BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang paling sering (sekitar 80% ) terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil gram positif tahan asam dengan pertumbuhan sangat lamban yaitu Mycobacterium tuberculosis (Tjay dan Kirana, 2002). Data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 menunjukkan bahwa penyakit TB menduduki penyebab kematian nomor empat. Kasus TB ini meningkat disebabkan tingginya angka resistensi terhadap obat TB, baik resistensi primer maupun resistensi sekunder (Chuluq, dkk., 2004). Gejala TB antara lain batuk kronis, demam, berkeringat waktu malam, keluhan pernafasan, perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan, dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir (mukosa), purulent atau mengandung darah. Infeksi primer setelah terjadi infeksi melalui pernafasan, di dalam gelembung paru (alveoli) berlangsung reaksi peradangan setempat dengan timbulnya benjolan-benjolan kecil (tuberkel). Basil TB memperbanyak diri di dalam makrofag dan benjolan-benjolan menjadi infiltrat yang akhirnya menimbulkan rongga (caverna)di paru-paru (Tjay dan Kirana, 2002). Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, (2005) sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsipprinsip yang dipakai adalah :
Menghindari penggunaan monoterapi.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu : - Tahap Intensif yaitu penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. - Tahap Lanjutan yaitu penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
2.2 Pirazinamida (Ditjen POM, 1995). Rumus Bangun:
Gambar 1. Rumus bangun Pirazinamida Nama Kimia
: Pirazinkarboksamida
Rumus Molekul
: C5H5N3O
Berat Molekul
: 123,11
Pemerian
: Serbuk hablur, putih hingga praktis putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau.
Universitas Sumatera Utara
Kelarutan: Agak sukar larut dalam air; sukar larut dalam etanol, dalam eter dan dalam kloroform. Titik lebur: Antara 188o dan 191o Analog pirazin dari nikotinamida ini bekerja bakterisid (pada suasana asam: pH 5-6) atau bakteriostatis, tergantung pada pH dan kadarnya di dalam darah. Spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya meliputi M. tuberculosis. Khasiatnya diperkuat oleh INH. Obat ini khusus digunakan pada fase intensif (Tjay dan Rahardja, 2002). Pirazinamida adalah prodrug yang menghambat
pertumbuhan
Mycobacterium
tuberculosis.
Mycobacterium
tuberculosis mempunyai enzim pirazinamidase yang hanya aktif pada kondisi asam. Pirazinamidase mengubah pirazinamida menjadi bentuk asam pirazinoat yang terakumulasi di dalam basil (Anonim2, 2005). Pirazinamida dapat dengan baik diserap dari saluran cerna dan secara luas didistribusikan pada jaringan tubuh, termasuk selaput otak yang terinfeksi. Pirazinamida diabsorbsi dengan baik dari saluran pencernaan dengan konsentrasi serum 40-50 mg/L (0,3-0,4 mmol/L) dicapai kira-kira setelah 2 jam pemberian dosis 1 g. Suatu puncak konsentrasi serum 20-60 mg/L (163-488 µmol/L) setelah 2 jam pemberian oral 1-2 g diusulkan sebagai bukti dari absorbsi yang cukup (Anderson, et.al., 2002) Waktu paruhnya adalah 8-11 jam. Pirazinamida merupakan suatu obat garis depan yang penting yang digunakan bersama dengan isoniazid dan rifampin dalam pemberian jangka pendek (yaitu 6 bulan) sebagai suatu agen sterilisator aktif untuk melawan sisa-sisa organisme-organisme intraseluler yang dapat mengakibatkan kekambuhan (Chambers, 2004). Pirazinamida dimetabolisme di
Universitas Sumatera Utara
hati, diekskresikan lambat dalam kemih, 30 % dikeluarkan sebagai metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam. Efek sampingnya yaitu hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
2.3 Pemantauan Terapi Obat Pemantauan terapi obat secara klinik adalah evaluasi sistematik dan prospektif dari regimen dosis dan kemajuan klinik pasien. Sasaran utama dari pemantauan terapi obat adalah untuk mengoptimasi terapi obat, dengan memastikan secara efektif, efikasi terapi, meminimalkan toksisitas, dan memberi solusi masalah yang merusak/mengurangi akses seorang pasien, atau patuh pada suatu regimen terapi obat tertentu (Charles dan Endang, 2006). Keberhasilan terapi dengan obat sangat bergantung pada rancangan aturan dosis. Suatu aturan dosis yang dirancang tepat, merupakan usaha untuk mencapai konsentrasi obat optimum pada reseptor untuk menghasilkan respon terapetik yang optimal dengan efek merugikan yang minimum (Shargel, 2005). Ketika obat dipilih untuk seorang pasien, dokter harus menentukan dosis yang paling sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Suatu pendekatan yang rasional guna tujuan ini menggabungkan Farmakokinetika
prinsip-prinsip membicarakan
farmakokinetika bagian
dan
farmakodinamika.
konsentrasi-dosis,
sedangkan
farmakodinamika menentukan bagian efek-konsentrasi dari interaksi (Nicholas dan Holford, 2001). Pemantauan terapi obat bertujuan mengidentifikasi regimen dosis pasien secara individual yang mengarahkan pada pencapaian konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
yang diketahui berhubungan dengan khasiat bukan toksisitas. Bagaimanapun terdapat
variabilitas
farmakodinamik
interindividual
yang
penting
pada
konsentrasi plasma yang diberikan. Secara umum, pemantauan terapi obat berguna untuk situasi klinis berikut : -
Ketika memulai regimen obat yang baru dengan indeks terapi yang sempit untuk memeriksa konsentrasi yang tepat tercapai
-
Ketika pengobatan yang digunakan tidak bekerja karena diperoleh konsentrasi yang rendah.
-
Ketika toksisitas dicurigai karena konsentrasi yang tinggi
-
Ketika beberapa obat diberika secara bersama-sama dan interaksi farmakokinetika diharapkan dapat memodifikasi disposisi indeks terapi yang sempit
-
Ketika sulit untuk menghubungkan antara respon farmakologi dengan konsentrasi plasma
-
Pada pasien terdapat penyakit hati dan ginjal (Anonim3, 2002)
Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwa dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma dalam kadar yang diperlukan untuk efek terapetik. Untuk beberapa obat, kepekaan reseptor pada individu berbeda, sehingga pemantauan kadar obat dalam plasma diperlukan untuk membedakan penderita yang menerima terlalu banyak obat dan penderita yang sangat peka terhadap obat. Dengan demikian pemantauan terapi konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat secara individual dan juga untuk mengoptimasi terapi (Shargel, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.4 Darah dan Plasma Darah terdiri atas sel-sel dan cairan yang mengisi sirkulasi tertutup yang mengalir dalam gerak teratur tanpa arah, didorong terutama oleh kontraksi ritmis jantung. Darah dibentuk dari dua bagian: bentuk elemen atau sel-sel darah da plasma, fase cair dimana yang tersuspensi. Bentuk elemen adalah eritrosit atau sel darah merah; trombosit dan leukosit atau sel darah putih. Darah adalah jaringan penyambung khusus yang terdiri atas sel-sel dan banyak cairan interstitial (Junqueira, 1982). Darah lengkap manusia adalah darah yang telah diambil dari donor manusia yang dipilih dengan pencegahan-pencegahan pendahuluan aseptik yang ketat. Ditambahkan ion sitrat atau heparin sebagai antikoagulasi. Darah yang dikumpulkan disimpan pada temperatur antara 1oC–10oC, dipertahankan konstan dengan kisaran 2oC (Ansel, 2005). Cairan translusen, kekuningan dan sedikit kental yang terletak diatas bila hematokrit diukur adalah plasma darah. Plasma merupakan cairan yang sering digunakan dalam pengukuran konsentrasi obat dikarenakan konsentrasi obat di dalam plasma dianggap konsentrasi obat yang diperlukan reseptor untuk menghasilkan suatu efek (Shargel, 2005). Plasma adalah suatu larutan aqueous yang mengandung zat-zat dengan berat molekul besar dan kecil yang merupakan 10% volumenya. Protein-protein plasma merupakan 7% dan garam-garam anorganik 0,9%, sisanya yang 10% terdiri atas beberapa senyawa organik dari berbagai asal-asam amino, vitamin, hormom, lipid, dan sebagainya. Protein-protein plasma dapat dipisahkan pada ultrasentrifuge atau dengan elektroforesis menjadi albumin, alfa, beta dan gamma
Universitas Sumatera Utara
globulin; dan fibrinogen. Albumin adalah komponen utama dan mempunyai peranan utama mempertahankan tekanan osmotik darah. Beberapa zat yang tidak larut atau hanya sedikit larut dalam air dapat ditransport oleh plasma karena mereka terikat dengan albumin atau dengan alfa dan beta globulin (Junqueira, 1982).
2.5 Kromatografi 2.5.1 Teori Kromatografi Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh ahli botani rusia Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman denan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dala kolom gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3) (Rohman, 2007). Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam absorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umumnya membutuhkan zat terlarut terdistribusi di antara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam) yang lainnya bergerak (fase gerak) (Ditjen POM, 1995).
2.5.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC dkembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Saat
Universitas Sumatera Utara
ini, KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian (impurities; analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatile); penentuan molekul-molekul netral, ionik maupu zwitter ion. KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawasenyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan proteinprotein dalam cairan fisiologis (Rohman, 2007). Berdasarkan mekanisme interaksi antara analit dengan fase diam, kromatografi cair dapat dibagi menjadi 4 metode, yakni: kromatografi fase normal (normal phase chromatography) atau disebut juga kromatografi adsorpsi (adsorption
chromatography),
kromatografi
fase
balik
(reversed-phase
chromatography), kromatografi penukar ion (ion-exchange chromatography) dan kromatografi eksklusi ukuran (size-exclusion chromatography) (Riley, 1995). Pada kromatografi fase normal, fase diam lebih polar daripada fase gerak. Dengan demikian analit yang polar lebih kuat terikat pada fase diam dan akan dielusi dari kolom setelah analit yang kurang polar yang mempunyai afinitas lebih besar terhadap fase gerak. Sedangkan pada kromatografi fase balik adalah situasi dimana fase gerak lebih polar daripada fase diam. Pada kromatografi fase balik ini permukaan silika terikat kovalen dengan rantai panjang hidrokarbon yang memberikan karakteristik permukaan yang sangat non polar. Dengan demikian analit yang lebih polar mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap fase gerak dibandingkan dengan fase diam dan akan dielusi lebih cepat daripada analit yang non polar (Mellett, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 Proses Pemisahan dalam Kolom Kromatografi Pemisahan
dalam
kromatografi
cair
disebabkan
oleh
distribusi
kesetimbangan dari senyawa-senyawa yang berbeda antara partikel fase diam dan larutan fase gerak (Snyder dan Kirkland, 1979). Contohnya, campuran dua komponen dimasukkan ke dalam sistem kromatografi (partikel ● dan ▲) (Gambar 2a). Di mana komponen ▲ cenderung menetap di fase diam dan komponen ● lebih cenderung di dalam fase gerak (Gambar 2b). Masuknya eluen (fase gerak) yang baru ke dalam kolom akan menimbulkan kesetimbangan baru: molekul sampel dalam fase gerak diadsorpsi sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien distribusinya, sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fase gerak (Gambar 2c). Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen akan terpisah. Komponen ● yang lebih suka dengan fase gerak akan berpindah lebih cepat daripada komponen ▲ yang cenderung menetap di fase diam, sehingga komponen ● akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram, kemudian baru diikuti oleh komponen ▲ (Gambar 2d) (Meyer, 2004). Komponen yang telah terpisah akan dibawa oleh fase gerak menuju detektor dan sinyal yang terekam oleh detektor disebut sebagai puncak, sedangkan keseluruhan puncak yang direkam oleh detektor selama analisis dinamakan kromatogram. Puncak yang diperoleh dalam analisis memiliki dua informasi penting yakni informasi kualitatif dan kuantitatif (Meyer, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi di dalam kolom KCKT.
2.5.4 Parameter Dalam Kromatografi Terdapat beberapa parameter yang penting untuk diketahui selama analisis menggunakan KCKT, parameter tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut 2.5.4.1 Tinggi dan Luas Puncak Sebuah puncak memiliki lebar puncak (Wb), tinggi (h) dan luas puncak seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Sebuah kromatogram yang diperoleh dari analisis KCKT
Lebar puncak yang diukur biasanya merupakan lebar pada 5% tinggi puncak (W0,05) (Ornaf dan Dong, 2005). Tinggi dan luas puncak berkaitan secara proporsional dengan kadar atau jumlah analit tertentu yang terdapat dalam sampel (memiliki informasi kuantitatif). Namun demikian, luas puncak lebih umum digunakan dalam perhitungan kuantitatif karena lebih akurat/cermat daripada perhitungan menggunakan tinggi puncak (Ornaf dan Dong, 2005). Hal ini dikarenakan luas puncak relatif tidak banyak dipengaruhi oleh kondisi kromatografi, kecuali laju alir. Sementara itu, tinggi puncak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti misalnya faktor tambat, suhu kolom serta cara injeksi sampel (Miller, 2005). Hal ini akan menyebabkan tinggi puncak relatif labil selama analisis. Namun demikian tinggi puncak masih dapat digunakan dalam perhitungan kuantitatif bila puncak analit simetris (Dyson, 1990).
Universitas Sumatera Utara
2.5.4.2 Faktor Retensi Periode waktu antara penyuntikan sampel dan puncak maksimum yang terekam oleh detektor disebut sebagai waktu tambat/retention time (tR). Waktu tambat dari suatu komponen yang tidak ditahan/ditambat oleh fase diam disebut sebagai waktu hampa/void time (t0). Waktu tambat merupakan fungsi dari laju alir fase gerak dan panjang kolom. Jika fase gerak mengalir lebih lambat atau kolom semakin panjang, waktu hampa dan waktu tambat akan semakin besar, dan sebaliknya bila fase gerak mengalir lebih cepat atau kolom semakin pendek, maka waktu hampa dan waktu tambat akan semakin kecil (Meyer, 2004).
2.5.4.3 Efisiensi
Tujuan umum pada kromatografi adalah pemisahan yang cukup dari suatu campuran yang akan dipisahkan. Untuk kolom kromatografi, jumlah lempeng atau plate number (N) yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis pada distilasi kolom digunakan sebagai ukuran efisiensi. Dengan menganggap profil puncak kromatogram adalah sesuai kurva Gaussian, maka N didefenisikan:
t N = R σt
2
2
t t = 16 R = 5,54 R Wh/2 Wb
2
Yang mana: tR
: waktu retensi solut
σt
: standar deviasi lebar puncak
Wb : lebar puncak Wh/2 : lebar setengah puncak
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Pengukuran efisiensi kromatografi dari puncak Gaussian
2.5.4.4 Selektifitas
Proses
pemisahan
antara
dua
komponen
dalam
KCKT
hanya
memungkinkan bila kedua komponen memiliki kecepatan yang berbeda dalam melewati kolom (Ornaf dan Dong, 2005). Kemampuan sistem kromatografi dalam memisahkan/membedakan analit yang berbeda dikenal sebagai selektifitas (α). Selektifitas umumnya tergantung pada sifat analit itu sendiri, interaksinya dengan permukaan fase diam serta jenis fase gerak yang digunakan (Kazakevich dan LoBrutto, 2007). Selektifitas ditentukan sebagai berikut
2.5.4.5 Resolusi
Menurut Kazakevich dan LoBrutto, (2007) resolusi didefenisikan sebagai perbandingan jarak antara dua puncak terhadap lebar kedua puncak (pada saat baseline). Dirumuskan sebagai:
Universitas Sumatera Utara
2.5.4.6 Puncak Asimetri Profil konsentrasi solut yang bermigrasi akan simetris jika rasio distribusi solut konstan selama di kisaran konsentrasi keseluruhan puncak. Meskipun demikian, kurva akan berubah menjadi 2 jenis puncak asimetris yakni membentuk puncak yang berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu (fronting) jika ada perubahan rasio distribusi solut ke arah yang lebih besar. Baik tailing maupun fronting tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang reprodusibel (Rohman, 2007). Dibawah ini adalah gambar tiga jenis puncak.
Gambar 5. Tiga jenis bentuk puncak. (sumber: Meyer, 2004).
Untuk menentukan tingkat asimetri puncak dilakukan dengan menghitung faktor asimetris atau disebut juga dengan tailing factor (TF) yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Kromatogram yang memberi harga TF = 1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Harga TF > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai kurang efisien (Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6. Menghitung besarnya tailing factor pada kromatogram
2.5.5 Komponen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Sistem KCKT sederhana terdiri dari wadah fase gerak, pompa bertekanan tinggi, injektor, kolom, detektor, dan perekam. Gambar ilustrasi dapat dilihat pada gambar 5 (McMaster, 2007).
Gambar 7. Sistem KCKT isokratik
2.5.5.1 Wadah fase gerak Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Pelarut yang digunakan harus bebas dari partikel debu dan partikel padat. Pelarut seharusnya disaring dengan
Universitas Sumatera Utara
penyaring mikrometer sebelum digunakan pada sistem KCKT. Degassing digunakan untuk menghilangkan gas terlarut dalam fase gerak dan menghilangkan gas terlarut dalam fase gerak dan mengurangi kemungkinan gelembung yang terbentuk pada pompa atau detektor selama proses pemisahan (Putra, 2007). Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan eluasi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan eluasi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut (Rohman, 2007). Menurut Johnson dan Stevenson (1991), fase gerak haruslah: a. Murni, tanpa cemaran. b. Tidak bereaksi dengan kemasan. c. Sesuai dengan detektor. d. Dapat melarutkan cuplikan. e. Mempunyai viskositas rendah. f. Memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan. g. Harganya wajar.
2.5.5.2 Pompa Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu
Universitas Sumatera Utara
nilam. Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untukmenjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reproduksibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Ada dua jenis pompa dalam KCKT yaitu pompa dengan tekanan konstan, dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan. Tipe pompa dengan aliran fase gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan dengan pompa dengan tekanan tetap (Rohman, 2007).
2.5.5.3 Injektor Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel internal atau eksternal (Rohman, 2007). Menurut Johnson dan Stevenson (1991), ada tiga jenis dasar injektor, yaitu: a. Aliran-henti: aliran dihentikan, penyuntikan dilakukan pada tekanan atmosfer; sistem ditutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Cara ini dapat dipakai karena difusi di dalam zat cair kecil, jadi umumnya daya pisah tidak dipengaruhi. b. Septum: ini adalah injektor langsung pada aliran, yang sama dengan injektor yang lazim dipakai pada kromatografi gas. Injektor tersebut dapat dipakai pada tekanan sampai sekitar 60-70 atmosfer. Septum tidak dapat dipakai pada semua pelarut KC. Selain itu, partikel kecil terlepas dari septum dan cenderung menyumbat. c. katup jalan-kitar: jenis injektor ini biasanya dipakai untuk menyuntikkan volum yang lebih besar dari 10 μl dan sekarang dipakai dalam sistem yang
Universitas Sumatera Utara
diotomatkan. Pada kedudukan mengisi, jalan-kitar cuplikan diisi pada tekanan atmosfer. Jika katup dibuka, cuplikan di dalam jalan-kitar teralirkan ke dalam kolom.
2.5.5.4 Kolom Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau tidaknya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar (Putra, 2007). Menurut Johnson dan Stevenson (1991), kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok: a. Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm. b. Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm. Kebanyakan fase diam pada kolom KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugs silanol (Si-OH). Oktadesil silika (ODS atau C18) merupaka fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi (Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.5.5.5 Detektor Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikandi dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisaran respon linear yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Detektor yang paling banyak digunakan dalam KCKT adalah detektor spektrofotometer uv 254 nm. Bermacam-macam detektor dengan variasi panjang gelombang uv-vis sekarang menjadi poluler karena dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa dalam rentang yang luas (Putra, 2007).
2.5.6 Metode Kuantifikasi dengan Baku Dalam Baku
dalam
terutama
merupakan
ragam
yang
berguna
karena
pemakaiannya secara tepat dapat memperkecil galat yang disebabkan oleh penyiapan cuplikan, peralatan, dan cara. Secara singkat, cara ini mencakup penambahan senyawa baku yang jumlahnya diketahui. Kemudian campuran itu dibuat untuk disuntikkan ke dalam kromatografi. Berdasarkan luas puncak senyawa baku dan luas puncak komponen yang diminati, kita dapat menentukan susunan (Johnson dan Stevenson, 1991). Akurasi dari penggunaan baku dalam secara nyata bergantung kepada kemiripan struktur antara zat yang diperiksa dengan baku dalam (Snyder and Kirkland, 1979). Menurut Rohman (2007), syarat-syarat suatu senyawa dapat digunakan sebagai baku internal adalah: - Terpisah dengan baik dari senyawa yang dituju atau puncak-puncak yang lain - Mempunyai waktu retensi yang hampir sama dengan analit.
Universitas Sumatera Utara
- Tidak terdapat dalam sampel. - Mempunyai kemiripan sifat-sifat dengan analit dalam tahapan-tahapan penyiapan sampel. - Tidak mempunyai kemiripan secara kimiawi dengan analit. - Tersedia dalam perdagangan dengan kemurnian yang tinggi. - Mempunyai respon detektor yang hampir sama dengan analit pada konsentrasi yang digunakan. Dalam kromatografi, rasio tinggi puncak atau luas puncak (senyawa terhadap baku dalam) biasanya di-plot terhadap konsentrasi. Selanjutnya, perbandingan atau rasio respon detektor (tinggi atau luas puncak) untuk obat dan baku dalam digunakan dalam kalibrasi dan pengujian (Smyth, 1992).
2.5.7 Nikotinamida (Ditjen POM, 1995) Baku dalam yang digunakan yakni Nikotinamida. Rumus Bangun:
Gambar 8. Nikotinamid Nama Kimia
: Piridina-3-karboksamida
Rumus Molekul
: C6H6N2O
Berat Molekul
: 122,1
Pemerian
: Hablur atau serbuk hablur, tidak berwarna atau putih; berbau lemah dan khas
Universitas Sumatera Utara
Kelarutan
: Larut dalam 1 bagian air, dalam 1,5 bagian etanol; sukar larut dalam kloroform dan dalam eter
Dengan metode baku internal, kurva baku dihasilkan dengan mempersiapkan beberapa larutan baku yang mengandung konsentrasi yang berbeda dari senyawa yang dituju dengan ditambah sejumlah konsentrasi tertentu yang tetap dari larutan baku internal (Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara