BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), yang menyerang terutama paru dan disebut juga tuberkulosis paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru (Depkes RI, 2002). Tuberkulosis paru kini bukan penyakit yang menakutkan sampai penerita harus dikucilkan, tetapi penyakit kronik ini dapat menyebabkan cacat fisik atau kematian. Penularan TB paru hanya terjadi dari penderita tuberkulosis terbuka (Depkes RI,2007). 2.1.2 Fisiologi Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 sampai 0,6 mm dan panjang 1 sampai 4 mm (Heryyanto,dkk,2004). Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 sampai C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan (PDPI,2002).
Komponen dinding selnya sangat kompleks menyebabkan bakteri ini lebih tahan terhadap proses fagositosis dibandingkan bakteri lain. Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam dan basa dan juga tahan terhadap kerja bakterisidal. Fosfatida pada dinding kuman ini diduga bertanggung jawab terhadap nekrosis dan kaseosa jaringan (Depkes RI,2006; Budiarti,2001; Iswara,2004). Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan berahun-tahun di lemari es). Hal ini dapat terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit TB aktif kembali (Amin Z,2006).
Gambar 1. Mikroskopik
Gambar 2. Gambaran mikroskopik MTB dengan MTB pewarnaan Ziehl Neelsen
Wax D bukan suatu lilin sejati (true wax) tetapi mengandung asam mikolat dan glikopeptida. Wax D ini berperan dalam immunogenitas.Campuran wax D dan protein dari M.tuberculosis akan merangsang reaksi hipersensitifitas terhadap reaksi tuberkulin, sedangkan protein saja bersifat imunogenik lemah. Polisakarida merupakan komponen utama dari filtrat biakan dan ekstrak M.tuberculosis, dimana peranannya dalam patogenesis belum jelas, namun dapat merangsang timbulnya reaksi hipersensitifitas tipe cepat dan mengganggu beberapa reaksi antigen–antibodi in vitro. Tuberkulo protein atau tuberculin yang terikat pada fraksi lilin dapat
membangkitkan sensitifitas tuberkulin dan dapat merangsang pembentukan bermacam–macam antibodi (Budiarti,2001). Bakteri M.tuberculosis bersifat aerob obligat dan tumbuh lambat, untuk membelah dari 1 sel menjadi 2 dibutuhkan waktu 20 jam. Akibatnya kultur BTA menjadi lama yaitu sekitar 3 sampai 8 minggu, sedangkan bakteri lain cukup 18 sampai 24 jam. Energi diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana dan CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Bakteri dapat hidup pada suhu 30-400C walaupun suhu optimum untuk tumbuh dan berkembang biaknya 37 sampai 38 0C (Leitch,2000; Budiarti,2001). Kuman akan mati pada suhu 60 0C dalam 15 sampai 20 menit. Pada suhu 300C atau 40 sampai 450C kuman sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan oksigen akan menurunkan metabolisme kuman. Kuman pada sputum kering yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8 – 10 hari. Media buatan yang dipakai untuk isolasi kuman adalah media yang mengandung gliserol, garam ammonium, asparagin dan asam lemak. Kuman dapat tumbuh pada media biakan dengan pH 6 sampai 7,6. Pada media bentuk koloninya bulat, berukuran 1 sampai 3 mm, permukaannya rata. Pada pertumbuhannya koloni menjadi lebih besar, permukaan tidak rata, kering dan berwarna kuning serta bersifat hidrofobik disebabkan karena kadar lemak dinding kuman yang semakin tinggi (Budiarti,2001). 2.1.3 Cara penularan (Depkes RI,2006) Cara penularan penyakit tuberculosis paru adalah sebagai berikut : 1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. 2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 2.1.4 Risiko penularan (Depkes RI,2006; Werdhani,2002) 1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. 2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. 3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1 sampai 3%. 4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 5. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya inveksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). 6. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat meningkat pula.
Gambar 3. Faktor Risiko Kejadian TB 2.1.5 Gejala Penyakit (Werdhani,2002) Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. 1. Gejala sistemik/umum: a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. c. Penurunan nafsu makan dan berat badan d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah
2. Gejala khusus: 1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak. 2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. 3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. 4. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB dewasa. Kira-kira 30 sampai 50% anak yang kontak dengan penderita TB paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi atau darah. 2.1.6 Obat anti Tuberkulosis a) Isoniasid ( H ) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk
BB,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. b) Rifampisin ( R ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi –dormant ( persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu. c) Pirasinamid ( Z ) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. d) Streptomisin ( S ) Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. e) Etambulol ( E) Bersifat sebagai bakteriostatik . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB. 2.1.7 Prinsip Pengobatan Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Aapabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten).
uNtuk menjamin kepatuhan penderita menelan obot , pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO ) Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1. Tahap Intensif Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif. 2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu yang lebih lama 2.1.8 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) Sebagian besar penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karene itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara: 1. Menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping 2. Menanyakan adanya gejala efek sampang pada waktu penderita mengambil OAT
Efek Samping OAT; 1. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik 2. Efek Samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak gejalagejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik atau obat sederhana , tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan. a) Isoniasid ( INH ) Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila terjadi ikterus , hentikan pengobatan sampai ikterus membaik . Bila tanda-tanda hepatitis nya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK spesialistik. Efek samping INH yang ringan dapat berupa : 1.
Tanda- tanda keracunan pada saraf tepi, Kesemutan ,dan nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (Vitamin B6 dengan dosis 5 – 10 mg perhari atau dengan vitamin B Kompleks)
2.
Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin ( Syndroma pellagra )
3.
Kelainan kulit yang bervariasi , antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.
b) Rifampisin Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan , jarang menyebabkan efek samping , terutama pada pemakaian terus menerus setiap hari. Salah satu efek samping, terutama pada pemakaian terus-menerus setiap hari. Salah satu efek samping berat dari rifampisin adalah Hepatitis. Walaupunini sangat jarang terjadi Alkoholisme. Penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat hepatotoksis yang lain secara bersana akan meningkatkan risiko terjadinga hepatitis. Bila terjadi ikterik ( kuning ) maka pengobatan perlu dihentikan, Bila hepatitisnya sudah hilang /sembuh pemberian rifampisin dapat diulang lagi. a. Efek samping Rifampisin yang berat tapi terjadi adalah : 1. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas, kadang-kadang disertai dengan kolaps atau renjatan (Syok). Penderita ini perlu dirujuk ke UPK spesialistik karena memerlukan perawatan darurat. 2. Purpura, anemia haemolitik yang akut , syok dan gagal ginjal bila salah satu dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi meskipun gejalanya sudah menghilang Sebaiknya segera dirujuk ke UPK spesialistik b. Efek samping Rifampisin yang ringan adalah : 1. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan 2. Sindrom flu berupa demam, menggigil , nyeri tulang 3. Sndrom perut berupa nyeri perut , mual, muntah, kadang-kadang diare. Efek Samping ringan sering terjadi pada saat pemberianu berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik, Rifampisin dapat menyebab kan warna merah pada air sesi, keringat , air mata, air liur. Hasil ini harus diberitahukan kepada penderita
agar penderita tidak jadi khawatir, Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. c) Pirasinamid Efek samping utama dari penggunaan pirasinamid adalah hepatitis. Juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurang nya ekskresi dan penimbunan asam urat kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual kemerahan dan reaksi kulit yang lain. d) Streptomisin Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakkan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran, Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bullan pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging ( tinitus ), pusing dan kehilangan keseimbangan Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi dengan 0,25 gr jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Risiko ini terutama akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitas kadang-kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala., muntah dan eritema pada kulit hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita ke UPK spesialistik. Efek samping sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat dikurangi dengan 0,25 gr stoptomisi dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanit hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.
e) Etambutol Etambutol dapat menyebab kan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman Penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB per hari atau 30 mg/kg BB yang diberikan tiga ( 3) kali seminggu. Setiap penderita yang menerima etambutol harus diingatkan bahwabila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena risiko kerusakan okuler sulit dideteksi pada anak-anak , maka etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak (Depkes RI,2002). 2.2 Kepatuhan Minum Obat 2.2.1 Pengertian Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1994). Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Nivven, 2002). Atau juga dapat didefinisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah ditentukan (Gabit. 1999). Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan (Robert. 1999). Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000). Menurut Cuneo dan Snider, (1989. Enhancing Patient Compliance with Tuberculosi Therapy Clinic in Chest Medicine. http:/www.pudmed.guv. diperoleh tanggal 6 Februari 2012)
pengobatan memerlukan jangka waktu yang panjang akan memberikan pengaruh pengaruh pada penderita seperti: 1. Merupakan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan sekian lama. 2. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan 1 sampai 2 bulan atau lebih lama keluhan akan segera berkurang atau hilang sama sekali penderita akan merasa sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan kembali. 3. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan. 4. Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya yang harus dikeluarkan. 5. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak enak terhadap penderita. 6. Sukar untuk menyadarkan penderita untuk terus minum obat selama jangka waktu yang ditentukan. 7. Karena jangka waktu pengobatan yang ditetapkan lama maka terdapat beberapa kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur (defaulting), penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan yaitu putus berobat (droup out) (Anonim, 2011). Oleh karena itu menurut Cramer (1991) kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi: 1. Kepatuhan penuh (Total compliance)
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk.
2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance)
Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali. 2.2.2. Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: 1. Faktor komunikasi Berbagai aspek komuniksi pasien dengan dokter mempenggaruhi ketidaktaatan misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan. 2. Pengetahuan Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibitoik. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis. 3. Fasilitas kesehatan Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita. 2.3. Puskesmas Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah yaitu desa/ kelurahan atau dusun/rukun warga (RW).
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat. Kecamatan sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu dan derajat kesehatan penduduk. Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri dalam hidup sehat. Untuk mencapai visi tersebut, Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, Puskesmas perlu ditunjang dengan pelayanan kefarmasian yang bermutu (Depskes RI,2006).