BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika Serikat dan di negara lainnya berisiko untuk terkena penyakit ginjal kronik. Insiden dan prevalensi terjadinya penyakit ginjal kronik ini semakin meningkat setiap tahunnya, dengan outcome yang rendah dan biaya pengobatan yang sangat tinggi (Lankhorst dan Wish, 2010). Jumlah penderita PGK di seluruh dunia semakin meningkat, di Amerika Serikat pada tahun 2009 terdapat 116.395 penderita PGK yang baru. Lebih dari 380 ribu penderita PGK menjalani terapi hemodialiasis regular (USRDS, 2011). Di Indonesia pada tahun 2011 terdapat 15.353 pasien yang baru menjalani terapi hemodialisis dan jumlah penderita PGK yang menjalani terapi hemodialisis meningkat sebanyak 4.268 orang pada tahun 2012. Sampai akhir 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR, 2013). Dalam rentang waktu 1999 himgga 2004, terdapat 16,8% dari populasi penduduk yang berusia di atas 20 tahun mengalami penyakit PGK. Persentase ini meningkat jika dibandingkan dengan data 6 tahun yang lalu, yaitu 14,5% (CDC, 2007). Penyakit PGK merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam sehingga mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya akan berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
1
pengganti
ginjal
yang
tetap,
berupa
dialisis
atau
transplantasi
ginjal
(Suwitra, 2006). Pasien dengan PGK akan mengalami kerusakan fungsi ginjal yang kronik sehingga akan mengakibatkan pasien akan susah untuk ditolong. Penatalaksanaan PGK dilakukan dengan 3 cara, yaitu terapi konservatif, terapi asimptomatik dan terapi pengganti ginjal. Pada pasien PGK pada fase gagal ginjal tahap akhir terapi yang digunakan adalah terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal yang sering
dilakukan
pada
pasien
PGK
tahap
akhir
adalah
hemodialisis
(Cibulka dan Racek, 2007). Anemia sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Berdasarkan data 80-90% pasien penyakit ginjal kronik mengalami anemia. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan komsentrasi hemoglobin < 13,0 gr/dL pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dL pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dL pada wanita dan 13,5 gr/dL pada laki-laki ≤ 70 tahun dan 12,0 gr/dL pada laki-laki > 70 tahun. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dL (hematokrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien prepubertas, dan <12,0 gr/dL (hematokrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmeopause.
2
Sedangkan menurut PERNEFRI (2011), dikatakan anemia pada penyakit ginjal jika Hb ≤ 10 gr/dL dan Ht ≤ 30% (Suwitra, 2006). Eritropoetin (EPO) digunakan sebagai terapi anemia pada pasien PGK. pemakaian EPO adalah untuk mengoreksi anemia pada penyakit ginjal kronik dengan target Hb 11-12 gr/dL. Kadar hemoglobin lebih dari 13 gr/dL meningkatkan resiko kejadian thrombosis. Eriteopoetin menurut Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) diindikasikan bila didapat Hb ≤ 10 gr/dL, Ht ≤ 30%, penyebab anemia lain sudah disingkirkan dan status besi yang cukup (Suwitra, 2006). DRPs adalah tantangan besar untuk penyedia layanan kesehatan, terutama farmasi, karena DRPs dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir beresiko tinggi mendapatkan DRPs (Grabe et al, 1997). Juga, dewasa ini, tingkat prevalensi gangguan fungsi ginjal yang diakibatkankan oleh DRP menjadi lebih besar. Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta merupakan salah satu rumah sakit yang memberikan palayanan tindakan hemodialisis. Unit hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah memiliki 24 mesin dialisis dan tempat tidur. Semua kegiatan hemodialisis pasien tercatat secara digital dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Unit Hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta melayani pasien hemodialisis dengan jumlah yang relatif banyak. Setiap harinya unit hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta bisa melakukan tindakan hemodialisis sebanyak 56 tindakan. Pelayanan pada unit hemodialisis di
3
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dilakukan setiap hari dimulai pada pagi hari sampai malam hari dan dibagi dalam 3 shift kerja. Unit hemodialisis rata-rata menerima pasien pagi hari sebanyak 22 pasien, siang hari sebanyak 22 pasien dan sore hari sebanyak 12 pasien. Hal ini cukup membuktikan bahwa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta mendapat kepercayaan dari konsumen khususnya di Unit Hemodialisis. Penelitian tentang identifikasi DRPs terapi eritropoetin pada pengobatan anemia pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis belum pernah dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kasus terhadap pasien dengan gangguan PGK untuk keperluan identifikasi dan penyelesaian DRPs dengan kategori ada indikasi tetapi tidak diterapi, tidak ada indikasi tetapi diterapi, dosis berlebih, dosis sub terapi, adverse drugs reaction, kegagalan menerima obat dan interaksi obat.untuk dapat melihat seberapa besar angka kejadian DRPs yang terjadi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Apa saja DRPs yang terjadi pada terapi eritropoetin pada pengobatan anemia pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Mengetahui DRPs pada terapi eritropoetin pada pengobatan anemia pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
4
D. Manfaat Penelitian 1. Dapat diketahui DRPs pada terapi eritropoetin pada pengobatan anemia pasien PGK dengan hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Dapat memberikan masukan kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan yang ada sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan eritropoetin di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 3. Dapat memberikan peluang kepada farmasis, khususnya farmasi klinis untuk berperan aktif dalam pemantauan penggunaan obat di rumah sakit untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 4. Dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mengurangi kejadian DRPs pada terapi. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penulusuran baik yang dilakukan melalui kepustakaan ataupun melalui internet mengenai penelitian yang memfokuskan pada DRPs pada terapi eritropoetin pengobatan anemia pasien PGK dengan hemodialisis di Yogyakarta belum pernah dilakukan sebelumnya, namun telah ada beberapa penelitian yang terkait dengan identifikasi DRPs pada pasien hemodialisis yang dilakukan oleh peneliti lain, antara lain adalah:
5
Tabel 1. Penelitian-penelitian yang relevan No. 1.
Peneliti Khasanah, 2011
Fokus Kajian DRPs pasien hemodialisis rutin di Rs PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode MeiJuli 2010
Metode Observasional deskriptif
2.
Irawati, 2010
Kajian DRPs pada penatalaksanaan pasien hemodialisis di RSAL Dr. Ramelan Surabaya
Cross sectional analitik secara prospektif observasional
3.
Ndaru, 2013
Kajian DRPs dan gambaran kualitas hidup pasien hemodialisis rutin pasien lanjut usia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Cross sectional
Temuan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe DRPs yang terjadi pada pasien hemodialisis adalah indikasi yang tidak diterapi 2,17%, dosis sub terapi 21,01%, overdose 5,79%, efek samping obat 2,90%, kegagalan menerima obat 57,79% dan interaksi obat 10,15%. Hasil dari penelitian ini adalah dari 52 pasien yang di hemodialisis, 90,4% mengalami DRPs dan jenis DRPs yang terbanyak adalah kegagalan menerima obat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian DRPs dengan kualitas hidup pasien hemodilaisis rutin lanjut usia.
Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas karena penelitian ini menitik beratkan pada identifikasi DRPs pada terapi eritropoetin pengobatan anemia pada pasien PGK dengan hemodialisis dan belum pernah dilakukan di daerah Yogyakarta.
6