. Kebocoran mikrovaskuler akibat mediator inflamasi menyebabkan13: • Edema saluran napas sehingga meningkatkan hiperreaktivitas bronkus. • Penebalan submukosa dan meningkatkan resistensi saluran napas. • Kontraksi otot polos saluran napas. Tabel 2 memperlihatkan beberapa faktor yang mempengaruhi hiperreaktivitas bronkus dan informasi waktu yang dianjurkan sebelum dilakukan uji hiperreaktivitas bronkus.
spesifik yang didominasi oleh mediator IgE dan tergantung pada sel mast. Metakolin menginduksi hiperreaktivitas nonspesifik tanpa tergantung IgE. Pajanan asap rokok dapat menunjukkan peningkatan kadar IgE. Karena itu, hiperreaktivitas bronkus pada PPOK dapat merupakan kombinasi efek bergantung IgE dan tidak bergantung IgE.14 Kekerapan Hiperreaktivitas bronkus terhadap histamin atau metakolin pada populasi umum ditemukan sebesar 16-30% pada anak dan sebesar 10-15% pada dewasa. Prevalensi setara juga dilaporkan pada 14% individu dengan hiperreaktivitas bronkus terhadap larutan garam hipertonik dan 16% individu terhadap inhalasi udara dingin dan terdapat hubungan positif antara gejala asma dengan hiperreaktivitas terhadap larutan garam hipertonik.15,16 Beberapa penelitian pada pertengahan tahun 1980 telah mendapatkan data bahwa hiperreaktivitas bronkus terjadi 40-53% pada penderita asma dengan zat rangsang berbeda.15 Pada penelitian terhadap anak dengan asma, didapatkan prevalensi tinggi hiperreaktivitas bronkus terhadap beban kerja.17 Beberapa penelitian menemukan terdapat hubungan antara hiperreaktivitas bronkus
dengan jenis kelamin dan usia walaupun hubungan ini belum dapat dijelaskan.15 Hiperreaktivitas bronkus lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dan pada orang dewasa dengan prevalensi sebesar 29-43%. Hal ini masih menjadi perdebatan karena Trigg dkk. menemukan hubungan negatif antara hipereaktivi bronkus dengan usia maupun fungsi dasar paru.18 Prevalensi hiperreaktivitas bronkus pada perokok didapatkan sebesar 3040% dan pada bekas perokok tanpa obstruksi saluran napas sebesar 18-25%.14,15,18 Hubungan rokok dengan hiperreaktivitas bronkus kurang bermakna apabila dibandingkan dengan diameter saluran napas dan status atopi walaupun pada penelitian lain didapatkan pajanan terhadap asap rokok memiliki kaitan sangat erat dengan gejala klinik hiperreaktivitas bronkus pada individu.19 Hiperreaktivitas bronkus juga ditemukan pada 30% petugas pemadam kebakaran, keadaan ini dihubungkan dengan inhalasi debu anorganik.14,15 Uji Provokasi Bronkus Uji provokasi bronkus saat ini banyak dipakai untuk menentukan hiperreaktivitas bronkus pada penelitian penyakit paru. Berbagai bahan dapat dipakai untuk uji provokasi bronkus yaitu bahan non alergen dan alergen.
---------- Individu dengan obstruksi saluran napas minimal. ________ Individu dengan obstruksi saluran napas ringan.
Gambar 1 menunjukkan mekanisme imun yang terlibat dalam hiperreaktivitas bronkus. Alergen menginduksi hiperreaktivitas
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
..................... Individu dengan obstruksi saluran napas sedang. Gambar 2 Hubungan antara perubahan VEP1 selama 5 tahun dengan respons terhadap metakolin19
581
TINJAUAN PUSTAKA 1. Bahan nonalergen meliputi bahan tidak spesifik yang dapat menimbulkan konstriksi otot polos saluran napas, seperti terlihat pada tabel 3. Bahan nonalergen dikelompokkan menjadi agonis kolinergik, vasoaktif amina, vasoaktif peptida, metabolit asam arakhidonat, dan bahan alami. Tabel 3 Bahan nonalergen penyebab konstriksi otot polos saluran napas12
Jenis Agonis kolinergik
Vasoaktif amina Vasoaktif peptida Metabolit asam arakhidonat Bahan alami
Bahan Metakolin Metilkolin Karbakol Histamin Serotonin Bradikinin Prostaglandin F2 alfa Leukotrien Debu, latihan, uap dingin, hipoventilasi
2. Bahan alergen meliputi rangsang spesifik seperti alergen, bahan kimia, yang hanya sensitif terhadap individu tertentu. Uji provokasi bronkus dengan inhalasi histamin dan metakolin memiliki kelebihan yaitu sederhana, reproduksibel, mudah diikuti oleh subjek yang belum terlatih, hasilnya dapat membedakan kelainan atau normal dan dipakai secara luas. Zat provokasi yang biasa digunakan adalah histamin atau metakolin. Bahan-bahan lain yang dapat digunakan untuk uji provokasi adalah adenosin, serotonin, bradikinin, prostaglandin D dan F 2α, leukotrien, penghambat beta adrenergik, udara dingin, hiperventilasi udara kering, dan stimulus hiperosmolar atau hipoosmolar. Cara pemberian inhalasi histamin dapat dipakai menurut Chai, Cockroft, atau Takishima. Cara Cockroft dan Takishima sering digunakan di RS Persahabatan dan kedua cara ini memperlihatkan korelasi yang linear.13 Pengukuran derajat hiperreaktivitas bronkus harus dilakukan secara kuantitatif karena hiperreaktivitas bronkus terjadi pada hampir semua penderita asma dan non asma apabila diberikan rangsangan yang cukup kuat.9 Terdapat beberapa uji provokasi bronkus berdasarkan jenis dan cara pemberian rangsangan. Secara umum, ada 3 macam uji provokasi bronkus13: 1. Uji provokasi dengan beban kerja (exercise).
582
2. Uji provokasi dengan hiperventilasi isokapnik udara dingin. 3. Uji provokasi inhalasi dengan alergen, histamin, metakolin, dan prostaglandin F 2α. Uji Provokasi Inhalasi Uji ini dilakukan dengan pemberian rangsangan berupa antigen spesifik (alergen) atau non spesifik (histamin, metakolin, prostaglandin F 2α) dalam bentuk aerosol. 9 a. Indikasi Berdasarkan antigen: 1. Menjelaskan peranan alergen spesifik pada asma, terutama bila kriteria diagnostik lain tidak adekuat. 2. Alat pembanding dengan uji lain, seperti dengan uji kulit dan pemeriksaan laboratorium. 3. Jika uji kulit tidak dapat dilakukan seperti pada penyakit kulit yang luas dan luka bakar. 4. Evaluasi efek obat imunologis. 5. Evaluasi alergen baru atau alergen tidak dikenal yang dianggap mempunyai peranan dalam penyakit asma. 6. Evaluasi efek obat penghambat kerja antigen. 7. Meyakinkan pasien tentang hubungan sebab akibat. Indikasi pemakaian metakolin, karbakol dan histamin antara lain: 1. Mengidentifikasi penderita hiperreaktivitas bronkus tanpa melihat sebab. 2. Mengukur besar hiperreaktivitas bronkus.15 b. Kontraindikasi 1. Pasien tidak stabil atau bereaksi dengan zat pelarut. 2. Pasien dengan eksaserbasi asma. 3. Pasien infeksi saluran napas atau infeksi lain. 4. Pasien dengan faal paru rendah. Uji Provokasi Inhalasi dengan Histamin dan Metakolin Uji provokasi inhalasi dengan histamin dan metakolin dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Faktor teknis berhubungan dengan cara pembentukan aerosol, cara inhalasi, pembuatan, penyimpanan zat bronkokonstriktor, cara mengukur serta menyajikan hasil. Faktor nonteknis meliputi pengaruh obat, infeksi, dan pajanan alergen. Hasil uji provokasi inhalasi dinilai dengan
mengukur besar atau derajat hiperreaktivitas bronkus, secara langsung maupun tidak langsung. Penilaian yang paling tepat adalah secara langsung, yaitu dengan melihat perubahan diameter saluran napas, namun cara ini sukar dan invasif. Pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan melihat perubahan nilai faal paru dengan menggunakan parameter VEP1 dan konduktan saluran napas spesifik.13 Volume Ekspirasi Paksa pada detik pertama dinilai sebelum pemeriksaan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan reproduksibilitas, kemudian diukur kembali pada ½ dan 1½ menit setelah inhalasi suatu konsentrasi. Inhalasi diteruskan sampai nilai VEP1 berkurang 20% atau lebih di bawah nilai VEP1 sesudah inhalasi garam faal atau sampai konsentrasi zat tertinggi selesai diinhalasi. Hasil penilaian dinyatakan dengan istilah PC20, yaitu konsentrasi zat yang menyebabkan penurunan VEP1 sebesar 20% atau logaritma konsentrasi zat tersebut, yaitu PD20.9 Reaktivitas metakolin berhubungan dengan rata-rata perubahan VEP1 pasca bronkodilator selama 5 tahun pada individu perokok baik dengan obstruksi saluran napas minimal, ringan dan sedang pada sebuah studi kesehatan paru. Perokok dengan saluran napas paling reaktif memiliki penurunan VEP1 tahunan paling besar. Hubungan ini tampak paling kuat pada individu obstruksi saluran napas paling berat pada awal studi.19 Teknik uji provokasi bronkus yang dilakukan oleh Takishima menggunakan pengukuran kenaikan tahanan saluran napas (Respiratory resistance/Rrs) sebagai parameter hiperreaktivitas bronkus. Pasien diinhalasi zat pencetus secara terus-menerus dengan penambahan konsentrasi bertahap dan Rrs diukur sejalan dengan penambahan konsentrasi tersebut. Pada konsentrasi ambang zat pencetus, Rrs mulai meningkat yang menyebabkan sensitivitas bronkus, terus bertambah sehingga didapatkan grafik pada monitor dan diukur dengan metode osilasi paksa. Teknik osilasi paksa merupakan alternatif pemeriksaan fungsi paru yang memiliki keunggulan yaitu noninvasif dan tidak tergantung teknik manuver sehingga dapat digunakan cukup mudah. Kelemahannya bila subjek tidak dapat menggunakan tabung yang dihubungkan ke mulut dengan baik
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA sehingga terjadi kebocoran melalui mulut selama bernapas dan pada anak yang tidak dapat melakukan pernapasan biasa secara konstan selama pemeriksaan. Pemeriksaan menggunakan teknik osilasi paksa dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan tingkat keamanan, akurasi, dan reproduksibilitas yang cukup baik pada uji respons bronkodilator.17 Berbagai penelitian menunjukkan perbedaan angka kenaikan tahanan saluran napas sesuai dengan penurunan 20% VEP1 dan nilai PC20 yang menyatakan kepositifan hiperreaktivitas bronkus. Terdapat kesulitan dalam menentukan kapan prosedur uji provokasi bronkus yang menggunakan parameter kenaikan Rrs (Takishima) pada penderita dengan hiperreaktivitas bronkus dihentikan.17 Hiperreaktivitas bronkus dianggap positif bila ditemukan PC20 <8 mg/mL atau perbandingan nilai penurunan konduktan saluran napas spesifik sesudah inhalasi zat dengan sesudah inhalasi garam faal sebesar 35% atau lebih.9,17 Pada sebuah penelitian tahanan saluran napas di RS Persahabatan, didapatkan kesimpulan bahwa parameter kenaikan Rrs sebesar 180% dan nilai PD35 8 unit memiliki kesesuaian terhadap nilai PC20 ≤4 mg/mL dalam menentukan hiperreaktivitas bronkus pada uji provokasi bronkus. Penurunan VEP1 sebesar 20% tidak selalu diikuti penurunan yang sama pada KVP dan APE. Uji provokasi bronkus memiliki reproduksibilitas yang baik. 17 Sebuah penelitian pengukuran hiperreaktivitas bronkus di RS Persahabatan, didapatkan kesimpulan bahwa nilai Rrs150 sebanding dengan nilai PC20 dalam penentuan besar hiperreaktivitas bronkus. Peningkatan tahanan saluran napas 150% dari tahanan saluran napas awal (Rrs150) sesudah provokasi bronkus secara inhalasi dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur hiperreaktivitas bronkus. Pengukuran hiperreaktivitas bronkus menggunakan inhalasi zat nonspesifik tidak memberikan efek samping.18 Efek Samping Efek samping yang dapat ditemukan pada uji provokasi bronkus adalah wajah kemerahan, sakit kepala, iritasi tenggorok pada uji provokasi inhalasi dengan histamin sedangkan pada uji provokasi inhalasi dengan metakolin, tidak ditemukan efek samping.15 Hal ini juga diutarakan dalam beberapa kepustakaan,
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013
bahwa metakolin lebih aman digunakan untuk uji provokasi inhalasi dibandingkan histamin. Hal ini perlu diperhatikan untuk menjaga kenyamanan pasien dalam melakukan uji provokasi inhalasi.13 HIPERREAKTIVITAS BRONKUS PADA PPOK Respons saluran napas terhadap metakolin dan histamin meningkat pada penderita asma dan PPOK. Kekerapan dan derajat hiperreaktivitas bronkus penderita PPOK belum banyak diketahui. Berbagai hasil penelitian mendapatkan kekerapan hiper-reaktivitas bronkus pada PPOK bervariasi antara 11,11% sampai 45,76%. Penelitian di RS Persahabatan pada masing-masing 30 penderita asma dan PPOK, didapatkan data 100% penderita asma menunjukkan hiperreaktivitas bronkus sedangkan pada penderita PPOK terlihat pada 76,7%.9 Pasien bronkitis kronik umumnya menderita eksaserbasi akut akibat konstriksi bronkus. Pada uji provokasi bronkus menggunakan metakolin terhadap individu bronkitis kronik dan tanpa perbaikan fungsi paru pasca inhalasi simpatomimetik, didapatkan hasil tak ada respons normal.20,21 Respons individu terhadap metakolin meningkat pada PPOK namun tidak diketahui apakah ini akibat hiperreaktivitas bronkus atau merupakan hasil obstruksi saluran napas. Penelitian pada 27 individu perokok dan bronkitis kronik didapatkan respons terhadap metakolin pada pasien PPOK ditentukan oleh derajat obstruksi saluran napas.22 Pada suatu penelitian didapatkan kesimpulan bahwa berhenti merokok memperbaiki hiperreaktivitas bronkus pada PPOK. 23 Hiperreaktivitas bronkus terhadap inhalasi histamin dipantau pada 2 kelompok dengan PPOK non asma, yaitu pada 12 individu bronkitis kronik dan obstruksi saluran napas sedikit emfisema dengan 13 dominan emfisema dan obstruksi saluran napas sedikit bronkitis. Individu emfisema memiliki batuk, sputum, bronkitis kronik yang lebih sedikit, dan radiologis defisiensi vaskular yang lebih nyata. Kedua kelompok memiliki hiperreaktivitas bronkus terhadap inhalasi histamin yang setara. Data ini menunjukkan bahwa hiperreaktivitas bronkus terhadap inhalasi histamin pada PPOK terutama dikarenakan geometri saluran napas dan tidak
ada perbedaan antara respons histamin antara PPOK emfisema dengan PPOK non emfisema dan bronkitis kronik.24 PERBEDAAN HIPERREAKTIVITAS BRONKUS PADA ASMA DAN PPOK Histamin dan metakolin merupakan agen nonspesifik yang sering digunakan untuk uji hiperreaktivitas bronkus, namun tak ada uji sensitif yang dapat membedakan antara asma dan PPOK.25 Berbeda dengan individu asma, pada umumnya individu dengan PPOK tidak respons terhadap hiperventilasi isokapnik. Pada anak, hiperreaktivitas terhadap adenosin 5’-monofosfat (AMP) dapat membedakan diagnosis asma, PPOK pada anak seperti fibrosis kistik, bronkiolitis obliteran, diskinesia silier primer, bronkiektasis dan individu sehat.16 Hiperreaktivitas bronkus pada PPOK tidak dipengaruhi oleh pengobatan flutikason propionat.19 Pada kurva dosis-respons terhadap rangsang inhalasi, terlihat bahwa kurva tersebut bergeser ke kiri pada pasien asma maupun PPOK apabila dibandingkan dengan kurva individu normal. Kemiringan kurva PPOK terletak di antara individu asma dan individu normal. Penelitian telah menemukan bahwa derajat hiperreaktivitas bronkus terhadap histamin maupun metakolin setara pada individu asma non perokok dengan individu PPOK perokok meskipun hiperreaktivitas bronkus pada individu PPOK bekas perokok lebih sensitif terhadap AMP sedangkan individu asma lebih respons dengan uji hiperreaktivitas bronkus terhadap metakolin daripada AMP.16 SIMPULAN 1. Mekanisme hiperreaktivitas bronkus pada PPOK belum diketahui dengan jelas. 2. Jenis uji hiperreaktivitas bronkus yang sering digunakan adalah uji provokasi dengan alergen histamin dan metakolin. 3. Hal terpenting adalah menghindari pajanan zat penyebab hiperreaktivitas bronkus, seperti asap rokok, alergen, debu industri, dan infeksi saluran napas atas. 4. Diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan adekuat agar eksaserbasi akut PPOK dapat dicegah. 5. Dianjurkan penderita PPOK teratur berobat. 6. Upaya melalui edukasi menghentikan kebiasaan merokok bagi seluruh kalangan usia merupakan aspek yang penting.
583
TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA 1.
Pauwels RA, Buist AS, Calverly PM, Jenkins CR, Hurd SS. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 2001;163:1256-76.
2.
Zielinski J, Bednarek M, Gorecka D, Viegia G, Hud SS, Fukuchi Y, et al. Increasing COPD awareness. Eur Respir J. 2006;27:833-52.
3.
Pavord I, Pizzichini M, Pizzichini E, Hargreave F. The use of induced sputum to investigate airway inflammation. Thorax. 1997;52:498-501.
4.
World Health Organization workshop report. Global initiative on chronic obstructive lung disease. Geneva: WHO; 2001. p. 6.
5.
American Thoracic Society Statement. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 1995;152:S78-119.
6.
Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E, dkk. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004. p. vii.
7.
Anto JM, Vermeire P, Vestbo J, Sunyer J. Epidemiology of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J. 2001;17:982-94.
8.
Nadel JA, Pauwels R, Snashal PD. Bronchial hiperresponsiveness. Blackwell Scientific Publications; 1987. p. 8-9.
9.
Soeratman E. Efek inhalasi beklometason dipropionat terhadap hipereaktivitas bronkus pada PPOK. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI; 1992. p. 11-53.
10. National Institute of Health. Definition. In: Global strategy for asthma management and prevention. Bethesda: National Institute of Health; 2002. p. 29. 11. American Thoracic Society. Guidelines for methacoline and exercise challenge Ujiting—1999. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:309-29. 12. Kusumosutoyo D. Patogenesis asma. In: Mangunnegoro H, Yunus F, Kusumosutoyo D, editors. Asma patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan. Jakarta; 1995. p. 1-21. 13. Wirjokusumo R. Pola reaktivitas bronkus pada penderita penyakit obstruksi saluran napas. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI; 1989. p. 10-40. 14. Grootendorst DC., Rabe KF. Mechanisms of bronchial hyperreactivity in asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2004;1:77-87. 15. Wiyono WH, Yunus F, Syaifuddin T, Mangunnegoro H. Perbandingan pengukuran hipereaktivitas bronkus antara PCO2 dengan peningkatan tahanan saluran napas. MKI. 1990;40:560-4. 16. Muhapril E, Yunus F, Wiyono WH, Rasmin M. Tahanan saluran napas sebagai parameter uji diagnostik hipereaktivitas bronkus. Jakarta; 2007. p. 1-10. 17. Cuttitta G, Cibella F, Bellia V, Grassi V, Cossi S, Bucchieri S, Bonsignore G. Changes in FVC during methacholine-induced bronchoconstriction in elderly patients with asthma: Bronchial hyperresponsiveness and aging. Chest. 2001;119:1685-90. 18. Busquets RM, Anto JM, Sunyer J, Sancho N, Vall O. Prevalence of asthma-related symptoms and bronchial responsiveness to exercise in children aged 13-14 yrs in Barcelona, Spain. Eur Respir J. 1996;9:2094-8. 19. Verhoeven GT, Hegmans JPJJ, Mulder PGH, Bogaard JM, Hoogsteden HC, Prins JB. Effects of fluticasone propionate in COPD patients with bronchial hyperresponsiveness. Thorax. 2002;57:694-700. 20. Verma VK, Cockcroft DW, Dosman JA. Airway responsiveness to inhaled histamine in chronic obstructive airways disease. Chronic bronchitis vs emphysema. Chest. 1988;94:457-61. 21. Gerbase MW, Schindler C, Zellweger JP, Künzli N, Downs SH, Brändli O, et al. Respiratory effects of environmental tobacco exposure are enhanced by bronchial hyperreactivity. Am J Respiratory and Critical Care Medicine. 2006;174:1125-31. 22. Ramsdell JW, Nachtwey FJ, Moser KM. Bronchial hyperreactivity in chronic obstructive bronchitis. Am Rev Respir Dis. 1982;126:829-32. 23. Willemse BWM, Hacken NHT, Rutgers B, Lesman-Leegte IGAT, Timens W, Postma DS. Smoking cessation improves both direct and indirect airway hyperresponsiveness in COPD. Eur Respir J. 2004;24:391-6. 24. Ramsdale EH, Morris MM, Roberts RS, Hargreave FE. Bronchial responsiveness to methacholine in chronic bronchitis: Relationship to airflow obstruction and cold air responsiveness. Thorax. 1984;39:912-8. 25. Scichilone N, Messina M, Battaglia S, Catalano F, Bellia V. Airway hyperresponsiveness in the elderly: Prevalence and clinical implications. Eur Respir J. 2005;25:364-75.
584
CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013