BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman
kusta (Mycobacterium leprae) yang utamanya
menyerang saraf tepi, dan kulit, namun dapat juga menyerang mukosa, saluran napas bagian atas, sistem muskulo retikulo endotelia, mata, otot, tulang, testis dan organ lain kecuali sistem saraf pusat. Bila tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, akan menimbulkan kecacatan menetap yang umumnya akan menyebabkan penderitanya dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit mendapatkan pekerjaan (Kemenkes, RI 2012). Masih tingginya penderita kusta yang tidak mendapat pengobatan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya penularan penyakit kusta terus berlangsung (Goulart et al., 2008). Penyakit kusta timbul karena akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi, dan risiko ini menjadi jauh lebih besar bila terjadi kontak dengan penderita kusta lepromatosa yang merupakan sumber terjadinya infeksi di masyarakat (Graham, 2005). Ditemukannya antibodi spesifik terhadap M.leprae pada orang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukkan gejala klinis penyakit kusta (Heymann, 2008). Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan yang penting terutama di 3 wilayah yaitu Asia Tenggara, Amerika dan Afrika. Diperkirakan terdapat sekitar 67% kasus baru kusta berada di wilayah Asia Tenggara (Noto & Nunzi, 2008). Secara global jumlah kasus kusta di dunia pada tahun 2011 terjadi penurunan dibandingkan tahun 2010 yaitu 228.474 kasus. Indonesia sendiri menempati urutan ke 3 penemuan kasus kusta terbanyak setelah India dan Brazil. Penyakit kusta terbanyak ditemukan di India dengan 126.800 kasus kemudian Brasil dengan 37.610 kasus kusta (WHO, 2012). Jumlah penderita kusta di Indonesia tahun 2011 sebanyak 20.023 kasus dan terjadi peningkatan pada tahun 2012
1
2
dengan jumlah penderita kusta sebanyak 23.169 kasus dan jumlah kecacatan tingkat 2 sebanyak 2.025 (10,11%) (WHO, 2012). Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah endemik rendah kusta karena angka prevalensi (PR) kurang dari 1/10.000 penduduk, tetapi setiap tahun selalu ditemukan penderita baru di berbagai puskesmas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2011 ditemukan kasus baru sebanyak 207 kasus, dan sebesar (87,92%) kasus kusta yang ditemukan merupakan kusta tipe MB (multibasiler). Pada tahun 2012 sebanyak 105 kasus dan sebagian besar (90,47%) kasus kusta yang ditemukan merupakan kusta tipe MB (multibasiler). Angka penemuan kasus kusta dari tahun ke tahun bukan berdasarkan pelacakan melainkan ditemukan karena penderita datang berobat ke fasilitas kesehatan (Dinkes DIY, 2012a) Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 318.580 hektar atau 3.185,80 km² terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa, dengan jumlah penduduk sebanyak 3.513.071 jiwa. Secara fisiografi, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dikelompokkan menjadi 4 satuan wilayah yaitu Satuan fisiografi Gunung Merapi, Satuan Pegunungan Seribu Gunung Kidul, Satuan Pegunungan di Kulon Progo bagian Utara, dan Satuan Dataran Rendah (Dinkes DIY, 2012b). Hingga saat ini pengolahan register kusta di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan. Agar dapat mengidentifikasi rantai penularan kusta, sistem surveilans seharusnya dapat mengidentifikasi sebaran kasus kusta hingga tingkat individual, tidak hanya agregat. Distribusi keberadaan tempat tinggal penderita kusta dan pola sebaran belum diketahui secara pasti dan belum pernah dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Pemetaan kejadian kusta merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan informasi tentang persebaran penderita kusta, pengelompokan serta kecenderungan prediksi persebaran kejadian kusta yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat membantu memantau berbagai hal yang berkaitan dengan persebaran kusta, lokasi penderita kusta, baik itu di kota ataupun desa serta persebaran penderita kusta disuatu wilayah. Analisis spasial juga dapat memberikan analisis grafis dari indikator epidemiologi dari
3
waktu ke waktu, distribusi spasial, endemisitas wilayah dan kebutuhan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada penderita kusta(WHO, 2005). Dalam beberapa penelitian terdahulu diketahui bahwa pemberian imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) juga dapat menurunkan kejadian kusta dan dapat memberikan perlindungan terhadap gejala kusta hingga 80% (WHO, 2005). Hasil penelitian Kerr-Pontes et al. (2006) di Brazil menunjukkan ada variabel vaksinasi BCG dengan odds ratio (OR) sebesar 2,4 pada mereka yang tidak divaksinasi BCG. Ini berarti orang yang tidak mendapatkan imunisasi BCG memiliki risiko terkena kusta 2,4 kali lebih besar dari yang mendapatkan imunisasi BCG. Pencahayaan yang bersumber dari matahari selain berguna untuk penerangan juga mengandung ultraviolet yang bermanfaat untuk membunuh bakteri patogen di dalam rumah. Selain itu, juga sangat perperan penting dalam perkembangan M. leprae, karena kelembaban yang tinggi dan pencahayaan yang kurang akan memicu perkembangan M. leprae. Secara umum, ketinggian mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan ketinggian dari permukaan laut akan mempunyai selisih suhu udara yang berbeda pula. Begitu pula peningkatan kelembaban, semakin lembab ruangan atau lingkungan akan mempercepat bakteri M.leprae untuk berkembangbiak dan bertahan hidup cukup lama (Notoatmojo, S. 2003). Sistem informasi geografis (SIG) dalam kesehatan juga bisa digunakan untuk menganalisis hubungan antara lingkungan hidup manusia dengan penyakit, gizi dan sistem pelayanan kesehatan dalam menjelaskan hubungan timbal baliknya dalam keruangan. Geografi kesehatan adalah bagian dari geografi manusia yang berhubungan dengan aspek-aspek geografi dari status kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan (Boulos, 2000). Gambaran spasial penyakit kusta diharapkan dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko terhadap penyebaran penyakit kusta di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, dari uraian permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang faktor risiko dan pola distribusi kusta di Daerah Istimewa Yogyakarta.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Apakah tidak/status vaksinasi BCG, kepadatan hunian, kelembaban tinggi dan pencahayaan kurang merupakan faktor risiko terhadap kejadian kusta di Daerah Istimewa Yogyakarta ?
2.
Bagaimanakah pola distribusi penderita kusta menurut wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta ?
3.
Apakah pola distribusi kusta dipengaruhi oleh letak puskesmas, jalan dan sungai ? C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum Mengetahui faktor risiko dan pola distribusi kejadian kusta di Daerah Istimewa Yogyakarta 2. Tujuan khusus a. Mengetahui
faktor risiko status vaksinasi BCG, kepadatan hunian,
kelembaban tinggi, dan pencahayaan kurang terhadap kejadian kusta di Daerah Istimewa Yogyakarta. b. Mengetahui pola distribusi kasus kusta menurut wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Mengetahui pola distribusi kusta dengan letak puskesmas, jalan dan sungai di Daerah Istimewa Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Peneliti Dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan wawasan yang luas dalam kepedulian penanggulangan penyakit kusta dan sebagai dasar pengembangan
5
penelitian lebih lanjut tentang distribusi analisis spasial kusta dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). 2. Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Memberikan
masukan
sebagai
salah
satu
pertimbangan
dalam
pengambilan kebijakan dan memperoleh alternatif cara intervensi dalam integrasi program yang sesuai untuk mengendalikan sebaran penyakit kusta. 3. Akademik Penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan serta rujukan bagi peneliti lain yang mempunyai minat yang sama guna pengembangan lebih lanjut tentang penyakit kusta. E. Keaslian Penelitian Adapun penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan dapat kita lihat sebagai berikut : 1. Aprizal (2012), yang berjudul Analisis Spasial Kejadian Kusta dan Faktor Risiko Kejadian Penyakit Kusta di Lamongan Jawa Timur. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan penelitian pada variabel bebas : kepadatan hunian, dan vaksinasi BCG. Perbedaan variabel bebas : umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, kontak serumah, penggunaan sabun, sumber air bersih, kelembaban, pencahayaan dan ketinggian. 2. Ginting (2006), berjudul Analisis spasial penyakit kusta berbasis lingkungan di Kabupaten Gresik tahun 2004-2005. Persamaan variabel bebas : Kepadatan hunian. Perbedaan Variabel bebas : Desain, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kontak serumah, vaksinasi BCG, pencahayaan dan ketinggian, jenis lantai dan kerapatan jalan. 3. Haryadi (2011), berjudul Hubungan Status Vaksinasi BCG Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah. Persamaan variabel bebas : Desain, Parut BCG. Perbedaan variabel bebas :Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, Kontak Serumah, vaksinasi BCG, kepadatan hunian, Kelembaban, pencahayaan dan ketinggian.
6
4. Sales et al. (2011), yang berjudul ”Leprosy among patient contacts : a multilevel study of risk factor”. Persamaan penelitian ini adalah variabel bebas Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pendapatan, pekerjaan, vaksinasi BCG dan kontak serumah. Perbedaan variabel bebas : hubungan sex, Kecacatan, kondisi rumah, dan perilaku individu. 5. Warsini (2007) Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan kusta pada kontak serumah di Provinsi DIY dan Kabupaten Klaten dengan Persamaan variabel bebas : Desain, umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan. Perbedaan variabel bebas : Status Perkawinan, pendapatan, Vaksinasi BCG, Kontak serumah, Keakraban, Pengetahuan, Gizi, Sanitasi Rumah.