BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Filariasis 2.1.1. Pengertian Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik (Depkes RI, 2005). 2.1.2. Etiologi Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu: 1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi 3. Brugia timori (Gandahusada, 1998). 2.1.3. Vektor Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria
Universitas Sumatera Utara
bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Perlu kiranya mengetahui bionomik (tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembangbiak, perilaku menggigit, dan tempat istirahat untuk dapat melaksanakan pemberantasan vektor filariasis. Tempat perindukan nyamuk berbedabeda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempattempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-beda, ada yang hanya suka darah manusia (antrofilik), darah hewan (zoofilik), dan darah keduanya (zooantrofilik). Terdapat perbedaan waktu dalam mencari mangsanya, ada yang di dalam rumah (endofagik) dan ada yang di luar rumah (eksofagik). Perilaku nyamuk tersebut berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies nyamuk yang berbeda-beda (Depkes RI, 2005). 2.1.4. Hospes A. Manusia Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang
Universitas Sumatera Utara
mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada, 1998). B. Hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005). 2.1.5. Lingkungan A. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik.
Universitas Sumatera Utara
B. Lingkungan Biologi Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya, adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi tanaman air. C. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak vektor.
Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena
umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2005). 2.1.6. Cara Penularan Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250µm x 10-17µm dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200300µm x 15-30µm dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium
Universitas Sumatera Utara
III (L3) yang berukuran 1400µm x 20µm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva infektif. Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).
Gambar 2.1. Cara Penularan
Universitas Sumatera Utara
2.1.7. Pola Penyebaran Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, dan Pekalongan. Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat dalam darah tepi pada malam hari. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembangbiak di air limbah rumah tangga, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe pedesaan ditularkan oleh nyamuk dengan berbagai spesies antara lain Anopheles, Culex, dan Aedes. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia malayi tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis pada daerah persawahan. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna, mikrofilaria ditemukan lebih banyak pada siang hari dalam darah tepi. Nyamuk penularnya adalah Mansonia sp pada daerah rawa. Brugia timori tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor, dan Sumba. Brugia timorii tipe non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbostis di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur dan Maluku Tenggara (Gandahusada, 1998).
Universitas Sumatera Utara
2.1.8. Gejala Gejala-gejala yang terdapat pada penderita Filariasis meliputi gejala awal (akut) dan gejala lanjut (kronik). Gejala awal (akut) ditandai dengan demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari apabila bekerja berat, timbul benjolan yang terasa panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka di badan, dan teraba adanya tali urat seperti tali yang bewarna merah dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan kearah ujung kaki atau tangan. Gejala lanjut (kronis) ditandai dengan pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap (Depkes RI, 2005). 2.1.9. Tindakan Pencegahan dan Pemberantasan Filariasis Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah: 1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara. 2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas kesehatan. 3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan. 4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular. 5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada saat tidur.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Kebijakan Program dan Strategi Pemberantasan Filariasis Menyusul kesepakatan global pada tahun 1997, WHA yang menetapkan filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat dan diperkuat dengan keputusan WHO pada tahun 2000 untuk mengeliminasi fiariasis pada tahun 2020, Indonesia sepakat untuk melakukan program eliminasi filariasis yang dimulai pada tahun 2002. Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan nomor 612/MENKES/VI/2004 maka kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia melaksanakan pemetaan eliminasi filariasis gobal, pengobatan massal daerah endemis filariasis, dan tata laksana penderita filariasis di semua daerah. Program pelaksaan kasus filariasis ditetapkan sebagai salah satu wewenang wajib pemerintah daerah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota. Kebijakan yang ditetapkan dalam program pemberantasan filariasis adalah: 1. Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional dalam program pemberantasan penyakit menular. 2. Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan program eliminasi filariasis limfatik global dari WHO yaitu memutuskan rantai penularan filariasis dan mencegah serta membatasi kecacatan. 3. Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah Kabupaten/Kota. 4. Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi dan negara. Strategi yang dilakukan dalam mendukung kebijakan dalam program pemeberantasan filariasis adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis. 2. Mencegah dan membatasasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis. 3. Pengendalian vektor secara terpadu. 4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara. 5. Memperkuat survailans dan mengembangkan penelitian. 2.3. Program Pemberantasan Filariasis di Propinsi Sumatera Utara Strategi pemberantasan filariasis yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan propinsi Sumatera Utara adalah: 1. Melaksanakan pengobatan massal yang selektif untuk memutuskan mata rantai penularan. 2. Penatalaksaan kasus klinis untuk mencegah perkembangan penyakit dan kecacatan. 3. Menciptakan lingkungan bersih dan sehat serta bebas vektor. 4. Survei darah jari di Kabupaten/Kota endemis filariasis. 2.3.1. Pengobatan Massal Pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dosis tunggal 6mg/kg berat badan, Albendazol 400 mg (1 tablet) dan Paracetamol (sesuai takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun pada penduduk yang berusia 2 tahun ke atas. Sebaiknya minum obat anti filariasis sesudah
Universitas Sumatera Utara
makan dan dalam keadaan istirahat/tidak bekerja. Upaya ini dimaksudkan untuk membunuh mikrofilaria dalam darah dan cacing dewasa. Sasaran pengobatan massal adalah seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis, kecuali: 1. Anak-anak berusia < 2tahun 2. Ibu hamil dan menyusui 3. Orang yang sedang sakit 4. Orang tua yang lemah 5. Penderita serangan epilepsi Setiap orang yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak menjadi sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya (Depkes RI, 2005). 2.3.2. Survei Darah Jari Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya. Survei darah jari dilakukan di desa yang mempunyai kasus kronis terbanyak. Populasi survei adalah penduduk berusia >13 tahun. Jumlah sampel yang diambil di setiap desa lokasi survei adalah 500 orang. Apabila jumlah sampel tidak mencukupi maka sampel diambil dari desa yang bersebelahan. Cara pengambilan sampel adalah mengumpulkan penduduk sasaran survei yang tinggal di sekitar kasus kronis yang ada di desa lokasi survei. Pengambilan darah dilakukan pada pukul 20.00 malam (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Penemuan dan Penatalaksaan Kasus Kronis Survei kasus kronis merupakan cara menemukan kasus kronis. Apabila pada desa ditemukan kasus kronis terbanyak akan dilaksanakan survei darah jari. Cara menemukan kasus kronis adalah dari laporan masyarakat, kartu status di puskesmas dan rumah sakit, dan penemuan kasus oleh petugas kesehatan. Dari data kasus kronis dapat ditentukan Angka Kesakitan Kronis. Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan pada semua kasus yang ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksaan dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan (Depkes RI, 2005). 2.3.4. Pelaksanaan Kegiatan Promosi Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi, dan penyelenggaraan eliminasi filariasis. Kegiatan promosi dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyebab, cara penularan dan upaya pencegahan serta pemerantasan filariasis. Kegiatan promosi dapat berupa penyuluhan. Penyuluhan dilakukan pada saat akan melakukan survei darah jari dan pengobatan massal (Depkes RI, 2005). 2.4. Persepsi Menurut Desiderato dalam Rakhmat (2005), perpepsi adalah pengalaman objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimulus inderawi.
Universitas Sumatera Utara
Persepsi juga merupakan suatu proses internal untuk menyaring dan mengorganisasikan stimulus serta terjadi proses seleksi sehingga didapatkan gambaran total tentang lingkungan yang diwakili oleh stimulus tersebut. Seorang individu tidak bereaksi atau berperilaku dengan cara tertentu, tetapi berperilaku sesuai apa yang dilihatnya atau diyakininya tentang situasi tertentu (Winardi, 2007). 2.4.1. Persepsi Kesehatan Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi kesehatan adalah pengalaman individu mengenai rasa sakit, penyakit, pelayanan kesehatan, dan program kesehatan yang dihasilkan melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun objeknya sama (Notoatmodjo, 2003). Menurut David Krech dan Richard S, persepsi dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural. Dan faktor lain yang sangat memengaruhi persepsi adalah perhatian. Mengenai faktor-faktor yang memengaruhi persepsi akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor fungsional Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan faktor personal (umur, jenis kelamin, pendidikan, dan sebagainya). Yang menentukan persepsi adalah karakteristik orang yang memberikan respon terhadap stimuli. Objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi adalah objek-objek yang memenuhi tujuan individu, seperti pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, kebudayaan, dan kerangka rujukan (Rakhmat, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor struktural Mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsikan. Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Pendidikan dan budaya adalah beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan dalam melihat kesamaan (Rakhmat, 2005). 3. Perhatian Menurut Andersen dalam Rakhmat (2005), perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah. Faktor-faktor yang memengaruhi perhatian adalah kepercayaan, sikap, nilai, kebiasaan, dan kepentingan. 2.4.2. Pengaruh Persepsi tentang Program Pemberantasan Filariasis terhadap Tindakan Pencegahan Filariasis Manusia adalah makhluk yang berusaha memahami lingkungannya dan makhluk yang selalu berpikir. Manusia tidak memberikan respons kepada suatu stimulus secara otomatis. Sebelum memberikan respons, manusia akan menangkap ‘pola’ stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Walaupun orang-orang mengalami peristiwa yang sama, orang-orang akan menanggapinya secara berbeda sesuai dengan keadaan dirinya. Secara psikologis dapat dikatakan bahwa setiap orang mempersepsikan stimulus sesuai dengan karakteristik personalnya (Rakhmat, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Begitu pula dalam bidang kesehatan. Setiap orang akan mempersepsikan program kesehatan yang sedang bergulir secara berbeda. Ada yang mengangggapnya penting apabila mereka merasa penyakit tersebut parah atau sebaliknya. Perbedaan dalam mempersepsikan program kesehatan dipengaruhi oleh faktor internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, suku bangsa, dan sebagainya), pengetahuan dan sikap tentang penyakit, serta persepsi tentang keparahan penyakit (Notoatmodjo, 2003). Menurut Snehandu B Karr dalam Notoatmodjo (2005), seseorang akan ikut dalam program kesehatan apabila ia memperoleh penjelasan lengkap tentang program tersebut (meliputi tujuan program, cara ikut dalam program, dan kelebihan serta keuntungan yang akan didapat apabila ikut ambil bagian dalam program). Sehingga terjangkaunya informasi (accessibility of information) memengaruhi perilaku seseorang. 2.5. Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar. Setiap orang berbeda dalam memberikan respon. Faktor yang mempengaruhi perilaku dalam memberikan respon dibagi menjadi dua, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pengetahuan, persepsi, tingkat emosional, tingkat kecerdasan, motivasi, emosi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor eksternal meliputi lingkungan fisik,
Universitas Sumatera Utara
sosiol, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya (Notoatmodjo, 2003). 2.5.1. Perilaku Kesehatan Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2005), perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungannya. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. 2.5.2. Determinan Perilaku Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku terbuka (overt) dan perilaku tertutup (covert), tetapi perilaku adalah totalitas yang terjadi pada orang yang bersangkutan yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Benyamin Bloom(1908), membedakan adanya 3 domain perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik (Notoatmodjo, 2005). Dalam perkembangan selanjutnya, untuk kepentingan pendidikan praktis dikembangkan menjadi 3 domain perilaku yang dapat diamati antara lain: 1. Pengetahuan (knowledge) 2. Sikap (attitude) 3. Tindakan (practice)
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengukur perilaku dan perubahan dalam kesehatan juga mengacu pada 3 domain perilaku yang dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan merupakan hasil dati tahu (know) yang terjadi setelah seseorang melakukan pengideraan terhadap suatu objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). 2. Sikap (attitude) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Menurut Newcomb, sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu (Notoatmodjo, 2003). 3. Tindakan (practice) Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau situasi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo, 2003). 2.5.3. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga terhadap Tindakan Pencegahan Filariasis Manusia diciptakan dengan ciri khas yang melekat pada dirinya dan di sebuah lingkungan, dimana ciri yang melekat dan lingkungan tersebut berkontribusi pada perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, termasuk perilaku kesehatan. Kepala Keluarga sebagai individu mempunyai ciri-ciri yang melekat padanya. Ciri –ciri yang
Universitas Sumatera Utara
melekat pada diri individu disebut faktor internal. Faktor internal tersebut antara lain adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, tingkat ekonomi, dan status perkawinan (Notoatmodjo, 2003). 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah: Variabel Independen
Variabel Dependen
Karakteristik KK: 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pendapatan
Persepsi KK tentang Program Pemberantasan Filariasis: 1. Pengobatan Massal 2. Survei Darah Jari 3. Penyuluhan
Tindakan Pencegahan Filariasis
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Definisi Konsep: 1. Karakteristik Kepala Keluarga adalah ciri khas yang melekat pada diri mereka yang dapat dibedakan satu sama lainnya yang berhubungan dengan perilaku pencegahan
filariasis. Karakteristik ini meliputi umur, pendidikan, dan
pendapatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Persepsi tentang program pemberantasan filariasis adalah pandangan mengenai program pemberantasan filariasis yang meliputi pengobatan massal, survei darah jari, dan penyuluhan. 3. Tindakan Pencegahan Filariasis adalah gambaran keseluruhan tindakan pencegahan filariasis dari Kepala Keluarga . 2.7. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: 1. Ada pengaruh karakteristik kepala keluarga (meliputi umur, pendidikan, dan pekerjaan) terhadap tindakan pencegahan filariasis di desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak tahun 2010. 2. Ada pengaruh persepsi tentang program pemberantasan filariasis (meliputi pengobatan massal, survei darah jari, dan penyuluhan) terhadap tindakan pencegahan filariasis di desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak tahun 2010. 3. Ada pengaruh karakteristik kepala keluarga dan persepsi tentang program pemberantasan filariasis terhadap tindakan pencegahan filariasis di desa Sigaragara Kecamatan Patumbak tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara