1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit tertua yang sampai saat ini masih menyerang manusia (Carter et al., 2003). Penyakit ini sudah diketahui sejak zaman Yunani, namun penyebabnya baru diketahui pada abad ke-19 oleh Laveran yang dalam penelitiannya melihat ada sesuatu berbentuk pisang dalam darah penderita penyakit malaria. Temuan Laveran tersebut disempurnakan oleh Ross pada tahun 1897 yang menyatakan bahwa penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk-nyamuk yang hidup di rawa-rawa (Gandhahusada et al., 1998). Rekaman sejarah abad 19 mencatat bahwa pada perang pasifik diperkirakan sekitar 500 ribu tentara AS terinfeksi penyakit malaria dan 60 ribu tentara di antaranya meninggal (Abelaal, 2006). Penyakit malaria juga menjadi ancaman yang serius bagi tentara pada perang dunia pertama setelah pengobatan dengan kina mengalami banyak kegagalan (da Silva, 2014). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penyakit malaria termasuk penyakit parasit yang paling fatal selama awal 1950-an di Semenanjung Korea (Huh, 2014). Sampai saat ini, tingkat kejadian penyakit malaria juga masih tinggi. WHO melaporkan sekitar setengah populasi dunia mengalami risiko penyakit malaria dengan estimasi 243 juta kasus infeksi dan mengakibatkan hampir 863 ribu orang mengalami kematian pada tahun 2008 (WHO, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh ahli kimia di Imperial College London di Inggris dan ilmuwan biologi di 1
2
Institut Pasteur/Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) di Perancis melaporkan bahwa penyakit malaria menyebabkan 3 juta kematian setiap tahun. Sementara pendapat lain menyatakan bahwa empat puluh persen orang di seluruh dunia berisiko terjangkit infeksi penyakit malaria (Kaushansky et al., 2014). Penyakit malaria terjadi terutama di daerah tropis Afrika, Asia, dan Amerika Latin dan sub tropis seperti sebagian besar daerah Asia (khususnya Asia Tenggara), Amerika (khususnya Amerika Selatan) dan Sub-Sahara Afrika (Achmadi, 2005). Setiap tahun terjadi sekitar 100 juta kasus dan setidaknya 50.000 kematian di luar Sub Sahara, sementara di dalam Sub Sahara, malaria menyebabkan kematian sekitar satu juta anak per tahun (Stowers, 2001). Asia menempati urutan kedua setelah Afrika dalam kasus penyakit malaria dengan 19 negara di antaranya merupakan endemik penyakit malaria (Bhatia, 2013). Sementara di Benua Amerika, sekitar 170 juta jiwa berisiko tertular penyakit malaria (Arevalo-Herera et al., 2012). Sebagai bagian dari Benua Asia, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan iklim tropis yang perubahan iklimnya akan berdampak pada masalah kesehatan (Suwito et al., 2010) terutama penyakit malaria (Puspawati et al., 2011). Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan yang penting, khususnya di luar Pulau Jawa dan Bali (Handayani et al., 2008). Lebih dari 20 vektor malaria telah menginfeksi jutaan penduduk setiap tahunnya ( Elyazar et al., 2011). Indonesia merupakan negara yang berkomitmen memberantas penyakit malaria (Murhandarwati, 2014). Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan dengan dibantu oleh WHO dan United State of America Indonesia Development
3
(USAID) sejak tahun 1959 yang disebut Malaria Eradication Program (MEP). Tahun 1962 dilakukan pencanangan program yang disebut KOPEM (Komando Operasi Pembasmi Penyakit malaria). Tahun 1968 KOPEM secara resmi dihapuskan, selanjutnya metode penanggulangan diubah menjadi Program Pemberantasan Penyakit Malaria (Penyakit Malaria Control Program). Kegiatan pemberantasan malaria di Indonesia dilakukan hampir di seluruh provinsi, tidak terkecuali Provinsi Papua (Sorontou et al., 2007). Salah satu wilayah yang berisiko terjangkit penyakit malaria adalah wilayah Danau Sentani yang sebagian besar wilayahnya terletak di Kabupaten Jayapura yaitu di Distrik Sentani Timur (Walukow, 2011). Dari empat species penyebab malaria yaitu P. falciparum, P. penyakit malariae, P. ovale dan P. vivax (White, 1989), dua di antarnya yaitu P. falciparum dan P. vivax merupakan penyebab penyakit malaria di Propinsi Papua. Harijanto (2000) dalam penelitiannya menemukan vektor utama nyamuk Anopheles di Propinsi Papua adalah An. punctulatus, An. farauti, dan An koliensis, sedangkan yang menjadi vektor sekunder adalah An. subpictus. Tahun 2007 kasus penyakit malaria di Kabupaten Jayapura sebanyak 40.964 orang (Annual Malaria Incidence/AMI: 336 per 1.000 penduduk) dengan penderita penyakit positif Plasmodium sebanyak 18.981 kasus (Annual Parasite Incidence/API 167/1.000 penduduk). Kasus tersebut menurun 24% pada tahun 2008 menjadi 31.072 kasus (AMI 274 per 1.000 penduduk) dengan penyakit malaria dengan positif Plasmodium sebanyak 16.058 kasus (API 142 per 1.000 penduduk). Tahun 2009 kasus penyakit malaria turun menjadi 13.824 kasus (AMI 122 per 1.000 penduduk) penyakit malaria dengan total positif Plasmodium
4
sebanyak 10.217 kasus (API 90 per 1.000 penduduk). Tahun 2013, kasus malaria di Kabupaten Jayapura meningkat lagi dengan API 232 per 1000 penduduk.
Gambar 1.1. Grafik Perbandingan Prediksi dan Realita Angka Malaria Sampai Tahun 2026
Gambar 1.2. API Kabupaten Jayapura 2013 Sumber: Bidang Dalmaskes Dinkes Kabupaten Jayapura 2013 Kejadian penyakit malaria di Kabupaten Jayapura juga tidak merata. Dari 16 wilayah Puskesmas, pada tahun 2008 kejadian penyakit malaria ditemukan di tiga wilayah Puskesmas yaitu Puskesmas Sentani Timur, Puskesmas Sentani, dan Puskesmas Sentani Barat dinyatakan sebagai daerah endemis. Tingkat endemisitas
5
penyakit malaria di Kabupaten Jayapura dinyatakan dengan stratifikasi High Case Incidence (HCl), terhadap tiga distrik ini.
Gambar 1.3. Peta Administrasi Lokasi Penelitian Penyakit malaria dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor lingkungan (Kienberger et al., 2014). Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan biotik. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan suhu, kelembaban, curah hujan, kondisi air, ketinggian, lahan, maupun kondisi tempat tinggal. Faktor lingkungan biotik dapat berupa biologi terestial, akuatik, dan vektor nyamuk malaria. Suhu udara merupakan transmisi penyakit malaria (Blanford et al., 2013; McCuthan et al., 2004; Weiss et al., 2014). Semakin tinggi suhu (sampai batas tertentu) akan berakibat pada makin pendeknya masa inkubasi ekstrinsik, begitu juga sebaliknya (Friarayatini et al., 2006). Pada suhu 26oC masa inkubasi
6
ekstrinsik pada species Plasmodium berbeda misalnya: P. falciparum (12 hari); P. vivax dan P. ovale (13 sampai 17 hari), sedangkan P. penyakit malariae (28-30 hari) (Depkes RI, 1992). Suhu udara maksimum pada siang hari di wilayah Danau Sentani adalah 32,2C dan suhu udara minimum pada malam hari mencapai 23,6C, dengan suhu rata-rata berkisar antara 27,6C. Kondisi suhu wilayah Danau Sentani ini mendorong terjadinya perkembangbiakan nyamuk Anopheles. Perubahan
iklim
merupakan
faktor
penting
yang
mempengaruhi
perkembangan penyakit malaria (Omumbo et al., 2004). Iklim yang terdapat di wilayah Danau Sentani adalah iklim tropis basah dengan intensitas hujan yang tinggi (200 mm per bulan). Curah hujan tinggi ini disebabkan penguapan air danau yang tinggi, yang membentuk gumpalan awan di puncak Pegunungan Cycloops. Ketika mengalami kondensasi udara, akan terjadi curah hujan lokal sepanjang hari. Tingginya curah hujan ini menjadi penyebab perkembangan nyamuk Anopheles. Kelembaban
udara
juga
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi
berkembangnya nyamuk Anopheles. Subbarao (1998) menyatakan bahwa kelembaban serta suhu udara berpengaruh besar terhadap perilaku nyamuk. Kelembaban yang tinggi akan berpengaruh terhadap agresifitas nyamuk dalam mencari dan mengisap darah manusia. Di wilayah Danau Sentani terjadi kelembaban yang tinggi sehingga memungkinkan nyamuk Anopheles berkembang dengan cepat. Di wilayah Danau Sentani, curah hujan yang tinggi menyebabkan genangan air terjadi di mana-mana, sehingga nyamuk dapat leluasa berkembang biak.
7
Kondisi air genangan dengan pH yang rendah mengakibatkan perkembangbiakan larva atau jentik nyamuk menjadi semakin cepat (Depkes RI, 2004). Air yang menggenang lebih berpotensi menjadi tempat berkembang biak nyamuk daripada air yang mengalir. Dalam sebuah penelitian di Kenya, lebih dari tiga perempat air genangan yang diteliti terdapat larva Anopheles (Ndenga et al., 2011). Wilayah Puskesmas Sentani berada di sekitar danau yang dikelilingi oleh topografi perbukitan dan pegunungan yaitu: Pegunungan Cycloops yang tingginya berkisar 800 m sampai dengan 2.000 m di atas permukaan laut. Ketinggian dataran ini memungkinkan nyamuk memiliki jangkauan yang lebih luas dibanding dataran tinggi (Minakawa et al., 2006). Di samping itu, lahan kosong yang tidak dirawat dengan baik akan ditumbuhi semak-semak dan menjadi sarang nyamuk Anopheles. Sementara itu kondisi pemukiman/rumah di wilayah Danau Sentani kebanyakan didirikan di atas danau. Rumah penduduk umumnya terbuat dari bahan lokal dengan tipe rumah panggung di atas air danau, sedangkan rumah semi permanen terdapat di bantaran Danau Sentani. Kondisi dinding rumah banyak yang kurang rapat karena hanya terbuat dari papan. Banyak rumah yang tidak memiliki plafon, tidak berkelambu, tidak memiliki sanitasi (WC), penerangannya tidak cukup, kotor, dan masih banyak lagi kekurangannya yang mengakibatkan menjadi sarang nyamuk. Penyebab penyakit malaria juga erat kaitannya dengan lingkungan biologi. Keberadaan danau dan didukung oleh curah hujan yang tinggi memungkinkan tumbuhnya pohon-pohon dan hewan-hewan liar di wilayah danau Sentani, mulai
8
dari tanaman yang bisa hidup di air maupun di bantaran danau. Tumbuhan yang hidup di air misalnya eceng gondok dan sejenisnya dapat menjadi tempat yang baik bagi nyamuk untuk berkembang biak. Sementara tumbuhan yang berada di bantaran danau terdapat tumbuhan sagu, nipah, dan lain-lain. Bantaran danau yang memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) (80.117 Ha) yang terhampar sampai kaki pegunungan Cycloops dengan 16 sungai yang bermuara ke Danau Sentani, memungkinkan banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Tumbuhan liar memungkinkan bagi nyamuk untuk bersarang dan berkembang biak. Selain tumbuhan, berbagai jenis hewan, termasuk hewan ternak masyarakat yang kandangnya kurang diperhatikan masalah kebersihannya, juga menjadi tempat bersarangnya nyamuk. Selain faktor lingkungan, penyakit malaria juga tidak terlepas dari faktor sosial, yaitu faktor yang berhubungan dengan segala aktifitas masyarakat terutama dalam berhubungan dengan lingkungannya (social-ecology) (Gilioli et al., 2014). Faktor sosial tidak dapat dipisahkan dari penyakit malaria. Aktifitas yang buruk akan berdampak pada semakin memburuknya lingkungan sehingga meningkatkan penyakit malaria. Keadaan sosial di wilayah Danau Sentani mendukung perkembangbiakan nyamuk. Kepadatan penduduk di wilayah Danau Sentani tergolong cukup padat. Jumlah penduduk distrik Sentani pada tahun 2012 yang meliputi sepuluh kampung/kelurahan sebanyak 47.758 jiwa/km2. Kepadatan empat lokasi penelitian adalah 3.755 jiwa yang terdiri dari Kampung Hobong 846 jiwa, Ifar Besar 817 jiwa, Ifale 1.132 jiwa, dan Kampung Kehiran/Yoboi 960 jiwa (BPS Jayapura, 2012). Kepadatan penduduk di wilayah Danau Sentani diakibatkan oleh para
9
pendatang dari luar Papua seperti suku Bugis, Makasar, Toraja, Batak dan Jawa. Para pendatang tersebut akhirnya menetap dengan berbagai profesi seperti pedagang, buruh bangunan, swasta, Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan polri serta profesi lainnya. Berdasarkan hasil prasurvei yang dilakukan pada bulan April 2012, sebagian besar masyarakat di wilayah Danau Sentani memiliki pengetahuan yang minim terhadap penyakit malaria. Ada masyarakat yang belum mengetahui bahwa penyakit malaria sangat berbahaya sehingga membutuhkan penanganan yang cepat. Ada juga masyarakat yang belum paham dengan jelas gejala penyakit malaria sehingga ketika merasa kurang enak badan misalnya demam tinggi hanya dianggap sebagai demam biasa. Sebagian lainnya belum mengetahui bagaimana cara pengobatan penyakit malaria dengan baik dan benar. Beberapa masyarakat mengemukakan bahwa ketika digigit nyamuk yang terindikasi nyamuk Anopheles, bahkan pengobatannya dilakukan secara tradisional (Hasil wawancara pada prasurvei, 18 April 2012). Kejadian penyakit malaria di wilayah Danau Sentani juga dapat dikarenakan sikap masyarakat dalam menghadapi penyakit malaria. Sebagian masyarakat menganggap kalau penyakit malaria merupakan penyakit biasa. Saat menderita demam, sebagian orang tidak melakukan pengobatan atau menunggu sembuh dengan
sendirinya.
Hasil
prasurvei
yang
dilakukan
(18
April
2012)
memperlihatkan sebagian masyarakat merasa tidak takut dengan nyamuk Anopheles.
10
Faktor perilaku masyarakat di wilayah Danau Sentani terhadap penyakit malaria dapat pula menjadi penyebab penyakit malaria. Sebagian masyarakat saat tidur pada malam hari tidak menggunakan kelambu. Menurut sebagian masyarakat, menggunakan kelambu justru mengganggu tidur karena merasa tidak nyaman atau tidak bebas. Sebagian masyarakat juga mengemukakan bahwa jarang mengeringkan genangan air yang ada sekitar rumah khususnya bila musim hujan tiba. Salah satu kebiasaan masyarakat terutama kaum laki-laki adalah berbincangbincang dengan teman-teman di luar rumah sampai larut malam sehingga risiko digigit nyamuk Anopheles menjadi sangat tinggi. Kebiasaan itu diperparah dengan tidak mengenakan baju saat berbincang-bincang. Sebagian masyarakat juga mengemukakan
tidak
membersihkan
rumah
secara
teratur
sehingga
memungkinkan nyamuk Anopheles semakin berkembang biak. Perilaku buruk masyarakat lainnya di wilayah Danau Sentani adalah membuang sampah sembarangan. Kesadaran mengenai pentingnya kebersihan untuk menunjang kesehatan masih rendah. Selain itu, kondisi rumah yang didirikan di atas danau ini, sebagian besar masyarakat membuat hajat atau Buang Air Besar (BAB) dilakukan secara langsung dari atas rumah sehingga menyebabkan danau semakin kotor (Hasil prasurvei, 2012). Faktor-faktor tersebut, diduga bisa menjadi penyebab kejadian penyakit malaria di Papua khususnya di wilayah Danau Sentani. Terbukti bahwa sampai saat ini wilayah Danau Sentani masih tetap menjadi daerah endemik penyakit malaria. Jumlah masyarakat yang tertular penyakit malaria di wilayah ini juga tidak berkurang. Terkait dengan itu, pentingnya dilakukan penelitian di lokasi ini
11
dengan mengarahkan topik penelitian pada faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit malaria di wilayah Danau Sentani, yaitu faktor lingkungan fisik, biologi, dan faktor sosial. Penelitian yang dilakukan saat ini adalah dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit malaria di Papua.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat disampaikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan secara spasial risiko lingkungan fisik dengan penyebaran penyakit malaria di wilayah Danau Sentani? 2. Bagaimana hubungan secara spasial risiko lingkungan biotik dengan siklus hidup nyamuk anopheles di wilayah Danau Sentani ? 3. Bagaimana hubungan risiko lingkungan sosial dengan penularan penyakit malaria di wilayah Danau Sentani?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Mayor Menganalisis secara spasial komponen risiko lingkungan fisik, biotik serta perilaku masyarakat yang menopang kejadian malaria di wilayah Danau Sentani secara khusus bahkan Provinsi Papua dalam menekan serta mengurangi kejadian malaria di wilayah Danau Sentani.
12
2. Tujuan Minor a. Untuk menganalisis secara spasial hubungan risiko keruangan lingkungan fisik dengan kejadian malaria di wilayah Danau Sentani. b. Untuk menganalisis secara spasial hubungan risiko lingkungan biologi dengan kejadian malaria di wilayah Danau Sentani. c. Untuk menganalisis hubungan antar risiko lingkungan sosial dengan kejadian malaria di wilayah Danau Sentani.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Kajian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran terhadap penanggulangan faktor risiko lingkungan fisik, biotik dan sosial terhadap kejadian penyakit malaria di papua secara umum dan di wilayah Danau Sentani secara khusus. Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya hasil-hasil penelitian sebelumnya yang memabahas tentang penyakit malaria di papua dari berbagai sudut pandang keilmuan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran lain dari penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya berkaitan dengan penanggulangan penyakit malaria.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rujukan/rekomendasi kepada pejabat pengambil kebijakan pada instansi yang berkepentingan agar dalam upaya pengendalian kejadian penyakit malaria di Kabupaten Jayapura memperhatikan secara khusus rujuikan yang ada untuk menanggulangi secara
13
efektif kejadian malaria di wilayah Distrik Sentani Kabupaten jayapura, mengingat penyakit malaria merupakan yang paling ditakuti masyarakat secara umum di seluruh Provinsi papua..
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang menggunakan analisis spasial faktor risiko lingkungan fisik, biologi, dan sosial terhadap kejadian penyakit malaria di wilayah Danau Sentani merupakan penelitian yang cukup luas topiknya karena membahas tentang kondisi keruangan/spasial yang terdapat di Kabupaten Jayapura khususnya wilayah Danau Sentani yang terdiri dari: 1. Risiko lingkungan fisik seperti curah hujan mempengaruhi penularan penyakit malaria sebesar 60% dari 100% yang diharapkan. 2. Risiko lingkungan biotik seperti kerapatan vegetasi (eceng gondok) sebesar 60% mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, sedangkan 3. Risiko lingkungan sosial yang terdiri dari kepadatan, pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dan lingkungan pemukiman memiliki nilai R2 = 14% dari 100% yang diharapkan. Kemudian pembuatan peta-peta yang terdiri dari lokasi perkembangbiakan nyamuk dan larva serta wilayah potensial penyakit malaria dapat membantu dalam upaya pengendalian penyakit malaria di wilayah Danau Sentani. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan baik melalui studi kepustakaan khususnya di perpustakaan Universitas Gadjah Mada maupun melalui internet mengenai penelitian kejadian penyakit malaria di Provinsi Papua
14
sudah pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian tersebut yakni: manajemen pengendalian penyakit malaria di Kabupaten Asmat, Analisis manajemen lingkungan terhadap kejadian penyakit malaria di Biak Numfor dan sejumlah penelitian lainnya terhadap kejadian penyakit malaria seperti di Kabupaten Nabire dan Timika. Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dapat dijelaskan seperti berikut. 1. Harijani (1994) melakukan penelitian dengan judul “Penyakit malaria di Kodya Manado”. Penelitiannya menggunakan metode metode observasi. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa An. Aconitus menggigit baik manusia maupun ternak, sedangkan A. moculatus lebih senang mengigit ternak, maka diharapkan manusia menggunakan obat anti gigitan nyamuk untuk mengurangi tertular penyakit malaria. 2. Waluyo (1995) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan faktor-faktor pengetahuan, pendidikan, dan persepsi penduduk terhadap kejadian penyakit malaria”. Penelitiannya menggunakan metode Case Control. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa tingkat pengetahuan, pendidikan, persepsi serta kebiasaan membuka pintu dan jendela pada saat matahari terbenam, jenis pekerjaan dan keberadaan ternak di halaman rumah tidak berhubungan dengan kejadian penyakit malaria, sedangkan kebiasaan tidur yang berpengaruh adalah tidak berkelambu pada malam hari dan kebiasaan penduduk keluar rumah pada malam hari berhubungan dengan kejadian penyakit malaria.
15
3. Weraman (2000) melakukan penelitian dengan judul “Faktor risiko penyakit malaria dan upaya penanggulangan melalui perawatan kesehatan di Kabupaten Rumba Timur”. Penelitiannya menggunakan metode observasional case control dengan jenis penelitian eksperimen. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa ada hubungan antara lingkungan perilaku manusia, kinerja petugas kesehatan sangat berpengaruh dengan penurunan tingkat kejadian penyakit malaria. 4. Sukowati (2000) melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan model pemberantasan penyakit malaria di Lombok Nusa Tenggara Barat”. Metode penelitiannya
menggunakan
metode
observasional.
Berdasarkan
hasil
penelitiannya dapat diketahui bahwa model pencegahan penyakit malaria adalah dengan penggunaan kelambu. 5. Dewi (2001a) melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi KLB penyakit malaria di Jawa Timur”. Metode penelitiannya menggunakan metode observasi. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit malaria adalah kebiasaan masyarakat bekerja malam hari tanpa menggunakan pakaian pelindung. 6. Dewi (2001b) melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Angka Malaria di Jawa Timur”. Penelitiannya menggunakan metode observasi. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa baju yang tergantung di dalam rumah adalah salah satu faktor yang dapat menaikkan Annual Paracite Incidence (API).
16
7. Sudomo (2000) melakukan penelitian dengan judul “Penanggulangan penyakit malaria di Kecamatan Padang Cermin Lampung”. Penelitiannya menggunakan metode observasi. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa pengrusakan hutan mangrove menyebabkan naiknya angka kesakitan penyakit malaria. 8. Marsiastuti (2006) melakukan penelitian dengan judul “Partisipasi masyarakat dalam pos penanggulangan penyakit malaria desa (PPMD) sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit malaria di Kabupaten Kulon Progo”. Penelitiannya menggunakan metode cross sectional/kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan, faktor persepsi tentang peran koordinator PPMD, persepsi kerjasama lintas sektoral dan dukungan dinas berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam memberantas penyakit malaria. 9. Marrai (2006) melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan dinamika penularan penyakit malaria falciparum di Kecamatan Nabire Kota”. Penelitiannya menggunakan metode Cross Sectional. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antar kondisi lingkungan, kondisi penduduk, dan keberadaan vektor dengan kejadian penyakit malaria (falciparum) di Kecamatan Nabire Kota. 10. Tjitra (2008) melakukan penelitian dengan judul “Multidrug-Resistant Plasmodium vivax Associated with Severe and Fatal Malaria: A Prospective Study in Papua, Indonesia ”. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika, dan menemukan sejak bulan Januari 2004
17
sampai Desember 2007 dari 373,450 pasien, 63,404 (17%) adalah penderita malaria. Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian yang terdahulu. Perbedaan penelitian ini dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu: lokasi penelitian dilakukan di wilayah Danau Sentani yang sebelumnya belum pernah dilakukan, metode pendekatan yang digunakan menggabungkan cross sectional, observasional, dan wawancara. Penelitian terdahulu belum pernah ada yang menggabungkan metode pendekatan tersebut. Selain itu, variabel-variabel dalam penelitian ini difokuskan ke dalam tiga faktor, yakni: faktor lingkungan fisik, faktor biologi, dan faktor sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu.