BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru 2.1.1. Tuberkulosis Paru dan Klasifikasi TB Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2009a). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu ; (1) TBC paru BTA (Basil Tahan Asam) positif (sangat menular) yaitu sekurangkurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TBC aktif; (2) TBC paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan. Jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif dan hasil foto rontgen dada menunjukkan hasil positif (Depkes RI, 2009a). 2.1.2. Cara Penularan dan Risiko Penularan Penderita dapat menularkan kuman TB pada orang lain melalui cara :1.) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 2.) Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
14 Universitas Sumatera Utara
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 3.) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 4.) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 1015 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Depkes RI, 2009a). Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative. menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien. TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). 2.1.3. Gejala Klinis Pasien TB Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
Universitas Sumatera Utara
bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 2.1.4. Tujuan Penangulangan TB Paru Adapun tujuan program penanggulangan TB Paru meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan,sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah (1) Tercapainya angka kesembuhan minimal 88% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan,dan (2) tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2015 dapat mencapai 90% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif, serta target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga dan mencapai tujuan millenium development goal (MDG) pada tahun 2015 Kebijakan penanggulangan Tuberkulosis Paru mencakup: 1) Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi:
Universitas Sumatera Utara
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,tenaga, sarana dan prasarana). 2) Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS 3) Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB 4) Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). 5) Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS). 6) Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB) 7) Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring. 8) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya. 9) Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
Universitas Sumatera Utara
10) Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB. 11) Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. 12) Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium Development Goals (MDGs). Sedangkan strategi yang digunakan untuk mencapai keberhasilan program P2 TB paru adalah melalui (1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas, (2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara bertahap dan sistematis, (3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial, (4) kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan sumber daya, dan (5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan. 2.1.5. Kegiatan Program TB Paru Kegiatan pada program penanggulangan TB Paru yaitu kegiatan pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita (case finding) pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan penemuan tersangka TB paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus dianggap suspek tuberculosis atau tersangka TB Paru
Universitas Sumatera Utara
dengan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (Biyanti, 2002) Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari. Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh (WHO, 2006) Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a) komitmen politis dari para
Universitas Sumatera Utara
pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d) Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) (WHO, 2000). WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (WHO, 2003). 2.1.6. Evaluasi Program Penanggulangan TB Paru Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama,
Universitas Sumatera Utara
biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauhmana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan
program.
Masing-masing
tingkat
pelaksana
program
(UPK,
Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling efektif untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat – syarat tertentu antara lain : valid, sensitive dan specific, dapat dimengerti, dapat diukur dan dapat dicapai. Indikator program Penanggulangan TB Paru dapat dianalisa dengan cara (1) Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya perbedaan, dan (2) Menganalisis kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu. Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan’ (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu
Universitas Sumatera Utara
seperti: Sahih (valid), Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), Dapat dipercaya (realiable), Dapat diukur (measureable), Dapat dicapai (achievable). 2.1.7. Indikator Keberhasilan Program TB Paru Berdasarkan serangkaian kegiatan penanggulangan Tuberkulosis Paru yang meliputi pencegahan, penemuan kasus dan pengobatan, maka berikut dapat dijabarkan indikator keberhasilan Program TB paru, pada tabel berikut: Tabel 2.1. Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru
No 1. 2.
3.
4.
Indikator Angka Penjaringan Suspek Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa dahaknya Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien
5.
Angka Konversi
6.
Angka Kesembuhan
7.
Kesalahan laboratorium
Daftar suspek Data Kependudukan Daftar suspek Register TB Kab/Kota Laporan Penemuan
Triwulan
Pemanfaat Indikator UPK Kab/ Prop Pu Kota insi sat
Triwulan
Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Penemuan Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Penemuan Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Konversi Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Hasil Pengobatan Laporan Hasil Uji Silang
Triwulan
Triwulan
Sumber Data
Waktu
Triwulan
Triwulan
Triwulan
-
-
-
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. (Lanjutan)
No
Sumber Data
Indikator
Waktu
Pemanfaat Indikator UPK Kab/ Prop Pu Kota insi sat
8.
Angka Notifikasi Kasus
Laporan Penemuan Data Kependudukan
Tahunan
9.
Angka Penemuan Kasus
Laporan Penemuan data perkiraan jumlah pasien baru BTA positif
Tahunan
-
10.
Angka Keberhasilan Pengobatan
Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan hasil Pengobatan
Tahunan
Sumber : Kemenkes (2011) Adapun penjelasan dari seluruh indikator tersebut adalah: 1) Angka Penjaringan Suspek : Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung
Universitas Sumatera Utara
2) Proporsi Pasien TB BTA Positif Diantara Suspek. Proporsi Pasien BTA (+) adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.
3) Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif Diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat. Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
Universitas Sumatera Utara
4) Proporsi Pasien TB Anak Diantara Seluruh Pasien TB Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB Tercatat dengan rumus:
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis. 5) Angka Konversi (Conversion Rate) Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Rumus:
Universitas Sumatera Utara
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan dengan kategori dua. 6) Angka Kesembuhan (Cure Rate) Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA positif yang mendapat pengobatan kategori 1/pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial, dengan rumus:
Angka minimal yang harus dicapai adalah 88%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan. Bila angka kesembuhan lebih rendah dari 88%, maka harus ada informasi dari hasil pengobatan lainnya, yaitu berapa pasien yang digolongkan sebagai pengobatan lengkap, default (drop-out atau lalai), gagal, meninggal, dan pindah keluar. Angka default tidak boleh lebih dari 10%, sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat. Selain dihitung angka
Universitas Sumatera Utara
kesembuhan pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka kesembuhan pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan ulang dengan kategori dua. 7) Kesalahan Laboratorium Indikator kesalahan laboratorium menggambarkan mutu pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama. Cara menilai kesalahan pembacaan sediaan, yaitu: Hasil Pembacaan sediaan di UPK
Hasil Pembacaan di laboratorium uji silang Negatif 1-9 BTA/100 LP Benar KKNP
1+
2+
3+
KBNP
KBNP
KBNP
1-9 BTA/100 LP
KKPP
Benar
Benar
KG
KG
1+
KBPP
Benar
Benar
Benar
KG
2+
KBPP
KG
Benar
Benar
Benar
3+
KBPP
KG
KG
Benar
Benar
Negatif
Keterangan : Benar : Tidak ada kesalahan KG : Kesalahan Gradasi Kesalahan Kecil KKNP : Kesalahan Kecil Positif Palsu Kesalahan Kecil KBNP : Kesalahan Besar Negatif Palsu Kesalahan Besar KBPP : Kesalahan Besar Positif Palsu Kesalahan Besar KG adalah perbedaan baca pada sediaan positf yaitu minimal 2 gradasi. Kesalahan yang tidak dapat diterima ádalah sebagai berikut: 1. Setiap kesalahan besar negatif palsu (KBNP) 2. Setiap kesalahan besar positif palsu (KBPP) 3. > 3 kesalahan kecil negatif palsu
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya kasalahan laboartorium dihitung pada masing-masing laboratorium
pemeriksa,
di
tingkat
kabupaten/kota.
Kabupaten/kota
harus
menganalisa jumlah laboratorium pemeriksa yang ada di wilayahnya yang melaksanakan uji silang, disamping menganalisa kesalahan pembacaan sediaan setiap laboratorium baik pada PRM/PPM/RS/BP4 maupun UPK yang lain, supaya dap atmengetahui
mutu
pemeriksaan
sediaan dahak
secara
mikroskopis.
Bagi
laboratorium yang memiliki kesalahan yang tidak dapat diterima, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan. 8) Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR) Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut, dengan rumus:
Angka ini berguna untuk menunjukkan "trend" atau kecenderungan meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. 9) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR) Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dibanding
Universitas Sumatera Utara
jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut,dengan rumus:
Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 90%. 10) Angka Keberhasilan Pengobatan Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
2.2.
Kinerja Petugas TB Paru Kinerja (Job performance) sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai
penampilan kerja prestasi kerja. Kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan dan usaha, untuk menghasilkan kerja yang baik, seseorang harus memiliki kemampuan, kemauan, usaha serta kegiatan yang dilaksanakan tidak mengalami hambatan yang berat dalam lingkungannya. Kemauan dan usaha dapat menghasilkan motivasi, kemudian setelah ada motivasi dapat menimbulkan kegiatan. Kinerja adalah hasil yang dicapai atau prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu organisasi. Kinerja organisasi adalah efektifitas organisasi
Universitas Sumatera Utara
secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistematik dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus untuk mencapai kebutuhannya secara efektif. Menurut Nawawi (1997) kinerja adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik bersifat fisik (material) maupun non fisik (non material) dalam suatu tenggang waktu tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja adalah prestasi kerja karena diartikan sebagai hasil pelaksanaan pekerjaan dalam periode tertentu merupakan prestasi yang dicapai oleh karyawan terhadap target atau sasaran yang telah ditentukan dengan berbagai persyaratannya, yang dibebankan kepada karyawan tersebut, dan untuk mengetahui prestasi atau hasil yang telah dicapai oleh karyawan tersebut, tentunya harus dilaksanakan penilaian kinerja, yaitu dengan membandingkan kinerja aktual dengan standar-standar yang telah ditetapkan. Dari beberapa pengertian diatas, disimpulkan bahwa kinerja adalah proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan suatu fungsi pekerjaan dalam suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian indikator pengukuran kinerja dapat dikembangkan dari hasil yang dicapai (kinerja hasil) dan proses dalam mencapai hasil (kinerja proses). Menurut Ilyas (2001) yang mengutip pendapat Gibson (1987) ada tiga faktor yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu faktor individu, faktor psikologis dan organisasi. 1. Faktor individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama
Universitas Sumatera Utara
yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu. 2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diukur. 3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003) indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan dengan dikategorikan dalam beberapa kelompok antara lain : a. Masukan (input) adalah sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia, dana, material, waktu, dan lain sebagainya. b. Keluaran (output) adalah sesuatu berupa produk /jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dari program berdasarkan masukan yang digunakan. c. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Outcomes merupakan ukuran
Universitas Sumatera Utara
seberapa jauh setiap oleh masyarakat produk / jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. d. manfaat (benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh masyarakat,dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik. e. Dampak (impacts) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan. Indikator – indikator tersebut secara langsung atau tidak langsung dapat mengidentifikasikan sejauh mana keberhasilan pencapaian sasaran. Penetapan indikator harus didasarkan pada perkiraan yang nyata dengan memperhatikan tujuan dan sasaran yang ditetapkan serta data dana pendukung yang harus diorganisasi. Indikator kinerja yang dimaksud hendaknya 1) spesifik dan jelas, 2) dapat diukur secara objektif, 3) relevan dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai,dan 4) tidak bias.
2.3.
Manajemen P2 TB Paru Manajemen program penanggulangan TB mempunyai tiga fungsi pokok yaitu
perencanaan, penggerakan, evaluasi, pengawasan dan pelatihan. Perencanaan digunakan untuk memastikan bahwa sumber daya yang ada saat ini dan masa yang akan datang dialokasikan dengan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan P2TB. Penggerakan merupakan suatu aktivitas untuk membuat semua petugas TB mau
Universitas Sumatera Utara
bekerja sama dan bekerja secara ikhlas serta bergerak untuk mencapai tujuan. Pemantauan adalah pengamatan terus menerus terhadap masukan, waktu pelaksanaan kegiatan P2 TB dan masalah – masalah yang timbul serta upaya mengatasinya. Pengendalian merupakan kegiatan untuk mengikuti kemajuan pelaksanaan kegiatan P2TB agar sesuai dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh petugas TB dengan cara melakukan supervisi ke unit pelayanan kesehatan. Evaluasi atau penilaian merupakan suatu cara yang sistematis untuk memperbaiki kegiatan – kegiatan yang sedang berjalan serta untuk meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan menyeleksi alternatif – alternatif tindakan yang akan datang. Evaluasi program dapat dilakukan pada setiap tahap pelaksanaan program. Evaluasi secara umum dibedakan atas tiga jenis yaitu: a. Evaluasi pada tahap awal program Evaluasi ini dilakukan pada saat merencanakan program. Evaluasi ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa rencana yang disusun benar – benar sesuai dengan masalah yang ditemukan. b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan Evaluasi ini dilakukan pada saat program dilaksanakan dan mempunyai tujuan utama yaitu mengukur apakah program yang sedang dilakukan tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak, apakah terjadi penyimpangan– penyimpangan. c. Evaluasi pada tahap akhir program Evaluasi ini dilakukan pada saat program telah selesai dilaksanakan. Tujuan utama adalah mengukur keluaran (output). Tujuan evaluasi pada tahap akhir
Universitas Sumatera Utara
program
yaitu:
memperbaiki
manajemen
program,
mempertimbangkan
penyediaan dana, memperluas cakupan program, mengetahui hasil program, sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan pelaksanaan program dan perencanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi akan memberikan pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan program yang lalu, dan selanjutnya dipergunakan untuk memperbaiki kebijaksanaan dan pelaksanaan program yang akan datang.
2.4. Koordinasi Salah satu unsur penting dalam manajemen pelaksanaan program kesehatan seperti program penanggulangan TB paru adalah koordinasi. Menurut Robbin (2006) koordinasi adalah pengetahuan sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan bersama, sedangkan menurut Sondang (2006) lebih lanjut menekankan bahwa koordinasi dalam suatu organisasi akan tercapai melalui (1) Konfirmasi lengkap, (2) Pertemuan berkala, (3) Pembentukan panitia gabungan, (4) Wawancara dengan bawahan/pihak terlibat, dan (5) Memorandum berantai. Koordinasi merupakan ilmu untuk mengatur saling ketergantungan dari berbagai aktifitas untuk mencapai suatu tujuan. Ketergantungan dalam organisasi tidak dapat dimanajemen tanpa komunikasi, apakah komunikasi horisontal dalam bentuk penyesuaian bersama atau komunikasi vertikal dalam bentuk standarisasi atau supervisi langsung, mekanisme koordinasi adalah standardisasi praktek kerja dan
Universitas Sumatera Utara
penyesuaian bersama. Penyesuaian bersama juga disebut integrasi horisontal, melibatkan susunan struktural dan integrasi proses, yang didasarkan pada pemahaman bersama ( Robbin, 2006). Hasibuan
(2006)
berpendapat
bahwa:
“Koordinasi
adalah
kegiatan
mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi”. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen-departemen atau bidang-bidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif (Handoko 2003). Menurut G.R Terry dalam Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Berdasarkan seluruh pengertian di atas disimpulkan bahwa koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan aktivitas di dalam suatu perusahaan atau organisasi agar mempunyai keselarasan di dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, pengkoordinasian dimaksudkan agar para manajer mengkoordinir sumber daya manusia dan sumber daya lain yang dimiliki organisasi tersebut. Kekuatan suatu organisasi tergantung pada kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber dayanya dalam mencapai suatu tujuan. Apabila dalam organisasi dilakukan
Universitas Sumatera Utara
koordinasi secara efektif maka ada beberapa manfaat yang didapatkan. Handoko (2003) berpendapat bahwa Adapun manfaat koordinasi antara lain: a. Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan terlepas satu sama lain, antara satuan-satuan organisasi atau antara pejabat yang ada dalam organisasi. b. Menghindari suatu pendapat atau perasaan bahwa satuan organisasi atau pejabat merupakan yang paling penting. c. Menghindari kemungkinan timbulnya pertentangan antara bagian dalam organisasi. d. Menghindari terjadinya kekosongan pekerjaan terhadap suatu aktifitas dalam organisasi. e. Menimbulkan kesadaran diantara para pegawai untuk saling membantu. Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi penting dalam suatu organisasi, yakni: a. Untuk mencegah terjadinya kekacauan, percecokan, dan kekembaran atau kekosongan pekerjaan. b. Agar orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan serta diarahkan untuk pencapaian tujuan perusahaan. c. Agar sarana dan prasarana dimanfaatkan untuk mencapai tujuan. d. Supaya semua unsur manajemen dan pekerjaan masing-masing individu pegawai harus membantu tercapainya tujuan organisasi. e. Supaya semua tugas, kegiatan, dan pekerjaan terintegrasi kepada sasaran yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kompetensi Pengelola Program P2 TB Paru Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut (Wibowo, 2008). Ruky (2003) mengutip pendapat Spencer & Spencer dari kelompok konsultan Hay & Mac Ber bahwa kompetensi adalah “an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterion – referenced effective and/or superior performance in a job or situation” (karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia) Menurut Boyatzis (Thoha, 2008), kompetensi didefenisikan sebagai “kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang diisyaratkan oleh pekerja dalam suatu organisasi sehingga orang tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan Kompetensi adalah kemampuan dan karakter yang harus dimiliki oleh seorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya secara profesional, efektif dan efisien (Depkes, 2008). Ada lima karakteristik dasar yang mempengaruhi kompetensi seseorang, menurut Spencer dan Spencer (Thoha, 2008), yaitu: 1) Motive, adalah konsistensi berfikir mengenai sesuatu yang diinginkan dan dikehendaki oleh seseorang, sehingga menyebabkan suatu kejadian. Motif tingkah
Universitas Sumatera Utara
laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing dan memilih untuk menghadapi kejadian atau tujuan tertentu. 2) Traits, adalah naluri yang secara konsisten dapat memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap keadaan atau informasi yang diterima, atau karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi tertentu. 3) Self concept, adalah sikap perilaku, sistem nilai atau persepi diri atau imajinasi seseorang yang dianut dan dipercayai dapat menguatkan dan meyakinkan sesuai dengan harapannya, serta dapat menuntun menjadi individu yang efektif diberbagai lingkungan kerja, jika keyakinan tersebut didukung rasa percaya diri yang besar. 4) Knowledge, yaitu sekumpulan informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu. 5) Skill, adalah kemampuan untuk mengerjakan atau menyelesaikan tugas – tugasfisik atau mental tertentu secara nyata dilakukan. Menurut Thoha (2008), kompetensi ada 3 (tiga) jenis yaitu : (1) kompetensi teknis yang lebih menekankan kepada pencapaian efektifitas kerja, (2) kompetensi perilaku (konsep diri, ciri diri dan motif individu), yang lebih menekankan kepada perilaku produktif yang harus dimiliki dan diperagakan oleh petugas agar dapat berprestasi, dan (3) kompetensi pengetahuan dan keterampilan individu yang lebih ditujukan kepada pelatihan dan pendidikan. Pendidikan dan Pelatihan berdasarkan kompetensi merupakan spesifikasi dari pengetahuan dan keterampilan serta
Universitas Sumatera Utara
penerapan dari pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam suatu pekerjaan atau perusahaan atau lintas industri, sesuai dengan standar kinerja yang disyaratkan. 2.5.1
Pengetahuan (Knowledge) Menurut Mustopadidjaja (2008), pengetahuan adalah informasi yang dimiliki
oleh seseorang dalam suatu bidang tertentu dan keterampilan adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu baik mental ataupun fisik. Pengetahuan dan keterampilan sesungguhnya yang mendasari pencapaian produktivitas, pengetahuan dan keterampilan termasuk faktor pembentuk kemampuan. Apabila seseorang mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang tinggi akan memiliki kemampuan (ability) yang tinggi pula sehingga akan membentuk kompetensi seorang pegawai/pekerja (Sulistiyani & Rosidah, 2003). Pengetahuan merupakan informasi yang dimiliki oleh seseorang, dan pengetahuan adalah komponen utama kompetensi yang mudah diperoleh dan mudah diidentifikasikan (Thoha, 2008). Sulistiyani dan Rosidah (2003) mengemukakan bahwa konsep pengetahuan lebih berorientasi kepada intelejensi, daya pikir dan penguasaan ilmu serta luas sempitnya wawasan yang dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian pengetahuan adalah merupakan akumulasi hasil proses pendidikan baik yang diperoleh secara formal maupun informal yang memberikan kontribusi kepada seseorang didalam pemecahan masalah, daya cipta, termasuk
dalam melakukan
atau
menyelesaikan
suatu
pekerjaan.
Dengan
pengetahuan yang luas dan pendidikan yang tinggi, seorang pegawai diharapkan mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan produktif. Notoatmodjo (2008) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
Universitas Sumatera Utara
orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Roger (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru atau berperilaku baru, maka dalam diri orang tersebut telah terjadi proses yang berurutan yaitu : (1) Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus atau objek. (2) Interest yaitu merasa tertarik terhadap suatu stimulus. (3) Evaluation yaitu menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut terhadap dirinya. (4) Trial dimana subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. (5) Adoption yaitu dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu : 1) Tahu (know), dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) tehadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
Universitas Sumatera Utara
dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2) Memahami (comprehension), suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau mengerti harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari. 3) Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4) Analisis (analysis), suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja; dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya. 5) Sintesis (synthesis), suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan,
Universitas Sumatera Utara
meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada. 6) Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. 2.5.2
Sikap (Attitude) Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang sifatnya masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu, dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Notoatmodjo (2008) bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi baru merupakan “pre-disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi yang sifatnya masih tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan tingkah laku yang terbuka. Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2008) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok, yakni : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam
Universitas Sumatera Utara
penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berfikir, keyakinan dan emosional memegang peranan yang sangat penting. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu : 1) Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2) Merespons (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang tersebut telah menerima ide. 3) Menghargai
(Valuing),
mengajak
orang
lain
untuk
mengerjakan
atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4) Bertanggungjawab (Responsible), bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. 2.5.3
Keterampilan atau Tindakan (Practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behaviour).
Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain. Ada empat tingkatan dalam praktik atau tindakan, yakni : 1) Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
Universitas Sumatera Utara
2) Respon terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. 3) Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. 4) Adaptasi (adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recal). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknis operasional mengenai bidang tertentu yang bersifat kekaryaan, berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis yang diperoleh melalui proses belajar dan berlatih. Dengan keterampilan yang dimiliki seorang pegawai diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaan secara produktif. (Sulistiyani dan Rosidah, 2003). .
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.
Universitas Sumatera Utara
2.6.
Uraian Tugas Pengelola Program Tuberkulosis Paru Petugas pengelola program TB paru adalah petugas yang bertangungjawab
dan mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam program TB di Puskesmas. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program TB paru di Puskesmas yaitu : (Depkes RI, 2009) a. Menemukan Penderita Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru, antara lain 1. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum 2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC 3. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form Tb 06 4. Membuat sediaan hapus dahak 5. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium 6. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap 7. Membuat klasifikasi penderita 8. Mengisi kartu penderita 9. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+) 10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang ditemukan. b. Memberikan Pengobatan 1. Menetapkan jenis paduan obat 2. Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan
Universitas Sumatera Utara
3. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01) 4. Menentukan PMO (bersama penderita) 5. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO 6. Memantau keteraturan berobat 7. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan 8. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya 9. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita c. Penanganan Logistik 1. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas 2. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll) 3. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c Tenaga pelaksana teknis laboratorium puskesmas adalah 1 (satu) orang Pembantu analis atau lulusan SMA yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri di puskesmas yang bersangkutan yang mempunyai minat di laboratorium, kemudian dilatih khusus dibidang labortorium. Apabila tidak memungkinkan dapat dilakukan pelatihan dengan sistem modul, atau dengan training yang terpogram. Adapun Tugas dan tanggung jawab tenaga pelaksana teknis laboratorium puskesmas, antara lain: 1. Melaksanakan pelayanan laboratorium sesuai dengan pola kerja dan prosedur kerja yang ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
2. Menjaga kebersihan dan kerapihan ruang tunggu loket penerimaan spesimen, ruang kerja sepanjang hari. 3. Mengatur penyediaan alat tulis, formulir untuk penerimaan pasien. 4. Mengatur penyediaan peralatan untuk pengambilan atau pengumpulan spesimen, seperti pot sputum, spuit, lanset, kapas, alkohol, tabung reaksi, kaca obyek dan lain-lain. 5. Mengatur penyediaan peralatan untuk pemeriksaan, seperti pipet, reagen, lampu spirtus dan formulir-formulir hasil. 6. Melayani pasien, mencatat identitas dan permintaan pemeriksaan yang diperlukan. 7. Mengambil/mengumpulkan spesimen sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan yang diminta. 8. Menangani pesimen sesuai dengan kebuuhan pemeriksaan. 9. Melakukan pemeriksaan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur kerja serta menjaga mutu hasil pemeriksaannya. 10. Mencatat hasil pemeriksaan, dan mengontrol dan mencek hasil pemeriksaan. 11. Bersama-sama
penanggung
jawab
laboratorium,
berusaha
mencari
dan
memecahkan persoalan-persoalan apabila ada hasil pemeriksaan yang kurang baik. 12. Melaksanakan dan mencatat penyerahan hasil pemeriksaan. 13. Menangani, mengemas dan mengirimkan spesimen rujukan lengkap dengan serut pengantar/berita acara.
Universitas Sumatera Utara
14. Mengambil
dan
mencatat
hasil
pemeriksaan
spesimen
rujukan
dan
menyampaikannya kepada yang berwenang atau berkepentingan. 15. Menjaga keamanan kerja maupun lingkungan kerja. 16. Meningkatkan
pelayanan
melalui
peningkatkan
kecepatan
kerja
tanpa
meninggalkan ketelitian dan keamanan. 17. Membimbing dan mengawasi tugas pembantu laboratorium. 18. Merawat dan memelihara peralatan laboratorium sesuai dengan petunjuk yang digariskan. 19. Melaporkan hal-hal yang menyangkut pemeriksaan laboratorium yang perlu segera dilaporkan kepada penanggung jawab laboratorium. 20. Menyusun usulan kebutuhan laboratorium untuk diajukan kepada penanggung jawab laboratorium. 21. Membantu membuat reagen untuk keperluan laboratorium puskesmas. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan didalam gedung antara lain: (a) terhadap spesimen yang dapat diperiksa sendiri, meliputi kegiatan, (b) Penerimaan pasien, (c) Pengambilan/pengumpulan spesimen, (c) penanganan spesimen, (d) Pencatatan hasil pemeriksaan, (e) Pengecekan/pengontrolan hasil pemeriksaan, (f) Penyampaian hasil pemeriksaan terhadap spesimen yang harus dirujuk, meliputi :(1) Pengambilan/pengumpulan spesimen, (2) Penanganan spesimen, (3) Pengemasan spesimen, (4) Pengiriman spesimen, (5) Pengambilan hasil pemeriksaan, (6) Pencatatan hasil pemeriksaan, (7) Penyampaian hasil pemeriksaan. Sedangkan kegiatan di luar gedung puskesmas, meliputi (1) kegiatan di pos-pos pelayanan lain
Universitas Sumatera Utara
dalam wilayah puskesmas yang bersangkutan (puskesmas pembatu posyandu). Dapat dilakukan bersama perawat/bidan, meliputi : (a) Melakukan tes screening HB, (b) Melakukan pengambilan spesimen yang kemudian dikirim ke laboratorium puskesmas, (2) Memberikan penyuluhan sehubungan dengan laboratorium dan (3) kegiatan dilapangan dalam rangka program kesehatan lain, dapat dilakukan oleh tenaga laboratorium bersama petugas lain dalam kegiatan bersangkutan. Sesuai dengan pedoman Penanggulangan TB Paru, setiap petugas pengelola program TB paru
perlu
ditingkatkan
kualitas
sumber
daya manusianya.
Pengembangan SDM adalah suatu proses yang sistematis dalam memenuhi kebutuhan ketenagaan yang cukup dan bermutu sesuai kebutuhan. Proses ini meliputi kegiatan penyediaan tenaga, pembinaan (pelatihan, supervisi, kalakarya/on the job training), dan kesinambungan (sustainability). Tujuan Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam program TB adalah tersedianya tenaga pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Didalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam penanggulangan TB (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-standar yang
menyangkut
kebutuhan
minimal
(jumlah
dan
jenis
tenaga)
untuk
terselenggaranya kegiatan program TB di suatu unit pelaksana. Pada Unit Pelayanan Kesehatan UPK) puskesmas yang terdiri dari (1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium, (2) Puskesmas satelit : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB, dan (3) Puskesmas Pembantu: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 perawat/petugas TB. Sedangkan jenis pelatihan yang wajib dalam program TB, terdiri dari : (1) Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training), dengan memasukkan materi program penanggulangan tuberkulosis strategi DOTS`dalam pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan. (Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi dan lain-lain), (2) Pelatihan dalam tugas (in service training), Dapat berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation),dan Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training): pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program yang lebih tinggi (Depkes RI, 2009). Penelitian kualitatif yang dilakukan Sahat P Manalu H dan Friskarini K (2009) di Kabupaten Tangerang Banten, menjelaskan bahwa petugas kesehatan sangat berperan terhadap keberhasilan penanggulangan TB Paru, dalam bentuk penyuluhan, pendataan kasus TB Paru, serta membangun kerjasama melalui lintas
Universitas Sumatera Utara
sektor seperti kecamatan, kelurahan tentang stratgei pendekatan dengan masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penelitian Samsuarsyah (2006) tentang Komitmen dan kinerja petugas Pengelola TB- paru pada puskesmas Di Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan, menjelaskan bahwa komitmen petugas pengelola TB paru sangat berpengaruh terhadap hasil kerja penanggulangan TB Paru. Penelitian Tirtana Tanggab B (2011), di Wilayah Jawa Tengah, menjelaskan bahwa keteraturan dan lama berobat pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Tuberkulosis berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.
2.7. Landasan Teori Menurut Anderson dan Newman (1968) dalam Sarwono (2004), bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi pelayanan kesehatan adalah faktor petugas kesehatan, mencakup karakteristik petugas kesehatan dan kompetensi petugas kesehatan, termasuk didalam pelayanan imunisasi. Menurut Ilyas (2006) yang mengutip pendapat Gibson (1987) beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja petugas adalah kemampuan, ketrampilan, latar belakang pendidikan, motivasi kerja, sikap dan kepribadian, dukungan organisasi berupa kompensasi, kebijakan, insentif, gaya kepemimpinan dan desain pekerjaan. Menurut Hasibuan (2004) yang mengutip pendapat Keith dan Davis bahwa kinerja pegawai atau petugas diberbagai instansi sangat dipengaruhi oleh kompetensi (kemampuan dan ketrampilan) dan motivasi. Ada 3 (tiga) komponen variabel yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas. Kinerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat prestasi kerja petugas pengelola program TB paru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam program penanggulangan TB paru. Menurut Wibowo (2008), kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap. Menurut Thoha (2008), kompetensi ada 3 (tiga) jenis yaitu : (1) kompetensi teknis, lebih menekankan kepada pencapaian efektifitas kerja, (2) kompetensi perilaku (konsep diri, ciri diri dan motif individu), yang lebih menekankan kepada perilaku produktif yang harus dimiliki dan diperagakan oleh petugas agar dapat berprestasi, dan (3) kompetensi pengetahuan dan keterampilan individu, yang lebih ditujukan kepada pelatihan dan pendidikan. Menurut G.R Terry dalam Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Koordinasi berhubungan dengan tugas untuk menyatukan usaha agar berhasil dalam mencapai tujuan organisasi, adanya disparitas masing-masing tugas dalam
Universitas Sumatera Utara
organisasi cenderung timbul kekuasaan memisahkan diri dari tujuan organisasi secara keseluruhan, maka dengan adanya koordinasi akan terdapat keselarasan aktivitas diantara unit-unit atau bagian-bagian organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (Hasibuan, 2006). Koordinasi adalah perwujudan kerjasama, saling membantu, menghargai serta menggambarkan penghayatan tugas fungsi dan kewenangan masing-masing unsur dalam organisasi. Artinya dengan adanya koordinasi maka akan berdampak terhadap efektivitas kerja dan prestasi kerja (Malthis, 2004). Koordinasi dalam penelitian ini adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengelola program TB paru dalam mensingkronkan dan menyelaraskan seluruh konsep dan kegiatan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan TB paru di wilayah kerja puskesmas, baik koordinasi lintas program di puskesmas misalnya koordinasi dengan program
penyuluhan kesehatan dan
program kesehatan
lingkungan, koordinasi dengan pimpinan misalnya memberikan laporan dan meminta arahan dari pimpinan puskemas terkait dengan penanggulangan TB paru , maupun koordinasi lintas sektoral misalnya bekerja sama dengan perangkat desa dalam pelacakan dan penemuan kasus.
Universitas Sumatera Utara
2.8.
Kerangka Konsep Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel Independen
Variabel Dependen
KOORDINASI Kinerja Pengelola Program Penganggulangan TB Paru KOMPETENSI Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara