BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sudah lama diketahui dan merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Penyebab dari TB adalah Mycobacterium tuberculosis complex. Sebagian kuman TB akan menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Smith, 2003). Berdasarkan letak anatomi, TB diklasifikasikan menjadi 1). TB paru yaitu kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB miliar diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. 2). TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru, seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. TB limfadenopati intrathorakal atau TB efusi pleura tanpa adanya kelainan pada paru termasuk dalam kasus TB ekstraparu (WHO, 2013c). HIV adalah virus RNA yang termasuk family Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. HIV akan menginfeksi tubuh dan memiliki masa inkubasi yang lama dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Xhilaga & Oelrichs, 2007). 2.2 Epidemiologi TB merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia karena menyebabkan anacaman kematian yang serius, sehingga pada tahun 1992 WHO mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Pada tahun 2012 diperkirakan 8,6 juta penduduk menderita TB dan 1,3 juta meninggal akibat TB (1 juta pada
1
penderita dengan HIV negatif dan 0,3 juta pada penderita HIV). Kebanyakan kasus TB terjadi pada laki-laki, tetapi merupakan penyebab kematian ketiga pada wanita di seluruh dunia. Kasus terbanyak koinfeksi TB-HIV adalah di wilayah Afrika, yaitu sebesar 75%. (WHO, 2013a).
Gambar 2.1 Perkiraan insiden TB rata-rata tahun 2012 (WHO, 2013a) Berdasarkan data dari WHO, Indonesia menduduki peringkat keempat insiden TB di dunia pada tahun 2012 ( 0,4 - 0,5 juta) setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Pada tahun 2012, WHO membuat suatu estimasi prevalensi koinfeksi TB-HIV, yaitu sebesar 0,3%. (WHO, 2013a).
Gambar 2.2.
2
Insiden TB 10 negara terbesar (WHO, 2013a) Indonesia termasuk daerah epidemi HIV. Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, hingga akhir Desember 2013 dilaporkan jumlah kasus HIV sebanyak 29.037 dan AIDS sebanyak 5.608 dengan infeksi penyerta terbanyak adalah kandidiasis, yaitu sebesar 1052 kasus dan TB merupakan infeksi penyerta terbanyak kedua, yaitu sebesar 989 kasus di tahun 2013. Bali sendiri, kasus HIV/AIDS pada Desember 2013 didapatkan 8.059 kasus. Case Rate AIDS di Bali secara nasional pada tahun 2013 termasuk tertinggi kedua setelah Papua yaitu 93,4 per 100.000 penduduk. Hingga saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran koinfeksi TB-HIV. Survei prevalensi HIV diantara pasien TB baru di beberapa propinsi menunjukkan 2% di Yogyakarta (2006) dan 0,8% di Jawa Timur, 2,8% di Bali (2008) dan 14% di Papua (2008). Pravalensi koinfeksi TB-HIV di VCT RSUP Sanglah pada tahun 2014 sebesar 22% (Kemenkes, 2013; VCT Sanglah, 2014). 2.3 Patogenesis 2.3.1 Patogenesis HIV Human Immunodeficiency Virus merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV cenderung menyerang Iimfosit T yang memiliki reseptor CD4 pada permukaannya. Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara, yaitu: (1) Vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan menyusui), (2) Transeksual
3
(homoseksual maupun heteroseksual), (3) Horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (Xhilaga, 2007; Calles, 2010). Berdasarkan perjalanan infeksi HIV, jumlah Iimfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis dibagi menjadi 4 stadium: (Calles, 2010; Bartlett, 2013) 1. Asimptomatik (Stadium 1) Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) yang jumlahnya berjuta-juta. Viremia dari virion-virion ini akan memicu munculnya sindroma infeksi akut dengan gejala seperti flu. Sebanyak 50 - 70% orang yang terinfeksi HiV mengalami sindroma infeksi akut ini selama 3 - 6 minggu dengan gejala umum seperti demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual-muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Pada fase akut terjadi penurunan Iimfosit T dan kemudian terjadi kenaikan kembali karena terjadi respon imun. Jumlah Iimfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/µL. Fase ini dapat berlangsung 8 - 10 tahun. Pada pemeriksaan Western blot atau immunofluorescence memberikan hasil positif 2. Gejala dan tanda ringan pada HIV (Stadium 2) Mulai timbul gejala dan tanda ringan akibat infeksi HIV. Gejala yang dapat muncul berupa kandidiasis, limfadenopati, moluskum kontagiosum, herpes zooster. Kadar viral load meningkat, kadar CD4 turun antara 350 - 499 sel/µL. 3. Gejala dan tanda lanjut pada HIV (stadium 3) Sistem imun pada penderita HIV semakin menurun dan muncul berbagai infeksi sekunder seperti kandidiasis persisten, pneumonia berulang, demam
4
yang berkepanjangan, penurunan berat badan. Kadar CD4 antara 200 - 349 sel/µL
4. Stadium 4 Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respon imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T hingga di bawah 200 sel/µL. Penurunan ini menyebabkan sistem imun rentan terhadap infeksi sekunder, seperti pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis, ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, kandidiasis esofagus maupun trakea.
Gambar 2.3 Jumlah CD4, beban virus, dan perjalanan infeksi HIV (Pantaleo G, 1993) 2.3.2 Patogenesis TB Mtb merupakan basil tahan asam yang tidak bergerak, tidak memiliki spora, termasuk dalam gram positif Iemah. Panjangnya 1 - 4 µm dan lebarnya 0,3
5
- 0,6 µm. Setengah dari beratnya terdiri dan lipid. Mtb membelah diri setiap 12 24 jam pada keadaan optimal. Pertumbuhannya yang lambat disebabkan karena impermeabilitas dinding sel terhadap asupan nutrien. Hal ini yang membedakan Mtb dengan Mycobacterium lainnya. Pertumbuhannya dikatakan cepat apabila terjadi dalam 7 hari atau kurang, dan dikatakan lambat bila tumbuh lebih dari itu (Harshey dkk, 1977; Kemenkes, 2012; Sakamoto, 2012). Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Mtb. Partikel atau droplet yang berukuran 1 - 5 µm akan berperilaku seperti gas dan lolos dari barier mukosilier. Setelah melalui barier mukosiliser saluran nafas, basil Mtb akan masuk ke alveoli dan mengalami multiplikasi yang disebut dengan focus ghon. Makrofag alveolar merupakan pertahanan pertama melawan Mtb, jika efektif akan menyebabkan elimninasi dari Mtb melalui proses fagositosis. Tumour Necrotizing Factor α (TNF-α) dan kemokin inflamasi akan menarik leukosit yang kemudian memfagosit basil dan kembali ke peredaran darah. Proses ini akan menyebabkan penyebaran hematogen. Mtb dapat menyebar melalui sistem limfatik ke kelenjar getah bening (KGB) regional dan membentuk kompleks primer. Melalui KGB hilus menyebar ke KGB trakea dan vertebral, dan menyebar melalui darah ke apeks paru dan organ luar patu melalui duktus torasikus. Pada kebanyakan kasus respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi Mtb dan sebagian kecil menjadi tidak aktif. Bila makrofag yang teraktifasi tidak berespon, seperti pada imunokompromais lesi tuberkel akan semakin membesar dan membentuk suatu kavitas. Dalam kavitas tersebut Mtb dengan mudah bermultiplikasi dan menyebar melalui saluran udara (Hoffman., 2012; Ahmad., 2011).
6
TB merupakan IO yang sering terdapat pada penderita dengan HIV dan dapat terjadi pada stadium berapa pun dari HIV. Terdapat hubungan antara HIV dan Mtb. Makrofag dan limfosit alveolar yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel pertahanan utama parenkim paru. Terinfeksinya makrofag dan limfosit ini merupakan proses utama patogenesis penyakit paru pada HIV. lnfeksi TB paru berat akan menurunkan kadar CD4 sehingga infeksi TB yang terjadi pada penderita HIV akan meningkatkan angka kematian dua kali lipat dalam setahun dan akan meningkatkan angka kematian tiga kali lipat pada kadar CD4 dibawah 200 sel/µL (Lee dkk, 2000; Jeong, 2008). 2.4 Gambaran Klinis 2.4.1 Gambaran Klinis HIV Gambaran klinis HIV beragam, mulai dari asimptomatis yang berkepanjangan hingga manifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda HIV dibagi menjadi empat tahap: (Bartle, 2013) 1.
Infeksi akut, muncul pada 6 minggu pertama setelah paparan HIV. Gejala yang muncul berupa demam, letih, nyeri otot dan sendi, nyeri menelan, pembesran KGB
2.
Tahap asimptomatis, gejala dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah infeksi.
3.
Tahap simptomatis. Berat badan turun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, peradangan sudut mulut, infeksi bakteri pada saluran nafas atas namun penderita dapat melakukan aktifitas
7
4.
Merupakan tahap lanjut dari AIDS. Pada tahap ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare lebih dari satu bulan, demam yang tidak diketahui sebabnya, kandidiasi oral. Muncul berbagai infeksi sekunder, dapat juga ditemukan beberapa jenis malignansi termasuk keganasan KGB dan sarkoma kaposi.
Tabel 2.1. Stadium Klinis HIV (Kemenkes, 2011) Stadium I • Tidak ada gejala • Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium II • Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (< 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) • Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis) • Herpes zoster • Keilitis angularis • Ulkus mulut yang berulang • Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption) • Dermatisis seboroik • Infeksi jamur pada kuku Stadium III • • • • • • • • •
Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya Kandidiasis pada mulut yang menetap Oral hairy leukoplakia Tuberkulosis paru Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, Infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggui yang berat) Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis Anemia yang tak diketahui penyebabnya (< 8 g/dL), netropenia (< 0.5 x 10 g/dL) dan/atau trombositopenia kronis (< 50 x 10 g/dL)
Stadium IV
8
• • • •
• • • •
• •
Sindrom wasting HIV Pneumonia Pneumocystis jiroveci Pneumonia bacteri berat yang berulang Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau norektal selama lebih dari 1 bulan atau visceral di bagian manapun) Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru) Tuberkulosis ekstra paru Sarkoma Kaposi Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening) Toksoplasmosis di sistem saraf pusat Ensefelopati HIV
• • • • • • • • • • • •
Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis Infeksi mycobacteria non uberkulosis yang menyebar Leukoencefalopati multifokal progresif Kriptosporidiosis kronis Isosporiasis kronis Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid) Limfoma (serebral atau Sel B nonHodgkin) Karsinoma serviks invasif Leishmaniasis diseminata atipikal Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis
2.4.2 Gambaran Klinis TB Derajat imunosupresi dari HIV akan mempengaruhi gejala klinis dari TB. Gambaran klinis TB pada HIV stadium awal mirip dengan TB tanpa HIV. Batuk lama, demam, keringat malam atau penurunan berat badan merupakan gambaran klinis yang khas pada TB, dengan sensitivitas 79%, tetapi spesifisitasnya hanya 50%. Gambaran klinis TB pada kadar CD4 di bawah 200 sel/µL menjadi tidak khas, 50% merupakan TB ekstraparu. Pada CD4 di bawah 75 sel/µL gejala infeksi paru hampir tidak ditemukan, TB diseminata dengan manifestasi tidak spesifik seperti demam lama dengan penyebaran ke organ lain lebih sering ditemukan dengan tingkat mortalitas yang tinggi (Sterling dkk, 2010). Asimptomatik TB dengan hasil pemeriksaan foto thorax dan sputum BTA negatif sering ditemukan pada TB-HIV dan 10% kasus ditemukan di negara-negara endemik TB. Hampir 25% penderita HIV tidak terdiagnosis adanya TB aktif, sehingga skrining TB direkomendasikan pada seluruh penderita HIV (Lee dkk, 2000; Zumla, 2013). Tabel 2.4 Presentasi Klinis Pasien TB-HIV (Sharma dkk, 2005)
9
Karakteristik Pulmonal dan ektrapulmonal Gejala klinis
Infeksi HIV lanjut* 50:50 Menyerupai TB primer
Gambaran radiologis Limfadenopati intratorakal Sering Lobus bawah Sering Cavitas Jarang Tes tuberkulin Sering Sputum BTA Jarang positif Reaksi adversi obat Sering Relaps setelah terapi Sering *CD4 di bawah 200 sel/µL
Infeksi HIV awal 80:20 Menyerupai post-TB primer Jarang Jarang Sering Jarang Sering positif Jarang Jarang
Selain TB, terdapat pula Mycocabterium Other Than Tuberculosis (MOTT) yang umumnya muncul pada kadar CD4 kurang dari 100 sel/µL. MOTT dapat terdokumentasi dengan baik pada negara dengan angka TB yang rendah, tetapi negara dengan angka koinfeksi TB-HIV tinggi persentase MOTT tergolong rendah, hal ini disebabkan karena sulitnya penegakkan diagnosis (McCarthy dkk, 2011). Gejala dan tanda infeksi MOTT mirip dengan gejala klinis TB, yaitu batuk lama, keringat malam, dan penurunan berat badan. Berdasarkan rekomendasi American Thoracic Society (ATS)/ Infectious Disease Society of America (IDSA), penegakkan MOTT berdasarkan (1) gejala klinis atau kelainan pada foto thoraks, meliputi nodul atau kavitas, atau multifokal bronkiektasis yang disertai multiple noduk kecil pada pemeriksaan CT scan, (2) mengeksklusi diagnosis lainnya, (3) hasil kultur positif MOTT melalui dua kali pemeriksaan sputum atau melalui satu kali pemeriksaan bilasan bronkus. Beberapa penelitian yang dilakukan di Vietnam, Thailand, dan Kamboja menyebutkan kriteria yang diterapkan ATS/IDSA sering menghadap kendala terutama pada pemeriksaan kultur yang
10
sering kali memberikan hasil negatif. Hal ini menyebabkan prevalensi MOTT paru pada pasien HIV di daerah Asia Tenggara masih tergolong rendah. Kultur yang memiliki sensitif yang tinggi untuk MOTT menurut penelitian tersebut adalah melalui kulur media cair. Sebuah penelitian di Nigeria juga mengungkapkan pernyataan yang sama, bahkan pemeriksaan Xpert/MTB-Rif yang merupakan pemeriksaan rekomendasi WHO dikatakan memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendiagnosis MOTT di negara dengan prevalensi TB yang tinggi. Penegakkan diagnosis MOTT yang sulit inilah yang menyebabkan MOTT jarang dijumpai sebagai IO pada infeksi HIV (Restiawati dkk, 2011; McCarthy dkk, 2011). 2.5 Diagnosis Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya (Kemenkes, 2013a). 2.5.1 Pemeriksaan Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan adanya kuman TB dapat berasal dari sputum, cairan pleura, cairan cerebrospinal, bilasan bronkus, urin, maupun jaringan biopsi. Semua pasien suspek TB dilakukan pemeriksaan spesimen sputum selama dua hari berturut-turut, yaitu sewaktu – pagi - sewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan mikroskopis memiliki keuntungan yaitu tidak membutuhkan biaya yang mahal dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (World Health Organization, 2007; Kemenkes, 2011).
11
Gambar 2.4 Alur Diagnosis TB Paru pada penderita HIV Rawat Jalan (Kemenkes, 2013a) Pemeriksaan sputum BTA memerlukan bahan spesimen Mtb sekitar 105 per mililiter untuk memberikan hasil yang positif. Pasien dengan infeksi HIV positif jarang memberikan hasil positif pada pemeriksaan BTA. Sulitnya mengeluarkan dahak merupakan alasan yang paling sering dijumpai. Semakin rendah sistem imun maka pemeriksaan sputum BTA akan memberikan hasil negatif akibat sulitnya pembentukan granuloma atau bahkan tidak terbentuk sama sekali (Swaminathan, 2002; Padmapriyadarsini dkk, 2011; Singhal, 2011).
12
Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sputum BTA pada penderita dengan koinfeksi TB-HIV adalah 38,1% dan 74,5%. (Swai dkk, 2011).
Gambar 2.5. Alur Diagnosis TB Paru pada Penderita HIV Sakit Berat (Kemenkes, 2013a) Kultur sputum Mtb merupakan pemeriksaan standar baku untuk menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan kultur sputum selain digunakan untuk identifikasi jenis Mycobacterium, juga dapat mengetahui resistensi OAT. WHO merekomendasikan pemeriksaan kultur sputum Mtb pada pasien dengan BTA negatif, dan lebih dianjurkan untuk pemeriksaan kultur sputum dengan media cair karena sensitivitas dan hasil yang diperoleh lebih cepat dibandingkan dengan kultur media padat. Permasalahan yang sering dihadapi dari pemeriksaan kultur sputum Mtb adalah tidak semua fasilitas kesehatan menyediakan pemeriksaan ini
13
sehingga harus dikirim ke tempat yang memiliki fasilitias pemeriksaan kultur sputum. Desentralisasi kultur sputum merupakan pengiriman sputum yang dianjurkan (WHO, 2006). Pada saat ini kementerian kesehatan menetapkan penggunaan media Lowenstein-Jensen (LJ) sebagai pemeriksaan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya. Tidak satu pun uji tunggal yang dapat membedakan Mtb dan Mycobacterium lannya, sehingga identifikasi Mtb didasarkan pada hasil pemeriksaan, kecepatan tumbuh, morfologi koloni, uji Para Nitro Benzoic Acid (PNB), dan uji niasin (Kemenkes, 2012). Beberapa uji identifikasi yang dapat digunakan adalah: (Swapna dkk, 2011; Kemenkes 2012) 1. Uji Niasin. Semua Mycobacterium dapat menghasilkan asam nikotinal. Mtb dan beberapa spesies seperti M. simiae dan M. chelonae tidak dapat menghasilkan asam nikotinal tersebut. Jumlah asam nikotinak yang dibentuk terbanyak terbanyak ada pada media LJ, karena itu pemeriksaan ini membutuhkan media LJ. Uji niasin dengan paper strip merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh WHO dengan hasil meta analisisnya paling sensitif. 2. Uji PNB. Uji ini juga menggunakan media LJ. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 28 - 42 hari. 3. Uji mycobacterium tuberculosis protein 64 (MPT-64). MPT merupakan antigen spesifik yang disekresikan oleh Mtb saat pertumbuhan bakeri. Antigen MPT-64 tidak ditemukan pada M. bovis, M. leprae, dan Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT). Keunggulan dari
14
pemeriksaan ini adalah hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk mendeteksi Mtb atau MOTT, dengan sensitivitas 96,5 - 100% dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah Xpert MTB/Rif. Xpert MTB/Rif merupakan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) otomatis dengan menggunakan platform GeneXpert (Cepheid, Sunnyvale, CA, United States). Xpert MTB/Rif dapat mengindentifikasi Mtb serta resistensi rifampisin secara bersamaan dalam waktu dua jam. Pada Xpert MTB/Rif amplifikasi dan deteksi dari PCR tergabung dalam suatu unit yang disebut dengan Xpert Mtb/Rif cartridge. Sample pemeriksan Xpert Mtb/Rif dapat menggunakan bahan sputum yang berupa sampel sputum segar atau sedimen sputum atau bahan cairan pleura, cairan serebrospinal, atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) dari KGB. Xpert Mtb/Rif dengan sampel sputum dapat mendeteksi Mtb 103 dan memiliki sensitifitas dan spesivisitas yang cukup tinggi yaitu 88% dan 99% dalam mendiagnosis TB-HIV khususnya yang berasal dari sputum (Kemenkes, 2013a; WHO, 2014a, O'Grady dkk, 2012). WHO merekomendasikan pemeriksaan Xpert Mtb/Rif untuk mendiagnosis TB disamping pemeriksaan sputum BTA dan kultur untuk mendiagnosis MDRTB atau koinfeksi TB-HIV. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, WHO menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan molekuler seperti Xpert MTB/Rif bila fasilitasnya memungkinkan. Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai pemeriksaan diagnostik primer pada pasien TB-HIV. Selain direkomendasikan untuk mendiagnosis TB paru, Xpert MTB/Rif direkomendasikan oleh WHO untuk mendiagnosis dengan cepat TB ekstraparu. Rekomendasi tersebut terutama pada meningitis TB yang membutuhkan diagnosis cepat dan pemeriksaan KGB
15
atau jaringan lain, tetapi masih dengan bukti kualitas yang rendah, tetapi tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas pemeriksaan Xpert MTB/Rif. (WHO, 2014; WHO, 2014a; Kemenkes, 2013a). 2.5.2. Pemeriksaan Radiologi Pada pemeriksaan foto thorax, TB-HIV memiliki gambaran yang beragam, tergantung dari stadium HIV. Gambaran radiologis stadium awal HIV sama dengan penderita non HIV, berupa kavitas pada lobus atas, infiltrat, dan nodul. Pada stadium lanjut 80% gambarannya mirip infeksi primer TB. Ada pula yang memberikan gambaran ekstraparu seperti efusi pleura, limfadenopati hilus bahkan normal. Penelitian yang dilakukan oleh Ong dkk (2008), gambaran radiologi pada penderita HIV dengan kadar CD < 200 sel/µL berupa gambaran infiltrat di daerah basal, tuberukulosa pneumonia, limfadenopati mediastinum dan hilus, dan miliar. Beberapa studi di Kenya menemukan 13% penderita dengan kultur BTA positif memiliki foto thorax normal (Lee dkk, 2000; Zumla, 2013; Hoffman,2014).
16
Gambar 2.6 Diagnosis TB-HIV Berat (WHO, 2013d)
24
2.5.3 Pemeriksaan Lipoarabinomannan Mendeteksi antigen Mycobacterium merupakan salah satu pilihan untuk mendiagnosis TB. LAM merupakan salah satu pemeriksaan antigen yang dapat mendiagnosis TB paru (Achkar, 2011). Dinding sel Mycobacterium merupakan struktur yang kompleks yang terdiri dari beberapa komponen penting untuk imunogenitias. Komponen tersebut terdiri dari peptidoglycan, arabinogalactan, myocolic acid lipid, yang merupakan ciri khas dari sel Mycobacterium, dan lapisan glikolipid yang merupakan lapisan teratas dari plasma membran. LAM, lipomannan (LM), dan phosphatidylinositol (PI) mannoside (PIMs) merupakan mannose dari glikolipid yang penting pada pembungkus sel. Peptidoglycan secara umum dapat ditemukan pada bakteri, sedangkan mycolic acid hanya ditemukan pada Mycobacterium dan merupakan asam lemak yang merupakan bagian unik dari Mycobacterium. (Fukuda dkk, 2013; Cheepsattayakorn, 2005; Stronhmeier, 1999). Pembungkus dari Mtb berguna untuk pertahanan dalam tubuh pejamu yang terinfeksi dan terhadap beberapa obat anti Mycobacterium yang menghambat biosintesis dan komponen dinding sel. LAM, merupakan melokul non-peptida yang mengatur respon imun pejamu, sedangkan mannose-capped LAM (ManLAM) merupakan molekul anti inflamasi yang kuat (Nigou, 2003). LAM berukuran 17.500 dalton, dilepaskan dari metabolik aktif atau sel bakteri selama infeksi TB (Peter dkk, 2010). Molekul-molekul LAM membentuk suatu ikatan non kovalen dengan plasma Mycobacterium melalui glikofosfolipid dan permukaan dinding sel. Molekul LAM memiliki tiga struktur utama yaitu glikofosfolipid, mannan, dan arabinan. Glikofosfolipid umumnya terdapat pada semua spesies Mycobacterium. Masing-masing molekul LAM memiliki capping 19
yang berbeda-beda tergantung jenis spesiesnya. Molekul LAM dengn cap mannosylated (ManLAM) terdapat pada spesies Mtb, Mycobacterium lepra, Mycobacterium bovis. Molekul LAM dengan cap fosfoinositol (PILAM) terdapat pada Mycobacterium smegmatis. Sedangkan Mycobacterium chelonae tidak memiliki cap mannose atau fosfoinositol, tetapi memiliki bentuk cap molekul Ara LAM. (Lawn, 2012).
Gambar 2.7. Dinding sel mikobakterium (Mistry., 2008) LAM dapat menginduksi sitokin imunosupresif termasuk mengugah TGFB, menginduksi nitric oxide (NO), TNF-A, dan melepaskan interleukin-12 (IL-12) ke dalam pembuluh darah perifer pada tuberkulosis yang baru didiagnosis (Cheepsattayakorn, 2005). Pada saat terjadi infeksi, pejamu akan mengeluarkan antibodi untuk melawan antigen mikobakterium. Antigen humoral nonprotein tersebut adalah LAM. Sirkulasi antibodi LAM dapat ditemukan pada penderita tuberkulosis aktif (Stronheimerer., 1997). LAM tidak hanya terdapat pada Mtb tetapi juga ditemukan pada
20
Mycobacterium
leprae,
Mycobacterium
bovis,
Mycobacterium
avium,
Mycobacterium kansasii, Mycobacterium fortuitum, Mycobacterium smegmatis, dan Mycobacterium chelonae (Mishra., 2011).
Gambar 2.8. Lipoarabinomannan pada dinding sel M tuberkulosis, M smegmatis, dan C glutamicum (Mishra., 2011) Selain terdapat dalam Mycobacterium, LAM juga terdapat pada genus Rhadococcus. Rhadococcus adalah bagian dari Actinomycetes yang termasuk dalam genus Mycobacterium. Pada Rhadococcus berat LAM lebih ringan dibanding Mtb dan M bovis, serta tidak memiliki bagian arabinan (Nigou dkk, 2003; Mishra dkk, 2011). Selain itu dinding sel yang kaya akan lipid dapat juga dijumpai pada Corynebacterium dan Nocardia (Mishra dkk, 2011; Peter dkk, 2010). Antibodi poliklonal anti-LAM memiliki reaksi silang dengan beberapa varian dari Actinobacteria termasuk di dalamnya Nocardia, Streptomuces, dan Candida. Kontaminan spesimen urin yang mengandung spesies Candida dan adanya MOTT memberikan nilai prediktif yang rendah pada hasil LAM yang positif. (Peter dkk,
21
2010; Minion dkk, 2011). Infeksi HIV merupakan salah satu faktor predisposisi munculnya infeksi Rhodococcus equi. Secara umum infeksi Rhodococcus equi termasuk jarang sekali terjadi. Gejala klinisnya mirip dengan pneumonia, dengan gejala tersering adalah demam, batuk yang disertai dahak. Penelitan yang dilakukan oleh Da Silva dkk (2011) menyebutkan jarang menemukan infeksi Rhodococcus equi pada penderita HIV. Pada penelitian tersebut, dari 546 penderita HIV ditemukan 17% dengan infeksi Rhodococcus equi melalui pemeriksaan sputum (Da Silva dkk, 2011; Tortosa dkk., 2003). Boeme dkk (2005) melakukan kultur terhadap beberapa bakteri gram positif dan negatif, seperti Klebsiella pneumoniae, Streptococcus agalactiae, Stetococcus pnuemoniae, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris, Escherichia coli, Neisseria meningitidis, dan Haemophilus influenza. Tes dilakukan dengan menggunakan LAM ELISA. Pemeriksaan juga dilakukan pada beberapa Mycobacterium dengan melihat reaksinya terhadap LAM ELISA. Hasil yang diperoleh adalah LAM ELISA tidak memiliki reaksi terhadap bakteri gram positif dan negatif sedangkan pada spesies Mycobacterium, Mtb dan M. bovis memiliki sensitivitas tertinggi terhadap LAM ELISA (Beohme dkk, 2005).
22
Gambar 2.9 Reaksi LAM (Boehme dkk., 2005) A. Membandingkan antibodi LAM dengan bakteri gram positif dan gram negatif B. Reaksi LAM ELISA terhadap berbagai spesies Mycobacterium LAM dapat dideteksi pada sputum, cairan serebrospinal, urin dan cairan pleura
sehingga
LAM
dapat
digunakan
untuk
mendiagnosis
Mycobacterium paru maupun ekstraparu (Boehme dkk, 205; Peter, 2010).
23
infeksi
Pemeriksaan sputum LAM menunjukkan sensitivitas yang tinggi (86%; 95% CI 81, 90%) tetapi spesifisitas yang rendah (15%; 95% CI 10, 21%) bila dibandingkan dengan LAM urin (Dheda dkk, 2010). Menurut Patel dkk (2009) pada cairan serebrospinal sensitivitasnya 64% dan spesifisitasnya 69% bila dibandingkan dengan PCR. Permeabilitas LAM dalan sawar otak masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Beberapa studi menunjukkan pemeriksaan LAM merupakan pemeriksaan yang menjanjikan dalam mendiagnosis meningitis TB. Pada pemeriksaan cairan pleura, antigen LAM tidak lebih baik dibanding ADA dalam mendiagnosis TB, bahkan oleh peneliti penelitian LAM dihentikan karena tidak memberikan hasil positif terdapat dua puluh empat pertama pasien. Hal ini disebabkan karena cairan pleura memiliki kadar protein yang tinggi sehingga mengikat LAM bebas. Rendahnya deteksi antigen LAM kemungkinan disebabkan rendahnya kadar basil pada penyakit pleura (Dheda dkk, 2009a) Pada tahun 1960 telah diketahui bahwa Mtb dapat dijumpai pada urin seroang penderita TB aktif, tetapi urin bukan pemeriksaan rutin karena hasilnya tidak memuaskan, yaitu sekitar 2%. Pada pasien yang terinfeksi HIV pemeriksaan melalui urin justru memberikan hasil yang lebih memuaskan, yaitu 70% (Peter dkk, 2010). Mekanisme LAM dapat terdeteksi melalui urin hingga saat ini masih belum dapat dijelaskan. LAM memiliki ukuran yang mirip dengan mioglobin (16.700 dalton), melalui aliran darah dapat keluar melalui urin melalui rusaknya otot pada seseorang yang tidak memiliki gangguan pada fungsi glomerulus (Lawn, 2012; Wood dkk, 2012). Hal ini yang membuat molekul LAM diyakini dapat keluar melalui urin. Secara sistematis pelepasan LAM melalui sirkulasi imun komples tidak dapat melewati glomerulus ginjal normal, tetapi pada
24
kenyataannya LAM antibodi kompleks yang dilepaskan Mycobacterium melalui traktus urinarius dapat melalui urin (Wood dkk, 2012). Adanya gangguan pada fungsi ginjal, seperti nefropati HIV akan mempengaruhi kemampuan LAM yang berasal dari aliran darah keluar melalui urin. Terdapat tiga model yang mungkin terjadi pada LAM yang dilepaskan oleh Mycobacterium tubuh.(Wood, 2012) A.
LAM dilepaskan oleh organisme dari sirkulasi sistemik (nonrenal) ke dalam sirkulasi dimana antibodi anti-LAM akan berikatan dengan imun kompleks dan keluar ke urin pada ginjal normal. Pada model ini seseorang yang memiliki fungsi ginjal normal akan memberikan hasil LAM yang negatif bila tidak dijumpai mikobakteriuria.
B.
Molekul LAM bebas dilepaskan oleh organisme Mtb ke kompartemen sistemik melalui sirkulasi tetapi tidak terikat oleh antibodi dan akan dikeluarkan melalui urin pada ginjal yang normal. Pada model ini akan memberikan hasil LAM urin positif pada meskipun tidak dijumpai adanya Mycobacterium.
C.
Urin LAM dilepaskan langsung oleh organisme Mtb ke dalam urin. Mikobakteriuria dapat dijumpai pada kejadian TB ekstraparu. Pada model ini akan memberikan hasil positif pada pemeriksaan uji LAM bila ditemukan adanya Mtb di urin.
25
Gambar 2.9. Tiga model pelepasan LAM (Wood R, 2012) A. LAM yang terikat dengan antibodi dari kompleks imun dilepaskan secara sistemik ke sirkulasi dan melalui filtrasi ginjal LAM dapat melewati membran glomerulus. Pada model ini memberikan tes LAM akan negatif bila tidak dijumpai adanya Mtb. B. LAM tidak terikat dengan antibodi anti LAM, LAM bebas terfiltrasi keluar melalui urin. Pada model ini pemeriksaan LAM akan memberikan hasil positif meskipun tidak ada Mtb. C. Mtb keluar langsung melalui traktur urinarius dan melepaskan LAM ke urin. Pada model ini tes LAM positif bila dijumpai Mtb.
Sebuah studi besar di Tanzania melaporkan proteinuria memiliki hubungan dengan kadar positif dari LAM (Reither dkk, 2009). Pendapat sebaliknya diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Dheda dkk (2010), yang menyatakan tidak adanya hubungan antara LAM urin dengan proteinuria. Sensitivitas yang berbeda-beda dari tiap penelitian disebabkan oleh berbagai faktor seperti beratnya derajat HIV dari tiap pasien, tipe strain virus, populasi genetika dan malnutrisi. Suatu analisis dengan menggunakan pemeriksaan 26
kuantifikasi ekskresi proteinuria dilaporkan oleh Wood dkk (2012). Proteinuria yang terdeteksi pada penderita dengan LAM positif tidak berhubungan dengan dengan derajat disfungsi glomerulus Hal yang terpenting dari penelitian ini adalah Mtb ditemukan pada lebih dari setengah pasien dengan LAM positif dan tidak ditemukan pada kontrol dengan LAM negatif. LAM urin merupakan suatu pemeriksaan imunokromatografi. Sampel urin ditambahkan pada pad sampel dimana koloid antibodi akan mengikat LAM yang terdapat pada sampel. Sampel urin pada pad akan bergerak sepanjang strip tes melalui membran nitroselulosa. Partikel koloid memberikan garis berwarna ungu bila ditemukan adanya LAM dalam sampel. Garis kontrol terdapat pada strip tes dimana cut off yang digunakan adalah pada +2 (Lawn, 2012). 2.6 Hubungan LAM Urin dan Tuberkulosis Pemeriksaan LAM Urin merupakan pemeriksaan antigen lateral flow yang relatif murah, memiliki hasil yang cepat, sensitvitas dan spesifisitas yang tinggi pada pasien HIV. Menurut Lawn dkk (2012) yang melakukan studi di Afrika Selatan, 235 pasien ART naive dengan kadar rata-rata CD4 125 sel/µL, menunjukkan sensitivitas LAM urin sebesar 95%. Pada studi yang dilakukan oleh Shah dkk (2010) yang dilakukan di Afrika Selatan terhadap 499 penderita suspek TB (85% terinfeksi HIV) menunjukkan sensitifitas LAM 71% pada kadar CD4 50 - 100 sel/uL dan 85% pada CD4 di bawah 50 sel/µL. Pemberian terapi obat anti tuberkulosis (OAT) akan menurukan sensitivitas hingga 33% (Shah dkk, 2010). Wood (2012) juga memaparkan hubungan LAM dengan pemberian OAT. Pada minggu pertama kadar setelah pemberian OAT kadar LAM masih stabil, tetapi
27
setelah minggu kedua kadar LAM mulai menurun dengan drastis dan semakin turun hingga tidak terdeteksi setelah minggu kedua puluh empat. Studi
yang dilakukan oleh Dheda dkk (2010) membandingkan
pemeriksaan LAM urin, sputum BTA dan kombinasi LAM urin dan sputum BTA. Pada pemeriksaan sputum BTA tunggal sensitivitasnya 65% pada pasien TB, 49% pada pasien dengan koinfeksi HIV, dan 37% pada pasien HIV dengan kadar CD4 < 200 sel/µL, sebaliknya pemeriksaan LAM urin sensitivitasnya justru terbalik yaitu 13%, 21%, dan 37% pada kelompok yang sama. Pemeriksaan LAM urin yang dikombinsi dengan sputum BTA pada pasien dengan kadar CD4 kurang dari 200 sel/µL memiliki sensitivitas 53%. Menurut Gaunder dkk (2011) sensitivitas LAM urin tidak lebih baik dibanding pemeriksaan sputum BTA. Sensitivitas LAM urin hanya 32%, tidak lebih baik dibanding pemeriksaan sputum BTA yang sama-sama memberikan hasil pemeriksaan yang cepat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bjerrum S dkk (2015) pada 469 sampel di Ghana memiliki sensitivitas 44%, spesifisitas 95%, dengan RKP 8,6 dan RKN 0,6 pada sampel dengan kadar CD4 ≤ 100 sel/µL. Dari penelitian tersebut, kesimpulan yang dapat ditarik adalah pemeriksaam LAM urin dapat digunakan untuk mendiagnosis penderita HIV dengan keadaan umum yang buruk. Sebuah metaanalisis dilakkukan oleh Minion dkk (2010) menyimpulkan penggunaan LAM urin memiliki sensitivitas yang lebih baik dibanding sputum BTA terutama pada penderita TB-HIV dengan imunodefisiensi lanjut. Kendala dari pemeriksaan LAM Urin adalah adanya reaksi silang antara Mtb dengan MOTT yang memberikan positif palsu. Kontaminasi bahan urin dengan flora normal seperti kandida juga menurunkan nilai prediktif positif pada pemeriksaan
28
LAM. Ada beberapa alasan mengapa pemeriksaan LAM lebih sensitif pada pasien dengan imunosupresi yaitu: (Minion, 2011) 1. Suatu teori menyebutkan adanya korelasi antara sensitifitas yang tinggi dengaan banyaknya jumlah bakteri. Pada pasien imunosupresi Mtb akan berreplikasi lebih banyak di jaringan, hal ini yang menyebabkan sirkulasi LAM menjadi lebih banyak pula. 2. Kompleks antigen-antidbodi akan terbentuk lebih banyak pada pasien TB tanpa imunosupresi sehingga ekskresi LAM tidak keluar melalui urin. 3. HIV berhubungan dengan disfungsi podosit yang lebih banyak terjadi pada penderita HIV stadium lanjut, akan meningkatkan permeabilitas glomerulus sehingga kadar LAM akan terdeteksi pada urin.
29