BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Selain menimbulkan masalah kesehatan penyakit kusta juga dapat menimbulkan masalah sosial, maka penanganan penderita kusta harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Terbentuknya ANEK (Aliansi Nasional Eliminasi kusta) pada peringatan hari kusta sedunia di Makassar pada tahun 2002, telah melahirkan komitmen, kebijakan dan strategi untuk mencapai eliminasi kusta di tingkat propinsi maupun kabupaten (ANEK,2006). Namun mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta, selain itu juga harus diperhatikan rehabilitasi medis dan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita kusta (Depkes RI, 2005). Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen dalam tahun 1873 (Depkes RI, 2005). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam pemberantasan penyakit menular, bahkan telah dimulai sejak 1951 sampai sekarang. Indonesia telah
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan bantuan dana dari WHO melalui Global Fund, bahkan juga sudah ada dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Daerah (APBD), dan dilihat dari fasilitas dan ketersediaan obat-obat juga tersedia secara lengkap sampai ke unit-unit pelayanan kesehatan dasar di Indonesia, namun angka kesakitan kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menempuh langkah-langkah pemberantasan kusta melalui peningkatan penemuan kasus baru, pemberian obat dan pemantauan pengobatan secara rutin, pendidikan dan pelatihan bagi petugas kusta, memberikan pengobatan secara gratis, melakukan upaya intensif terhadap pencegahan kecacatan, serta peningkatan penyuluhan perawatan diri bagi penderita kusta,
namun
secara
implisit
masih
belum
menunjukkan
hasil
yang
memuaskan.(Depkes RI, 2006). Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbedabeda. Di antara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate di bawah 1 per 10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah di sembuhkan dengan Multi Drug Therapy (MDT). Pada akhir tahun 1999 di jumpai 641.091 kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000. Di antara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menempati urutan ke empat setelah India, Brazil dan Myanmar. Walaupun suatu negara telah mencapai eliminasi, tidak berarti bahwa kusta tidak lagi menjadi masalah. Nampaknya kasus kusta akan terus ada, setidaknya hingga beberapa tahun ke depan (Depkes RI, 2005)
Universitas Sumatera Utara
Selama kurun waktu 2000-2005, di Indonesia jumlah penderita kusta secara umum mengalami fluktuasi, dari 21.964 kasus (tahun 2000), menurun menjadi 19.695 kasus (2005), dengan prevalensi 0,98 per 10.000 penduduk. Proporsi kusta jenis Multi Basiller (MB) sebesar 79,4%, dan proporsi penderita kusta jenis Pausi Baciller (PB) sebesar 20,59% dengan proporsi Release From Treatment (RFT), masih 75,2%. Keadaan ini menunjukkan bahwa prevalensi penderita kusta dan insidens penderita kusta di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dibandingkan dengan standar yang telah direkomendasikan Depkes RI, yaitu RFT harus 90%, dan insidens penderita kusta harus < 1 per 10.000 penduduk. Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi yang tinggi penderita kusta, dan menempati urutan 9 (sembilan) dari 12 daerah dengan prevalensi kusta antara 1-2 per 10.000 penduduk, sedangkan urutan pertama ditempati oleh Provinsi Maluku Utara dengan prevalensi RFT sebesar 10,32 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2005). Penyebaran penderita kusta di Provinsi NAD juga tidak merata, dan daerah tertinggi prevelansi kusta ditempati oleh Kabupaten Pidie dengan jumlah kasus 47 tipe Multi Basiller (MB), 75 tipe Pausi Baciller (PB) dengan angka RFT sebesar 34,3%, disusul Kabupaten Bireuen dengan jumlah kasus 74 tipe Multi Basiller (MB), dan 18 tipe Pausi Baciller (PB), dan angka Release From Treatment (RFT) 32,00%. Keadaan tersebut sangat jelas menunjukkan prevalensi dan insiden kusta masih tinggi di provinsi NAD (Dinas Kesehatan Provinsi NAD, 2006). Di propinsi NAD, Kabupaten Bireuen menempati urutan kedua prevalensi tertinggi penderita kusta yang tersebar 17 wilayah kerja puskesmas, dengan jumlah
Universitas Sumatera Utara
kasusnya setiap tahun berfluktuasi, di mana tahun 2005 terdapat 28 kasus (0,76 per 10.000 penduduk), kemudian menjadi 71 Kasus pada tahun 2006 (2,0) per 10.000 penduduk), kemudian ditemukan lagi kasus baru sehingga menjadi menjadi 92 kasus (2,52 per 10.000 penduduk) pada tahun 2007, sedangkan rata-rata angka RFT masih 79,5%. Hal ini menunjukkan Kabupaten Bireuen masih sangat berpotensi terhadap penularan penyakit kusta dan peningkatan penemuan kasus kusta pada tahun-tahun mendatang. Menurut hasil Monitoring dan Evaluasi tahun 2007 yang dilaksanakan pada bulan Januari tahun 2008 di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, kendala yang paling utama di dalam penanganan penderita kusta, kurangnya dukungan masyarakat termasuk keluarga serta stigma yang keliru terhadap penyakit kusta dan penderita penyakit kusta. Salah satu kecamatan paling banyak penderita kusta adalah kecamatan Jangka, yaitu sebanyak 54 kasus, dan mayoritas terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 34 orang (65,3%), dan 18 orang perempuan (34,7%). Selain itu berdasarkan catatan Puskesmas Jangka (2008) 72,9% terjadi pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena kejadian penyakit kusta lebih dominan terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita dan menyerang kelompok penduduk usia produktif. Sedangkan dilihat dari kepatuhan berobat, dari 54 kasus kusta, masih ada 16 pendeita kusta (29,6%) tidak menyelesaikan pengobatan sampai dengan tuntas, sehingga berdampak terhadap kesinambungan proses pengobatan dan kesembuhan penderita kusta.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Roos (1989) penderita kusta dapat disembuhkan. Kesembuhan ini diperoleh melalui diagnosis awal, pengobatan dini dan teratur. Melalui tiga hal pokok tersebut hampir semua kasus kusta dapat disembuhkan, dan sebagian besar kerusakan serta kecacatan dapat dicegah. Mengingat pengobatan penyakit kusta memerlukan waktu yang lama dan kepatuhan, sehingga diperlukan program promosi kesehatan dalam rangka memberikan pemahaman, pengertian dan menumbuhkan ketaatan penderita kusta untuk melaksanakan perawatan diri secara teratur, minum obat, dan memelihara kebersihan diri. Menurut Depkes RI (2006), rendahnya angka cakupan RFT rate di Indonesia adalah karena masih banyak penderita kusta tidak terus menerus mengkonsumsi obat yang telah diberikan, selain itu petugas kesehatan tidak melakukan monitoring terhadap rutinitas pengobatan penderita kusta, serta masih ada stigma di masyarakat bahwa penyakit kusta tidak dapat disembuhkan, bahkan pada penderita itu sendiri. Kepatuhan berobat pada prinsipnya adalah bagian dari perilaku kesehatan dalam konteks kuratif. Beberapa penelitian yang dinilai relevan dengan kepatuhan berobat seperti penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan Jawa Barat, bahwa faktor sosiodemografi seperti pekerjaan, pendidikan, dan pengetahuan berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita kusta, ketersediaan sarana dan pra sarana pelayanan kesehatan, serta efek samping penggunaan obat. Selain itu menurut WHO (2003), dalam konteks kepatuhan berobat peran petugas sangat penting dalam mengawasi rutinitas dan kesesuaian penggunaan obat. Ketaatan meminum obat ditunjukkan oleh pasien yang tidak pernah lupa membawa obat dan meminumnya. Pasien justru berusaha untuk tidak lupa membawa
Universitas Sumatera Utara
dan minum obat. Kesadaran akan keadaan lupa dan niat untk melakukan pengobatan secara teratur, menjadi faktor predisposisi yaitu faktor yang memudahkan munculnya perilaku untuk taat meminum obat (WHO, 2003) Sedangkan menurut penelitian Pramono (2005) di RS kusta Tugurejo Semarang, bahwa salah satu faktor yang sangat penting dalam keberhasilan pengobatan penderita kusta adalah promosi kesehatan, dalam bentuk sosialiasi door to door, serta komitmen petugas kesehatan dalam melakukan tugas-tugasnya dalam mengawasi proses pengobatan penderita kusta. Hasil survai awal yang dilakukan pada bulan April 2008 di Desa Cot Ara dan Alue Buya Pasi Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, bahwa masih ada penduduk di lingkungan penderita kusta merasa “risih” dan tidak mau melakukan aktivitas bersama dengan penderita kusta, bahkan ada beberapa penderita kusta yang dikucilkan dari pemukiman. Wawancara dengan 3 (tiga) petugas kusta Puskesmas, rata-rata mereka hanya mencatat jumlah kasus sebagai tuntutan program puskesmas saja, namun tidak melakukan tindakan monitoring terhadap penderita kusta sampai dinyatakan selesai makan obat. Beberapa catatan wawancara tersebut mengindikasikan bahwa pemahaman tentang penyakit kusta masih rendah dimasyarakat, sehingga berdampak terhadap kepatuhan penderita kusta untuk berobat sampai dinyatakan RFT. Menurut Sunarsih (2002) yang dikutip oleh Suhadi (2005), ada beberapa faktor yang memengaruhi ketaatan pasien dalam penggunaan obat, antara lain budaya, kepercayaan pasien, sikap dan ketrampilan komunikasi dokter dan pemberi
Universitas Sumatera Utara
obat, keterbatasan waktu konsultasi, kurangnya informasi tertulis, serta kepercayaan masyarakat tentang pemberian obat. Nukman (1997) melaporkan, kelalaian berobat dapat dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor: sarana, penderita sendiri, keluarga, masyarakat lingkungan dan faktor sosio ekonomi. Faktor sarana ditentukan oleh tersedianya obat yang cukup dan kontinyu dan dedikasi petugas pelayanan kesehatan yang cukup baik. Kepatuhan berobat penderita kusta dapat disinergiskan dengan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan sesuai dengan konsep Health Belief Model (HBM) yang dikemukakan oleh Rosentock (1980), bahwa kepercayaan individu terhadap pelayanan kesehatan dalam hal ini kepatuhan berobat mencakup lima unsur utama yaitu: persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility), pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa individu terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya (perceived threats). Penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik, bahwa sikap penderita kusta terhadap pengobatan penyakit kusta berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat, dan sejalan dengan penelitian Oesman (1993) di Tanggerang, bahwa secara statistik terdapat pengaruh signifikan kepercayaan penderita kusta terhadap kepatuhan berobat. Penanggulangan penyakit kusta akan berhasil guna, jika masyarakat ikut serta membantu petugas kesehatan dalam pencarian penderita kusta baru, pemantauan
Universitas Sumatera Utara
minum obat bagi penderita yang sudah mulai berobat, memberikan penyuluhan kepada masyarakat di wilayah yang endemis kusta. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan gagalnya pengobatan penderita kusta adalah faktor keluarga yaitu rendahnya pengetahuan keluarga tentang perawatan, dan pengobatan penderita kusta, minimnya dukungan masyarakat terhadap upaya penanggulangan penyakit kusta, bahkan adanya perilaku diskriminatif terhadap penderita kusta, sehingga penderita kusta tidak mau melakukan pengobatan secara rutin ke puskesmas atau minum obat sampai selesai, selain itu juga peran petugas kesehatan yang relatif kurang dalam memberikan penyuluhan kesehatan, penemuan kasus baru serta masih lemahnya pemantauan petugas kesehatan terhadap penderita kusta (Depkes RI, 2006). Penelitian Racmawati dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan bahwa peran keluarga sangat penting dalam meningkatkan motivasi penderita kusta untuk berobat secara teratur. Peran tersebut diwujudkan melalui pemantauan terhadap jadwal minum obat dan mengamatinya sampai benar-benar minum obat secara sempurna. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh persepsi tentang penyakit dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan dalam pengobatan penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan dalam pemakaian obat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan penderita dalam berobat
di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
1.4 Hipotesis Penelitian Persepsi tentang penyakit kusta dan dukungan keluarga berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan dalam berobat penderita kusta di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat : 1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam perencanaan pemberantasan penyakit kusta di wilayah kerjanya. 2. Memberikan masukan kepada puskesmas dalam peningkatan pemantauan pengobatan penderita kusta sampai selesai berobat dan dinyatakan RFT 3. Konstribusi terhadap peningkatan dan pengembangan ilmu administrasi kebijakan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara