BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kandidiasis oral merupakan infeksi oral yang banyak diderita dan menjadi salah satu masalah kesehatan mulut yang banyak diderita oleh masyarakat (Ghannoum, 1990). Di Indonesia, prevalensi kandidiasis oral cukup tinggi seperti yang terjadi di Medan, Aceh, dan Jawa Tengah masing – masing sebanyak 66,1%; 41%; 85,4% (Harahap, 2010; Jamil, 2013; Kusuma, 2014). Kandidiasis disebabkan oleh C. albicans yang tumbuh berlebih dan menjadi patogen ketika menyerang orang-orang yang memiliki sistem imun rendah (Guida, 1988). Pertumbuhan berlebih C. albicans dapat menyebabkan ketidaknyamanan, rasa terbakar dimulut, mukosa bukal, dan rasa kering (Greenberg, 2003). Penderita yang memiliki ketahanan imun rendah, infeksi dapat menyebar ke pembuluh darah atau ke saluran pencernaan bagian atas dan menyebabkan infeksi parah sehingga dapat terjadi morbidilitas dan kematian yang mencapai 71% – 79% (Fraser, 1992). Secara klinis kandidiasis didalam rongga mulut membentuk lesi putih (Silverman, 2001). Cara menangulangi kandidiasis dilakukan dengan membersihkan rongga mulut, seperti menyikat gigi, rongga bukal dan lidah serta menggunakan obat anti fungi. Namun menyikat gigi tidak terlalu efektif dalam menghilangkan C.albicans dimulut karena permukaan gigi tidak rata, dan fungi tersebut mampu menempel pada sela-sela gigi yang tidak dapat dijangkau oleh sikat gigi (Odman, 1992).
16
17
Berkumur mampu memberikan hasil yang lebih efektif karena dapat membersihkan rongga mulut secara mekanik yaitu gerakan saat berkumur dan kimiawi yaitu senyawa aktif yang terkandung didalamnya. Obat kumur juga dapat memberikan rasa yang menyenangkan pada rongga mulut, rasa yang nyaman dan segar pada mulut dan nafas, mencegah dengan cepat jumlah bakteri atau flora normal rongga mulut dan mengurangi bau mulut dengan cepat (Amtha, 1997). Jeruk purut adalah tanaman asli Indonesia yang mudah dijumpai dan biasanya sering digunakan sebagai bumbu masakan. Selain digunakan sebagai bumbu masakan, minyak jeruk purut (Citrus hystrix) terbukti memiliki aktivitas anti fungi terhadap C. albicans (Afrida, 1993; Prasart, 2005). Minyak jeruk purut mengandung limonen, α-terpineol, terpineol, β-pinen dan terpinen-4-ol memiliki aktivitas sebagai antifungi terhadap C. albicans dengan menghambat sintesis ergosterol sehingga menyebabkan perubahan permebilitas sel dan lisis sel seperti antifungal golongan azol (Yildirim et al., 2013; Ninomiya et al., 2013; Pinto et al., 2014; Omran et al., 2011; Singh et al., 2012; Lima et al., 2005; Ninomiya et al., 2012; Miron et al., 2014, Kelly et al., 1995; Rajput & Karuppayil, 2013). Minyak jeruk purut memiliki aktivitas antifungi terhadap C. albicans, namun mudah menguap dan mudah rusak, maka diperlukan adanya enkapsulasi untuk mengurangi kerusakan minyak dan meningkatkan efikasinya (Wantida et al., 2014; Anna et al., 2014; Fernanda et al., 2011). Penelitian ini akan memformulasikan minyak atsiri jeruk purut dalam bentuk nanoemulsi yang dikemas dalam sediaan mouthwash yang diharapkan dapat menghambat pertumbuhan C. albicans dalam rongga mulut. Sediaan mouthwash
18
nanoemulsi memiliki memiliki warna yang transparan sehingga lebih nyaman digunakan oleh masyarakat. Selain itu, dengan ukuran droplet yang kecil membuat nanoemulsi memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga efektif digunakan sebagai sistem pembawa (Harwansh, 2011; Shah, 2010). Nanoemulsi dibuat dengan campuran minyak jeruk purut, VCO, Tween 80, PEG 400 dan akuades. VCO dapat digunakan sebagai minyak pembawa karena dalam formulasi nanoemulsi minyak atisiri mampu memberikan hasil yang baik (Nantarat et al., 2015). Minyak atsiri juga dapat larut dengan baik dalam minyak lemak (Koensoemardiyah, 2010). Tween 80 dan PEG 400 sebagai surfaktan dan kosurfaktan memiliki toksisitas yang rendah, biodegradable, dan stabil terhadap pengaruh pH sehingga bisa digunakan dalam formula nanoemulsi (Rowe et al., 2006).
B. Rumusan Masalah 1. Apakah minyak jeruk purut dapat dibuat menjadi sediaan nanoemulsi dengan campuran VCO, Tween 80, PEG 400 dan air? 2. Berapa kombinasi minyak jeruk purut dengan minyak pembawa, surfaktan, ko-surfaktan dan air dapat dibuat menjadi formula nanoemulsi yang optimum? 3. Apakah aktivitas penghambatan pertumbuhan Candida albicans sediaan mouthwash nanoemulsi lebih besar bila dibandingkan minyak sebelum diformulasi?
19
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui apakah minyak jeruk purut dapat diformulasikan menjadi nanoemulsi dengan campuran VCO, Tween 80, PEG 400 dan air?. 2. Mengetahui kombinasi optimum minyak jeruk purut, minyak pembawa, surfaktan, ko-suraktan dan air dalam bentuk sediaan mouthwash nanoemulsi. 3. Mengetahui efektifitas sediaan mouthwash nanoemulsi minyak jeruk purut terhadap pertumbuhan C. albicans dibanding dengan minyak jeruk purut sebelum diformulasi.
D. Pentingnya Penelitian Dilakukan Memberikan informasi mengenai formula optimum yang dapat digunakan untuk pembuatan mouthwash dalam bentuk nanoemulsi untuk menghambat C.
albicans
didalam
rongga
mulut
sehingga
dikembangkan menjadi lebih efektif, aman dan efisien.
nantinya
formula
dapat
20
E. Tinjauan Pustaka
1. Jeruk Purut (Citrus hystrix) a. Tanaman Jeruk Purut Jeruk purut (Citrus hystrix) adalah tanaman yang tumbuh pada daerah tropis, yang tersebar luas di Asia bagian selatan. Daun dan buah digunakan sebagai makanan. Buahnya berkerut, berbentuk pir dan berwarna hijau tua dan akan menjadi kuning apabila sudah matang. Daunnya berwarna hijau tua, mengkilap, dan permukaan bawah hijau muda atau kekuningan, buram, jika diremas baunya harum. Biasanya daunnya tumbuh berpasangan dan seperti angka delapan. Tangkai daun sebagian melebar menyerupai anak daun. Helaian anak daun berbentuk bulat sampai lonjong, pangkal membundar atau tumpul, ujung tumpul sampai meruncing. Panjangnya 8-15 cm. dan lebarnya 2-6 cm dan kedua permukaan licin dengan bintik-bintik kecil berwarna jernih (Susilo, 2010).
Gambar 1. Citrus hystrix (Staples & Kristiansen, 1999)
21
b. Taksonomi Klasifikasi tanaman ini adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermayophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Bangsa
: Geraniales
Suku
: Rutaceae
Marga
: Citrus
Jenis
: Citrus hystrix D.C (Dalimartha, 2000)
c. Minyak Jeruk Purut Penelitian yang dilakukan oleh Hongratanaworakit dan Buchbauer (2007), minyak jeruk purut mengandung limonen dan β-pinen sebagai komponen utama, dan komponen minor berupa α-terpineol, α-terpinen, terpinen-4-ol, γ-terpinen dan terpinolen. Limonen, α-terpineol, terpineol, β-pinen dan terpinen-4-ol merupakan monoterpen yang memiliki aktivitas anti fungi terhadap C. albicans dengan cara menghambat sintesis ergosterol sehingga menyebabkan perubahan permebilitas sel dan lisis sel seperti antifungal golongan azol (Yildirim et al., 2013; Ninomiya et al., 2013; Pinto et al., 2014; Omran et al., 2011; Singh et al., 2012; Lima et al., 2005; Ninomiya et al., 2012; Miron et al., 2014, Kelly et al., 1995; Rajput & Karuppayil, 2013).
22
Gambar 2. Monoterpen Dalam Minyak Jeruk Purut (Lone & Yun, 2016; Jones & Ham, 2008; Bhatia et al., 2008; Saheb et al., 2015; Govindarajan et al., 2016). 2. Candida albicans a. Morfologi Divisio
: Thallophyta
Subdivisio
: Fungi
Classis
: Eumycetes
Subclassis
: Deuteromycetes
Ordo
: Moniliales
Familia
: Moniliaceae
Genus
: Candida
Species
: Candida albicans (Salle, 1991)
Keadaan normal Candida spp. berada dalam bentuk ragi, yang merupakan sel tunggal (Ryan, 1995; Volk et al., 1997). Candida spp. bentuk ragi bereproduksi dengan membentuk blastospora, yaitu spora yang dibentuk dengan pembentukan tunas yang kemudian semakin tumbuh besar dan melepaskan diri dengan proses
23
budding (Dujardin et al., 2002; Deacon, 1997). Pengamatan secara mikroskopik, sel ragi Candida spp. dapat terlihat dalam bentuk bertunas tunggal ataupun multiple (DayJo, 2003). Bentuk hifa atau miselial atau filamentous, Candida spp. menjadi lebih invasif (Ryan, 1995). Hal ini merupakan bentul adaptasi terhadap lingkungan (Chaffin et al., 1998). Dalam bentuk miselial, Candida spp. membentuk hifa dan pseudo-hifa. Hifa berbentuk tabung (McDonald, 2002). b. Fase Pertumbuhan Mikroba mengalami pertumbuhan yang dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu: 1. Fase Lag Bakteri mengalami penyesuaian untuk menyeimbangkan pertumbuhan saat dipindahkan ke media yang baru. Bakteri tidak langsung tumbuh dan membelah, namun sel mikroba menjadi lebih besar tetapi jumlahnya tetap sama atau sedikit sekali terjadi perkembangan populasi meskipun metabolisme sel terus berlangsung (Fauziah et al., 2011). 2. Fase Log Jumlah koloni mikroba bertumbuh dengan cepat hingga mencapai dua kali lipat pada interval yang teratur dan akan terus tumbuh seiring laju aktivitas metabolisme sel secara konstan dengan kecepatan pertumbuhan yang tinggi (Nurhajati et al., 2009). 3. Fase Tetap Terjadi kompetisi antara bakteri satu dengan lainnya untuk memperoleh nutrisi didalam media untuk tetap hidup. Sel mikroba yang hidup jumlahnya tetap karena jumlah bakteri yang mati dan tumbuh sama.
24
4. Fase Kematian Sel akan mati pada akhir fase log, sedangkan yang masih ada sudah tidak mampu lagi mengadakan pembelahan (Fauziah et al., 2011). Nutrisi yang habis dan akumulasi produk inhibitor seperti asam merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kematian sel (Nurhajati et al., 2009). Kurva pertumbuhan dapat menentukan waktu dan umur kultur mikroba yang akan dipanen dan lamanya waktu generasi mikroba (Pelczar & Chan, 2006). Waktu generasi setiap mikroba yang sudah diketahui akan mempermudah dalam memprediksi populasi setiap mikroba dalam jangka waktu yang sama serta keaktifannya dalam proses metabolisme (Fardiaz, 1992). c. Reproduksi Candida spp. tumbuh optimal pada suhu 37°C dengan pH netral (Hopfer, 1985). Candida spp. merupakan organisme di-morfik (Deacon, 1997; Volk et al., 1997; McGinnis et al., 1998). Organisme ini dapat berada dalam bentuk miselium pada lingkungan dengan suhu 37-40°C dan pH yang relatif netral, sedangkan umumnya berada dalam bentuk ragi pada lingkungan dengan pH yang relatif lebih rendah (Molero et al., 1998). Dinding sel Candida spp. tersusun dari manoprotein dan protein-protein spesifik, seperti chitinase, enolase, helicase dan HSP70, yang menempel pada lapisan-lapisan glucans dan kitin. Protein-protein tersebut dapat mengatur penggabungan komponen dinding sel yang lain, karena protein-protein tersebut membawa sebagian kode morfogenetik yang bertanggung jawab dalam pembentukan
morfologi
sel,
sehingga
bertanggung
jawab
juga
dalam
pembentukan morfologi alternatif pada dimorfisme Candida spp (Marcilla et al.,
25
1998). Dimorfisme Candida spp. tergantung pada temperatur, konsentrasi CO2 dan pH (McGinnis et al., 1998; Volk et al., 1997). Transisi mofologi bentuk ragi ke bentuk miselium dirangsang oleh suhu yang berkisar antara 37-40°C, pH yang relatif netral, serta adanya beberapa senyawa, seperti asam amino, biotin, komponen heme dalam hemoglobin, seng dan serum (Molero et al., 1998; Ramage et al., 2002). 3. Kandidiasis Candida albicans dapat menempel pada mukosa mulut, hal ini menjadi awal mula terjadinya kandidiasis oral. Sel ragi atau jamur tidak melekat apabila mekanisme pembersihan oleh saliva, pengunyahan dan penghancuran oleh asam lambung berjalan normal. Perlekatan jamur pada mukosa mulut mengakibatkan proliferasi, kolonisasi tanpa atau dengan gejala infeksi (McFarlane, 2002). Terjadinya Kandidiasis di pengaruhi oleh beberapa faktor terutama pengguna protesa, serostomia (Sjogren Syndrome), penggunaan radiotherapy, obat – obatan sitotoksis, konsentrasi gula dalam darah (diabetes), penggunaan antibiotik atau kortikosteroid, kehamilan, defisiensi nutrisi, penyakit kelainan darah, dan Penderita Immuno Supresi (AIDS) (Silverman, 2001). Penderita kandidiasis akan merasakan gejala seperti rasa terbakar dan perubahan rasa kecap. Pada pemeriksaan klinis dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe yaitu akut pseudomembran kandidiasis (thrush), kronis hiperplastik kandidiasis, kronis atrofik kandidiasis (denture stomatitis), akut atrofik kandidiasis dan angular sheilitis (Nolte, 1982).
26
Kandidiasis yang bersifat lokal dan invasif ditandai dengan adanya ulkus pada mukosa. Ulkus ini berbatas jelas serta dasarnya tampak granuler. Seluruh atau sebagian ulkus diselubungi oleh lapisan eksudat yang berwarna kuning tua (Smith, 1985). Kandidiasis di esofagus memiliki gejala yang sama dengan kandidiasis di rongga mulut dan disertai ulkus soliter maupun multipel sehingga dapat menyebabkan rasa nyeri saat menelan serta rasa nyeri di daerah substernal (Ryan, 1994). 4. Antifungal Tujuan pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan organisme patogen dan mengembalikan flora normal tubuh (Nolting & Fegeler, 1986). Empat golongan obat-obatan anti jamur yaitu poliene, azol, alilamin dan echinocandin. a. Golongan Poliene Golongan poliene tidak efektif digunakan terhadap dematofit dan hanya terbatas untuk infeksi yang disebabkan oleh C. albicans dan Candida spesies lain. Mekanisme kerjanya dengan berikatan dengan ergosterol secara ireeversibel. Contoh obat golongan ini adalah nystatin (Brennan & Leyden, 1997). b. Golongan Azol Obat golongan azol relatif berspektrum luas dan bersifat fungistatik. Bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada membrane sel. Obat-obatan golongan azol memiliki kemampuan mengganggu kerja enzim sitokrom P450 lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol.
27
Contoh obat golongan azol adalah klotrimazol, ketokonazol, flukonazol (Brennan & Leyden, 1997). c. Golongan Alilamin Obat-obatan golongan alilamin seperti naftifin bekerja dengan menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal metabolisme dan enzim sitokrom P450 sehingga menghambat aktifitas squalen eposidase. Berkurangnya ergosterol menyebabkan penumpukan squalen sehingga mengakibatkan kematian sel (Brennan & Leyden, 1997). d. Golongan Echinocandin Golongan
echinocandin
menghambat
biosisntesis
β-glukan.
Inhibisi
biosintesis glucan ini menyebabkan dinding sel tidak terbentuk secara sempurna, sehingga sel jamur menjadi lisis. Contoh obat golongan ekhinocandin adalah kaspofungin (Mustanir et al., 2013). Selain empat golongan antifungal diatas, berbagai minyak esensial telah diteliti memiliki aktivitas antifungal tanpa efek samping pada manusia ataupun hewan (Sokmen et al., 1999). Penelitian secara In Vitro dan In Vivo menyebutkan minyak esensial mampu digunakan sebagai antifungal yang efektif (Adam et al., 1998). Salah satunya adalah minyak jeruk purut (Citrus hystrix) yang terbukti memiliki aktivitas anti fungi terhadap C. albicans (Prasart, 2005). Minyak jeruk purut mengandung limonen, α-terpineol, terpineol, β-pinen dan terpinen-4-ol memiliki aktivitas sebagai antifungi terhadap C. albicans dengan menghambat sintesis ergosterol seperti antifungal golongan azol (Yildirim et al., 2013; Ninomiya et al., 2013; Pinto et al., 2014; Omran et al., 2011; Singh et al., 2012;
28
Lima et al., 2005; Ninomiya et al., 2012; Miron et al., 2014, Kelly et al., 1995; Rajput & Karuppayil, 2013). 5. Mouthwash Mouthwash merupakan bahan yang membantu menyegarkan mulut dan juga nafas serta membersihkan rongga mulut dari mikroorganisme penyebab penyakit didalam mulut. Bentuk berupa larutan atau cairan yang digunakan dengan cara membilas rongga mulut dengan tujuan menyingkirkan bakteri perusak, bekerja sebagai penciut, untuk menghilangkan bau tak sedap, mempunyai efek terapi dan menghilangkan infeksi atau mencegah karies gigi (Akande et al., 2004). Fungsi obat kumur umumnya sama dengan pasta gigi yang dapat dikategorikan sebagai kosmetik, terapeutik, atau keduanya. Obat kumur kosmetik digunakan untuk tujuan membantu menghilangkan debris sebelum dan sesudah menyikat gigi, setelah flossing atau setelah prosedur kontrol plak. Obat kumur kosmetik dapat memberikan rasa yang menyenangkan pada rongga mulut, rasa yang nyaman dan segar pada mulut dan nafas, mencegah dengan cepat jumlah bakteri atau flora normal rongga mulut dan mengurangi bau mulut dengan cepat. Bau mulut atau halitosis didefinisikan sebagai bau nafas yang tidak menyenangkan yang dapat berasal dari mulut sendiri atau tempat lain seperti saluran pernapasan atau paru-paru (Amtha, 1997). 6. Nanoemulsi Nanoemulsi merupakan dispersi halus minyak dalam air atau air dalam minyak (Shah, 2010). Nanoemulsi memiliki bentuk fisik yang transparan, dan
29
memiliki stabilitas yang lebih tinggi untuk mencegah terjadinya sedimentasi atau creaming dibandingkan dengan emulsi (Harwansh, 2011). Nanoemulsi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya yaitu memiliki luas permukaan yang lebih besar dan bebas energi dibandingkan dengan makroemulsi sehingga lebih efektif sebagai sistem pembawa. Selain itu nanoemulsi juga tidak toksik dan tidak mengiritasi karena dapat diaplikasikan dengan mudah melalui kulit maupun membran mukosa (Shah, 2010). Nanoemulsi dapat meningkatkan absorbsi, bioavaibilitas obat, dapat membantu mensolubilisasi zat aktif yang bersifat hidrofob serta memiliki efisiensi dan penetrasi yang cepat pada sebagian obat (Devarajan & Ravichandran, 2011). Karakter nanoemulsi yang harus diketahui adalah kejernihan, keseragaman ukuran tetesan, pH, viskositas, densitas, konduktivitas, tegangan permukaan, ukuran dan potensial zeta dan lain sebagainya, hal ini terkait dengan parameter fisik nanoemulsi. Pengukuran tetesan merupakan faktor penting dalam nanoemulsifikasi karena hal tersebut akan menentukan tingkat pelepasan obat (Chiesa et al., 2008). Ukuran droplet nanoemulsi yang baik berada pada kisaran 20-200 nm (Shah et al., 2010). Ukuran droplet yang kecil memiliki gerak Brown tinggi yang dapat melawan gaya gravitasi sehingga nanoemulsi yang terbentuk lebih stabil dan mencegah pemisahan (Mason et al., 2005). Nilai polydispersity index yang semakin kecil menunjukkan ditribusi ukuran droplet yang semakin sempit (Yuan et al., 2008). Distribusi ukuran nanopartikel yang kecil menunjukkan keseragaman tetesan yang terbentuk dan reliabilitas metode pembuatan nanoemulsi. Ukuran tetesan yang semakin kecil maka nanoemulsi
30
akan terlihat transparan (Solans et al., 2005). Ukuran maksimum droplet yang terdispersi didalam medium tidak lebih besar dari seperempat panjang gelombang visibel sekitar 150 nm akan memiliki bentuk fisik yang transparan (Sintov & Shapiro, 2003). 7. Simplex Lattice Design Simplex Lattice Design digunakan untuk optimasi formula dengan perbedaan jumlah komposisi bahan dimana jumlah totalnya dibuat sama dengan satu bagian. Profil respon dapat ditentukan melalui persamaan berdasarkan Simplex Lattice Design (Bolton, 1997). Suatu formula terdiri dari campuran beberapa komponen, perubahan fraksi salah satu komposisi akan merubah minimal satu variabel dari komposisi lain. Jika X1 adalah fraksi komposisi 1 campuran fraksi maka: 0 ≤ X1 ≤ 1 dimana X1 = 1,2,……..q …………………………………………..(1) Setidaknya campuran tersebut mengandung 2 komponen dan jumlah fraksi semua komponen adalah tetap, sehingga: X1 + X2 +………………+ Xq = 1
………………………………………… (2)
Area yang menyatakan kemungkinan-kemungkinan kombinasi dari komponen dapat dinyatakan oleh interior dan garis batas dari suatu gambar dengan q tiap sudut q-1 dimensi semua fraksi kombinasi 3 campuran dapat dinyatakan sebagai garis lurus. Jika ada tiga komponen (q = 3), maka area dinyatakan dalam dua dimensi yang merupakan gambar segitiga sama sisi seperti yang terlihat pada gambar 3 (Armstrong, 2006).
31
Gambar 3. Simplex Lattice Design Model Tiga Komponen (Armstrong, 2006)
Satu komponen murni digambarkan dengan masing-masing tiga sudut segitiga yang merupakan tiga komponen A, B dan C. Titik B mempunyai formula yang hanya mengandung komponen B, begitu juga untuk titik A dan C. Batas segitiga merupakan garis lurus, menggambarkan sistem dua komponen. Dasar segitiga menggambarkan semua kemungkinan campuran komponen A dan komponen C (Armstrong, 2006). 8. Monografi bahan a. Tween 80 Sinonim: Polysorbate 80, polyoxyethylene 20 oleate, Durfax 80K, Crillet 50, Atlas E
32
w + x + y + z = 20, R = C17H33 Gambar 4. Struktur Kimia Tween 80 (Rowe et al., 2009)
Tween 80 merupakan ester oleat dari sorbitol yang tiap molekul anhidrida sorbitolnya berkopolimerisasi dengan 20 molekul etilenoksida. Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan agak pahit. Dapat digunakan sebagai Dispersing agent, emulsifying agent, nonionic surfactant, solubilizing agent, suspending agent, wetting agent. Formulasi sediaan suspensi oral dan parenteral biasanya Tween 80 digunakan sebagai wetting agent. Tween 80 memiliki rumus molekul C64H124O26, bobot molekul sebesar 1310, nilai HLB 15 dan tegangan antarmuka sebesar 42.5 mN/m. Toksisitasnya cukup rendah dengan LD 50 pada tikus (oral) yaitu 25 gram/Kg BB (Rowe et al., 2009). Nilai HLB > 10, menandakan senyawa bersifat hidrofilik dan dapat membentuk nanoemulsi minyak dalam air (O/W) (Debnath et al., 2011). Penggunaan pada konsentrasi 2040% bobot formula mampu membentuk nanoemulsi dengan ukuran tetesan dibawah 100 nm (Salim et al., 2011).
33
b. PEG 400 Sinonim: Carbowax, Carbowax Sentry, Lipoxol, Lutrol E, Macrogola, PEG, Pluriol E, Polyoxyethylene glycol Polietilen glikol 400 memiliki rumus empirik HOCH2(CH2OCH2)mCH2OH dengan nilai m sebesar 8,7 dan berat molekul sebesar 380-420. Berupa cairan jernih, tidak berwarna atau praktis tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopis. PEG 400 larut dalam air, etanol 96%, aseton P, dalam glikol lain dan hidrogen aromatik. Praktis tidak larut dalam eter P dan hidrogen alifatik (Anonim, 1979). Memiliki tegangan antar muka sebesar 44mN/m (44 dyne/cm) (Rowe et al., 2009).
Gambar 5. Struktur Kimia PEG 400 (Rowe et al., 2009)
PEG banyak digunakan dalam berbagai jenis sediaan farmasetikal, seperti parenteral, topikal, oral dan rektal. Polietilen glikol stabil, berupa senyawa hidrofilik sehingga tidak mengiritasi kulit. Dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan dalam air dengan membuat dispers padat. Serta biasa digunakan sebagai pembawa obat pada polimer nanopartikel karena memiliki HLB sebesar 13,1 (Rowe et al., 2009; Anjana et al., 2012). PEG 400 dapat menstabilkan lapisan film dari globul nanoemulsi (Suciati et al., 2014).
34
c. Virgin Coconut Oil (VCO) Virgin Coconut Oil atau yang biasa disebut sebagai VCO merupakan hasil olahan daging kelapa. Dibeberapa daerah di Indonesia, VCO lebih dikenal dengan nama minyak perawan, minyak sara ataupun minyak kelapa murni (Setiaji & Prayugo, 2006). VCO sebagai hasil olah kelapa memiliki banyak manfaat karena mengandung rantai trigliserida sedang (medium chain triglyserida), dimana rantai trigliserida sedang mirip dengan lemak yang ada pada air susu ibu (ASI) (Haerani, 2010). Asam lemak dalam rantai sedang trigliserida lebih pendek dibandingkan asam lemak C16 dan C18, selain itu lebih polar karena lebih cepat melepas ion H sehingga mudah larut dalam air (Syah, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Asy’ari dan Cahyono (2006), VCO mengandung berbagai asam lemak seperti Laurat 39,69%, Miristat 21,13%, Palmitat 11,17%, Kaprat 7,27%, Oktanoat 6,94%, Oleat 6,48%, Stearat 3,03%, Linoleat 0,79%, Kaproat 0,52%. Lebih dari 78% asam lemak penyusun VCO berupa asam lemak berantai pendek atau sedang. Asam lemak rantai sedang (medium chain fatty acid) memiliki aktivitas sebagai antimikrobia (Thormar et al., 1987). Seperti asam laurat, asam kaprilat dan asam kaprik memiliki efek antifungal terhadap Candida albicans (Isaacs et al., 1995). Berdasarkan penelitian Thormar (1999), asam lemak membunuh bakteri dengan cara merusak sel membrannya.
35
9. Uji Stabilitas Termodinamik Nanoemulsi a. Freeze Thaw Cycle Nanoemulsi disimpan pada suhu -20°C selama 24 jam, kemudian disimpan pada suhu ruangan. Freeze-thaw dilakukan sebanyak 2-3 siklus. Nanoemulsi yang stabil secara termodinamik, akan kembali ke bentuk semula dalam waktu 2-3 menit (Ali et al., 2014). b. Centrifugation Studies Nanoemulsi disentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan 5000 rpm. Formulasi yang stabil tidak akan menunjukkan pemisahan larutan atapun kekeruhan (Ali et al., 2014). 10. Viskositas Viskositas merupakan gesekan antar lapisan fluida yang berdekatan ketika bergerak melintasi satu sama lain (Siregar et al., 2013). Semakin besar viskositas maka semakin besar pula gaya persatuan luas (shearing stress) yang diperlukan untuk menghasilkan rate of shear (Martin et al., 1993). Sistem dispersi seperti emulsi, suspensi dan sediaan setengah padat memiliki sifat alir golongan nonnewton (Bernasconi et al., 2011). Hubungan shear stress dan shear rate golongan non-newton tidak linier mengikuti hukum newton (Bird et al., 1960). 11. Uji Aktivitas Antimikroba Uji aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode difusi, dilusi dan bioautografi. Metode difusi dan bioautografi hanya menunjukkan ada atau tidaknya senyawa dengan aktivitas antimikroba sedangkan metode dilusi dapat digunakan untuk menentukan KHM (Konsentrasi Hambat
36
Minimum). Uji dilusi juga mempunyai keuntungan dengan memberikan hasil kuantitatif berupa jumlah obat yang diperlukan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme yang diuji (Jawetz et al., 2007). Metode dilusi dilakukan dengan cara membuat seri konsentrasi sampel pada media yang kemudian ditambah dengan sampel uji. Larutan atau padatan yang tetap jernih setelah inkubasi dinyatakan sebagai KHM. Untuk mengetahui KBM (Kadar Bunuh Minimum), larutan atau padatan yang ditetapkan sebagai KHM dikulturkan kembali pada media. Media yang tidak menunjukkan pertumbuhan dinyatakan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). Uji mikrodilusi sama seperti uji dilusi hanya menggunakan volume yang lebih kecil dengan nilai daya hambat dinyatakan dengan OD (Optical Density) campuran sampel, mikroba uji dan media yang diukur dengan microplate reader yang nantinya nilai OD diubah menjadi KHM (Qaiyumi, 2007).
37
F. Landasan Teori Menurut penelitian, minyak jeruk purut mengandung limonen dan β-pinen sebagai komponen utama, dan komponen minor berupa α-terpineol, α-terpinen, terpinen-4-ol, γ-terpinen dan terpinolen dimana senyawa tersebut termasuk kedalam monoterpen yang memiliki aktivitas anti fungi terhadap C. albicans dengan cara menghambat sintesis ergosterol sehingga menyebabkan perubahan permebilitas sel dan lisis sel (Hongratanaworakit &Buchbauer , 2007; Yildirim et al., 2013; Ninomiya et al., 2013; Pinto et al., 2014; Omran et al., 2011; Singh et al., 2012; Lima et al., 2005; Ninomiya et al., 2012; Miron et al., 2014; ; Rajput & Karuppayil, 2013). Aplikasi minyak atsiri dalam bentuk nanoemulsi lebih menguntungkan karena mampu meningkatkan kestabilan dan aktivitas minyak atsiri. Salah satu contoh formulasi
nanoemulsi
minyak
manis-jangan
lebih
efektif
menghambat
pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dibanding dalam bentuk minyak atsirinya saja (Widyaningrum, 2015). VCO dapat digunakan sebagai minyak pembawa karena dalam formulasi nanoemulsi minyak atisiri mampu memberikan hasil yang baik (Nantarat et al., 2015). Selain itu, VCO mengandung lebih dari 78% asam lemak penyusun VCO berupa asam lemak berantai pendek atau sedang, seperti asam laurat, asam kaprilat dan asam kaprik yang memiliki efek antifungal terhadap C. albicans (Asy’ari & Cahyono, 2006; Isaacs et al., 1995). Campuran surfaktan dan ko-surfaktan juga memegang peran penting dalam pembuatan nanoemulsi. Tween 80 sebagai surfaktan memiliki HLB 15 dan relatif
38
tidak toksik membantu terbentuknya nanoemulsi minyak dalam air. Dengan bantuan ko-surfaktan akan mempermudah menurunkan tegangan permukaan karena mempercepat emulsifikasi dan membuat nanoemulsi menjadi lebih stabil (Kurnia, 2015). Tween 80 dan PEG 400 pada suhu 40-100 C akan bercampur dengan baik (Tejwani et al., 2000). Komposisi minyak, suraktan, ko-surfaktan dan air yang tepat akan menghasilkan formula nanoemulsi yang stabil serta menjaga aktivitas minyak atsiri dalam sediaan.
G. Hipotesis 1. Minyak jeruk purut dapat dibuat menjadi formula nanoemulsi dengan campuran VCO, Tween 80, PEG 400 dan air. 2. Minyak jeruk purut dapat diformulasikan menjadi sediaan mouthwash dalam formula nanoemulsi optimum menggunakan minyak pembawa, surfaktan, kosurfaktan dan akuades dengan jumlah tertentu. 3. Aktivitas mouthwash dalam bentuk nanoemulsi terhadap penghambatan pertumbuhan C. albicans lebih tinggi daripada sebelum diformulasi.
