BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam bab ini akan dibahas teori,konsep dan variabel dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru 1. Penjelasan TB Paru 2. program Pemberantasan TB Paru 2.1. Strategi DOTS 2.2. Penyuluhan Kesehatan 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru 3.1. Hambatan Medik 3.2. Hambatan nonmedik
1. Penjelasan TB Paru 1.1. Defenisi Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Keliat, 2004). Penularan kuman ini melalui udara dan bisa bertahan hidup di udara mulai beberapa menit sampai jam setelah dikeluarkan oleh penderita sewaktu batuk, bersin, menyanyi dan berbicara, dan orang yang terpapar akan terinfeksi (Alsagaff dan Mukty, 2006).
13 Universitas Sumatera Utara
14
1.2. Epidemiologi Micobacterium Tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 9 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang pertahun (WHO,1997). Di Indonesia khususnya Sumatera Utara tahun 2006 data jumlah terduga penderita TB paru mencapai angka 34.329 orang, dengan temuan terbanyak 156,408 orang. Tahun 2007 dari jumlah terduga sebanyak 204,171 tetapi terduga yang ditemukan hanya 117,136 orang (Antonio, 2008).
1.3. Etiologi Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru, kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya seperti : usus, kelenjar getah bening (limfe), tulang, kulit, otak, ginjal dan lainnya serta dapat menyebar ke seluruh tubuh (Aditama, 1994; Reeves, dkk, 2001). Kuman TB berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam dan pewarnaan sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini dapat cepat mati dengan sinar matahari langsung selama beberapa menit tetapi dapat bertahan sampai beberapa jam pada tempat yang lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant (tertidur) selama beberapa tahun ( Depkes RI, 2002). 1.4. Gambaran klinik
Universitas Sumatera Utara
15
Gambaran klinik dapat dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik. Gejala sistemik adalah : demam pada sore dan malam hari yang merupakan gejala awal terjadinya penyakit TB dan malaise. Sedangkan gejala respiratorik adalah batuk terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan: batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, berat badan menurun, keringat malam hari, demam meriang lebih dari sebulan (Aditama, 2002)
1.5. Cara penularan Sumber penularan adalah penderita BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau terkena droplet tersebut dan masuk kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh dan terus menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas dan penyebaran langsung ke bagianbagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002). Daya penularan dari seorang penderita, ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak tahan asam), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Depkes RI, 2002).
Universitas Sumatera Utara
16
1.6. Resiko penularan Resiko penularan (Annual Risk Tuberculosis Infection) di Indonesia dianggap cukup tinggi dengan variasi antara 1 – 3%. Bila suatu daerah ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun dari 1000 ada 10 orang yang terinfeksi dan dari 10 orang. dapat diperkirakan bahwa di daerah tersebut setiap 100 penduduk rata-rata satu orang penderita pertahun (Depkes, 2005).
1.7. Penemuan penderita TB Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang
berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotif Case Finding. Selain itu semua kontak penderita TB BTA Positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2005). 1.8. Diagnosa TB TB dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat
Universitas Sumatera Utara
17
dilakukan pemeriksaan lain seperti biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala mencurigakan TB ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau SPS positif didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis penderita TB BTA negSatif rongent positif. Sedangkan bila rontgen negatif penderita tersebut bukan penderita TB.
2. program Pemberantasan TB Paru 2.1. Strategi DOTS 2.1.1. Defenisi. DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Atau dengan kata lain DOTS adalah pengobatan TB jangka pendek dengan pengawasan ketat oleh petugas kesehatan atau keluarga penderita. Dengan menggunakan strategi DOTS maka proses penyembuhan TB dapat secara cepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan, sampai dinyatakan sembuh. Starategi DOTS telah dibukt ikan dengan berbagai uji coba lapangan dengan memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang relatif paling murah pembiayaannya (Aditama, 2002).
Universitas Sumatera Utara
18
DOTS terdiri dari 5 komponen yang tidak dapat dipisahkan yaitu : (1). Komitmen politis, berupa dukungan dana jajaran pemerintah/pengambilan keputusan terhadap penanggulangan TB atau dukungan dana operasional. (2). Penemuan penderita dalam pemeriksaan dahak dengan mikroskopis langsung. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya. (3). pengadaan dan distribusi obat yang cukup dan tidak terputus. Tersedianya obat antituberculosis (OAT) yang cukup dan tidak terputus bagi penderita. (4). Pengawasan menelan obat. Untuk memastikan keteraturan penderita minum OAT, dibutuhkan seorang pengawas minum obat (PMO), khususnya pada dua bulan pertama dimana penderita minum obat setiap hari. (5). Sistim pencatatan dan pelaporan data-data perkembangan penyakit TB Paru yang baku (Aditama, 2002). Melalui sistem pencatatan dan pelaporan yang sama diseluruh unit pelayanan kesehatan, akan memudahkan evaluasi. Dengan keseragaman penggunaan defenisi kasus berdasarkan kategori penyakitnya, maka pencatatan penderita yang diikuti secara konkrit akan dapat di evaluasi secara berkala. Dalam jangka panjang tujuan program pengobatan pemberatasan TB di Indonesia adalah memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Dalam jangka pendek, program ini bertujuan untuk memperluas sarana kesehatan secara bertahap hingga mencapai minimal 70% dari total penderita TB yang ada dapat di catat dan menyembuhkan minimal 80% dari total penderita yang ditemukan. Prinsif DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung
Universitas Sumatera Utara
19
dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditentukan (Aditama, 2002). 2.1.2. Pengawasan Menelan Obat (PMO). Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan pengobatan dan mencegah drop out (lalai) dilakukan pengawasan dan DOTS melalui pengawasan langsung menelan obat oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Bagi penderita TB yang rumahnya dekat dengan puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya maka PMOnya adalah petugas puskesmas, sedangkan bagi penderita yang rumahnya jauh, diperlukan PMO atas bantuan masyarakat, LSM, PPTI (Perkumpulan Pembantasan TB Indonesia) dan PKK. Obat harus ditelan setiap hari yang disaksikan oleh PMO, jika tidak mungkin bagi penderita untuk datang setiap hari ke puskesmas maka petugas puskesmas harus merundingkannya dengan penderita bagaimana caranya agar terjamin obat di telan setiap hari. Sebelum obat pertama kali diberikan, penderita dan PMO harus diberi penyuluhan tentang : TB bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat di sembuhkan dengan berobat teratur, bagaimana tata laksana pengobatan penderita pada tahap awal dan tahap intensif, pentingnya berobat secara teratur, Karena itu pengobatan perlu di awasi, efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut dan cara penularan dan mencegah penularan (Aditama, 2002). Adapun yang menjadi persyaratan untuk menjadi seorang PMO menurut Depkes (2005) adalah : (1) Dikenal, di percaya dan di setujui oleh petugas
Universitas Sumatera Utara
20
kesehatan dan penderita, selain itu juga harus disegani dan dihormati oleh penderita, (2) Dekat dengan tempat tinggal penderita, (3) Bersedia membantu penderita dengan suka rela, (4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. Seorang PMO akan bertugas untuk
mengawasi penderita agar menelan obat
secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukandan memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka penderita TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005). 2.1.3. Pengobatan TB paru Obat yang diberikan kepada penderita TB paru dengan BTA positif adalah OAT (obat anti tuberculosis) yang telah diprogramkan pada tahun 1993/1994. Untuk pengamanan dalam pelaksanaan pengobatan paduan OAT dikemas dalam bentuk blister kemasan harian kombipak (paket kombinasi), dari kombipak I, kombipak II untuk pase awal dan kombipak III untuk pase lanjutan, oleh karena itu sekali seorang penderita memulai pengobatan ia harus menyelesaikannya dengan lengkap dan hingga sembuh (Depkes RI, 2002). Obat anti tuberculosis yang digunakan dalam program pengobatan TB jangka pendek adalah : Isoniazid (H), Rifampisin (R), pirazinamid (Z), streptomisin (S) dan ethambutol (E). oleh karena itu penggunaan rifampisin dan streptomisin untuk penyakit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis
Universitas Sumatera Utara
21
melalui pemeriksaan laboratorium terhadap adanya BTA pada sample sputum penderita dan pemeriksaan radiologi (Depkes RI, 2002). Pemberian OAT juga harus sesuai dengan berat badan penderita, rata-rata berat badan penderita TB menurut pengalaman petugas kesehatan antara 33-50 kg sehingga kemasan dalam blister kombipak I, kombipak II, kombipak III dan kombipak IV sangat sesuai ; bagi penderita dengan berat badan lebih dari 50 kg perlu penambahan dosis. Pemberian pengobatan dengan kombipak sangat efektif dan praktis (Depkes RI, 2002). Obat yang dipakai dalam program pembertasan TB sesuai dengan rekomendasi WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari 3 kategori, setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal dan fase lanjutan/ intermitten yaitu, pada Kategori I (2HRZE/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA positif dan penderita baru BTA negatif tetapi rontgen positif dengan “sakit berat” dan penderita ekstra paru berat. Diberikan 114 kali dosis harian berupa 60 kombipak II dan fase lanjutan 54 kombipak III dalam kemasan dos kecil (Depkes RI, 2005). Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3), diberikan kepada penderita dengan BTA (+) yang telah pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya selama lebih dari sebulan, dengan kriteria : penderita kambuh (relaps) BTA (+) dan gagal pengobatan (failure) BTA (+) dan lain-lain dengan kasus BTA masih (+). Diberikan 156 dosis , fase awal sebanyak 90 kombipak II, fase lanjutan 66 kombipak IV, disertai streptomisin (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
22
Kategori III (2HRZ/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA (-)/ roentgen (+) dan penderita ekstra paru ringan. Pemberian dengan dosis 114 kali. Pada pase awal 60 kombipak 1 dan pase lanjutan 54 kombipak III. OAT sisipan (HRZE), diberikan pada pengobatan kategori I dan II yang pada pase awal masih BTA (+), untuk ini diberikan obat sisipan selama 1 bulan, dimakan setiap hari (Depkes RI, 2005). Kategori kasus berdasarkan riwayat pengobatan : (1) Kasus baru : penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberculosis (OAT), atau pernah akan tetapi kurang dari 1 bulan. (2) Kambuh/ relaps : pernah dilaporkan sembuh, tetapi datang lagi dengan BTA (+). (3). Pindahan/transfer in : telah terdapat dan mendapat pengobatan ditempat pengobatan lain, kini datang berobat serta mendaftarkan diri untuk lanjutan pengobatan. (4). Pengobatan setelah default/lalai : penderita yang datang berobat setelah berhenti makan obat selama 2 bulan atau lebih. Dan (5). Gagal : penderita BTA (+) yang tetap memberikan hasil BTA (+), walaupun setelah pengobatan fase awal (Depkes RI, 2005). Pemakaian obat
anti tuberculosis (OAT)
jangka pendek
sesuai
rekomendasi WHO, yaitu berdasarkan kategori dan klasifikasi penyakit sangat penting. Obat anti TB yang digunakan sesuai dengan program pemerintah guna mencegah kegagalan pengobatan (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
23
2.1.4. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut. Hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai : sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (transfer out) defaulted (lalai)/ DO dan gagal (Depkes RI, 2005). Kategori pertama, penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 (kali) berturut- turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan atau sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya). Contoh penderita yang dinyatakan sembuh, bila hasil pengobatan ulang dahak negatif pada akhir pengobatan (AP), pada sebulan sebelum AP, dan pada akhir intensif. Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak negatif pada AP dan pada akhir intensif (pada penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya. Selanjutnya, bila hasil pemeriksaan dahak negatif pada AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya. hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada akhir intensif (pada penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya. Contoh berikutnya, bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada stelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap (Depkes RI, 2002). Kategori hasil pengobatan yang kedua, pengobatan lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan
Universitas Sumatera Utara
24
pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak dua kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap (Depkes RI, 2002). Kategori selanjutnya penderita yang pada masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun (Depkes RI, 2002). Kategori keempat adalah penderita yang pindah berobat ke kabupaten/kota lain. Tindak lanjut : penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim ke unit pelayanan yang baru (Depkes RI, 2002).Kategori hasil pengobatan kelima, penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai.
Tindak lanjut: Lacak penderita tersebut dan berikan
penyuluhan pentingnya berobat secara teratur. Apabila penderita melanjutkan pengobatan lakukan pemeriksaan dahak. Bila positif lakukan pengobatan dengan kategori 2, bila negatif sisa pengobatan kategori 1 dilanjutkan (Depkes RI, 2002). Terakhir, penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. Tindak lanjut : penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari awal, penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau berikan INH seumur hidup. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua menjadi positif. Tindak lanjut : berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal (Depkes RI, 2002).
Universitas Sumatera Utara
25
2.2. Penyuluhan Kesehatan 2.2.1. Pengertian Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998). Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi. Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru.
Universitas Sumatera Utara
26
Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama terlebih dahulu dijelaskan tentang penyakit TBC, bagaimana riwayat pengobatan sebelumnya, bagaimana cara pengobatannya, juga perlu dijelaskan pentingnya pengawasan langsung menelan obat dan bagaimana penularan penyakit TBC (Depkes RI, 2002). Selanjutnya pada kunjungan berikutnya, hal-hal yang perlu dijelaskan mengenai cara menelan OAT, jumlah obat dan frekuensi menelan OAT, penting juga dijelaskan mengenai efek samping OAT juga perlu dijelaskan jadwal pemeriksaan ulang dahak dan arti hasil pemeriksaan tersebut, dan tak kalah pentingnya penjelasan mengenai apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap. Petugas kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor yang dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik. Faktor yang menghambat tersebut, antara lain ketidaktahuan penyebab TBC dan cara penyembuhannya, rasa takut yang berlebihan terhadap TBC yang menyebabkab timbulnya reaksi penolakan, juga adanya stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak diterima keluarga dan temannya serta hambatan yang berupa menolak untuk mengajukan pertanyaan karena tidak mau ketahuan bahwa ia tidak tahu tentang TBC (Depkes, 2002). Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapat
Universitas Sumatera Utara
27
disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif. Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sector termasuk kalangan media massa (Depkes RI, 2002).
3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru Hambatan pelaksanaan program TB Paru adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru yang meliputi hambatan medik dan nonmedik yang mengakibatkan tidak tercapainya pelaksanaan program pemberantasan TB paru. Menurut Yunus,dkk, (1992) pada umumnya hambatan dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru dapat di golongkan dam masalah medik dan masalah nonmedik. 3.1. Hambatan medik Ada dua hal yang menyangkut masalah medik yaitu pertama berasal dari penyakit dan penyebab penyakit. Tuberculosis adalah penyakit menahun, berkembang secara kronik. Dalam perjalanannya ada masa tenang, ada masa eksaserbasi. Dalam masa eksaserbasi akan muncul sarang-sarang radang (pneumonis), dalam masa tenang sarang-sarang tersebut menyembuh dengan membentuk
sarang-sarang
fibrotis/proliferatif.
Makin
lambat
diagnosis
Universitas Sumatera Utara
28
ditegakkan, makin banyak sarang-sarang fibrotis. Kavitas akan menjadi
kavitas
sklerotik (Yunus,dkk, 1992). Obat antituberkulosis akan berhasil baik pada sarang-sarang TB bentuk pneumoni,
sarang-sarang
pneumonis
akan
diresorbsi
kembali.
Obat
antituberkulosis tidak akan mengembalikan jaringan fibrosis menjadi jaringan parenkhim, kavitas sklerotik tetap akan menjadi sklerotik (Yunus,dkk, 1992). Pemakaian obat antituberkulosis yang lama, apalagi yang tidak teratur akan menimbulkan resistensi kuman terhadap obat. Resistensi kuman terhadap obat akan diketahui setelah dua bulan berlalu. Kedua, masalah yang berasal dari obat antituberkulosis (OAT). Pada umumnya sekarang tidak ada lagi hambatan dari segi obat, khususnya setelah ditemukan obat-obat bakterisid. Semua paduan obat akan berhasil baik, asal dikerjakan sesuai aturan mainnya. Beberapa hal dari segi obat yang harus diperhatikan, yaitu : pemakaian obat antituberkulosis yang tidak teratur dapat menimbulkan resistensi kuman terhadap obat.dan harus dijaga, jangan sampai pemakaian obat yang berbulan-bulan menimbulkan efek samping dari obat-obatan yang bersangkutan (Aditama, 2002)). 3.2. Hambatan nonmedik Masalah nonmedik merupakan hambatan penting yang menyebabkan kegagalan pengobatan TB paru. Masalah nonmedik mencakup : (1) Pendidikan yang rendah/tidak adanyan pengetahuan, khususnya terhadap peyakit dan hygiene (Yunus,dkk, 1992). Dengan pendidikan yang kurang penderita tidak menyadari bahwa penyembuhan penyakit dan kesehatan itu umumnya berpangkal dari
Universitas Sumatera Utara
29
penderita atau masyarakat itu sendiri. pendidikan yang kurang menyebabkan sesorang tidak dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencpai taraf hidup yang baik yang sangat dibutuhkan untuk penjagaan kesehatan. (2) Hal lain yang merupakan masalah adalah sikap klien yang tidak acuh terhadap dirinya sendiri, khususnya terhadap penyakit yang di deritanya. Berhubungan dengan rendahnya pendidikan terdapat perasaan tidak acuh terhadap dirinya mengenai kesehatan lingkungannya, dan terhadap penyakit yang sedang di deritanya. Terutama lagi perasaan tidak acuh ini terhadap penyakit kronis, seperti tuberculosis. Mungkin juga frustasi karena berbulan-bulan tidak juga sembuh, meningkatkan perasaaan tidak acuh terhadap penyakit tuberculosis (Yunus,dkk, 1992). (3) Faktor lain juga dapat berasal dari nilai-nilai Sosial budaya ataupun kehidupan status ekonomi dan sosial budaya diantaranya perumahan yang kurang memadai ruangan, ventilasi yang kurang mendapat cahaya matahari, membuang ludah sembarangan, penjagaan kebersihan lingkungan yang baik dan menganggap penyakit tuberculosis sebagai sesuatu yang mistik, dan bahkan sebagai hukuman dari Tuhan (Yunus,dkk, 1992). (4) Aspek lain yang menjadi hambatan adalah karena kemiskinan, tuberculosis adalah penyakit yang umumnya menyerang masyarakat dengan status miskin karena tidak sanggup meningkatkan daya tahan tubuh, makanan yang tidak mencukupi dan kurang gizi, tidak sanggup membeli obat yang seharusnya dikonsumsi secara rutin, juga karena kemiskinan mengharuskan mereka bekerja
Universitas Sumatera Utara
30
keras (secara fisik), sehingga kondisi ini mempersulit proses penyembuhan penyakit TB Paru yang diderita (Yunus,dkk, 1992). (5) Keterlambatan mendeteksi penyakit adalah hal lain yang dapat menjadi hambatan pelaksanaan program. Atas dasar prinsif makin cepat TB ditemukan makin cepat pula dapat ditangani dan diberikan pengobatannya serta penyembuhan menjadi lebih sempurna. Sebaliknya dalam keadaan terlambat penyakit sudah menimbulkan kelainan-kelainan dalam paru (Yunus,dkk, 1992).. (5) Selanjutnya aspek hambatan dari pihak petugas, dedikasi dari petugas penting artinya untuk mendapatkan keberhasilan dalam tiap tugas, datang terutama untuk penyakit kronik seperti tuberculosis yang membutuhkan pasien harus terus dimotivasi dengan baik. Karena kesibukannya petugas tidak mempunyai waktu lagi memperhatikan untuk melakukan pengawasan. Pasien yang tidak mengerti apa yang dihadapinya dengan sendirinya akan lalai berobat sampai putus berobat,apalagi kalau penderita sudah merasakan sembuh dari penyakitnya (Yunus,dkk, 1992).
Universitas Sumatera Utara