BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab tuberkulosis (TB), suatu penyakit infeksi kronik (Boucau, 2008). Mikobakterium ini dibungkus oleh pembungkus sel yang mengandung tiga makromolekul yang berikatan satu sama lain secara kovalen (peptidoglikan, arabinogalaktan dan asam mikolat). Struktur asam mikolat memberikan kemampuan mikobakterium tahan terhadap asam. Mikobakterium ini tumbuh pada media kultur dengan kandungan lemak yang tinggi seperti media Lowenstein-Jensen (LJ) (Wani, 2013).
Gambar 2.1 Koloni Mycobacterium tuberculosis ( ) dalam Media Lowenstein-Jensen (LJ) (Prathima et. al., 2015) Mycobacterium tuberculosis termasuk dalam spesies mikobakterium patogen yang tumbuh dengan lambat, ditandai dengan laju pembelahan sel selama 12 sampai 24 jam dan periode kultur pada agar dapat mencapai waktu lebih dari 21 hari. Mikobakterium ini termasuk bakteri intaseluler fakultatif yang
7
8
memperbanyak diri di dalam sel fagosit, terutama pada makrofag dan monosit (Sakamoto, 2012). Penularan tuberkulosis terjadi karena adanya partikel M. tuberculosis yang dikeluarkan melalui sistem pernafasan menjadi droplet nuclei di udara. Partikel penginfeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bila partikel penginfeksi ini terhirup oleh orang sehat, partikel tersebut akan menempel pada saluran pernafasan atau jaringan paru. Partikel penginfeksi ini dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 μm. M. tuberculosis akan dihadapi pertama kali oleh sistem pertahanan tubuh yaitu neutrofil kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakebronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila mikobakterium menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag maka mikobakterium dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya (Amin dan Bahar, 2009).
2.2 Multidrug Resistance Mycobacterium tuberculosis MDR-TB merupakan Mycobacterium
tuberculosis
penyakit yang
tuberkulosis telah
resisten
yang disebabkan terhadap
dua
oleh obat
antituberkulosis yang paling efektif, isoniazid dan rifampisin. Akibatnya, MDRTB harus diobati dengan obat lain, dikenal sebagai obat lini kedua. Pengobatan ini lebih lama, lebih mahal dan lebih rumit. Seperti bakteri lainnya, Mycobacterium tuberculosis dapat mengalami perubahan genetik (dikenal sebagai mutasi), yang
9
dapat membuat bakteri ini secara alami resisten terhadap obat antituberculosis. Dalam hal ini, pengobatan dengan 3 atau 4 obat dapat mencegah resistensi Mycobacterium tuberculosis (ELF, 2009). MDR-TB selalu terjadi sebagai akibat dari kesalahan manusia, misalnya ketika seseorang tidak menyelesaikan pengobatan rutinnya. Penyebab utama dari MDR-TB meliputi resep yang kurang tepat, efektivitas obat antituberculosis yang rendah, terhentinya pengobatan, tidak adanya program kontrol tuberculosis nasional, kurangnya pedoman standar, pengawasan yang tidak tepat oleh penyedia layanan kesehatan dan kegagalan dalam menyelesaikan pengobatan. Kegagalan dalam menduga atau mendeteksi MDR-TB akan memberikan waktu untuk resisten Mycobacterium tuberculosis menyebar ke individu lainnya (ELF, 2009).
2.3 Resistensi Isoniazid Isoniazid merupakan salah satu obat utama untuk pengobatan tuberculosis (Silva and Palomino, 2011). Isoniazid (INH) atau hidrazid asam isonikotinat adalah agen bakterisida sintetik yang pertama diproduksi di awal tahun 1900 tetapi tidak digunakan sebagai agen antituberculosis sampai tahun 1952 (Whitney and Wainberg, 2002). INH memiliki struktur yang sederhana terdiri dari sebuah cincin piridin dan sebuah gugus hidrazid, kedua komponen ini penting untuk aktivitas melawan Mycobacterium tuberculosis. Namun, strain Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis menunjukkan resisten terhadap INH pada marmut (Silva and Palomino, 2011). Mutasi dalam beberapa gen, meliputi katG, inhA, ahpC, kasA dan ndh telah ditemukan dan berhubungan dengan resisten
10
terhadap INH dalam strain Mycobacterium tuberculosis. Prevalensi mutasi penyebab resistensi telah diuraikan dalam beberapa penelitian. Sekitar 50% mutasi pada katG yang ditemukan dalam isolat, antara 20 – 34% mutasi pada inhA, dan antara 10 – 15% mutasi pada ahpC (Kaufmann and Hahn, 2003). Mutasi pada gen katG merupakan mekanisme utama pada resistensi INH (Hazbon et al., 2006). Mutasi gen katG S315T merupakan mutasi yang paling sering dijumpai pada strain klinis yang resisten terhadap INH dengan frekuensi sebesar 50-95 % (Zhang et al., 2005; Hazbon et al., 2006). Resistensi terhadap INH juga dapat terjadi pada daerah promoter inhA yang menyebabkan overekspresi inhA atau mutasi pada sisi aktif inhA yang akan menurunkan afinitas inhA terhadap INH-NAD adduct (Zhang dan Yew, 2009). Mutasi yang umum terjadi pada daerah promoter inhA adalah C-15T, G-24T, A-16G, T-8G/A, C-39T dan G-17T (Zhang et al., 2005; Caws et al., 2006; Whitney dan Wainberg, 2002; Johnson, 2007; Muller et al., 2011; Machado et al., 2013). Berdasarkan penelitian Hazbon et. al. (2006), 0 – 5% dari isolat Mycobacterium tuberculosis bermutasi juga pada inhA open reading frame (ORF). inhA merupakan gen pengkode enzim enoyl reductase (ER), enzim yang terlibat dalam biosintesis asam mikolat (asam lemak rantai panjang pada Mycobacterium tuberculosis) yang merupakan target kerja dari INH (Rozwarski et. al., 1998). Mutasi pada gen inhA ataupun pada daerah promoter akan menyebabkan resistensi terhadap INH (Isoniazid) dan ETH (Ethionamid). Kedua antibiotik ini memiliki mekanisme kerja yang sama yaitu menghambat biosintesis asam mikolat. ETH merupakan analog dari INH yang termasuk dalam OAT lini
11
kedua. Adanya kesamaan struktur dan adanya fenomena resistensi silang mengindikasikan bahwa kedua OAT ini memiliki target molekular yang sama (Morlock et. al., 2003). Selain mutasi pada gen katG dan inhA, mutasi pada daerah promoter ahpC, juga bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi terhadap INH. ahpC merupakan substansi pengkode enzim alkyl hydroxy peroxidase reductase. Mutasi pada daerah promoter ahpC menyebabkan peningkatan ekspresi enzim alkyl hydroxy peroxidase reductase (AhpC). Tetapi overekspresi AhpC tidak bertanggung jawab secara signifikan terhadap terjadinya resistensi terhadap INH (Zhang and Yew, 2009).
2.4 KatG KatG adalah gen pengkode enzim katalase peroksidase, enzim yang terlibat dalam aktivasi INH menjadi senyawa beracun dalam sel bakteri. Senyawa beracun ini bekerja pada bagian intraseluler, yaitu biosintesis asam mikolat yang merupakan komponen penting pada dinding sel. Ketiadaan asam mikolat mengakibatkan sel kehilangan integritas selular dan akhirnya bakteri mati (Johnson, 2007). Berdasarkan penelitian Middlebrook (1954) menunjukkan bahwa hilangnya aktivitas katalase mengakibatkan resistensi INH. Mutasi pada gen katG merupakan mekanisme utama pada resistensi INH (Hazbon et al., 2006). Mutasi gen katG S315T merupakan mutasi yang paling sering dijumpai pada strain klinis yang resisten terhadap INH dengan frekuensi sebesar 50-95 % (Zhang et al.,
12
2005; Hazbon et al., 2006). Gen ini terletak di belakang gen furA yang merupakan gen pengkode homolog ferric uptake regulator (Fur) (Hahn, et. al., 2000). Letak gen katG ditunjukkan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Regio furA - katG (Sala et. al., 2008) Keterangan gambar: (furA) gen pengkode homolog ferric uptake regulator (Fur); (PPS) Polypurine sequences; (katG) gen pengkode enzim katalase peroksidase.
2.5 InhA InhA merupakan gen pengkode enzim enoyl reduktase (ER), enzim yang terlibat dalam biosintesis asam mikolat (asam lemak rantai panjang pada Mycobacterium) yang merupakan target kerja dari INH (Rozwarski et. al., 1998). Gen inhA adalah gen yang terdapat dalam operon mabA-inhA. Gen ini terletak di belakang gen mabA yang merupakan pengkode 3-ketoasil-ACP reduktase (mabA). Letak gen inhA ditunjukkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Sistem operon mabA - inhA (Whitney and Wainberg, 2002) Keterangan gambar: (RBS) Ribosome binding site; (mabA) gen pengkode 3-ketoasil-ACP reduktase (MabA); (inhA) gen pengkode 2trans-enoyl-ACP reduktase (InhA).
13
2-trans-enoyl-ACP reduktase (InhA) merupakan enzim yang dikode oleh gen inhA. 2-trans-enoyl-ACP reduktase (inhA), 3-ketoasil-ACP reduktase (mabA) dan β-Ketoasil ACP sintase (kasA) adalah bagian dari FAS (Fatty Acid Synthesis) II yang berperan dalam sintesis asam mikolat pada mikobakterium. FAS II merupakan enzim monofungsional tersendiri yang bertanggung jawab dalam berbagai langkah pensintesisan asam mikolat (Whitney and Wainberg, 2002; Leung and Tung, 2006). Selain FAS II, mikobakterium juga memiliki sistem FAS I. Sistem FAS I berperan dalam biosintesis de novo asam lemak menghasilkan derivat enzim S-(C20) dan S-(C-26) yang diubah menjadi koenzim A (CoA) dan kemudian dilepaskan. InhA berperan krusial dalam pertahanan mikobakterium. Inaktivasi InhA memberikan pengaruh akut terhadap mikobakterium. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya akumulasi asam lemak jenuh (produk akhir FAS I) sehingga mikobakterium akan mati karena sel mengalami lisis (Leung and Tung, 2006; Khan et al., 2010).
2.6 Mutasi Gen Sekuen DNA dari gen menentukan sekuen asam amino dari protein yang dikode. Perubahan dalam sekuen asam amino kemungkinan akan mempengaruhi kemampuan protein dalam melakukan fungsinya. Perubahan dalam sekuen DNA terjadi karena adanya berbagai macam agen kimia dan fisika pada DNA yang akan menimbulkan kesalahan dalam replikasi DNA. Perubahan ini disebut dengan mutasi (Winter et al, 1998). Mutasi menyebabkan perubahan struktur protein yang
14
disandi atau penurunan bahkan hilangnya kemampuan ekspresi protein. Perubahan urutan DNA mempengaruhi semua salinan protein yang disandikan sehingga mutasi dapat merusak sel atau organisme (Lodish et al., 2000). Mutasi yang melibatkan perubahan basa yang ada pada posisi manapun dalam suatu gen disebut dengan mutasi titik. Mutasi yang terjadi pada situs aktif gen yang dapat menyebabkan perubahan terhadap protein. Tranversi adalah mutasi titik yang melibatkan penggantian basa purin menjadi pirimidin atau sebaliknya. Sedangkan transisi adalah penggantian yang melibatkan dua purin atau dua pirimidin (Winter et al., 1998). Mutasi titik adalah mutasi yang melibatkan perubahan basa yang ada pada posisi manapun dalam suatu gen. Hanya mutasi yang terjadi pada situs aktif gen yang dapat menyebabkan perubahan terhadap protein. Terdapat beberapa jenis mutasi titik, yaitu (Winter et al., 1998) : a.
Missense mutations : mutasi yang terjadi pada basa pertama atau kedua dari suatu kodon dan selanjutnya mengakibatkan perubahan asam amino yang disandi.
Gambar 2.4 Missense mutations (Winter et al., 1998) b.
Nonsense mutations : mutasi yang disebabkan oleh perubahan suatu kodon untuk sebuah asam amino menjadi kodon terminasi (kodon stop) sehingga terjadi penghentian proses translasi mRNA (messenger Ribonucleic Acid)
15
secara prematur dan pada akhirnya menghasilkan protein yang lebih pendek. Nonsense mutations ditunjukkan dengan Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Nonsense mutations (Winter et al., 1998) c.
Frameshift mutations : mutasi akibat insersi basa tambahan atau delesi basa dengan jumlah tidak dalam kelipatan tiga sehingga menyebabkan perubahan reading frame dan akhirnya mengakibatkan perubahan ekspresi asam amino dari protein yang disandi.
Gambar 2.6 Frameshift mutations (Winter et al., 1998) d.
Silent mutations : mutasi yang terjadi pada basa ketiga suatu kodon, biasanya tidak menyebabkan perubahan asam amino sehingga tidak memiliki efek terhadap protein yang disandi dan tidak menghasilkan perubahan fenotip. Mutasi ini memiliki kecenderungan terakumulasi pada DNA organisme yang disebut sebagai polimorfisme.
Gambar 2.7 Silent mutations (Winter et al., 1998)
16
2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode biologi molekular yang baru dan terkenal untuk replikasi DNA secara enzimatik tanpa menggunakan makhluk hidup seperti E. coli atau yeast. Metode ini memungkinkan molekul DNA dalam jumlah kecil diperbanyak berulang – ulang secara eksponensial. PCR umumnya digunakan pada penelitian skala laboraorium dalam bidang kesehatan dan biologi, seperti deteksi penyakit keturunan, identifikasi sidik jari genetik, diagnosa penyakit menular, kloning gen, pengujian paternitas dan komputasi DNA (Rahman et. al., 2013). Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. PCR menggunakan 2 oligonukleotida primer yang bertindak sebagai situs inisiasi sintesis DNA oleh DNA polimerase sehingga primer akan menentukan daerah dari templat DNA yang akan diamplifikasi (McPherson and Moller, 2006). Pada proses PCR dilengkapi dengan komponen – komponen penyusun yaitu, templat DNA, primer yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat untuk membatasi daerah amplifikasi, dNTPs (deoxynucleotide triphosphates), buffer, dan enzim DNA polimerase termostabil (Crocker and Murray, 2003). Salah satu komponen terpenting dari metode PCR adalah primer dimana primer dapat menentukan keberhasilan dari metode ini. Adapun kriteria yang harus dipenuhi dalam pemilihan primer, antara lain :
17
a)
Panjang primer Panjang primer yang umum digunakan berkisar antara 18 – 30 basa. Primer
dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang pendek memungkinkan terjadinya mispriming (penempelan primer pada tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Jika panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan akan menyebabkan harga primer lebih mahal (Handoyo dan Rudiretna, 2001). b) Kandungan GC (% GC) : Kandungan GC (GC content) merupakan jumlah guanin dan sitosin pada primer dalam persentase dari total basa. Kandungan GC dalam primer sebaiknya berkisar antara 40-60%. Hal ini akan mempengaruhi Tm terkait dengan ikatan antara pasangan basa G-C yang lebih stabil dibandingkan pasangan basa A-T. c)
Melting temperature (T m ) Nilai Tm dapat berkisar antara 55-80oC. Perbedaan nilai Tm yang masih
dapat ditoleransi pada kedua primer adalah 10oC. d) Dimer Dimer merupakan homologi antar primer yang dapat terjadi pada primer yang sama (self-dimerization) atau antara sepasang primer (inter-primer dimers). Ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu homodimer dan heterodimer. Homodimer dibentuk oleh karena adanya hibridisasi spesies primer yang sama secara bersama-sama. Heterodimer adalah duplex dari 2 sekuen primer yang
18
berbeda mengalami hibridisasi bersama-sama. Hal tersebut mengakibatkan primer tidak akan efisien saat melakukan penempelan pada target. Dampak terburuk yang bisa terjadi adalah ujung 3’ dari suatu primer akan membentuk pasangan basa dan ujung 5’ akan mengalami overhang. Pada kejadian ini primer akan memperpanjang primer lain. Sehingga primer yang telah diperpanjang tidak akan mampu menempel dan memperpanjang templat yang diinginkan. Untuk mencegah hal ini maka dipilih pasangan primer yang menghasilkan pembentukan primerdimer yang minimal (Bartlett and Stirling, 2003). e)
Stabilitas Stabilitas ujung 3’ dapat diartikan sebagai kekuatan hibridisasi relatif dari
ujung 3’ primer. Jika primer mempunyai stabilitas yang rendah, hal tersebut akan menyebabkan
primer
tidak
efisien
dalam
melakukan
penempelan
dan
pemanjangan DNA. Namun, stabilitas yang lebih tinggi pada ujung 3’ akan meningkatkan efisiensi mispriming. Tetapi stabilitas yang tinggi dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada spesifisitas PCR (Bartlett and Stirling, 2003). f)
Run Primer dengan pengulangan basa tunggal sama yang terlalu panjang, harus
dihindari karena dapat menyebabkan terjadinya mispriming. Sebagai contoh sekuen primer AGCGGGGGATG-GGG yang memiliki 5 dan 4 pengulangan basa tunggal G. Jumlah maksimum pengulangan basa tunggal sama yang dapat diterima adalah 4 pb (Borah, 2011).
19
g) Repeats Repeats adalah dinukleotida yang muncul berulang secara berurutan. Hal ini harus dihindari karena dapat menimbulkan terjadinya mispriming. Sebagai contoh sekuen primer dengan urutan ATATATAT. Jumlah maksimum repeats yang dapat diterima adalah 4 dinukleotida (Borah, 2011). h) Hairpins Hairpins adalah struktur yang dibentuk oleh DNA tunggal dimana terdapat suatu bagian tertentu dari DNA tersebut terhibridisasi pada bagian komplemen di dalam untai DNA yang sama. Struktur yang terbentuk menyerupai hairpin. Pembentukan struktur hairpin akan mempengaruhi kemampuan primer untuk berikatan dan memperpanjang untai DNA target. Struktur tersebut akan mengakibatkan pemanjangan oleh DNA polimerase terjadi di sepanjang primer. Sehingga terbentuk primer yang tidak berkomplemen terhadap templat. Untuk menghindari hal tersebut, maka primer yang harus dipilih adalah primer yang tidak memungkinkan terbentuknya struktur hairpin (Bartlett dan Stirling, 2003). i)
False priming Kriteria ini menunjukkan terjadinya penempelan primer pada tempat yang
tidak diinginkan dari templat. Kriteria ini harus dihindari dalam merancang primer yang baik.
20
2.7.1 Tahapan Polymerase Chain Reaction (PCR) Secara Umum Adapun tahapan – tahapan proses PCR sebagai berikut: a. Denaturasi (denaturation) Pada tahap denaturasi, fragmen DNA dipanaskan pada suhu tinggi (95°C) kurang lebih selama 1 menit untuk memutus ikatan double helix DNA menjadi untai tunggalnya. Karakteristik kondisi denaturasi yang optimal adalah 95°C selama 30 detik atau 97°C selama 15 detik, tetapi suhu yang lebih tinggi dapat diterapkan pada target templat dengan konsentrasi G+C (G=Guanin ; C=Sitosin) yang tinggi. Kegagalan pada saat denaturasi DNA akan menyebabkan untai DNA mengalami “snap back” sehingga menurunkan perolehan produk yang dihasilkan. Sebaliknya proses denaturasi yang terlalu lama menyebabkan hilangnya aktivitas enzim. Waktu paruh aktivitas Taq DNA polimerase adalah lebih dari 2 jam, 40 menit, dan 5 menit berturut-turut pada suhu 92,5°C, 95°C, dan 97,5°C (Erlich, 1989; Innis and Gelfand, 1990). b. Penempelan (annealing) Tahap penempelan (annealing) disebut juga dengan hibridisasi. Pada tahap ini suhu diturunkan hingga berada di kisaran 55-72 °C untuk menghasilkan perolehan produk yang optimal. Pada proses ini, salah satu primer akan menempel pada untai templat (5-3’) sedangkan primer yang lain akan menempel pada untai komplemennya (3-5’). Suhu dan lama waktu yang diperlukan untuk penempelan primer tergantung dari komposisi basa, panjang primer, dan konsentrasi primer. Suhu penempelan
21
yang diaplikasikan selama proses PCR adalah 5°C lebih rendah daripada Tm primer (Innis and Gelfand, 1990). c. Pemanjangan (extension) Pada tahap ini suhu kembali dinaikkan dalam kisaran 72-78 °C. Kisaran suhu ini memungkinkan Taq DNA polimerase untuk bekerja secara
optimal
dalam
memperpanjang
DNA
dengan
kecepatan
pembentukan nukleotida 2000/menit. Pada umumnya suhu
yang
digunakan pada saat pemanjangan primer adalah 72°C. Waktu pemanjangan tergantung pada panjang dan konsentrasi sekuen target serta suhunya. Perkiraan kecepatan penggabungan nukleotida pada suhu 72°C bervariasi dari 35-100 nukleotida/detik tergantung buffer, pH, konsentrasi garam, dan sifat templat DNA (Innis and Gelfand, 1990; Sambrook and Russel, 2001). Ketiga tahap utama di atas dapat diulang sekitar 25-40 kali siklus, tergantung dari kebutuhan untuk amplifikasi yang spesifik (McPherson and Moller, 2006). Secara teoritis setiap siklus menggandakan jumlah fragmen target yang ingin disalin. Oleh karena itu terjadi peningkatan eksponensial pada fragmen gen yang diinginkan. Produk dari PCR nantinya akan dideteksi dengan metode elektroforesis untuk menentukan ukuran produk (Crocker and Murray, 2003).
2.7.2 Multiplex PCR Multiplex PCR merupakan variasi PCR yang dapat mengamplifikasi dua atau lebih sekuens target secara simultan pada reaksi yang sama (Henegariu,
22
1997). Multiplex PCR lebih efisien biaya dan waktu pengerjaan karena dapat mengamplifikasi dua atau lebih lokus secara simultan dengan satu kali reaksi PCR sehingga dapat menghemat alat dan reagen yang digunakan (Edwards and Gibbs, 1994). Metode ini dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit yang berbeda dalam sampel yang sama, serta mampu mendeteksi patogen yang berbeda dalam sampel tunggal, selain itu juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi urutan ekson dan intron dalam gen tertentu (Rodriguez and Ramirez, 2012). Multiplex PCR menitiberatkan pada pemilihan primer. Distribusi ukuran amplikon yang dihasilkan pada masing – masing primer harus dapat dibedakan dengan menggunakan gel agarosa, yang mana perbedaan minimum peningkatan ukuran amplikon berkisar 20% antar band yang berdekatan (contohnya 200 bp, 240 bp, 290 bp dan seterusnya). Semua primer yang digunakan dan akan dicampurkan dalam sumur yang sama harus cocok dengan yang lainnya (kecocokan antar primer dapat dievaluasi selama pemilihan primer menggunakan software simulasi PCR), tidak memiliki daerah target overlapping dan idealnya harus memiliki suhu annealing yang sama (Johnson, 2000).
2.8 Sekuensing DNA Produk dari hasil PCR harus dimurnikan terlebih dahulu sebelum dilakukannya sekuensing. Tujuannya adalah untuk membersihkan produk hasil PCR dari sisa bufer maupun komponen-komponen reaksi lainnya sehingga diperoleh hasil sekuensing yang baik. Salah satu teknik pemurnian produk PCR adalah elektroforesis gel. Metode pemurnian ini menggunakan gel agarose untuk
23
memisahkan produk PCR berdasarkan ukurannya. Keuntungan menggunakan pemurnian gel adalah metode ini secara spesifik memisahkan fragmen target dari berbagai kontaminasi (Innis et. al.,1999). Prosedur
sekuensing
DNA
berlangsung
secara
otomatis
dengan
menggunakan mesin sekuensing. Prosedur yang otomatis tersebut didasarkan pada metode terminasi rantai dideoksi ribonukleotida (dideoksi). Metode ini dikembangkan oleh ahli biokimia Inggris, Frederick Sanger. Dengan mengetahui sekuen dari sebuah gen, kita dapat membandingkan gen itu secara langsung dengan gen-gen dalam spesies lain. Jika dua gen dari spesies yang berbeda memiliki sekuen yang cukup mirip maka disimpulkan bahwa gennya melaksanakan fungsi yang serupa. Penerapan metode ini dilakukan terhadap sekuen-sekuen nukleotida dalam fragmen DNA hasil amplifikasi dengan panjang hingga 800 pb yang secara cepat disekuensing oleh mesin secara otomatis. Kemudian
produk-produk
reaksi
berlabel
akan
dipisahkan
berdasarkan
panjangnya (Campbell et. al., 2010). Metode ini mensintesis untai DNA yang komplementer terhadap fragmen DNA awal. Setiap untai diawali oleh primer yang sama dan diakhiri sebuah dideoksi ribonukleotida (ddNTP), yaitu nukleotida termodifikasi. Penggabungan ddNTP (dideoksi ribonukleotida) memutus untai DNA yang sedang bertumbuh karena ddNTP tidak memiliki gugus 3’-OH. Pada tahap pertama, DNA yang akan disekuensing didenaturasi menjadi untai-untai tunggal dan diinkubasi dalam tabung reaksi dengan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk sintesis DNA yaitu: primer yang dirancang untuk berpasangan basa dengan ujung 3’ yang diketahui
24
dari untai templat, DNA polimerase, 4 jenis deoksi ribonukleotida (dATP, dCTP, dTTP dan dGTP), 4 jenis dideoksi ribonukleotida (ddATP, ddCTP, ddTTP dan ddGTP) yang masing-masing dilabeli dengan molekul fluoresen spesifik. Sintesis setiap untai baru dimulai pada ujung 3’ primer dan berlanjut hingga dideosiribonukleotida disisipkan secara acak (Campbell et. al., 2010). Hasil yang akan diperoleh adalah beberapa untai berlabel dengan panjang yang berbeda-beda, dengan warna label yang menunjukkan nukleotida terakhir dalam suatu sekuen. Untai-untai berlabel dalam campuran dipisahkan dengan cara dilewatkan melalui gel poliakrilamid yang berada di dalam tabung kapiler, dengan untai-untai pendek yang bergerak lebih cepat. Ukuran tabung yang kecil memungkinkan detektor fluoresensi untuk mendeteksi setiap label fluoresen ketika setiap untai lewat. Untai-untai yang panjangnya berbeda sebanyak satu nukleotida pun dapat dibedakan dari yang lain (Campbell et. al., 2010). Hasilnya akan tercetak sebagai kromatogram yang berisi informasi berupa puncak - puncak yang dapat dibedakan dengan 4 macam warna yaitu: hijau untuk A (Adenin); merah untuk T (Timin); hitam untuk G (Guanin); dan biru untuk C (Sitosin) (Wong, 2006).