BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya Pembangunan Nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat setiap penduduk agar mewujudkan derajat Kesehatan yang optimal (Depkes RI,1992). Untuk itu pemerintah selalu berupaya melakukan pencegahan untuk meningkatkan kesehatan penduduk Indonesia. Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis (Mansyur, 1999). Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 menunjukan angka kematian nomor satu dari seluruh golongan penyakit infeksi. WHO (2000) memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus tuberkulosis baru dan kematian mencapai 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penduduk baru dengan BTA positif. Kriteria yang menyatakan bahwa di suatu negara tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah bila hanya terdapat satu kasus BTA (+) per satu juta penduduk. Sampai hari ini belum ada satu negarapun di dunia yang telah memenuhi kriteria tersebut, artinya belum ada satu negarapun yang bebas tuberkulosis. Bahkan untuk negara maju, yang pada mulanya angka tuberkulosis telah menurun, tetapi belakangan ini naik lagi sehingga tuberkulosis disebut sebagai salah satu reemerging diseases. Untuk Indonesia tuberkulosis bukanlah “reemerging diseases”, penyakit ini belum pernah menurun jumlahnya di negara kita, dan bukan tidak mungkin meningkat (Suradi 2001).
1
2
Laporan Internasional (1999) bahkan menunjukan Indonesia adalah “penyumbang kasus penderita tuberkulosis terbesar ke tiga di dunia sesudah Cina dan India”( Suradi 2001). Padahal pada tahun 1980 berdasarkan survei Departemen Kesehatan tergolong empat besar (Bahar 1990). Menurut prediksi WHO pada saat sekarang ini Indonesia menduduki peringkat pertama, sehingga WHO telah menyarankan untuk diterapkannya program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) di negara kita. WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan penanggulangan tuberkulosis adalah menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), yang telah teruji ampuh di berbagai negara. Karena itu, pemahaman tentang DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) merupakan hal yang amat penting agar tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan baik (Aditama, 2001). Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes,2008) DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi pengobatan pasien TB dengan menggunakan paduan obat jangka pendek dan diawasi langsung oleh seorang pengawas yang dikenal sebagai PMO (pengawas menelan obat).(Mustapa,2008). PMO harus dikenal, dipercaya, dan disetujui oleh petugas kesehatan maupun penderita. Tugas dari PMO antara lain mengawasi penderita tuberculosis paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur dan mengingatkan penderita untuk periksa
3
dahak/sputum pada waktu yang telah ditentukan dan memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Depkes,2008). Diharapkan dengan adanya PMO penderita Tuberkulosis Paru akan berinisiatif untuk menelan obatnya secara teratur . Akan tetapi Pelaksanaan program Tuberculosis paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) masih menghadapi kendala baik dipuskesmas, rumah sakit swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya, sehingga hasil yang diharapkan belum maksimal, Salah satu kendala yang masih sering ditemui pada upaya penekanan jumlah penderita TBC di Indonesia, menurut Carmelia (2006), adalah kurangnya pemahaman masyarakat. Masih banyak masyarakat yang kurang memiliki akses informasi sehingga terkadang tidak mengetahui jika pemerintah telah menyediakan pelayanan pengobatan secara gratis untuk penyakit ini. banyak penderita TBC yang enggan berobat ke rumah sakit atau puskemas karena takut harga obatnya mahal atau tidak punya dana. Penyebab lain, juga masih adanya sebagian masyarakat penderita TBC yang malu untuk berobat. Di puskesmas kendala yang dihadapi ialah terbatasnya Akses penderita pada pengobatan dan ketidakdisiplinan penderita dalam konsumsi obat. Kurangnya kesabaran penderita untuk menjalani pengobatan yang mana pengobatan TBC untuk dibutuhkan waktu minimal 6 bulan dengan kombinasi obat lebih dari empat jenis, sedangkan dilapangan banyak pasien yang baru melakukan dua bulan pengobatan dan kondisinya membaik sudah merasa sehat dan menghentikan pengobatannya (Irawan,2010). Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan
4
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk tindakan seseorang (overt behavior), karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo,2003). Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting), sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari
oleh
pengetahuan
dan
kesadaran
tidak
akan
berlangsung
lama
(Notoadmojo,2003). Melihat teori tentang kepatuhan di atas, sebagai perawat komunitas diharapkan lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan pada penderita agar penderita menjadi sadar, tertarik dan mempunyai pertimbangan yang matang dan mau mencoba, sehingga obat Tuberculosis Paru tersebut merupakan kebutuhan yang penting bagi dirinya. Berdasarkan survei yang didapat bahwa pelaksanaan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang sudah efektif, yang mana salah satunya ialah jika pasien/keluarga pasien belum/tidak dapat mengambil obat pada waktu yang telah di tentukan maka petugas kesehatan (PMO) akan mengantarkan obat tersebut kerumah pasien. Jarak waktu pengambilan obat untuk tiap pasien adalah 8 hari untuk 8 butir obat. Tiap mengambil obat pasien/keluarga pasien akan menandatangani sebagai tanda pengambilan obat pada buku obat. Pemeriksaan mikroskopik yang berupa sputum/dahak telah dilakukan seperti data yang didapat dari tahun 2008-2009 dengan jumlah yang berbeda-beda. Namun masalah yang di hadapi di wilayah kerja puskesmas dinoyo adalah adanya ketidakpatuhan penderita.
5
Berdasarkan data yang terdapat di Puskesmas Dinoyo tahun 2008-2009 jumlah penderita TBC Paru yang diobati sebanyak 103 orang, jumlah penderita yang patuh 87 orang ( 84,46% ). dan yang drop out/putus berobat 16 orang ( 15,53% ). tidak tercapainya target pengobatan tuberkulosis paru yang diobati (gagal/putus) dengan strategi DOTS disebabkan oleh ketidakpatuhan dan kurangnya kesadaran penderita dalam melaksanakan program pengobatan penyakitnya yang ditandai dengan adanya pasien yang DO (putus berobat) tanpa sebab sebanyak 3 orang di tahun 2010. Melihat fenomena tersebut peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan dan petugas/PMO
dengan tingkat kepatuhan penderita Tuberculosis
Paru dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) penelitian ini dilakukan di Puskesmas Dinoyo Malang karena angka penderita Tuberkulosis paru di Puskesmas Dinoyo cukup tinggi
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: a. Apakah ada hubungan antara jenis kelamin penderita dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang? b. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan penderita dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang?
6
c. Apakah ada hubungan antara pekerjaan penderita dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang? d. Apakah ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang? e. Apakah ada hubungan antara faktor petugas (PMO) dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Mengetahui hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, tingkat pengetahuan dan petugas/PMO dengan tingkat kepatuhan penderita Tuberkulosis Paru dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo malang
1.3.2
Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan antara jenis kelamin penderita dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang. b. Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan penderita dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang.
7
c. Mengetahui hubungan antara pekerjaan penderita dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang d. Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang e. Mengetahui hubungan antara faktor petugas (PMO) dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Dinoyo Malang
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi puskesmas Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada institusi pelayanan kepearawatan umumnya dan pada puskesmas Dinoyo Malang khususnya dalam mengelola dan memberikan penyuluhan pada klien TB paru terutama pada aspek kepatuhan menjalani pengobatan, sehingga angka kegagalan berobat menjadi berkurang. 1.4.2. Bagi institusi pendidikan keperawatan Untuk meningkatkan pengembangan pengetahuan yang berkaitan dengan pengobatan TB Paru 1.4.3. Bagi peneliti Merupakan bahan/sumber data penelitian berikutnya dan pendorong bagi pihak yang berkepentingan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
8
1.4.4. Bagi masyarakat Diharapkan
dapat
menjadi
masukan
bagi
masyarakat
khususnya
penyembuhan Tuberculosis Paru.
1.5. Keaslian penelitian Berdasarkan telaah literatur yang dilakukan oleh penulis, sejauh ini belum ada yang meneliti faktor-faktor yang berhaubungan dengan tingkat kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS. Namun ditemukan penelitian yang terkait dengan masalah TB paru, antara lain penelitian yang berjudul “pengaruh sikap keluarga terhadap perilakunya dalam pencegahan resiko tertular tuberculosis paru di rumah sakit paru Batu Malang” yang dilakukan oleh Matrahman, (2003). Dengan desain penelitian ini adalah analitik observasional. Pendekatan dalam penelitian analitik observasional menggunakan cross sectional, sampel menggunakan teknik non probability – Quota sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap keluarga dalam pencegahan resiko tertular tuberculosis paru setengahnya (50%) bersikap kurang baik dan perilaku keluarga dalam pencegahan resiko tertular tuberculosis paru sebagian besar (76,3%) berperilaku kurang baik. Dari uji analisis didapatkan bahwa sikap keluarga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku keluarga dalam pencegahan resiko tertular tuberculosis paru, dengan derajat hubungan cukup kuat.