BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara persisten yang biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran nafas terhadap partikel atau gas berbahaya (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2013). Definisi terbaru PPOK menekankan bahwa PPOK adalah penyakit sistemik dengan manifestasi luar paru seperti miopati, osteoporosis, anemia, dan depresi. PPOK juga terkait dengan
komorbid penyakit kardiovaskuler
dan penyakit keganasan. Di Amerika Serikat, PPOK adalah penyebab kematian keempat (setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke), terhitung lebih dari 119.000 kematian per tahun. Prevalensi dan mortalitas PPOK meningkat lebih cepat dalam 2 dekade terakhir. Diperkirakan pada tahun 2020 PPOK menyusul stroke sebagai penyebab kematian tertinggi ketiga di Amerika Serikat. Biaya perawatan PPOK di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 32 miliar dolar per tahun (Owens & Malhotra, 2010). Di negara-negara berkembang misalnya Indonesia, terjadi transisi epidemiologi penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Insidensi penyakit tidak menular tersering yaitu penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, penyakit vaskuler perifer, keganasan dan PPOK meningkat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Ini disebabkan ketidaktahuan individu terhadap paparan
faktor risiko. Peningkatan usia harapan hidup juga memunculkan penyakit kronis dan disabilitas yang menimbulkan beban kesehatan. Tahun 2004, 34,5% penduduk Indonesia adalah perokok dan 28,4% diantaranya merokok tiap hari (Pradoyo et al., 2005). Penyakit paru obstruksi kronik termasuk penyakit kronik yang dapat berdampak psikologis, baik depresi maupun ansietas. Gangguan kesehatan mental seperti gejala depresi dan ansietas pada pasien PPOK, memberi banyak kontribusi terhadap berbagai varian kualitas hidup. Depresi merupakan prediktor yang lebih baik terhadap penurunan aktivitas sehari-hari dibandingkan forced expiratory volume in 1 second (FEV1). Depresi pada PPOK juga berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Depresi memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien PPOK. Deteksi dini dan terapi psikologis dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK dengan komorbid gejala psikologis (Cully et al., 2006). Ada bukti yang menunjukkan bahwa PPOK berhubungan dengan insomnia dan masalah tidur lainnya. Gangguan kualitas tidur dan desaturasi pada pasien PPOK dengan obstructive sleep apnea (overlap syndrome) memiliki risiko tinggi mengalami hipertensi pulmonal (pulmonary arterial hypertension) akibat hipoksemia. Task et al. menunjukkan bahwa 37% pasien PPOK mengalami desaturasi saat tidur. Douglas et al. juga melaporkan bahwa pasien PPOK mengalami penurunan saturasi oksigen lebih dari 10% sewaktu tidur dan 80% dari pasien ini mengalami desaturasi dibawah 50% (Surani, 2009).
Manifestasi psikologis PPOK sampai saat ini masih sedikit yang diobati. Agen psikoatif dapat membantu pasien PPOK yang mengalami depresi, ansietas, gangguan tidur atau nyeri. Pemberian obat-obatan ini harus memperhatikan efeknya terhadap pusat nafas. Obat antidepresan golongan trycyclic terbukti memperbaiki mood, namun efek sampingnya membatasi penggunaan obat ini. Obat golongan benzodiazepine tidak memiliki efek samping yang bermakna pada PPOK derajat ringan atau sedang, namun pada PPOK derajat berat dapat menekan pusat nafas, terutama saat tidur (Wilson, 2006). Meditasi untuk tujuan pengobatan adalah suatu praktek yang meliputi jiwa raga dan tergolong sebagai suatu complementary and alternative medicine (CAM). Ada beberapa tipe meditasi, umumnya berasal dari agama dan tradisi spiritual yang menggunakan teknik tertentu seperti memfokuskan perhatian pada suatu kata, objek, atau pernafasan, dengan postur spesifik dan sikap terbuka untuk mengalihkan pikiran dan emosi. Meditasi untuk tujuan kesehatan diterapkan pada beberapa masalah kesehatan seperti kecemasan, nyeri, depresi, masalah mood dan kepercayaan diri, stres, insomnia, simtom emosi atau fisik yang berkaitan dengan penyakit kronik (National Center for Compementary and Alternative Medicine, 2007). Salah satu tipe meditasi adalah teknik yang memfokuskan pada pengaturan pernafasan atau kata-kata yang diulang-ulang. Latihan pasrah diri adalah suatu metode yang memadukan antara relaksasi dan dzikir (relaxation and repetitive player), dimana timbulnya respons relaksasi diharapkan mampu memperbaiki gejala stres ataupun gejala depresi (Widodo, 2008). Intervensi yang mengurangi
gejala depresi berpotensi mempengaruhi hasil pengobatan PPOK (Tze-Pin et al., 2007). B. Pertanyaan Penelitian Apakah latihan pasrah diri yang dilakukan secara teratur dapat memperbaiki kualitas tidur penderita PPOK yang mengalami gejala depresi ? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh latihan pasrah diri terhadap perbaikan kualitas tidur penderita PPOK yang mengalami gejala depresi. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pasien Mendapatkan tambahan pengetahuan, latihan dan manfaat dalam pengelolaan terhadap gangguan tidurnya. 2. Bagi peneliti Hasil penelitian ini memberikan wawasan dan membuktikan secara klinis bahwa latihan pasrah diri merupakan modalitas terapi yang penting untuk perbaikan gangguan tidur penderita PPOK. 3. Bagi Institusi Diharapkan hasil penelitian ini dapat diterapkan dan dikembangkan sebagai modalitas terapi untuk memperbaiki gangguan tidur pada penderita PPOK. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh latihan pasrah diri sebagai terapi tambahan pada terapi standar diabetes melitus telah dilakukan oleh Widodo (2008) dan
Dharma (2006). Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil analisis pada akhir perlakuan terdapat perubahan bermakna rerata skor Beck Depression Inventory (BDI) antara kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Dalam sebuah literatur yang dirilis US Department of Health and Human services, berjudul Sleep Disorders and CAM: at Glance, analisis dari the National Health Interview Survey didapatkan 17,4% partisipan mengalami gangguan tidur atau insomnia dalam 12 bulan terakhir. Kebanyakan yang mengalami insomnia juga melaporkan gangguan psikiatrik berupa ansietas atau depresi, gagal jantung kronis, diabetes, hipertensi dan obesitas. Diantara partisipan yang mengalami insomnia, 4,5% menjalani terapi CAM, seperti terapi herbal (64,8%) atau terapi relaksasi (39,1%). Sebagian besar partisipan merasa terbantu dengan modalitas terapi ini. Chen et al. (2010) melakukan penelitian kuasi eksperimental pada 69 usia lanjut yang tinggal di panti jompo, kemudian membagi sampel penelitian menjadi dua yaitu kelompok latihan yoga (n=38) dan kelompok kontrol (n=31). Total 55 orang menyelesaikan penelitian selama 6 bulan (24 minggu). Intervensi yang diberikan adalah latihan yoga selama 70 menit/sesi yang dilakukan 3 kali per minggu dalam tiga kelompok kecil. Kualitas tidur dinilai dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan depresi dinilai dengan Taiwanese Depression Questionnaire. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang bermakna pada perbaikan kualitas tidur (p < 0,05). Taibi dan Vitiello (2011) melakukan penelitian terhadap 13 pasien osteoartritis yang mengalami insomnia dengan intervesi latihan yoga selama 8
minggu (75 menit/minggu). Pada penelitian ini didapatkan perbaikan yang signifikan terhadap beratnya indeks insomnia serta perbaikan komponen PSQI yaitu komponen daytime dysfunction dan sleep eficiency, sedangkan skor PSQI total dan komponen PSQI lainnya tidak signifikan. Pengaruh latihan pasrah diri pada populasi PPOK sebagai terapi tambahan, sejauh penelusuran kepustakaan yang peneliti lakukan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya.