BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, anak balita dan ibu hamil. Malaria secara langsung juga menyebabkan anemia dan menurunkan produktivitas kerja serta memberikan dampak negatif terhadap pariwisata. Setiap tahun lebih dari 300 juta penduduk dunia terinfeksi malaria dan 2-3 juta orang meninggal dunia (WHO, 2010; Kemenkes, 2011; Laihad, 2011). Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria pada manusia dapat disebabkan oleh Plasmodium falciparum (P. falciparum), Plasmodium vivax (P. vivax), Plasmodium ovale (P. ovale), Plasmodium malariae (P. malariae) dan Plasmodium knowlesi (P. knowlesi). Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak dilaporkan di Indonesia (Kemenkes, 2012). Di Indonesia, pada tahun 2007 terdapat 396 kabupaten endemis malaria dari 495 kabupaten yang ada, dan diperkirakan 45% penduduk Indonesia berisiko tertular malaria (Kepmenkes, 2009). Pada tahun 2007 dilaporkan terdapat sekitar 1,75 juta kasus malaria klinis. Jumlah ini mungkin lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya karena masih banyak lokasi daerah endemis malaria di desa-desa yang terpencil dengan sarana transportasi yang sulit dan akses pelayanan kesehatan yang rendah (Kemenkes, 2011). Data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2010
1
2
mendapatkan 86,4% penyebab malaria di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax sebanyak 6,9% (Kemenkes, 2011). Malaria
ditularkan
gigitan
nyamuk
Anopheles
yang
terinfeksi saat
menghisap darah atau melalui perpindahan dari eritrosit yang terinfeksi saat proses transfusi darah, transplantasi organ, dan secara kongenital (Temiz dan Gul, 2008). Penularan malaria melalui transfusi darah merupakan masalah yang penting di daerah endemis malaria di dunia. Kasus pertama penularan malaria melalui transfusi dilaporkan pada tahun 1911, dan sejak saat itu peningkatan jumlah kasus telah dilaporkan di seluruh dunia (Bruce-Chwatt, 1982). Infeksi malaria melalui transfusi memiliki konsekuensi serius, terutama bila penyebabnya adalah P. falcipanum. Keberadaan P. falciparum dalam darah dapat berakibat fatal bila darah ditransfusikan terutama pada anak berusia di bawah 5 tahun, wanita hamil, orang yang kehilangan darah pada korban kecelakaan, dan pasien imunosupresif (Agboola et al., 2010). Infeksi malaria melalui transfusi,
dibandingkan dengan infeksi alami sering memiliki masa
inkubasi yang lebih singkat karena tidak melewati perkembangan pra-eritrositik dan tergantung pada spesies parasit. Parasit malaria dari semua spesies dapat bertahan hidup di darah yang disimpan selama sedikitnya satu minggu dan dapat bertahan lebih lama dalam darah beku, misalnya, P. falciparum dapat ditularkan melalui darah yang telah disimpan selama 19 hari (Chinyelu et al., 2011). Pada penduduk daerah endemis malaria, mayoritas donor berpotensi terinfeksi parasit malaria,
karena penduduk
di daerah endemis umumnya
asimptomatik walaupun didapat parasit malaria di dalam darahnya. Kelompok
3
asimptomatik
ini dapat bertindak sebagai carrier (penderita yang infektif)
(Gunawan, 2000; Nugroho et al., 2000; Kitchen dan Chiodini, 2006). Skrining laboratorium terhadap malaria merupakan pilihan untuk mengurangi penularan malaria melalui transfusi. Meskipun kebijakan internasional merekomendasikan bahwa darah untuk transfusi harus dilakukan skrining terhadap infeksi penyakit menular melalui transfusi darah, skrining malaria tidak dilakukan di sebagian besar daerah endemis malaria (Owusu-Ofori et al., 2010). Kebijakan nasional mengenai skrining malaria pada darah donor juga tertuang pada PP No. 7 Tahun 2011 tentang pelayanan darah. Penjelasan pasal 11 dari PP No. 7 Tahun 2011 menyebutkan bahwa untuk daerah tertentu uji saring darah dapat dilakukan terhadap penyakit tertentu seperti malaria (Anonim, 2011). Perhimpunan
Hematologi dan
Transfusi Darah Indonesia (PHTDI),
dalam
pertemuannya di Yogyakarta tahun 2011, memberikan usulan rekomendasi uji skrining malaria pada darah donor yang dapat dilakukan dengan menggunakan teknik mikroskopis maupun teknik imunokromatografi (Anonim, 2011). Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan sediaan darah tipis dan sediaan darah tebal untuk menemukan parasit dalam darah merupakan gold standard (baku emas) dalam menegakkan diagnosis malaria. Kemampuan seorang petugas mikroskopis malaria dalam membuat sediaan darah, mewarnai dan memeriksa sediaan darah sangat menentukan ditemukannya parasit malaria. Untuk diagnosis malaria yang akurat, dibutuhkan ketrampilan teknis yang tinggi serta petugas yang berpengalaman, terutama jika derajat parasitemia rendah (Payne, 1988). Penemuan parasit secara mikroskopis dalam darah sering menjadi
4
kendala di daerah endemis, karena keterbatasan peralatan dan reagensia, serta sumber daya manusia yang terlatih untuk melakukan pemeriksaan mikroskopis malaria masih terbatas sehingga sering terjadi overdiagnosis malaria (Coleman et al., 2002). Dalam 2 dekade terakhir, sudah dikembangkan alat uji diagnostik cepat (rapid diagnostic test) sebagai alternatif pemeriksaan mikroskopis malaria. Perangkat rapid diagnostic test (RDT) dengan metoda imunokromatografi dapat mendeteksi
Plasmodium
secara
spesifik,
cepat
dan
tidak
memerlukan
keterampilan khusus (Purwaningsih, 2000; Coleman et al., 2002; Sutanto et al., 2006). Pada umumnya RDT berbentuk tes strip dari kertas nitroselulosa. Uji ini berdasarkan pengikatan antigen dalam darah oleh antibodi monoklonal yang dikonjugasikan dengan zat pewarna atau gold particles pada fase mobile (Utami, 2004; Sutanto, et al., 2006; Kemenkes, 2011). Antigen yang biasa digunakan sebagai target ada 3 macam, yaitu HRP-2 (Histidine Rich Protein) yang spesifik untuk P. falciparum dan PLDH (Plasmodium Lactate Dehydrogenase) serta Pan aldolase yang dihasilkan oleh keempat spesies Plasmodium. Cara diagnosis menggunakan RDT lebih sederhana, lebih cepat dan interpretasi lebih mudah, tidak memerlukan listrik, tidak memerlukan ketrampilan khusus seperti pada pemeriksaan mikroskopis. Variasi interpretasi antar pembaca yang satu dengan yang lainnya sangat kecil (Sutanto, et al., 2006; Kemenkes, 2011). Beberapa penelitian untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas dari RDT malaria telah dilakukan di Indonesia. Uji Parascreen di Mandailing
5
Natal Sumatera Utara, mempunyai sensitivitas sebesar 76,47% dan spesifisitas sebesar 100% (Ginting, 2008). Penelitian Tjitra et al. (1999) di Sumba dengan menggunakan ICT Malaria Pf/Pv mendapatkan sensitivitas sebesar 95,5% dan spesifisitas 89,8% untuk P. falciparum dan sensitivitas 75% dan spesifisitas 94,8% untuk P. vivax. Sutanto et al. (2006) dalam penelitiannya di Lampung Selatan mendapatkan sensitivitas 91% dan spesifisitas 99% untuk diagnosis infeksi P. falciparum, sedangkan untuk infeksi P. vivax didapatkan sensitivitas 84% dan spesifisitas 100%. Pada penelitiannya di Kab. Halmahera Tengah, Afiah et al. (2009) mendapatkan sensitivitas RDT sebesar 88% dan spesifisitas 66,6%. Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan propinsi dengan
endemisitas malaria yang tinggi. Malaria menduduki penyakit teratas pada pasien rawat jalan di puskesmas dan rumah sakit di bawah infeksi saluran pernapasan akut. Pada tahun 2005 didapatkan Annual Malaria Incidence (AMI) 167‰, tahun 2006 dengan AMI 145‰ dan tahun 2007 dengan AMI 119‰, sedangkan kasus Annual Parasite Incidence (API) pada tahun 2005 sebesar 26‰, tahun 2006 sebesar 30‰, dan tahun 2007 dengan API 29‰ (Dinkes Prop. NTT, 2008).
Gambar 1. Jumlah kasus malaria klinis menurut kabupaten/kota di Propinsi NTT tahun 2005-2007 (Dinas Kesehatan Propinsi NTT, 2008)
6
Distribusi jumlah kasus malaria klinis di Propinsi NTT, antara tahun 2005 dan 2007 dapat dilihat pada gambar 1. Pada tahun 2007, jumlah kasus penyakit malaria klinis di Provinsi NTT sebanyak 535.791 kasus. Kasus penyakit malaria klinis tertinggi terdapat di Kabupaten Sumba Barat sebanyak 94.651 kasus, Sikka 87.623 kasus, dan Ende 75.709 kasus, sedangkan kasus terendah di Kabupaten TTU sebesar 4.873 kasus (Dinkes Prop. NTT, 2008). Kabupaten Sikka, merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kasus malaria tertinggi di Prop. Nusa Tenggara Timur. Penyakit malaria telah banyak menimbulkan kerugian secara ekonomis dan memakan korban jiwa. Angka kesakitan malaria per 1.000 penduduk mengalami peningkatan dari 343,4 per 1.000 penduduk pada tahun 2005, menjadi 405,02 per 1.000 penduduk pada tahun 2006 dan mengalami penurunan kembali menjadi 279,23 per 1000 penduduk pada tahun 2007 (Dinkes Kab. Sikka, 2008). Kecenderungan insidensi malaria di Kab. Sikka dari tahun 2004-2007 dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Tren angka kesakitan malaria di Kab. Sikka tahun 2004-2007 (Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, 2008)
7
Skrining malaria dalam darah donor sebagai salah satu upaya mencegah penularan malaria hingga tahun 2011 belum termasuk dalam skrining rutin di Unit Transfusi Darah (UTD) RSUD TC Hillers Maumere, Kab. Sikka. Pada tahun 2012, mulai dilakukan skrining terhadap malaria pada darah donor. Pemeriksaan mikroskopis sebagai baku emas diagnostik terhadap infeksi malaria tidak dikerjakan oleh sumber daya manusia (SDM) yang bertugas di UTD RSUD TC Hillers Maumere. Sebagaimana di unit pelayanan transfusi darah di daerah lain, sebagian besar SDM adalah lulusan Program Pendidikan Diploma 1 (D1) Teknologi Transfusi Darah, yang tidak dilatih menggunakan mikroskop. Di Kab. Sikka, SDM yang terlatih untuk melakukan pemeriksaan mikroskopis malaria masih terbatas dan program pelatihan penyegaran secara berkala bagi petugas mikroskopis malaria belum berjalan dengan baik. Program pemantapan
kualitas
(Quality
Control)
pemeriksaan
mikroskopis
dengan
memeriksa hasil kerja mikroskopis jenjang laboratorium tingkat bawah oleh mikroskopis laboratorium tingkat di atasnya secara berurutan sampai saat ini belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penentuan nilai kesepakatan yang menjadi standar dalam menentukan hasil diagnosis mikroskopis malaria juga belum pernah dilakukan. Di samping kendala SDM, waktu yang diperlukan untuk melakukan skrining malaria menggunakan mikroskop juga menjadi kendala, yaitu jika darah donor yang harus diperiksa berjumlah banyak terutama saat kegiatan donor darah massal. Penggunaan RDT yang lebih praktis mungkin bisa menjadi solusinya, hanya saja sensitivitas antar produk RDT malaria yang beredar bervariasi,
8
tergantung dari target antigen yang dideteksi dan pabrik pembuatnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai diagnostik RDT yang akan menjadi dasar penggunaan RDT di lapangan sesuai dengan kondisi daerah. Mengingat latar belakang tersebut di atas dan masih sedikitnya penelitian mengenai skrining malaria pada darah donor di daerah endemis malaria, serta untuk mengetahui sensitivitas RDT untuk skrining darah donor di daerah endemis maka penelitian ini dikerjakan di Kab. Sikka, Prop. Nusa Tenggara Timur. B. Permasalahan Berdasarkan berbagai fakta yang diuraikan dalam latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sensitivitas alat diagnostik cepat (RDT) untuk skrining malaria pada darah donor di daerah endemis, di Kabupaten Sikka belum diketahui. C. Pertanyaan Penelitian Berapakah
nilai
sensitivitas
alat
diagnostik
cepat
(RDT)
malaria
dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis untuk skrining malaria pada darah donor di Kab. Sikka? D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang skrining malaria pada darah donor di Kab. Sikka belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian mengenai skrining malaria pada darah donor yang pernah dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.
9
Tabel 1. Penelitian mengenai skrining malaria pada darah donor Peneliti
Tahun
Lokasi Penelitian
Hasil
Saeed et al
2002
Armed Forces Hospital Blood Bank dan Khamis Mushayt Hospital Blood Bank, Saudi Arabia
Prevalensi P. falciparum dengan metode deteksi antibodi di AFH Blood Bank sebesar 9,1%, deteksi antigen sebesar 0,18% dan di KMH Blood Bank dengan deteksi antibodi dan antigen berturut-turut 4,8% dan 0,15%.
Ali et al
2004
Ahmed Gasim Dengan metode mikroskopis, Hospital, Sudan prevalensi donor terinfeksi malaria sebesar 6,5% dan spesies yg dominan adalah P. falciparum (98,1%).
Mbanugo dan Emenalo
2004
Federal Center, Nigeria
Okocha et al
2005
Nigerian Teaching Prevalensi infeksi malaria pada Hospital, Nigeria darah donor sebesar 30,2%. Menggunakan metode mikroskopis.
Chinyelu et al
2011
Onitsha Urban, Dengan metode mikroskopis, Southeast Nigeria prevalensi infeksi malaria pada darah donor sebesar 74,1%.
Agboola et al
2010
Ahmed Gasim Dengan metode mikroskopis, Hospital, Sudan didapatkan hasil 28% sampel positif P. falciparum.
Epidi et al
2008
Abakaliki, Nigeria
Trimaya et al
2013
Bank Darah RSUD Skrining dilakukan dengan Arifin Achmad menggunakan metode Pekanbaru mikroskopis, dengan hasil tidak didapatkan parasit malaria dalam darah donor.
Medical Dengan metode mikroskopis, Owerri, 77,4% darah donor terinfeksi malaria. Donor komersial memiliki prevalensi terinfeksi malaria lebih tinggi dibandingkan donor pengganti dari anggota keluarga .
Dengan metode mikroskopis, prevalensi malaria dalam darah donor sebesar 51,5%.
10
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi resipien (masyarakat) a. Menjaga keselamatan resipien supaya terhindar dari infeksi menular lewat transfusi darah khususnya malaria. b. Mencegah resipien (penerima darah) menjadi carrier (penderita yang infektif) malaria di masyarakat. c. Pendonor bisa mengetahui apakah di dalam darahnya terkandung parasit malaria. 2. Bagi klinisi Membantu diagnosis dan penatalaksanaan segera pada resipien jika resipien tidak bisa menghindar dari transfusi dengan darah yang mengandung parasit malaria. 3. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi program eliminasi malaria di NTT yang ditargetkan bebas malaria tahun 2030. 4. Bagi ilmu pengetahuan Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna dan memberikan sumbangan serta masukan bagi perkembangan teknologi diagnostik laboratoris malaria. F. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui sensitivitas alat uji diagnostik cepat (RDT) malaria dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis untuk skrining malaria pada darah donor di daerah endemis.