BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi masalah di Dunia. Hal ini terbukti dengan masuknya perhatian terhadap penanganan TB dalam MDGs. Tujuan keenam MDGs berisi tentang pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis dan pencapaian tersebut diindikasikan oleh angka kejadian dan tingkat kematian serta proporsi tuberkulosis yang ditemukan, diobati, dan disembuhkan dalam program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) (Bappenas, 2012). Pada tahun 2013 sekitar 9 juta orang terkena TB dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB (360.000 kematian pada penderita TB dengan HIV positif) (WHO, 2014). Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki masalah dengan kasus TB. Berdasarkan data World Health Statistics 2013, pada tahun 2011 prevalensi TB paru di Indonesia berada pada posisi keenam di Asia Tenggara dengan angka 281 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI , 2013), angka kejadian TB sebesar 187 per 100.000 penduduk, dan angka kematian mencapai 27 per 100.000 penduduk. Di Provinsi Bali, TB termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang ditemukan di Puskesmas Sentinel, Puskesmas, dan Rumah Sakit di Provinsi Bali pada tahun 2012 dengan angka prevalensi TB paru mencapai 50 per 100.000 penduduk (Dinkes Provinsi Bali, 2013).
1
2
Penanganan penyakit TB dilakukan secara komprehensif dari penemuan kasus hingga pengobatan pada pasien TB. Tanpa pengobatan, angka kematian akibat TB menjadi tinggi. Pada beberapa penelitian tentang perjalanan penyakit alamiah kasus TB paru BTA positif dengan status HIV negatif ditemukan sekitar 70% meninggal dalam kurun waktu 10 tahun sedangkan pada kasus TB kultur positif (BTA negatif) ditemukan sekitar 20% meninggal dalam kurun waktu 10 tahun (WHO, 2013). Pengobatan TB yang diberlakukan secara internasional disebut dengan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Delapan belas tahun sejak peluncuran strategi-strategi untuk perawatan dan pengendalian TB secara nasional oleh WHO yaitu pada pertengahan 1990-an (The DOTS strategy), the subsequent global rollout of DOTS, dan The Stop TB strategy, total kumulatif orang yang berhasil diobati selama tahun 1995-2012 mencapai 56 juta orang dan menyelamatkan sekitar 22 juta jiwa (WHO, 2013). Di Indonesia angka kesuksesan pengobatan TB (proporsi hasil pengobatan sembuh dan lengkap) pada tahun 2012 mencapai 90,2 % sedangkan di Provinsi Bali angka kesuksesan pengobatan tahun 2012 mencapai 86,1% yaitu hanya 1,1% di atas target minimal yang ditetapkan WHO (Kemenkes RI, 2013). Selain untuk menyembuhkan pasien dan mencegah kematian, tujuan pengobatan TB lainnya yaitu mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan pasien TB di Indonesia dibedakan menjadi dua tahap yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada pengobatan tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
3
untuk mencegah terjadinya resistensi obat (Kemenkes RI, 2011). Selain itu, apabila pengobatan yang tepat dilakukan pada fase intensif biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kota Denpasar memiliki proporsi suspek TB yang mengalami multi drug resistance (TB-MDR) terbanyak diantara kabupaten/kota Provinsi Bali pada tahun 2012 yaitu mencapai 46,93% (46 kasus). Angka suspek TB-MDR di Kota Denpasar pada tahun 2012-2013 mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar 37,33% (Laporan TB Dinas Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2013 dan 2014). Hal serupa juga terjadi pada angka suspek TB-MDR 2012-2013 di tingkat puskesmas di Kota Denpasar. Angka suspek TB-MDR puskesmas tahun 2012 (3,98% dengan 15 kasus) mengalami penurunan yang sangat kecil pada tahun 2013 (3,67% dengan 15 kasus). Sedangkan angka suspek TB-MDR dari non-puskesmas relatif kecil yaitu 1,64% (13 kasus pada tahun 2012) dan 0,55% (4 kasus pada tahun 2013). Pengobatan TB terdiri dari fase intensif dengan lama pengobatan 2-3 bulan dan fase lanjutan dengan lama pengobatan 4 bulan. Obat TB seharusnya diminum secara teratur selama 6-8 bulan sesuai dengan jadwal untuk mencegah terjadinya resistensi obat TB. Beberapa penelitian menemukan dampak dari ketidakteraturan minum obat TB. Penelitian di Indonesia menemukan pasien yang mengonsumsi obat TB secara tidak teratur memiliki risiko menjadi TB-MDR sebesar 2,3 kali dibandingkan dengan pasien yang mengonsumsi obat TB secara teratur (SR et.al., 2012). Hasil penelitian lainnya menunjukkan pasien yang teratur berobat
4
berhubungan dengan terjadinya konversi dahak dengan nilai OR = 4,92 dan p = 0,004 (Astuti, 2010). Selain itu sebuah penelitian di Rusia menemukan bahwa total hari seorang pasien tidak minum obat TB pada fase intensif berhubungan dengan kejadian default (putus obat) dengan kategori pasien yang tidak minum obat TB 1-7 hari pada fase intensif memiliki OR = 2,1 (95% CI : 1,2–3,7), tidak minum obat TB sejumlah 8–14 hari dengan OR = 4,3 (95% CI : 1,6-7,1), dan tidak minum obat TB lebih dari 14 hari dengan OR = 4,6 (95% CI : 2,5-8,5) (Jakubowiak et al., 2009). Beberapa penelitian tentang ketidakteraturan minum obat TB di Indonesia yang telah terpublikasi yaitu menganalisis ketidakteraturan minum obat dalam bentuk proporsi sementara analisis waktu kejadian (time to event) ketidakteraturan belum dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan analisis terkait prediktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat. Beberapa faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB yang ditemukan di Indonesia yaitu penderita dengan status kambuh, keberadaan PMO, terdapat selang waktu pengobatan, penyuluhan, kunjungan rumah, mutu obat, sarana transportasi, jarak, pendapatan keluarga, dukungan keluarga, efek samping obat, perilaku petugas, dan pengetahuan (Ubaidillah, 2001; Senewe, 2002; Raharno, 2005; Simamoro, 2004). Sedangkan beberapa penelitian di luar Indonesia menemukan faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat yaitu ketidaktahuan tentang lama pengobatan, jarak, dan riwayat merokok (Ibrahim et al., 2014). Sementara untuk faktor demografi dan klinis awal pasien beberapa penelitian mendapatkan hasil yang berbeda. Penelitian tentang kondisi demografi,
5
kondisi klinis pasien, dan faktor program pengobatan TB penting dilakukan untuk mengetahui kondisi pasien yang mengalami ketidakteraturan berdasarkan ketiga hal tersebut sehingga dapat disusun upaya untuk mencegah ketidakteraturan minum obat pasien TB. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Denpasar karena berdasarkan wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB merupakan penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi. Kondisi tersebut cenderung mengakibatkan pasien tidak teratur dalam menjalani pengobatan TB di Kota Denpasar. Selain itu 34,1% pasien TB (tahun 2011–2012) diobati di puskesmas dengan data TB 01 dan TB 03 yang lebih mudah diakses. Berdasarkan data TB elektronik, angka konversi pada tahun 2011 (67,2%) dan 2012 (67%) tidak mencapai target minimal yang ditentukan yaitu sebesar 80%. Apabila hal ini tidak ditangani maka ketidakteraturan minum obat tersebut dapat menurunkan capaian angka konversi dan meningkatkan suspek TB-MDR sehingga meningkatkan risiko penularan TB di Kota Denpasar. Selain itu penelitian serupa belum pernah dilakukan di Kota Denpasar. Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai prediktor ketidakteraturan minum obat TB di Puskesmas Kota Denpasar tahun 2011-2012. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian terhadap pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kota Denpasar 2011 – 2012 sebagai berikut:
6
1.2.1 Berapakah angka insiden dan median time ketidakteraturan minum obat? 1.2.2 Bagaimanakah gambaran total kumulatif waktu ketidakteraturan minum obat? 1.2.3 Adakah hubungan antara faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan pengalaman berobat pasien) dengan ketidakteraturan minum obat? 1.2.4 Adakah hubungan antara faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal, jenis infeksi TB, dan status HIV) dengan ketidakteraturan minum obat? 1.2.5 Adakah hubungan antara faktor program (jenis puskesmas, hubungan pasien dengan PMO, durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi maksimal pemberian obat fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif) dengan ketidakteraturan minum obat? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui prediktor ketidakteraturan minum obat TB pada pasien dengan pengobatan kategori 1 di Puskesmas Kota Denpasar tahun 2011-2012. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian pada pasien TB dengan pengobatan kategori 1 di Puskesmas Kota Denpasar adalah untuk mengetahui hal seperti diuraikan di bawah ini. 1. Angka insiden dan median time ketidakteraturan minum obat 2. Gambaran total kumulatif waktu ketidakteraturan minum obat 3. Hubungan antara faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan pengalaman berobat pasien) dengan ketidakteraturan minum obat
7
4. Hubungan antara faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal, jenis infeksi TB, dan status HIV) dengan ketidakteraturan minum obat 5. Hubungan antara faktor program (jenis puskesmas, hubungan pasien dengan PMO, durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi pemberian obat fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif) dengan ketidakteraturan minum obat 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat praktis 1. Sebagai bahan masukan terhadap petugas kesehatan terutamanya tenaga kesehatan program TB untuk mengoptimalkan program pengobatan pasien TB dan mengendalikan munculnya kasus TB-MDR. 2. Memberikan masukan kepada pemegang kebijakan untuk hasil evaluasi program sehingga dapat meningkatkan pencatatan yang lebih lengkap pada program TB. 3. Memberikan masukan untuk memperpendek durasi minum obat TB untuk mengurangi risiko kejadian ketidakteraturan minum obat. 4. Memberikan informasi kepada pasien TB mengenai titik-titik waktu di mana pasien berpotensi mengalami ketidakteraturan minum obat. 1.4.2 Manfaat teoritis 1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terkait faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB.
8
2. Data yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai informasi awal untuk penelitian ketidakteraturan minum obat TB selanjutnya terkait aspek mental dengan analisis yang lebih mendalam.