BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, yang hampir ditemukan di seluruh bagian dunia terutama di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis. Diperkirakan 3,4 miliar jiwa terancam oleh infeksi malaria. Pada tahun 2012 terdapat kasus malaria sekitar 207 juta jiwa dan 627.000 jiwa diantaranya meninggal, terutama di Afrika (WHO, 2013; Widoyono, 2011). Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang masuk kategori negara dengan risiko penularan malaria (Harijanto, 2006). Malaria di Indonesia masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia pada tahun 2010 terdapat 65% kabupaten endemis malaria, namun hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007-2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % (Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas 2010). Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai 1,3%. Walaupun telah terjadi penurunan Annual Parasite Incidence (API) secara nasional, di daerah dengan kasus malaria tinggi angka API masih sangat tinggi dibandingkan angka nasional, sedangkan pada daerah dengan kasus malaria yang rendah sering terjadi kejadian Luar Biasa (KLB) sebagai akibat adanya kasus impor. Pada tahun 2011 jumlah kematian malaria yang dilaporkan adalah 388 kasus. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di
1
Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara Timur (4,4%) (Kemenkes, 2013). Penyakit malaria masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah. Saat ini masih ditemukan desa High Case Incidence (HCI) sebanyak 31 desa yang tersebar di 5 Kabupaten yaitu Purworejo, Kebumen, Purbalingga, Banyumas dan Jepara. Angka kesakitan malaria (API) merupakan indikator untuk memantau perkembangan penyakit malaria. Jumlah kasus tahun 2012 sebanyak 2.420 kasus, lebih rendah dibanding tahun 2011 (3.467 kasus) dan angka kesakitan malaria sebesar 0,08%, sedikit turun dibandingkan tahun 2011 (0,11%) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012). Purworejo adalah kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan salah satu daerah endemis malaria yang kasusnya menetap sepanjang tahun. Kejadian malaria di Purworejo dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingginya mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemis lainnya, kondisi geografis, perilaku penduduk dan adanya nyamuk vektor malaria (Harijanto, 2006). Kasus malaria di kabupaten Purworejo pada tahun 2000 sebanyak 33.543 kasus atau API 43,7%, hingga tahun 2009 kasus terus menurun jumlah kasus 359 atau API 0,47%. Mulai tahun 2010 meningkat dengan jumlah kasus 372 atau API 0,49% dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 1001 kasus atau API 1,34%. Pada tahun 2012 ini terjadi 547 kasus dengan API sebesar 0,57%. Ada beberapa kecamatan yang masih merupakan daerah endemis malaria di kabupaten Purworejo, yaitu Puskesmas HCI (Puskesmas Kaligesing dan Dadirejo), Puskesmas Moderate Case Incidence (MCI) yaitu Puskesmas Banyuasin dan Karanggetas. Kategori Low Case
2
Incidence (LCI) yaitu Puskesmas Brono, Purworejo, Bener, Bagelen, Cangkrep, Loano, Winong, Kemiri, Bragolan, Wirun, Bubutan dan Mranti. Berdasarkan jumlah kasus malaria menurut kecamatan tahun 2012 terdapat tiga kecamatan yang memiliki jumlah penderita malaria dengan pemeriksaan darah (positif) tertinggi di Kabupaten Purworejo, yaitu Kecamatan Kaligesing sebesar 438 kasus, Kecamatan Dadirejo sebesar 294 kasus dan Kecamatan Pituruh sebesar 117 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, 2012). Obat-obat antimalaria yang pernah digunakan di Indonesia meliputi klorokuin, kina, primakuin, dan kombinasi pirimetamin-sulfadoksin. Obat tersebut telah digunakan dalam waktu yang panjang. Pemberian antimalaria secara terus menerus dan ketidakpatuhan penderita malaria terhadap pengobatan dapat menimbulkan resistensi obat dan penurunan sensitivitas Plasmodium terhadap obat antimalaria yang dapat berdampak pada kegagalan pengobatan yang ditandai dengan menetapnya atau muncul kembali parasit aseksual di darah perifer (rekrudesensi) yang bisa disertai gejala klinis malaria. Adanya resistensi obat antimalaria standar seperti klorokuin, kina, dan sulfadoxin-pyrimetamin terhadap infeksi P. falciparum dan P.vivax dilaporkan terjadi di Papua dengan prevalensi resistensi obat yang tinggi untuk malaria P. falciparum dan P. vivax dengan pengobatan yang tersedia (klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin) dengan angka kegagalan pengobatan ulang sebesar 48% pada infeksi P. falciparum dan 70% pada infeksi P. vivax (Siswantoro dkk., 2006). Hal yang membedakannya dengan P. falciparum adalah pada infeksi P.vivax dapat terjadi relaps, hanya menyerang eritrosit muda, densitas parasitemia yang lebih rendah dan tidak menyebabkan
3
malaria berat. Hal di atas menambah permasalahan pada pengobatan P.vivax yang dihubungkan dengan meningkatnya resistensi terhadap obat standar klorokuin (Hasugian dkk., 2007). Pada
tahun
2004
World
Health
Organinization
(WHO)
merekomendasikan penggunaan obat antimalaria kombinasi berbasis artemisinin (Artemisinin Combination Therapy/ACT) sebagai terapi lini pertama dalam penanganan malaria falciparum dan vivax tanpa komplikasi untuk mencegah kegagalan terapi, resistensi dan relaps (WHO, 2013). Berdasarkan rekomendasi WHO dan Komisi Ahli Bidang Diagnosis Malaria Indonesia (KOMLI) mengubah strategi pengobatan malaria yaitu dengan menggunakan ACT dimulai sejak tahun 2004 (Harijanto, 2007; Hasugian dkk., 2007). Di Indonesia, first line pengobatan malaria tanpa komplikasi baik malaria falciparum dan vivax saat ini menggunakan ACT ditambah primakuin (PQ) (Kemenkes, 2013). Pengobatan dengan ACT dapat memberikan hasil yang cepat namun memiliki adverse event yang sering dilaporkan misalnya keluhan gastrointestinal (mual dan muntah) (Tjitra, 2004). Penelitian Hasugian dkk. (2007) di Papua, melaporkan artesunat-amodiakuin (AAQ) memiliki efikasi yang lebih kecil dan adverse event yang lebih berat daripada DHP. Penggunaan obat tersebut didasarkan hasil penelitian di Timika yang mendapatkan kombinasi DHP terhadap P. falciparum dan P. vivax dilaporkan lebih efektif dan aman dibandingkan AAQ. Dengan efektivitas dan keamanan obat AAQ yang menurun maka dilakukan peralihan penggunaan DHP secara luas. DHP telah digunakan di Papua sejak tahun 2008 yang diharapkan digunakan di seluruh Indonesia (Hasugian dkk.,
4
2012). Terapi ACT pada pengobatan malaria saat ini yaitu kombinasi tetap (Fixed Dose Combination=FDC) yang terdiri atas Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP). 1 tablet FDC mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin. Obat ini diberikan per-oral selama 3 hari dengan range dosis tunggal harian yaitu dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB dan piperakuin dosis 16-32 mg/kgBB. Primakuin digunakan sebagai terapi anti relaps pada P. vivax dan P. ovale, dan gametosidal pada malaria falciparum. Terapi yang dianjurkan sebagai antirelaps pada P. vivax dengan dosis primakuin 0,25 mg/kg untuk 14 hari (Kemenkes, 2013). Pengobatan anti malaria memerlukan regimen pengobatan tepat yang disesuaikan dengan berat badan dan usia pasien. Adanya ketidaktepatan dosis dan penggunaan DHP+PQ jangka panjang dapat mengakibatkan penghambatan terhadap penurunan angka parasit dan efektivitas obat menjadi kurang optimal serta dapat menimbulkan adanya kegagalan pengobatan yaitu terjadinya resistensi, relaps dan reinfeksi. Pemberian dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan dan usia pasien, karena jika tidak tepat dosis dapat mempengaruhi efektivitas obat dan munculnya event. Penelitian di Ugandan menyebutkan pada pemberian DHA dan piperakuin dengan dosis 6,4 mg/kg dan 51,2 mg/kg menyebabkan munculnya adverse event seperti batuk (50%) dan diare (23%) (Arinaitwe dkk, 2009). Penelitian di Ugandan menyebutkan pada pemberian DHA dan piperakuin dengan dosis 7,5 mg/kg dan 60 mg/kg menyebabkan munculnya adverse drug event seperti mual (17%), anoreksia (14%) (Smithuis dkk., 2010). Penelitian di Papua menyebutkan pada pemberian DHA dan piperakuin dengan dosis 6,75 mg/kg dan
5
54 mg/kg menyebabkan munculnya adverse event seperti muntah (10,7%) (Hasugian dkk., 2007). Penelitian di Thailand menyebutkan pada pemberian DHA dan piperakuin dengan dosis 6,4 mg/kg dan 51,2 mg/kg menyebabkan munculnya adverse event seperti nyeri perut (12,29%) (Ashley dkk., 2004). Penelitian di Papua juga menyebutkan pada pemberian DHA dan piperakuin dengan dosis 2,25 mg/kg dan 18 mg/kg menyebabkan munculnya adverse event seperti sakit kepala (35%) (Ratcliff dkk., 2007). Penelitian di Thailand menyebutkan pada pemberian DHA dan piperakuin dengan dosis 1,6 mg/kg dan 12,8 mg/kg menyebabkan munculnya adverse event seperti sulit tidur (15,3%) (Ashley dkk., 2005). Penelitian di Thailand menyebutkan pada perlakuan I dengan pemberian dosis 6 mg/kg DHA dan 48 mg/kg piperakuin tidak muncul adverse event seperti muntah setelah pemberian obat. Sedangkan pada perlakuan II dengan pemberian dosis 6,4 mg/kg DHA dan 51,2 mg/kg piperakuin munculnya adverse event seperti muntah (< 3% pasien) setelah pemberian obat. Berdasarkan dari kedua perlakukan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pemberian dosis DHA dan piperakuin dapat menyebabkan semakin tinggi munculnya adverse event (Ashley dkk., 2004). Oleh karena itu, monitoring terhadap pemakaian dan adanya pemberian dosis yang tepat perlu dilakukan secara berkala dalam upaya pengendalian terhadap terjadinya resistensi, meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan dan mengurangi munculnya adverse event pada penggunaan DHP+PQ secara luas. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menilai efikasi penggunaan DHP+PQ pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di Kabupaten Purworejo.
6
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasahan sebagai berikut: 1. Apakah obat standar program dengan menggunakan kombinasi DHP+PQ masih menunjukkan efikasi yang disyaratkan pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di kabupaten Purworejo? 2. Adverse event apakah yang muncul dari penggunaan kombinasi DHP+PQ pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di kabupaten Purworejo? 3. Adakah pengaruh ketidaktepatan dosis terhadap munculnya adverse event dari penggunaan kombinasi DHP+PQ pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di kabupaten Purworejo? C. Tujuan penelitian 1.
Mengetahui efikasi penggunaan kombinasi DHP+PQ dalam keberhasilan terapi pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di kabupaten Purworejo.
2.
Mengetahui adverse event yang muncul dari penggunaan kombinasi DHP+PQ
pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di kabupaten
Purworejo. 3.
Mengetahui pengaruh ketidaktepatan dosis terhadap munculnya adverse event dari penggunaan kombinasi DHP+PQ pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di kabupaten Purworejo.
7
D. Manfaat Penelitian 1.
Sebagai bahan informasi tentang efikasi dan adverse event kombinasi DHP+PQ pada pengobatan malaria vivax tanpa komplikasi di kabupaten Purworejo.
2.
Sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola program malaria dan kebijakan kesehatan dalam pengendalian malaria di kabupaten Purworejo.
3.
Dapat memberi tambahan pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan uji coba obat kombinasi antimalaria baru E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan baik melalui kepustakaan
maupun melalui internet mengenai penelitian yang memfokuskan “Uji Efikasi Penggunaan Kombinasi Dihidroartemisinin-Piperakuin dan Primakuin pada Pasien Malaria vivax Non Komplikasi di Kabupaten Purworejo” belum pernah dilakukan sebelumnya, namun telah ada beberapa penelitian terkait dengan efikasi terapi pasien malaria vivax non komplikasi yang pernah dilakukan oleh peneliti lain, antara lain adalah: Tabel 1. Penelitian-penelitian yang relevan No. 1.
Peneliti Hidajat, 2002
Judul Efikasi klorokuin 3 hari – primakuin 5 hari dan klorokuin 3 hari – primakuin 14 hari terhadap malaria vivaks di Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo
Metode Completely randomised design
2.
Wihanda, 2005
Efektivitas terapi artemeter dan primakuin dibanding klorokuin dan primakuin pada malaria
Uji kinis acak buta ganda
Hasil Hasil penelitian ini menunjukkan respon obat pada H14 dan H28 tidak ada perbedaan bermakna antara kedua jenis pengobatan, sedangkan untuk mencegah rekurensi sampai hari ke84pengobatan Cq3Pq14 lebih baik dibandingkan pengobatan Cq3Pq14 Hasil penelitian ini menunjukkan terapi ATM-PR memiliki efektivitas yang sama dengan terapi CQ-PR
8
Tabel 1. Lanjutan vivax tanpa komplikasi di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo 3.
Hasugian dkk., 2012
Efikasi dan keamanan dihidroartemisininpiperakuin pada penderita Plasmodium vivax di Kalimantan dan Sulawesi
Potong lintang dan evaluasi secara prospektif
4.
Abdallah dkk, 2012
Efficacy of artemetherlumefantrine as a treatment for uncomplicated Plasmodium vivax malaria in eastern Sudan
Metode observational (tanpa sample size calculation)
5.
Eibach dkk., 2012
Therapeutic efficacy of artemether-lumefantrine for Plasmodium vivax infections in a prospective study in Guyana
Metode noncontrolled study
pada penderita malaria vivax tanpa komplikasi di kecamtan Kokap kabupaten Kulon Progo Hasil penelitian ini menunjukkan efikasi DHP terhadap P. vivax sesuai dengan kriteria WHO dan aman dipergunakan. DHP dapat diterima dan direkomendasikan sebagai pengobatan salah satu pengobatan infeksi P. vivax di Kalimantan dan Sulawesi. Hasil penelitian ini menunjukkan kombinasi terapi AL efektif untuk pengobatan malaria P. vivax di Kawasan Timur Sudan.
Hasil penelitian ini menunjukkan di Guyana, artemeter - lumefantrine merupakan pilihan pengobatan yang memadai terhadap P. vivax jika dikombinasikan dengan primakuin. Alternatif terapi ini akan menjadi sangat penting dalam kasus jika terjadi resistensi klorokuin terhadap P. vivax.
Penelitian kali ini berbeda dari penelitian-penelitian di atas karena penelitian ini dilakukan di lokasi yang belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya dan penelitian mengenai “Uji Efikasi Penggunaan Kombinasi Dihidroartemisinin-Piperakuin dan Primakuin pada Pasien Malaria vivax Non Komplikasi di Kabupaten Purworejo” belum pernah di lakukan di daerah Purworejo.
9