BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru manusia. Tuberkulosis disebabkan oleh kuman dan karena itu tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan. Selain terdapat pada paru-paru, tuberkulosis juga dapat mengenai organ tubuh lainnya, seperti tulang, otak, otot dan lain-lain (Aditama, 1994). Tuberkulosis disebabkan oleh basil atau kuman yang diberi nama dalam bahasa latin Mycobacterium tuberculosis. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar˚C,37yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia (Aditama, 1994).
2.1.1. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi kuman TB Paru bila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
2.1.2. Risiko Penularan Secara umum penularan penyakit tuberkulosis banyak tergantung dari beberapa faktor seperti jumlah kuman yang ada, tingkat keganasan kuman dan daya tahan tubuh orang yang tertulari, namun penularan mudah terjadi bila terdapat hubungan yang erat dan lama dengan penderita tuberkulosis yang aktif, yakni penderita TB Paru BTA positif (Amin, 1989). Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, sepuluh orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB (Depkes RI, 2002).
2.1.3. Gejala Penyakit Tuberkulosis Gejala utama yang dirasakan oleh penderita adalah batuk berdahak lebih dari dua atau tiga minggu. Batuk berdahak timbul karena ada peradangan akibat tuberkulosis pada saluran nafas, karena peradangan tersebut maka timbullah penumpukan cairan dahak di saluran nafas dan paru.
Universitas Sumatera Utara
Adapun gejala tambahan yang sering dijumpai pada penderita tuberkulosis paru adalah : adanya dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2002).
2.1.4. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru Sebagian besar kasus tuberkulosis paru didiagnosis karena pasien merasa tidak sehat sehingga datang minta bantuan ke suatu puskesmas, klinik, rumah sakit atau dokter praktik. Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturutturut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 1994).
2.1.5. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah. 4. Lalai (Default /Drop Out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 5. Lain-lain a. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan akhir pengobatan) atau lebih. Bisa juga penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif yang menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan. b. Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru Menurut Depkes RI (2002), obat TB Paru diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1. Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari selama dua bulan dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. 2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu selama minimal empat bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).
Universitas Sumatera Utara
2.1.7. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), yaitu strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB Paru, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Aditama, 1994). Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai dari
memfokuskan
perhatian
(direct
attention)
dalam
usaha
menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short course) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Aditama, 1994). Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut Multiple Drug Resistance / MDR (Sembiring, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.1.8. Pengawas Minum Obat (PMO) Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah : -
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.
-
Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
-
Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
-
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO antara lain adalah : -
Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
-
Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
-
Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
-
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
2.1.9. Organisasi Pelaksana Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 1. Tingkat Pusat Upaya penanggulangan TB Paru di tingkat pusat berada di bawah tanggung jawab dan kendali Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan (PPM & PL). Adapun untuk menggalang kemitraan dalam upaya penanggulangan penyakit TB Paru maka dibentuk Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB) yang dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 24 Maret 1999, bertepatan dengan peringatan hari TB sedunia. 2. Tingkat Provinsi Di Tingkat provinsi dibentuk Gedurnas TB Provinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. 3. Tingkat Kabupaten/Kota Di Tingkat kabupaten/kota dibentuk Gedurnas TB kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota.
Universitas Sumatera Utara
4. Unit Pelayanan Kesehatan Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/klinik dan Dokter Praktek Swasta. a. Puskesmas Dalam pelaksanaan di puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS), yang secara keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk 50.000 – 150.000 jiwa. Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA. b. Rumah Sakit dan BP4 Rumah sakit dan BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana penderita TB. Dalam hal tertentu, rumah sakit dan BP4 dapat merujuk penderita kembali ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal penderita untuk mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya. c. Klinik dan Dokter Praktek Swasta (DPS). Secara umum konsep pelayanan di klinik dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan BP4. Dalam hal tertentu, klinik dan DPS dapat merujuk penderita dan spesimen ke puskesmas, rumah sakit atau BP4.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang menyelenggarakan upaya kesehatan paru strata dua serta bersifat mandiri (fungsional) yang melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang dari Dinkes Provsu. BP4 menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru secara menyeluruh dan terpadu, menggunakan teknologi tepat guna, didukung peran serta aktif masyarakat, kerjasama lintas program dan lintas sektoral. BP4 dibentuk sebagai upaya untuk lebih mendekatkan dan memberikan pelayanan spesialistik khusus paru ke masyarakat maupun untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan paru di masyarakat. Untuk melaksanakan tugas tersebut maka BP4 menjalankan fungsi : penetapan diagnosa penyakit paru, pengobatan penderita penyakit paru, perawatan penderita penyakit paru, membantu usaha pemberantasan penyakit tuberkulosis dan melaksanakan sistem rujukan (Profil BP4 Medan, 2008). Dalam melaksanakan pelayanannya, BP4 menerima pasien yang berasal dari pasien rujukan baik yang dirujuk dari puskesmas dan rumah sakit dan pasien yang datang sendiri dengan dana pribadi. Anggaran BP4 diperoleh dari APBD yaitu berupa Anggaran Rutin (DASK) yang digunakan untuk membiayai kegiatan dan keperluan rutin BP4 seperti gaji pegawai, biaya operasional kegiatan pelayanan medis dan lainlain, serta APBN yang digunakan untuk kegiatan sosialisasi pembinaan ke kab/kota serta kegiatan luar gedung lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Konsep Perilaku Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan, menangis, tertawa, membaca dan sebagainya. Sebagaimana dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Skinner (Notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni : 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan sebagainya. Berdasarkan teori Skinner, dapat dikatakan bahwa kepatuhan penderita TB Paru untuk minum obat secara teratur adalah merupakan tindakan yang nyata dalam bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri si penderita (faktor internal) maupun dari luar diri si penderita (faktor eksternal). Faktor internal yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan serta faktor
Universitas Sumatera Utara
motivasi dari dalam diri penderita TB Paru seperti rasa tanggung jawab. Adapun faktor eksternalnya yaitu motivasi dari luar diri penderita TB Paru yang meliputi dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas. Perilaku seseorang itu sebenarnya dapat dikaji sebagai saling interaksinya atau ketergantungannya beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Sebagaimana menurut Fred Luthans dalam Thoha (2008) terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari motivasi dan tujuan. Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan dari motivasi itu sendiri. Dorongan ini yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan ini pula yang menyebabkan seseorang itu berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatankegiatan serta menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut.
2.4. Kepatuhan Berobat Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Sarafino (Bart, 1994), kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain. Menurut Sarafino (Bart, 1994), secara umum ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitu : 1. Pemahaman tentang Instruksi Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien. Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu : a. Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan. b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang harus diingat. c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis. d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal penting perlu ditekankan. 2. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatnya interaksi
Universitas Sumatera Utara
profesional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini. 3. Isolasi Sosial dan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit. 4. Keyakinan, sikap, Kepribadian Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuranpengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orangorang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program pengobatan. Menurut Schwartz & Griffin (Bart, 1994), riset tentang ketaatan pasien didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk
Universitas Sumatera Utara
mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut
merupakan
pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seseorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya. Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan : 1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, serta pengobatan dengan efek samping. Menurut Sarafino (Bart,1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang, tingkat tersebut menurun sampai 54%. 2. Komunikasi antara pasien dan dokter Berbagai aspek komunukasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat ketidaktaatan
misalnya,
informasi
dengan
pengawasan
yang
kurang,
Universitas Sumatera Utara
ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter serta ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan. 3. Variabel-variabel sosial Secara umum, orang-orang yang merasa menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mengikuti nasihat medis daripada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial. 4. Ciri-ciri individual Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika Serikat kaum wanita, kaum kulit putih dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter.
2.5. Motivasi 2.5.1. Definisi Motivasi Malayu (1996) menyatakan bahwa motivasi berasal dari bahasa latin, yakni “movere” yang berarti “daya penggerak” atau “dorongan” dalam diri manusia yang menyebabkan individu tersebut berbuat sesuatu. Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Adapun perilaku itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Menurut Mitchell dalam Winardi (2001), motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi
Universitas Sumatera Utara
kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Gray (1984) menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Menurut Walgito (2003), motivasi merupakan keadaan dalam diri individu yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : (1) keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state), yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti berpikir dan ingatan; (2) perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini; (3) tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut.
2.5.2. Teori Motivasi Banyak teori-teori yang menggambarkan tentang motivasi di antaranya : 1. Teori Penguatan Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan faktorfaktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi (Siagian, 1995). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada pandangan bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong perilaku positif tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi tindakan serupa. Sebaliknya, jika seorang manajer menegur bawahannya karena melakukan sesuatu
Universitas Sumatera Utara
hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan cenderung untuk tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang yang bersangkutan. Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti sikap pimpinan, pengaruh rekan kerja dan sejenisnya (Siagian, 1995). Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar dirinya seperti dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponnya dan memberikan solusi dengan baik.
2. Teori X dan Y McGregor Teori X dari Douglas McGregor menyatakan bahwa sebagian besar orang lebih senang diberikan pengarahan, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, serta menginginkan
keamanan
atas
segalanya.
Mengikuti
falsafah
ini
maka
kepercayaannya adalah orang-orang itu hendaknya dimotivasi dengan uang, dan diperlakukan dengan sanksi hukuman (Winardi, 2001). Menurut asumsi teori X menyatakan bahwa orang-orang ini pada hakikatnya adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah. 2. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah. 3. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja. 4. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan. Untuk menyadari kelemahan dari asumsi teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakannya teori Y. Asumsi teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X (Thoha, 2008).
2.6. Penelitian- Penelitian Sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, ditemukan bahwa pengetahuan dan peran PMO berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru. Menurut hasil penelitiannya, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang penyakit TB Paru dan yang menjadi PMO seluruhnya adalah keluarga sehingga lebih memerhatikan kesehatan responden. Penelitian Eliska (2005), menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara pekerjaan dan faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Kota Medan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang diterima respoden sebaian besar dalam kategori baik (63,6%).
Universitas Sumatera Utara
Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru, ada tidaknya Pengawas Minum Obat (PMO), efek samping obat, perilaku petugas pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak antara rumah pasien ke puskesmas.
2.7. Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka kerangka konsep penelitian ini adalah : Variabel Independen
Variabel Dependen
Karakteristik Individu • • • • •
Umur Jenis kelamin Status perkawinan Pekerjaan Pengetahuan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru
Motivasi • • • •
Dukungan Keluarga Peran PMO Dorongan Petugas Rasa Tanggung jawab Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Definisi Konsep : 1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru yang membedakan seseorang dengan lainnya, meliputi : umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan. 2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak yang berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari kekuatan di luar pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat penderita TB Paru, meliputi : dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas, dan rasa tanggung jawab. 3. Kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam menelan obat pada tahap intensif sesuai jadwal yang ditentukan yaitu selama 2 bulan dan menaati segala nasihat dari petugas kesehatan.
2.7. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah : 1. Ada pengaruh karakteristik penderita TB Paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) terhadap kepatuhan berobat di BP4 Medan. 2. Ada pengaruh motivasi penderita TB paru (dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap kepatuhan berobat di BP4 Medan.
Universitas Sumatera Utara