BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis 2.1.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan pada anak adalah penderita TB dewasa yang dibuktikan dengan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) pada pemeriksaan sputumnya. Dimana anak-anak yang kontak erat dengan TB dewasa BTA positif akan memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi M. tuberculosis. 12,13
2.1.2 Epidemiologi Pada tahun 2005 World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 12 juta kasus baru TB anak.14 Di Indonesia, pada tahun 2011 dengan angka insidens kasus TB sebesar 189 orang per 100 000 penduduk pertahun. Proporsi kasus TB anak secara nasional pada tahun 2011 di antara seluruh kasus sebesar 9%. Pada tahun 2011 di Sumatera Utara angka insidens penderita TB sebesar 1034 orang per 100 000 penduduk. Sedangkan proporsi TB anak antara tahun 2010 hingga 2011 di Sumatera Utara sebesar 2% dari keseluruhan kasus infeksi TB.2
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya infeksi TB pada anak adalah tinggal serumah (kontak erat) dengan penderita TB basil tahan asam (BTA) positif, tinggal di daerah endemis, tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi yang tidak baik, serta faktor kemiskinan.13 Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Tidak semua anak yang telah terinfeksi akan mengalami sakit TB. Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi menjadi sakit TB, diantaranya adalah anak usia kurang dari 5 tahun risikonya lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur), infeksi baru yang ditandai adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan yang menyebabkan imunosupresi), status sosioekonomi orang tua rendah, kepadatan hunian, pendidikan orang tua yang rendah, virulensi dan jumlah kuman yang menginfeksi.15
2.1.4 Patogenesis Perjalanan alamiah terjadinya infeksi TB dimulai dari masuknya kuman M. tuberculosis yang terdapat dalam percik renik, karena ukurannya sangat kecil (<5 μm) maka bakteri tersebut dapat mencapai alveolus. Selanjutnya terjadi proses fagositosis oleh makrofag, dimana sebagian bakteri akan mati sedangkan
Universitas Sumatera Utara
sebagian lagi akan terus berkembang biak dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Setelah itu kuman M. tuberculosis membentuk lesi di tempat tersebut (fokus primer Ghon). Dari fokus primer Ghon, Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran
ini
menyebabkan
terjadinya
inflamasi
pada
saluran
limfe
(limfangitis), dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. Fase ini dinamakan fase inkubasi dan berlangsung dalam waktu 2 hingga 12 minggu.14,15 Selanjutnya dalam waktu 1 hingga 3 bulan pada fase inkubasi, kuman TB dapat menyebar keseluruh tubuh melalui darah. Dalam waktu 3 hingga 7 bulan dapat terjadi efusi pleura. Dalam waktu 1 hingga 3 tahun dapat terjadi TB tulang.16
Gambar 2.1 Bagan patogenesis tuberkulosis.14
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Diagnosis Gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis pada pemeriksaan mikrobiologis.12 Pada anak, sangat sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik, sekalipun spesimen dapat diperoleh, kuman M. tuberculosis jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun kultur. Oleh karena itu, uji tuberkulin memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, dimana hasil uji tuberkulin positif menandakan bahwa seseorang telah terinfeksi oleh M. tuberculosis.17,18 Kesulitan dalam menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha untuk membuat pedoman diagnosis, yaitu dengan menggunakan sistem skoring dan alur diagnosis. Pada daerah dengan sarana yang terbatas dapat menggunakan sistem skoring untuk mencegah terjadinya over diagnosis TB anak.13,14 Sistem skoring yang telah ada diantaranya dibuat oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bekerjasama dengan Departemen Kesehatan (Depkes) RI, dan sistem skoring ini masih sering digunakan.14,15
2.1.5.1 Uji Tuberkulin Uji tuberkulin digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis.18 Uji tuberkulin mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Saat ini standart tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah dengan kekuatan intermediate (dosis standar) yaitu: Purivied Protein Derivied (PPD) RT 23 2TU buatan Statens
Universitas Sumatera Utara
Serum Institute Denmark, dan PPD S 5TU dari Biofarma. Dosis standart 5 TU PPD-S sama dengan dosis 1 / 2 TU PPD RT 23. 12,15
Tabel 2.1 Jenis-jenis tuberkulin.12 Strenght
PPD S (Biofarma)
PPD RT 23 (Denmark)
First
1 TU
1TU
Intermediate (dosis standar)
5-10 TU
2-5 TU
Second
250 TU
100 TU
Reaksi tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan menghasilkan hipersensitivitas tipe IV atau delayed-type hypersensitivity (DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel Th1 tersensitisasi dan menggerakkan limfosit
ke
tempat
suntikan. Limfosit
akan merangsang
terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin dan penarikan sel inflamasi ke tempat suntikan. Protein tuberkulin yang disuntikkan di kulit, kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel dendritik/ Langerhans ke sel T melalui molekul MHC-II. Kemudian akan mengaktifkan sel T spesifik yaitu sel Thelper 1 (Th1) yang kemudian sel tersebut akan memproduksi berbagai sitokin inflamasi diantaranya yang dominan adalah IL -12, IL-17A, interferon gamma (IFN-𝛾𝛾) dan Tumor necrosis factor-α (TNF-α).Kemudian sitokin tersebut akan mengaktivasi sel makrofag, monosit, dan limfosit ditempat suntikan sehingga menimbulkan edema dan bengkak.9,10,19 Saat ini uji tuberkulin dengan cara Mantoux telah secara luas digunakan diseluruh dunia, yaitu dengan cara menyuntikkan 0.1 ml PPD RT 23 2TU atau
Universitas Sumatera Utara
PPD S 5TU, secara intrakutan atau intradermal dibagian volar sentral lengan bawah dengan sudut penyuntikan 30derajat. Pembacaan hasil uji tuberkulin dilakukan 48 sampai 72 jam setelah penyuntikan dengan cara meraba dan mengukur secara transversal diameter indurasi yang timbul, bukan mengukur hiperemis / eritemanya.20 Secara umum hasil uji tuberkulin dinyatakan positif bila diameter indurasi ≥10 mm tanpa menghiraukan penyebabnya.
18
Pasien yang
memiliki riwayat kontak erat dengan penderita TB BTA positif lebih besar kemungkinannya untuk menjadikan hasil uji tuberkulin cara Mantoux positif bila dibandingkan dengan yang tidak ada riwayat kontak.21 Apabila diameter indurasi 0 sampai 4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5 sampai 9 mm dinyatakan positif meragukan, karena dapat disebabkan oleh infeksi mikobakteri atipik dan Bacille Calmette-Guérin (BCG), atau memang karena infeksi TB.16 Untuk hasil yang meragukan ini perlu diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian.14 Diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa melihat st atus BCG pasien. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10 sampai 15 mm masih mungkin disebabkan oleh BCGnya selain oleh infeksi TB alamiah. Sedangkan bila ukuran indurasi≥15 mm hasil positif ini lebih mungkin karena infeksi TB alamiah dibandingkan karena BCGnya.16 Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Jika membaca tuberkulin pada anak-anak di atas usia 5 tahun faktor BCG dapat diabaikan.14,19
Universitas Sumatera Utara
Pada
keadaan
tertentu,
yaitu
tertekannya
sistem
imun
(imunokompromais), maka cut off-pointhasil positif yang digunakan adalah ≥ 5 mm. Keadaan imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertussis, varisela atau pasien-pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥ 2 minggu).14
2.2 Kecacingan(Helminths) Saat ini lebih dari 2 milyar orang terinfeksi cacing di seluruh dunia, dan diantaranya sebanyak 300 juta menderita penyakit yang berat, dimana setengahnya merupakan anak usia sekolah. Infeksi soil-transmitted helminth (STH)ini tersebar secara luas di negara berkembang, baik itu di daerah tropis maupun subtropis.3,4 Di Indonesia, beberapa spesies cacing yang mempunyai prevalensi tinggi ialah Ascaris lumbricoides (A.lumbricoides), Trichuris trichiura dan Necator americanus.22
2.2.1 Epidemiologi Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2005, jumlah anak usia sekolah di Indonesia yaitu usia 5 sampai 14 tahun adalah sebanyak 41 568 000 anak, dengan jumlah yang sama yang dianggap mempunyai risiko terhadap infeksi STH.5 Data dari berbagai survei di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa STH merupakan masalah di semua daerah di Indonesia dengan prevalensi 15% sampai 100%.23
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia prevalensi anak terinfeksi cacing pada tahun 2008 sekitar 24.1%, dimana distribusi prevalensi infeksi cacing disebabkan oleh Ascaris lumbricoides (14.5%), Trichuris trichiura (13.9%), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (3.6%).6 Berdasarkan Survei Seksi P2ML Sub Dinas P2P & PL, Dinas Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara pada anak Sekolah Dasar di tiga belas Kabupaten/Kota tahun 2003 sampai 2006 diperoleh hasil yaitu prevalensi Ascaris lumbricoides 39%, Trichuris trichiura 24%, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus 5%.7
2.2.2 Respons Imunitas Kecacingan merupakan induksi kuat Th2 dengan memproduksi sitokin-sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13 dan peningkatan kadar antibodi IgE yang beredar, eosinofilia dan sel mast. Dominasi Th2 pada infeksi cacing dipertahankan oleh IL-10 dan TGF-β dan menekan sel Th1 dan Th17.24 Sel T Regulator merupakan sub-populasi dari sel T yang mendukung sistem imun untuk mencegah kerusakan jaringan dari respon pro-inflamasi, toleransi antigen diri, dan mencegah penyakit autoimun. Sel T regulator memproduksi sitokin-sitokin inhibitor (IL-10, TGF-β) yang akan menekan reaksi inflamasi.25 2.2.3 Gejala Klinis Larva A. lumbricoidesdapat menyebabkan perdarahan kecil pada dinding alveolus disertai batuk, demam, pernafasan cepat dan dangkal, ronki atau mengi tanpa
krepitasi yang berlangsung 1 sampai 2 minggu, eosinofilia transien,
Universitas Sumatera Utara
infiltrat pada gambaran radiologi (sindroma Loeffler) sehingga diduga sebagai pneumonia viral atau tuberkulosis.Gangguan karena cacing dewasa seperti rasa tidak enak di perut, kolik akut, anoreksia dan mencret. Komplikasi dapat berupa penyumbatan saluran napas, terjadi ileus akibat sumbatan di usus ataupun apendisitis akibat cacing masuk ke lumen apendiks.3,26 Trichuris trichiura memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan. Terdapat respon imunitas humoral yaitu adanya reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh IgE. Gejala pada infeksi ringan dan sedang ialah nafsu makan anak menurun, nyeri epigastrik, muntah dan konstipasi. Pada infeksi berat dijumpai diare diselingi dengan sindrom disentri yaitu mencret yang mengandung darah dan lendir, nyeri perut dan tenesmus. Gejala lain seperti anemia, penurunan berat badan dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.27 Larva N. americanus dan A. duodenale, sewaktu menembus kulit, dapat menyebabkan bakteri piogenik terikut masuk, sehingga menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch) dankadang-kadang dapat terjadi creeping eruption (cutaneous larva migrans). Cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan saluran cerna yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri di sekitar duodenum, jejunum dan ileum. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia.28
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Diagnosis Cara menegakkan diagnosis adalah dengan pemeriksaan feses secara langsung. Adanya telur dalam feses dapat memastikan diagnosis infeksi STH. Selain itu diagnosis dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung maupun melalui feses.29 Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yaitu dengan teknik langsung, dan ini merupakan metode pemeriksaan telur cacing yang paling sederhana dan paling mudah dilakukan. Metode kuantitatif yaitu dengan metode Natif, metode Apung, metode Harada-Mori dan metode Kato-Katz.30
2.3 HUBUNGAN ANTARA UJI TUBERKULIN DENGAN KECACINGAN Anak yang kecacingan memiliki kadar eosinophil dan IgE yang tinggi, dimana IgE tersebut disekresi oleh limfosit B.Limfosit T juga memiliki peran dalam menstimulasi limfosit B melalui sebagian sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T yaitu IL-4 dan IL-13. Sitokin adalah molekul protein kecil yang mempengaruhi fungsi sel di tingkat lokal. Interleukin-4 dan IL-13 diproduksi oleh subset sel CD4+ T, juga dikenal sebagai sel Th2. Sebaliknya, sitokin utama yang menghambat stimulasi IgE adalah interferon-γ yang disekresi oleh sel Th1.31
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Imunomodulator pada penderita kecacingan.24 Individu yang kecacingan akan mengaktivasi sel Th2 dan sel T regulator.Dimana sel Th2 akan menstimulasi sitokin IL-4 dan IL-13,yang kemudian menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi antibodi IgE. Sel T regulator adalah sel T supresor yang menghambat reaksi inflamasi dan mensupresi sitokin-sitokin yang dibentuk oleh sel Th1 seperti IFN-γ dan IL-2 (gambar 2.2).32 Uji tuberkulin merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin menggambarkan terpaparnya seseorang terhadap kuman M. tuberculosis dan disini yang berperan adalah sel Th1. Pada sebagian besar anak, uji tuberkulin akan bereaksi positip dalam 4 hingga 8 minggu dengan rentang waktu 2 sampai 12 minggu setelah terinfeksi M. tuberculosis dan dapat bertahan hingga seumur hidup.14,33 Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe 4 tergantung pada IFN- 𝛾𝛾 yang
dihasilkan oleh sel Th1 dalam aktivasi makrofag. Pada anak dengan kecacingan,
Universitas Sumatera Utara
sel Th2 lebih dominan dan akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 menstimulasi proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan menekan aktifitas sel Th1 yang menyebabkan penurunan produksi IFN- 𝛾𝛾 . Stimulasi sel Tregs akan memproduksi banyak sitokin anti inflamasi,
sehingga akan menghambat reaksi inflamasi dan alergi.34,35 Pada berbagai penelitian menemukan bahwa individu yang terinfeksi cacing menunjukan respon yang rendah terhadap reaksi uji tuberkulin dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi dan respon Th1 lebih rendah pada penderita kecacingan dengan tuberkulin positif dibandingkan tidak kecacingan.36,37
Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Konseptual
TB Paru dewasa
Kecacingan
Sel Th2
Anak kontak dengan penderita TB paru dewasa
Tidak Kecacingan
Sel T Regulator Uji Tuberkulin
IL-4, IL-5, IL-13 Sel B, Makrofag, Eosinofil
Reaksi hipersensitifitas tipe 4 Sel Th1
IFN- 𝛾𝛾, IL-2 Diameter Indurasi
: Hal yang diamati Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Penelitian
Universitas Sumatera Utara