BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah suatu penyakit akibat hilangnya sebagian kemampuan filtrasi atau penyaringan oleh ginjal. Hal ini bisa disebabkan oleh penurunan tekanan darah, terhambatnya sirkulasi darah di ginjal, hambatan aliran urin, dan kelainan struktur ginjal. Penurunan kemampuan filtrasi ginjal ada yang bersifat reversible (terbalikkan) dan irreversible (tidak terbalikkan). Tipe kerusakan ginjal yang dapat terbalikkan disebut penyakit ginjal akut sedangkan yang tidak terbalikkan disebut penyakit ginjal kronis. Secara umum, kerusakan pada penyakit ginjal kronis (PGK) justru bertambah semakin parah. Ketika kemampuan filtrasinya turun tujuh perdelapan maka kelangsungan hidup pasien tergantung pada dialisis atau transplantasi ginjal baru. Tahap ini disebut stadium akhir penyakit ginjal atau ESRD (End-Stage Renal Disease)(Walser, 2004). Penyakit ginjal kronis menjadi masalah besar bagi kesehatan dunia. Negara Amerika Serikat mengalami peningkatan angka kejadian penyakit ini setiap tahunnya (National Kidney Foundation, 2002). Menurut data dari National Chronic Kidney Disease Fact Sheet diperkirakan lebih dari 10 % orang dewasa di Amerika Serikat atau lebih dari 20 juta orang menderita penyakit ginjal kronis dengan berbagai tingkat keparahan. Pada umumnya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun (Monica, 2012). Prevalensi jumlah penderita penyakit ginjal kronis stadium
1
2
2- 5 di Amerika Serikat terus meningkat sejak tahun 1998. Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2003-2006 menunjukkan bahwa jumlah pasien stadium 1, 2, 3, 4, dan 5 sebesar 4,1%; 3,2%; 6,5%; dan 0,6 %. Rata-rata terjadi pada usia > 60 tahun (39,4%), usia 40-59 tahun (12,6%) dan usia 20-39 tahun (8,5%). Pada tahun 2010, total biaya yang telah dikeluarkan negara Amerika untuk pasien PGK stadium akhir sebesar $28 miliar dan diperkirakan pada tahun 2020 bisa mencapai $54 miliar (Gregory & Krol, 2011). Berdasarkan data dari National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), biaya yang dikeluarkan negara Amerika Serikat untuk dialisis pasien penyakit ginjal stadium akhir mencapai $35 milyar pertahun dan diperkirakan akan terus bertambah seiring pertambahan populasi penduduk yang menderita obesitas, gangguan metabolisme, dan diabetes (Monica, 2012). Di Indonesia, jumlah pasien PGK stadium akhir lebih banyak dibandingkan stadium lain. Data dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) 2012 menunjukkan bahwa diagnosa penyakit utama pasien hemodialisis baru dari data unit renal yang terkirim adalah penyakit ginjal akut sebanyak 1.893 pasien (12%), PGK stadium akhir sebanyak 13.213 pasien (83%) dan PGK stadium 1-4 sebanyak 874 pasien (5%). Pernyakit ginjal kronis juga dapat menyebabkan terjadinya komplikasi pada beberapa organ penting. Beberapa komplikasi penyakit ginjal kronis yang penting antara lain tekanan darah, anemia, malnutrisi, penyakit tulang, neuropathy perifer, dan diabetes (National Kidney Foundation, 2002). Penyakit yang biasanya menyertai pada stadium akhir antara lain diabetes (~ 37%), hipertensi (~ 24%),
3
glomerulonefritis (~15%), penyakit ginjal kistik (~ 4,7%) dan penyakit urologi (2,5%). Kira-kira 1 dari 3 orang yang terkena diabetes dan 1 dari 5 orang dewasa yang memiliki tekanan darah tinggi berisiko terkena penyakit ginjal kronis (Monica, 2012). Adanya komplikasi penyakit ini meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pasien. Salah satu komplikasi penyakit ginjal kronis adalah anemia. Anemia merupakan kondisi saat jumlah sel darah merah dalam tubuh kurang dari normal. Penegakan diganosisnya meliputi pengukuran hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct), dan persediaan zat besi (biopsi langsung pada sumsum tulang belakang, pengukuran serum ferritin, tingkat saturasi transferin, dan retikulosit). World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia berdasarkan tingkat hemoglobin dan jenis kelamin tanpa mempertimbangkan pengaruh usia dan kondisi menopause. Pada wanita terjadi anemia jika kadar hemoglobinnya ≤ 12 g/dl dan ≤ 13 g/dl pada pria (National Kidney Foundation, 2006). Penyebab utama anemia pada pasien PGK yaitu defisiensi eritropoietin. Eritropoietin merupakan hormon yang disekresi oleh ginjal untuk menstimulasi sumsum tulang memproduksi sel darah merah (Babitt & Herbert, 2012). Dalam keadaan normal 90% eritropoetin diproduksi ginjal dan hanya 10% diproduksi hati. Angka kejadian penyakit ginjal kronis komplikasi anemia cukup tinggi. Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III menunjukkan bahwa prevalensi anemia akan meningkat seiring penurunan laju filtrasi gromerulus atau peningkatan stadium penyakit ginjal kronis, mulai dari 8,4% pada stadium 1 hingga mencapai 53,4% pada stadium 5.
4
Pada tahun 2007-2010 di Amerika Serikat prevalensi anemia bisa mencapai dua kali (15,4%) dari keseluruhan pasien (7,6%) (Stauffer & Tao, 2014). Anemia meningkatkan mortalitas penyakit diabetes, penyakit jantung, dan penyakit ginjal kronis (Gregory & Krol, 2011). Beberapa penelitian mendefinisikan penatalaksanaan terapi anemia penyakit ginjal kronis terjadi jika kadar hemoglobinnya < 10 g/dl. Kadar hemoglobin yang rendah selalu terjadi pada pasien penyakit ginjal kronis dengan komplikasi anemia. Terapi untuk meningkatkan kembali kadar eritropoietin antara lain dialisis dan penggunaan Erythropoietin Stimulating Agents (ESA). ESA dapat menginduksi reseptor eritropoietin baik secara langsung maupun tidak langsung. Jenis ESA yang ada di pasaran adalah epoetin α, epoetin β, dan darbopoetin. Efektivitas terapi menggunakan ESA dilihat dari dosis ESA yang digunakan untuk meningkatkan atau menjaga kadar hemoglobin pada tingkat yang lebih besar dari ambang sasaran. Hal yang harus dipertimbangkan meliputi jenis ESA yang dipilih, dosis awal ESA, rute penggunaan ESA, frekuensi pemakaian, target Hb yang ingin dicapai, dan prediksi kenaikan kadar hemoglobin (Hb) (National Kidney Foundation, 2006). Pertimbangan ini akan mempengaruhi capaian kadar Hb yang dihasilkan. ESA merupakan pengobatan untuk penyakit anemia pada pasien PGK, namun jumlah pasien yang gagal merespon (hiporesponsif) terapi masih tinggi. Amerika Serikat menganggap bahwa hiporesponsif itu sebagai kegagalan terapi. Ada beberapa faktor yang mungkin dapat menyebabkan kegagalan tersebut. Kurangnya zat besi baik absolut maupun fungsional dapat menurunkan efikasi
5
ESA. Infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan gangguan metabolisme zat besi dan meningkatkan sekresi sitokin yang dapat menghambat proses erythropoiesis. Hiperparatiroid berat memicu penurunan responsivitas erythroid progenitor cells. Kurang adekuatnya dialisis dapat memberikan dampak negatif pada terapi ESA. Kelebihan aluminium berhubungan dengan metabolisme zat besi dan mengurangi efikasi ESA. Kekurangan vitamin B12, asam folat, dan vitamin C dapat menurunkan efektivitas ESA. Oleh karena itu, beberapa faktor tersebut harus diatasi sebelum atau selama terapi ESA (Drueke, 2001). Rendahnya kepatuhan pasien juga menjadi salah satu faktor minor terjadinya hiporesponsivitas terapi ESA (Johnson, dkk., 2000). Jenis ESA yang digunakan, kepatuhan, Hb awal terapi, dan obat antianemia lain merupakan faktor yang terlibat dalam terapi ESA dan dapat mempengaruhi capaian kadar Hb nya. Analisis faktor terapi terhadap capaian target terapinya penting untuk penentuan efektivitas suatu pengobatan. Faktor-faktor tersebut dapat dianalisis menggunakan data pengobatan dan catatan medis pasien. Analisis hubungan faktor-faktor ini dapat menjadi analisis pelengkap faktor terapi ESA yang lain. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, apakah faktor jenis ESA, kepatuhan, Hb awal terapi, dan penggunaan obat antianemia lain berhubungan dengan capaian kadar Hb ?
6
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor jenis ESA, kepatuhan, Hb awal terapi, dan penggunaan obat antianemia lain terhadap capaian kadar Hb. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penyedia Layanan Kesehatan Sebagai evaluasi dan optimasi terapi Erythropoietin Stimulating Agents (ESA) pada pasien penyakit ginjal kronis dengan anemia. 2. Bagi Peneliti (apoteker) Menambah wawasan mengenai penyakit ginjal kronis dengan anemia beserta efektivitas pengobatannya. E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit ginjal kronis a. Definisi penyakit Penyakit ginjal adalah suatu penyakit akibat hilangnya sebagian kemampuan filtrasi atau penyaringan oleh ginjal. Hal ini bisa disebabkan oleh penurunan tekanan darah, terhambatnya sirkulasi darah di ginjal, hambatan aliran urin, dan kelainan struktur ginjal. Penurunan kemampuan filtrasi ginjal ada yang bersifat reversible (terbalikkan) dan irreversible (tidak terbalikkan). Tipe kerusakan ginjal yang dapat terbalikkan disebut penyakit ginjal akut sedangkan yang tidak terbalikkan disebut penyakit ginjal kronis (Walser, 2004).
7
Penyakit ginjal kronis adalah kondisi yang berpotensi menurunkan fungsi ginjal secara progresif atau hasil komplikasi penurunan fungsi ginjal secara berkala (National Kidney Foundation, 2002). Menurut National Kidney Foundation, penyakit ginjal kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal selama kurang lebih 3 bulan (Bomback & George 2011). Hal ini disebabkan kerusakan pada penyakit ginjal kronis (PGK) bersifat tidak dapat terbalikkan (irreversible) dan justru bertambah semakin parah. Ketika kemampuan filtrasinya turun tujuh per delapan maka kelangsungan hidup pasien tergantung pada dialisis atau transplantasi ginjal baru. Tahap ini disebut stadium akhir penyakit ginjal atau End-Stage Renal Disease (ESRD) (Walser, 2004). b. Tanda dan gejala Tanda awal indikasi adanya kerusakan ginjal dapat diamati sendiri dengan cara melihat ada tidaknya perubahan warna pada urin. Adanya protein dalam urin dapat dideteksi dengan strip kertas (Uristrip). Strip ini dijual bebas di apotek. Perubahan warna pada urin (keterangan warna terdapat di kemasan) mengindikasikan adanya protein atau glukosa. Jika hasilnya positif maka bisa segera menghubungi dokter. Gejala kerusakan ginjal biasanya tidak terlalu terasa pada awal stadium. Stadium tanpa gejala ini biasanya terjadi selama beberapa bulan bahkan sampai tahun. Seseorang akan merasakan gejala pada stadium 2 atau 3. Beberapa gejala yang dialami orang dengan kerusakan ginjal antara lain kelelahan, musclecramps / kram otot, susah makan, mual, muntah, gatal
8
(Itching), rasa haus tinggi, sakit kepala, insomnia, somnolence, susah konsentrasi, diare, dan konstipasi (Walser, 2004). c. Etiologi penyakit Penyakit ginjal kronis disebabkan karena penurunan kerja ginjal akibat adanya kerusakan baik secara struktural maupun fungsional. Kerusakan glomerulus menyebabkan akumulasi produk sampah metabolisme dalam darah. Hal ini dapat meningkatkan toksisitas dan penurunan kesehatan tubuh. Kerusakan ginjal terjadi jika ada salah satu dari beberapa tanda ini dialami oleh pasien antara lain kondisi patologi abnormalitas ginjal, proteinuria yang persisten, abnormalitas pada urin misal renal hematuria, dan nilai eGFR < 60 ml/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan dan bersifat menetap. Obat yang bersifat nefrotoksik antara lain Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs), aminoglikosida, amphotericin, dan radio kontras (Gregory & Krol, 2011). Beberapa faktor risiko terkena penyakit penyakit ginjal dikelompokkan berdasarkan tingkatan risiko kerusakannya. Tabel I. Kelompok Faktor Risiko Penyakit Penyakit Ginjal Faktor Risiko
Definisi
Contoh
Faktor Rentan
Meningkatkan risiko kerusakan ginjal
Faktor Awal
Awal kerusakan langsung
Faktor Progresi
Menyebabkan kerusakan ginjal yang lebih buruk atau penurunan GFR secara drastic
Faktor Akhir
Meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas penyakit ginjal
ginjal
terkena
secara
Lansia, riwayat keluar dengan penyakit ginjal kronis, penurunan massa ginjal, penurunan berat badan, etnis minoritas, Diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu ginjal, obstruksi saluran kemih, toksisitas obat. Tekanan darah yang sangat tiggi, tidak terkontrolnya gula darah diabetes, perokok. Dialisis dosis rendah, anemia, level serum albumin yang rendah, stadium penyakit sudah parah
(Levey, dkk., 2005).
9
d. Patofisiologi Menurut teori nefron yang utuh (intac nephron) ginjal harus mempertahankan homeostasis dengan cara mengeksresi zat terlarut yang dikendalikan oleh nefron. Pada penyakit ginjal kronik terjadi kerusakan unit nefron fungsional dan pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Penyakit Ginjal Terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) (Price, dkk., 2005). Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli/nefron dan menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Fungsi renal menurun mengakibatkan produk akhir metabolime protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin menjadi tertimbun di dalam darah. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah hemodialisis. Stadium penyakit ginjal terminal terjadi ketika penurunan laju filtrasi glomerulus yang progresif sehingga terjadi gangguan fungsi ekskresi dan
10
menyebabkan penurunan ekskresi kalium (hiperkalemia); peningkatan ureum dan kreatinin dalam darah; dan terjadi penurunan reabsorpsi zat lain seperti fosfat, asam urat, HCO3-, Ca2+, urea, dan asam amino (Price, dkk., 2005 ; Silbernagl, 2007). e. Klasifikasi penyakit Penyakit ginjal dapat diklasifikasikan menjadi beberapa stadium berdasarkan hasil pemeriksaan Glomerular Filtration Rate (GFR) dan serum kreatinin. Tabel II. Klasifikasi Penyakit Penyakit Ginjal Berdasarkan Nilai GFR
1
Estimasi GFR (mL/menit/1.73 m2) > 90
2
60-89
Stadium
3A 3B 4 5 5D 5T
Keterangan GFR normal dengan proteinuria Penurunan GFR dengan proteinuria seiring dengan pertambahan usia
30-59
Progresi ringan menuju ke penyakit ginjal
15-29
Progresi berat menuju penyakit ginjal
<15
Penyakit ginjal
(Gregory & Krol, 2011) Tabel III. Klasifikasi Stadium Penyakit Ginjal Berdasarkan Kadar Serum Kreatinin . Stadium 1 Risiko 2 Rusak 3 Penyakit
Serum Kreatinin SCr naik > 30 mg/dL SCr naik > 1,5-2,0 (kelipatan)
Output Urin < 0,5 mL/kg/jam selama > 6 jam
SCr naik > 2,0 -3,0 (kelipatan)
< 0,5 mL/kg/jam selama > 12 jam
SCr naik > 0,3 mg/dL atau > kelipatan 3 dari batas dasar SCr > 4,0 mg/dL dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL
< 0,3 mL/kg/jam selama 24 jam Anuria selama 12 jam
(Gregory & Krol, 2011) f. Manifestasi klinik Ginjal berfungsi sebagai organ eksresi hasil akhir metabolisme tubuh dan senyawa asing;
mempertahankan komposisi cairan tubuh;
dan
11
memproduksi enzim maupun hormon (Briggs, dkk., 1998). Kerusakan atau penurunan fungsinya dapat menyebabkan terjadinya penyakit lain atau memperparah kondisi penyakit sebelumnya. Beberapa penyakit tersebut antara lain diabetes, hipertensi, proteinuria, anemia, gangguan tulang dan mineral, dislipidemia, malnutrisi, dan penurunan sistem imun akibat infeksi (Gregory & Krol,
2011).
Gangguan
ketidakseimbangan
fungsi
elektrolit
tubuh
ginjal
juga
sehingga
dapat
menyebabkan
terjadi
hiponatremia,
hipernatremia, hipokalemia, hiperkalemia, metabolic acidosis, dan metabolic alkalosis (Joseph & Verbalis, 1998). g. Diagnosis Pasien penyakit ginjal biasanya tidak merasakan gejala apapun (asimptomatik) pada awal stadium penyakitnya. Gejala mulai terasa pada stadium 4 atau 5. Beberapa tes laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengetahui risiko penyakit ginjal antara lain : 1) Pengukuran tekanan darah. Peingkatan tekanan darah yang melewati arteri dapat menyebabkan penyakit ginjal (Kidney Health New Zealand, 2015). Pada orang dewasa, tekanan darah sistolik normal (SBP) adalah 120 mmHg dan diastoliknya 80 mmHg (Bomback & George, 2011). 2) Pengukuran ada tidaknya protein dalam urin. Protein adalah komponen esensial normal yang dibutuhkan dalam tubuh. Adanya protein dalam urin menjadi identifikasi awal kerusakan glomerulus (Kidney Health New Zealand, 2015). Kondisi ini disebut
12
proteinuria. Kadar protein normal dalam urin pada orang dewasa kirakira 50 mg/hari. Salah satu jenis protein spesifik dalam tubuh adalah albumin. Pengukuran albumin atau protein spesifik lainnya dapat menggunakan immunoassays. Kadar albumin normal dalam urin pada orang dewasa kira-kira 10 mg/hari melalui pemeriksaan urinalisis 24 jam (Levey, dkk., 2005). Jika lebih dari angka normal maka disebut albuminuria. Kondisi ini dapat dibedakan menjadi mikroalbuminuria dan albuminuria. Tabel IV. Klasifikasi Albuminuria
Urin Total
Albumin
Teknik Pengambilan Sampel Urin Ekskresi urin selama 24 jam Spot Urine Dipstick Spot Urine Protein-toCreatinine Ratio Ekskresi urin selama 24 jam Spot Urine Albumin – specific Dipstick Spot Urine Albumin-toCreatinine Ratio
Normal
Mikroalbuminuria
Albuminuria
< 300 mg/hari
NA
> 300 mg/hari
< 30 mg/Dl
NA
> 30 mg/dL
< 200 mg/g
NA
> 200 mg/g
< 30 mg/hari
30-300 mg/hari
> 300 mg/hari
< 3 mgdL
> 3 mg/dL
NA
< 17 mg/g (pria) < 25 mg/g (wanita)
17-250 mg/g (pria) 25-355 mg/g (wanita)
> 250 mg/g (pria) > 355 mg/g (wanita)
(Levey, dkk., 2005) 3) Pengukuran serum kreatinin (SCr). Kreatinin adalah hasil metabolisme otot yang dieksresikan oleh ginjal. Peningkatan serum kreatinin mengindikasikan kerusakan penyakit ginjal (Kidney Health New Zealand, 2015). Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. Serum kreatinin normal pada laki-laki adalah 0,5-1,5 mg/dl dan pada wanita 0,5-1,3 mg/dl.
13
4) Pengukuran laju filtrasi glomerulus (GFR) Laju filtrasi glomerulus adalah kemampuan penyaringan urin oleh glomerulus
setiap
satuan
waktu.
Adanya
penurunan
GFR
mengindikasikan kerusakan pada glomerulus yang menjadi penyebab utama kerusakan ginjal. (Afzali, dkk., 2012). Pada orang sehat, nilai GFR normalnya > 90 ml/min/ 1,73 m2 dan 60-89 ml/min/ 1,73 m2 pada bayi atau lansia. Seiring pertambahan usia maka akan terjadi penurunan GFR ~1 ml/min/1,73 m2 setiap tahunnya mulai dari umur 30-40 tahun (Levey, dkk., 2005). Jika nilai GFR 60-89 ml/min/ 1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan pada orang dewasa maka orang tersebut berisiko penyakit ginjal kronis. Ada dua persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung nilai GFR yaitu Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) Study equation dan Cockcroft Gault equation. Kedua persamaan ini menggunakan kombinasi serum kreatinin, usia, jenis kelamin, dan berat badan. Persamaan Cockcroft Gault adalah CCr={((140-umur pasien) x BB)/(72 SCr)} x 0.85 jika wanita Persamaan Modification of Diet in Renal Disease Study (MDRD) adalah eGFR (ml/menit/1.73 m2) = 186 x (SCr)-1.154 x (Usia)-0.203 x (0,742 jika wanita) x (1.212 jika ras Afrika dan Amerika). Persamaan MDRD digunakan pada pasien penyakit ginjal kronis ras kaukasian, non-diabetes, dan tidak menerima transplantasi ginjal. Persamaan ini tidak akurat untuk pasien anak-anak (usia < 18 tahun),
14
wanita hamil, lansia (usia > 85 tahun), dan ras tertentu seperti hispanic (National Kidney Foundation, 2006). Persamaan Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI) mulai dikembangkan pada tahun 2009. Persamaan ini dapat dilakukan pada ras kulit putih dan hitam, pasien dengan atau tanpa penyakit penyakit ginjal, pasien diabetes, dan transplantasi ginjal dengan rentang nilai GFR luas (2-198 ml/min/1.73 m2) dan usia (18-97 tahun). Persamaan ini lebih akurat daripada MDRD. Tabel V. Persamaan CKD-EPI Perhitungan GFR Etnis Hitam Hitam Hitam Hitam Putih atau lainnya Putih atau lainnya Putih atau lainnya Putih atau lainnya
Jenis Kelamin Wanita Wanita Laki-laki Laki-laki
Serum Kreatinin (mg/dL) < 0.7 > 0.7 < 0.9 > 0.9
GFR = 166 x (SCr/0.7)-0.329 x(0.993)Usia GFR = 166 x (SCr/0.7)-1.209 x(0.993)Usia GFR = 163 x (SCr/0.9)-0.411 x(0.993)Usia GFR = 163 x (SCr/0.9)-1.209 x(0.993)Usia
Wanita
< 0.7
GFR = 144 x (SCr/0.7)-0.329 x(0.993)Usia
Wanita
> 0.7
GFR = 144 x (SCr/0.7)-1.209 x(0.993)Usia
Laki-laki
< 0.9
GFR = 144 x (SCr/0.9)-0.411 x(0.993)Usia
Laki-laki
> 0.9
GFR = 144 x (SCr/0.9)-1.209 x(0.993)Usia
Persamaan
(National Kidney Foundation, 2006) 5) Pengukuran Blood Urea Nitrogen (BUN) Blood Urea Nitrogen (BUN) merupakan tes analisis untuk melengkapi tes SCr dalam evaluasi fungsi ginjal secara luas atau umum. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk diagnosis penyakit ginjal dan monitoring pasien dengan penyakit ginjal akut atau kronis. Kadar urea nitrogen normal dalam darah atau serum adalah 5-20 mg/dl atau 1,8-7,1 mmol urea/liter. Kisaran yang luas ini disebabkan karena perbedaan
15
konsumsi protein, protein endogen, katabolisme protein, sintesis hepatic urea, dan eksresi renal urea (Hosten & Adrian 1990). BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid. 6) Renal Imaging Abnormalitas struktur ginjal dapat dianalisis menggunakan imaging studies. Evaluasi ini dapat melihat organ secara umum dan digunakan untuk dasar diagnosis yang lebih spesifik. Teknik yang digunakan antara lain ultrasonography (US), Intravenous Urography (IVU), Plain Abdominasl Magnetic
Radiograph Resonanse
(KUB), Computed
Imaging
(MRI),
Tomography
Radionuclide
(CT),
Imaging,
Angiography, dan Voiding Cysurethrography (VCU). Pemilihan teknik Renal Imaging yang digunakan didasarkan pada situasi klinik yang spesifik. Kenampakan kerusakan struktur ginjal dapat dianalisis menggunakan teknik US, CT, dan MRI (Mindell & Jonathan, 1998). 7) Biopsi Ginjal Biopsi ginjal diperlukan untuk mendiagnosis, mengetahui indikasi gejala, memprediksi prognosis, perawatan secara langsung, dan mengumpulkan data untuk penelitian. Biopsi ginjal digunakan untuk pasien dengan penyakit ginjal yang tidak dapat diprediksi dengan prosedur diagnosis
(Jennete
& Ronald,
1998). Biopsi
ginjal
menyediakan informasi keparahan kerusakan glomerulus dan untuk mengetahui penyakit ginjal antara lain nephrotic syndrome, penyakit
16
sistemik dengan proteinuria, penyakit ginjal kronis, hematuria, dan transplantasi ginjal (Afzali, dkk., 2012). h. Tatalaksana terapi Tidak ada obat khusus yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit ginjal. Tata laksana terapi yang diberikan didasarkan pada penyakit penyebab atau penyakit yang menyertai. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pada penyakit ginjal akut, kondisi ginjal masih dapat kembali normal dengan terapi farmakologi maupun non-farmakologi yang diberikan. Akan tetapi, pada penyakit ginjal kronis, pengobatan tidak dapat mengembalikan fungsi ginjal. Pada umumnya pasien penyakit ginjal kronis atau akut menerima beberapa jenis obat untuk mengatasi komplikasi penyakitnya, misal pasien penyakit ginjal kronis akibat hipertensi akan diterapi menggunakan guideline kombinasi obat hipertensi. Rata-rata setiap pasien akan menerima lebih dari tujuh obat sehari. Hal ini meningkatkan risiko efek samping interaksi obat. Kondisi ginjal yang abnormal semakin menambah tinggi risiko toksisitas pengobatan (Ateshkadi, 1998). Penyesuaian dosis pada pengobatan pasien penyakit ginjal dilakukan secara individual. Obat yang digunakan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan rute eliminasinya. Kategori I (contoh aminoglikosida) utamanya di eliminasi oleh ginjal. Kategori II (contoh etanol, paracetamol) utamanya dieliminasi tidak melalui ginjal. Kategori III (contoh bumetanide, nafcilin, vancomycin) dieliminasi melalui ginjal dan tidak melalui ginjal. Obat
17
kategori I sangat membutuhkan perhitungan penyesuaian dosis tersendiri, namun bagi pasien penyakit ginjal perhitungan dosis kategori II dan III juga diperlukan. Penyesuaian dosis didasarkan pada kondisi pasien, rute pemberian, dan tingkat keparahan penyakit ginjal. Penyesuaian ini sangat penting untuk obat-obat yang memiliki jendela terapeutik sempit. Farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh pasien penyakit ginjal juga mengalami perubahan. Volume distribusi obat pada pasien penyakit ginjal mengalami perubahan akibat perbedaan komposisi cairan tubuh dan penurunan ikatan protein plasma. Komposisi cairan tubuh berubah akibat uremia yang mengarah pada malnutrisi dan kehilangan cairan. Penurunan ikatan protein plasma sangat mempengaruhi efek obat yang berikatan kuat dengan albumin. Adanya hipoalbuminuria membuat obat bebas terakumulasi dalam tubuh. Kondisi penyakit ginjal juga menurunkan deasetilasi hepar, asetilasi, hidroksilasi, konjugasi, sulfoxidasi, dan dimetilasi obat. Jaringan ginjal juga memiliki beberapa enzim pemetabolisme walaupun aktivitasnya hanya 15%. Penurunan ekskresi obat juga terjadi akibat gangguan
filtrasi
farmakokinetik
glomerulus
obat
pada
dan
reabsorbsi
pasien
penyakit
tubulus. ginjal
Abnormalitas mengakibatkan
farmakodinamik obat kurang optimal (Ateshkadi, 1998). 2. Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronis a. Definisi penyakit Menurut World Health Organization (WHO), anemia merupakan suatu kondisi dimana kapasitas atau jumlah sel darah merahnya tidak cukup untuk
18
memenuhi kebutuhan fisologis tubuh. Sel darah merah (RBCs) merupakan salah satu dari tiga jenis sel darah. Sel ini mengandung hemoglobin yang penting untuk pengangkutan oksigen. Ketika jumlahnya kurang maka pengangkutan oksigen ke jaringan akan terganggu (National Heart, Lung, Blood Institute, 2011). Hal ini dapat menyebabkan kerja organ menjadi tidak optimal dan menimbulkan penyakit lainnya. Anemia menjadi salah satu manifestasi klinik dari penyakit penyakit ginjal kronis yang dapat menurunkan Quality of Life (QOL) pasien (National Kidney Foundation, 2006). Anemia penyakit ginjal kronis terjadi pada dewasa atau anak usia > 15 tahun jika kadar Hb nya < 12 g/dL pada wanita atau < 13,0 g/dL pada laki-laki (KDIGO, 2012). Anemia biasanya mulai terjadi pada pasien PGK stadium 3 dengan nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Besarab, 2011). Menurut PERNEFRI 2011, anemia terjadi ketika kadar Hb < 14 g/dl pada laki-laki atau < 12 g/dl pada perempuan. Anemia renal adalah anemia yang terjadi
terutama
karena
penurunan
kapasitas
produksi
eritropoietin
(PERNEFRI, 2011). b. Tanda dan gejala Tanda adalah kondisi seseorang akibat penyakit tersebut yang dapat diukur atau dilihat sedangkan gejala merupakan perasaan dari seseorang akibat penyakit tersebut. Tanda dan gejala anemia dapat bersifat ringan sampai berat. Anemia ringan biasanya bersifat asimptomatik (tanpa gejala). Anemia berat dapat menyebabkan tubuh terasa lelah, lemah, kulit menguning (yellowish
19
skin), dehidrasi, pusing, napas pendek, aritmia jantung, heart murmur, dan penyakit jantung (National Heart, Lung, Blood Institute, 2011). c. Etiologi Penyakit Anemia disebabkan oleh kurangnya jumlah sel darah merah, banyaknya sel darah merah yang rusak (hemolisis), atau pendarahan. Hemolisis terjadi ketika sel darah merah rusak atau dirombak < 120 hari (waktu kehidupan sel darah merah). Penyebab anemia bisa karena perolehan dari lingkungan maupun faktor keturunan. Faktor perolehan (acquired) antara lain kurangnya asupan makanan yang mengandung asam folat atau zat besi, kebutuhan sel darah merah tubuh yang tinggi, penyakit kanker (leukemia, lymphoma, dan multiple myeloma), zat beracun (pestisida), radiasi, kemoterapi, infeksi virus (hepatitis), gangguan autoimun, pendarahan berat, ulcer, dan kehamilan. Sedangkan faktor keturunan (inherited) antara lain penderita Fanconi anemia, shwachman-diamond syndrome, dyskeratosis congenital, diamond-blackfan anemia, thalassemia, kekurangan G6PD, hereditary spherocytosis, dan amegakaryocytic thrombocytopenia (National Heart, Lung, Blood Institute, 2011). Penyebab utama anemia adalah pendarahan akut 17,5 %, hemolisis 17,5 %, penyakit kronis 27,5%, kekurangan zat besi 29 %, dan faktor lain 9% (Beris & Tobler, 1997). Penyakit kronis menjadi penyebab anemia kedua terbanyak. Penyebab utama anemia pada penyakit ginjal kronis adalah defisiensi eritropoiesis. Faktor lain yang berkontribusi pada anemia renal yaitu defisiensi besi, umur eritrosit yang memendek, hiperparatiroid berat, inflamasi,
20
infeksi, toksisitas aluminium, defisiensi asam folat, hipotiroid, dan hemoglobinopati (PENEFRI, 2011). d. Patofisiologi Ada 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Penyebab utamanya adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Sintesis dominan eritropoetin terjadi pada sel di area interstitial peri-tubular di dalam ginjal, selain hati dan otak. Ginjal mengekskresikan 90% hormon endogen eritropoietin dan hormon lainnya yang berperan dalam eritropoiesis, sehingga penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan kurangnya eritropoietin dan anemia (Dipiro, dkk., 2008). Sistem endokrin ginjal berperan dalam mengontrol aliran dan tekanan darah, komposisi oksigen dan darah, menjaga keseimbangan mineral, dan produksi hormon. Eritropoietin diproduksi oleh sel interstitial ginjal. Kerusakan pada ginjal dapat menyebabkan produksi eritropoietin juga berkurang, sehingga terjadilah komplikasi anemia pada penyakit ginjal kronis. Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses eritropoesis yang dapat dilihat pada proses
21
hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. e. Klasifikasi Penyakit Anemia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan faktor penyebabnya, antara lain : 1) Iron-Deficiency Anemia Zat besi merupakan logam utama yang digunakan untuk pembuatan hemoglobin. Zat besi didistribusikan ke sumsum tulang dan akan digabungkan dengan hemoglobin untuk pembuatan sel darah merah. Pada beberapa kondisi seperti kehamilan dan pendarahan membutuhkan zat besi lebih banyak dari biasanya. Anemia akibat kekurangan zat besi adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan zat besinya. Hal ini terjadi saat permintaan zat besi terlalu tinggi, namun persediaannya terlalu rendah. Tubuh tidak dapat menyerap cukup zat besi dari makanan sehingga RBCs yang terbentuk mengandung sedikit hemoglobin. Keadaan ini dapat terjadi pada pasien terapi eritropoietin maupun dialisis pada penyakit penyakit ginjal (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011). Anemia ini ditandai dengan rendahnya serum besi, kenaikan transferrin iron binding capacity (TIBC), dan rendahnya ferritin (Punnonen, dkk., 1997). 2) Prenicious Anemia Anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi, asam folat, dan vitamin B 12. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak dapat membuat
22
RBCs sehat karena kurangnya kandungan vitamin B12. Kekurangan vitamin B12 dapat juga menyebabkan kurangnya asam folat (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011). Penyebab utama kekurangan folat selain obat adalah kehamilan, penyalahgunaan alkohol, kurangnya asupan makanan, dan chronic haemolytic anemia (Beris & Tobler, 1997). 3) Aplastic Anemia Jenis anemia akibat kurangnya jumlah sel darah merah dari normal. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan pada sumsum tulang belakang. Anemia jenis ini jarang terjadi, namun dapat berakibat fatal (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011). 4) Hemolytic Anemia. Kondisi saat sumsum tulang belakang tidak dapat memproduksi sel darah merah yang baru untuk menggantikan sel darah merah yang telah rusak. Beberapa tipe hemolytic anemia antara lain sickle cell anemia, talasemia,
hereditary
spherocytosis,
hereditary
elliptocytosis,
kekurangan G6PD, dan kekurangan piruvat kinase (National Heart, Lung, Blood Institute, 2011). 5) Hemorhagic Anemia Anemia yang terjadi akibat pendarahan hebat sehingga tubuh akan kehilangan banyak sel darah merah, kadar hemoglobin menurun, pengangkutan oksigen terganggu dan terjadilah kematian sel (Beris & Tobler, 1997).
23
f. Diagnosis Diagnosis anemia dapat dilakukan dengan beberapa cara. Selain mengetahui riwayat keluarga dan gejala fisik pasien, penegakan diagnosis anemia dapat dilakukan dengan tes laboratorium. Tes laboratorium terpenting untuk penegakan diagnosis adalah Complete Blood Count Tests (CBC) meliputi tes sel darah merah, sel darah putih, platelet, diferensiasi tipe sel darah putih, hemoglobin, hematocrit, mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH), mean corpuscular hemoglobinconcentration (MCHC), dan ditribusi ukuran sel darah merah. Selain CBC, dapat juga dilakukan tes darah yang lain seperti blood smear jika hasil tes CBC nya abnormal, reticulocyte count, pengukuran serum besi, total iron-binding capacity (TIBC), unsaturated iron-binding capacity (UIBC), serum ferritin, coombs test, tes G6PD, dan biopsi sumsum tulang belakang (National Heart, Lung, Blood Institute, 2011). g. Tatalaksana terapi Terapi terhadap suatu penyakit dibedakan menjadi dua jenis yaitu non farmakologi (tanpa obat) dan farmakologi (dengan obat). Pengobatan kondisi anemia pada PGK dapat dilakukan dengan terapi ESA, transfusi, ataupun kombinasi keduanya (Hsu, dkk., 2002). 1) Terapi Non Farmakologi Tubuh membutuhkan zat besi, vitamin B12, asam folat, dan sejumlah vitamin, mineral, dan protein untuk membuat sel darah merah. Konsumsi makanan yang kaya akan zat-zat tersebut dapat mencegah
24
anemia dan meningkatkan kadar sel darah merah (National Kidney Foundation, 2006). 2) Terapi Farmakologi Parameter keberhasilan terapi anemia adalah kadar Hb yang meningkat. Menurut KDOQI Guidelines for Anemia, target Hb pada terapinya adalah 11,0 sampai 12,0 g/dL. Kenaikan Hb 1-2 g/dL setiap bulan masih ditoleransi, namun kenaikan Hb secara cepat tidak dianjurkan. Terapi hingga target Hb mencapai ~13,0 g/dL dapat meningkatkan risiko penjendalan darah, stroke, dan serangan jantung pada pasien penyakit ginjal kronis dan dialisis (Besarab, 2011). Menurut Nephrology Dialysis Transplantation Guidelines-European Renal Best Practice untuk penatalaksanaan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik dilakukan jika batas bawah hemoglobin < 11 g/dL, hematokrit < 33% pada pre-menopause dan pre-pubertas wanita atau kadar hemoglobin < 12 g/dL, hematokrit < 37% pada laki-laki dewasa dan wanita post menopause (Nephrology Dialysis Transplantation, 1999). Ada beberapa macam pengobatan anemia antara lain terapi penambahan zat besi, pengobatan dengan Erythropoietin Stimulating Agents (ESA), hemodialisis, dan transfusi darah (National Kidney Foundation, 2006). Pengobatan
Erythropoietin
Stimulating
Agents
(ESA)
menjadi
rekomendasi terapi utama bagi pasien penyakit ginjal kronis stadium > 3.
25
3. Terapi Erythropoietin Stimulating Agents (ESA) ESA dibutuhkan untuk menstimulasi diferensiasi erythroid progenitor stem cells dan menginduksi pelepasan retikulosit dari sumsum tulang belakang ke aliran darah untuk dimatangkan menjadi eritrosit (sel darah merah) (Dipiro, dkk., 2008). ESA dapat merangsang eritropoiesis dengan cara beraksi secara langsung maupun tidak pada reseptornya. Terapi menggunakan ESA diberikan pada pasien penyakit ginjal kronis dewasa dengan kadar Hb < 10 g/dL (PERNEFRI, 2011). Pada pasien penyakit ginjal kronis dewasa stadium 5 direkomendasikan terapi ESA untuk konsentrasi Hb 9-10 g/dL, namun tidak untuk < 9 g/dL (KDIGO, 2012). a. Jenis ESA Jenis ESA yang ada di pasaran adalah epoetin α (Epogen® atau Procrit®) dan darbopoetin alfa (Aranesp®). Epoetin β tersedia dari beberapa produsen diluar Amerika Serikat. Epoetin merupakan glikoprotein yang dibuat dengan teknologi DNA rekombinan sehingga memiliki aktivitas biologi yang sama seperti erythropoietin endogen. Sejak tahun 1989, epoetin α sudah digunakan untuk terapi anemia pada PGK dan secara substansial dapat menurunkan tingkat ketergantungan transfusi pasien. Darbopoetin alfa mulai digunakan untuk pengobatan anemia pada PGK sejak September 2001. Darbopoetin alfa berbeda dengan epoetin α karena adanya penambahan rantai samping dua N-linked karbohidrat sehingga dapat meningkatkan kandungan asam sialic darbopoetin. Hal ini menghasilkan berat molekul yang lebih besar dibandingkan epoetin α (~38.000 dalton darbopoetin vs 30.400 dalton epoetin
26
α) (Dipiro, dkk., 2008). Jenis ESA yang memiliki waktu paruh panjang adalah jenis darbopoietin alfa dan methoxy polyethylene glycol-epoetin-beta (CERA). b. Dosis ESA Dosis awal terapi ESA tergantung pada kadar Hb pasien, target Hb yang ingin dicapai, kenaikan rata-rata kadar Hb, dan kondisi klinis pasien (National Kidney Foundation, 2006). Dosis awal epoetin α yang direkomendasikan adalah 50-100 unit.kg intravena (i.v.) atau subkutan (s.c.) tiga kali seminggu untuk pasien hemodialisis. Peningkatan erythropoiesis dan penurunan transfusi dilaporkan terjadi pada pasien anemia (Hb < 10 g/dL) yang diberikan 10.000 unit epoetin α seminggu sekali. Dosis awal terapi darbopoetin alfa yang direkomendasikan adalah 0,45 mcg/kg i.v. atau s.c. satu kali seminggu (Dipiro, dkk., 2008). Epoetin α dapat digunakan melalui rute i.v. atau s.c. Bioavaibilitas rute s.c. lebih rendah (kira-kira 20%), namun memiliki waktu paruh lebih panjang (kira-kira 24 jam s.c. vs 8,5 jam i.v). Respon hemoglobin (Hb) sama baiknya atau lebih baik dibandingkan i.v. Hal ini disebabkan karena s.c lebih lama menstimulasi fisiologi precursor erythroid. Dosis yang diberikan untuk mencapai target Hb 15% - 50% lebih rendah dibandingkan dosis i.v. Darbopoetin alfa memiliki waktu paruh yang lebih panjang dengan aktivitas biologi yang lebih luas dibandingkan epoetin α (darbopoetin alfa 25,3 jam i.v dan 48,8 jam s.c). Hal ini memberikan keuntungan antara lain frekuensi dosis lebih rendah, pemberian dimulai satu kali seminggu atau beberapa minggu sekali (Dipiro, dkk., 2008). Lebih baik digunakan melalui rute s.c. pada pasien
27
non-hemodialisis, namun diberikan secara i.v. jika pasiennya menjalani hemodialisis (National Kidney Foundation, 2006). Farmakodinamik epoetin dan darbopoetin juga harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi respon terapi. Kadar Hb akan terus naik sampai masa hidup sel yang distimulasi oleh epoetin atau darbopoetin tercapai (rata-rata 2 bulan atau sekitar 1-4 bulan pada pasien PGK stadium akhir) (Dipiro, dkk., 2008). c. Efikasi terapi ESA Efikasi terapi ESA dipengaruhi oleh perubahan kadar Hb setelah terapi inisiasi atau penyesuaian dosis selanjutnya. Beberapa faktor dan kondisi yang dapat menyebabkan resistensi terapi ESA termasuk defisiensi zat besi, rawat inap, penggunaan kateter, hipoalbuminemia, peningkatan C-reactive protein, pendarahan kronis, toksisitas aluminium, malnutrisi, hiperparatiroid, kanker dan kemoterapi, AIDS, inflamasi, dan infeksi (Dipiro, dkk., 2008). Tabel VI. Penyebab kurang adekuatnya terapi ESA Faktor Mayor - Kekurangan zat besi - Infeksi - Non-infections inflammatory states - Kekurangan darah secara kronis
-
Faktor Minor Hiperparatiroid Dialisis yang kurang adekuat Toksisitas aluminium Kekurangan Vitamin B12 atau asam folat Kurangnya vitamin C Malignancy Penggunaan ACEI Haemolisis dan gangguan sumsum tulang belakang.
(Drueke, 2001) Penyebab umum resistensi adalah defisiensi zat besi. Indikasi absolut kondisi ini ketika konsentrasi serum ferritin < 20 µg/l atau secara fungsional ketika serum ferritin normal tetapi jumlahnya tidak memadai untuk
28
erythropoiesis dan gagal meningkatkan kadar Hb pada dosis umum (Drueke, 2001). Hal ini harus dievaluasi dan diterapi sebelum memulai terapi ESA. Kondisi ini dapat menyebabkan sub optimal pengobatan ESA (Cavill & Macdougall, 1993). Kekurangan zat besi dapat menyebabkan hiporesponsif pengobatan ESA (Besarab, 2011). Pengatasan gejala ini diperlukan terapi awal menggunakan tambahan zat besi per oral (multiple iron salts preparation). Sediaan parenteral juga bisa digunakan pada pasien penyakit ginjal kronis tanpa dialisis. Beberapa sediaan oral zat besi antara lain ferrous sulfate, ferrous fumarate, ferrous gluconate, polysaccharide iron, dan heme iron polypeptide. Sedangkan, sediaan intravenanya antara lain iron dextran, ferric gluconate, dan iron sucrose (Dipiro, dkk., 2008). Inflamasi (lokal atau infeksi sistemik, penyakit inflamasi aktif, atau trauma pembedahan) dikaitkan dengan zat besi yang rusak dan sering disebut reticuloendothelial block. Reticuloendothelial block ditandai dengan penurunan pengiriman zat besi dari tempat penyimpanan ke sumsum tulang belakang sehingga dapat mengganggu terapi zat besi dan dibutuhkan dosis ESA yang tinggi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa inflammatory factors menyebabkan penurunan respon ESA. Hal ini disebabkan karena eritropoiesis dihambat oleh sitokin seperti TNF-α, IL-1, dan IFN-γ. Sitokin terlibat dalam proses inflamasi karena berperan langsung dalam produksi makrofag (TNF-α, IL-1) atau memproduksi sel lain yang diinduksi oleh makrofag (IFN-γ) (Drueke, 2001).
29
Kekurangan asam folat dan vitamin B12 juga berpotensi menyebabkan resistensi terapi ESA karena keduanya penting untuk proses erythropoiesis (Dipiro, dkk., 2008). Kekurangan vitamin C berhubungan dengan penurunan kemampuan penyimpanan zat besi (Drueke, 2001). Tingginya serum C-reactive protein (s-CRP) dapat digunakan untuk memprediksi resistensi terapi ESA pada pasien hemodialisis. Dosis mingguan ESA pada pasien dengan s-CRP > 20 mg/L, 80 % lebih tinggi dibandingkan pasien s-CRP < 20 mg/L. Hal ini didukung oleh penelitian dari European Survey on Anemia Management (ESAM) yang menunjukkan bahwa dosis ESA pada CRP tinggi ( > 50 mg/L) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada CRP < 50 mg/L. Toksisitas aluminium juga dapat menurunkan kadar besi karena berhubungan dengan metabolisme zat besi oleh enzim sintesis heme sehingga menyebabkan microcytic anemia. Interaksi aluminium dan zat besi dapat menginduksi resistensi ESA (Drueke, 2001). Hiperparatiroid sekunder merupakan salah satu komplikasi PGK. Kondisi ini disebabkan karena adanya retensi fosfat, hipokalsemia, dan rendahnya kadar plasma. Hiperparatiroid dapat menurunkan efikasi terapi ESA karena efek toksik langsung dan tak langsung hormon paratiroid (PTH). Efek toksis langsung mempengaruhi sintesis eritropoietin dan erythroid progenitor cells pada sumsum tulang belakang sedangkan efek toksik tak langsung menginduksi fibrosis sumsum tulang belakang (Drueke, 2001). d. Efek Samping
30
Hipertensi adalah efek samping yang sering terjadi pada terapi epoetin alfa dan darbopoetin alfa. K/DOQI anemia tidak menyarankan terapi ESA untuk tekanan darah tinggi (Dipiro, dkk., 2008). Sekitar 20-40% pasien yang diterapi ESA mengalami perburukan tekanan darah (Fishbane & Anatole, 2007). Hasil penelitian meta analisis Phrommintikul dkk menunjukkan risiko tekanan darah tinggi secara signifikan meningkat pada pasien dengan target Hb tinggi (Risk Ratio 1,27, taraf kepercayaan 95%, P = 0,004). Peningkatan tekanan darah dianggap sebagai komplikasi terapi ESA pada target Hb tinggi. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan kematian. Sehingga hal ini menjelaskan terjadinya peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan kematian pada terapi ESA dengan target Hb tinggi, namun risiko ini masih belum didukung oleh penelitian yang kuat (Fishbane & Anatole, 2007). Hati-hati pemberian ESA pada hipertensi berat (180/110 mmHg) (PERNEFRI, 2011). Efek samping ESA yang lain yaitu trombosis, kejang, dan pure red cell aplasia (PRCA). Trombosis dapat terjadi ketika Hb meningkat secara cepat melebihi target. Kejang umumnya terjadi ketika Hb > 10 g/dl dengan peningkatan yang cepat disertai dengan tekanan darah yang tidak terkontrol. PRCA dicurigai terjadi jika pasien dalam terapi ESA > 4 minggu dengan gejala penurunan Hb mendadak 0.5-1 g/dl per minggu atau membutuhkan transfusi 1-2 kali/minggu (PERNEFRI, 2011).
31
e. Monitoring terapi Penyesuaian dosis ESA ditentukan oleh kadar Hb pasien, target relatif Hb, dan kenaikan rata-rata kadar Hbnya. Monitoring kadar Hb bisa dilakukan lebih sering (setiap 2 minggu) pada pasien yang menerima terapi awal ESA atau yang dosis ESAnya belum stabil. Monitoring Hb dapat dilakukan minimal sebulan sekali pada pasien yang telah stabil menggunakan dosis ESA tertentu. Target respon yang diharapkan yaitu Hb naik 0,5-1,5 g/dL dalam 4 minggu. Jika target respon tercapai maka dosis dipertahankan sampai target Hb tercapai (10-12 g/dl). Bila target respon tidak tercapai maka dosis dinaikkan 25%. Jika Hb naik > 1,5 g/dl dalam 4 minggu atau Hb mencapai 12-13 g/dl maka dosis diturunkan 25%. Respon terhadap ESA yang tidak adekuat terjadi jika pasien gagal mencapai kenaikan Hb setelah penggunaan ESA selama 4-8 minggu. Respon tidak boleh mencapai kadar Hb > 13 g/dl. Pada target Hb > 12 g/dl tidak menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang bermakna secara klinis, meningkatkan risiko hipertensi dan trombovaskuler, serta meningkatkan angka kematian total akibat penyakit kardiovaskuler (PERNEFRI, 2011). F. Landasan Teori Anemia menjadi prediktor risiko terjadinya kejadian kardiovaskular dan prognosis dari penyakit ginjal. Penelitian observasional cross sectional pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 3, 4, dan 5 selama kurun waktu 2 bulan di RSU. Prof.dr R.D Kandou Manado, diperoleh persebaran data jumlah pasien berdasarkan usia dan stadiumnya. Total jumlah pasien terbanyak menderita penyakit ginjal kronis terdapat pada kelompok umur 46-50 tahun dengan total
32
pasien 10 orang (40%). Pada kelompok usia tersebut jumlah pasien stadium 3 (12%), stadium 4 (8%), dan stadium 5 (20%) (Pali, dkk., 2012). Anemia pada pasien PGK terjadi terutama karena kekurangan eritropoietin. Kadar hemoglobin yang rendah berhubungan dengan luaran klinik yang jelek pada pasien PGK. Terapi Erythropoietin Stimulating Agents (ESA) pada pasien PGK terbukti secara klinik dapat meningkatkan kualitas hidup, menurunkan morbiditas dan mortalitas. Sebuah penelitian berjudul comparison between short and long acting erythropoiesis-stimulating agents in hemodialysis patients : target hemoglobin, variability, and outcome dilakukan dengan membandingkan efektivitas Aranesp® dan Eprex® dalam mencapai target Hb. Sebanyak 139 pasien hemodialisis terbagi menjadi dua kelompok yaitu 72 (52%) pasien Aranesp® dan 67 (48%) pasien Eprex®. Gambaran karakteristik pasien yaitu ratarata usia 54 tahun (16,2%), 55% pasien laki-laki, dan 46% pasien dengan komorbid diabetes. Jumlah pasien yang mencapai target Hb yaitu 64,8% pasien Aranesp® dan 59.7% pasien Eprex® dengan significance difference number antara kedua grup (p = 0,006). Kesimpulan pada penelitian ini yaitu darbopoetin alfa Q (Aranesp®) dosis 1 atau 2 kali perminggu lebih efisien dalam mencapai target Hb dengan sedikit penyesuaian dosis, variasi Hb, dan komplikasi akses vaskuler (Bernieh, dkk., 2014). Sebuah percobaan dilakukan pada dua kelompok pasien terapi ESA dengan rute subkutan dan intravena. Hasilnya menunjukkan bahwa rute subkutan membutuhkan dosis ESA 27% lebih rendah daripada intravena. Kadar hematokrit yang dicapai pada dua kelompok uji tersebut tidak berbeda jauh. Pemberian short
33
acting ESA secara subkutan menurunkan dosis ~ 30 % pada kelompok target Hb yang sama, namun pada long acting ESA s.c. maupun i.v. tidak memberikan penurunan dosis yang signifikan. Tidak semua pasien yang mengganti rute penggunaan i.v menjadi s.c akan memberikan efek penurunan dosis ESA (National Kidney Foundation, 2006). Sebuah penelitian juga dilakukan pada populasi penyakit ginjal kronis dengan hemodialis. Pasien yang menerima terapi short acting ESA subkutan efikasinya akan menurun jika frekuensi yang diberikan diperpanjang dari tiga kali seminggu menjadi satu kali seminggu. Akan tetapi, pada pasien terapi long acting ESA menunjukkan tidak ada perubahan efikasi yang signifikan jika frekuensi setiap 2 minggu sekali diperpanjang menjadi 4 minggu sekali (National Kidney Foundation, 2006). Tahun 1990 dilakukan penelitian Canadian Erythropoietin Study Group secara acak pada 118 pasien penyakit ginjal kronis stadium 5. ESA diberikan pada tiga kelompok uji yaitu placebo, Hb 9,5-11,0 g/dL, dan Hb > 11,0 g/dL. Setelah delapan minggu, 58 % kelompok placebo ditransfusi dan hanya 25 % kelompok Hb 9,5-11,0 g/dL serta 26 % kelompok Hb > 11,0 g/dL yang mendapatkan transfusi. Setelah 6 bulan diamati perubahan fungsi fisik, tingkat kelelahan, dan tes berjalan selama 6 menit. Peningkatan hasil terapi dapat diamati pada perbandingan kelompok pasien placebo vs Hb 9,5-11,0 g/dl, namun tidak teramati pada kelompok pasien Hb 9,5-11,0 g/dl vs Hb > 11,0 g/dl (KDIGO, 2012). Pengobatan Erythropoietin Stimulating Agents (ESA) umumnya diberikan pada pasien dengan kadar Hb ~10 g/dL.
34
Sebuah penelitian cost utility analysis of erythropoietin for anemia treatment in Thai end-stage renal disease patients with hemodialysis bertujuan untuk membandingkan cost utility penggunaan ESA untuk menjaga kadar hemoglobin. Kesimpulan penelitian ini yaitu pemberian ESA pada kadar Hb 10 – 11 g/dl lebih cost-effectiveness dibandingkan pada tingkat Hb yang lain. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi rumah sakit atau pemerintah untuk membuat guideline terapi ESA (Thaweethamcharoen, dkk., 2014). Pada durasi pengobatan anemia sebelum menggunakan ESA, harus dilakukan pengecekan kadar Hb karena menentukan risiko dan keuntungan atau kedua kemungkinan selama terapi. Sebuah penelitian dari The Work Group dilakukan pada tiga kelompok uji yaitu placebo ESA, ESA dengan target Hb rendah, dan ESA dengan target Hb tinggi. Target Hb tertinggi yang dapat dicapai berkisar antara 10-13g/dL dan target Hb terendah ditunjukkan pada kelompok placebo ESA. Oleh karena itu, The Work Group menyimpulkan bahwa target terapi anemia penyakit ginjal kronis adalah 11,0-12,0 g/dL (National Kidney Foundation, 2006). Rekomendasi kuat untuk tidak mencapai Hb pada kadar > 13,0 g/dl. Berdasarkan pada beberapa hasil penelitian Random Control Trials (RCT) yang menunjukkan bahwa lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat pada target Hb tinggi dibandingkan target Hb rendah meliputi peningkatan risiko stroke, hipertensi, dan trombosis vaskuler pada pasien hemodialisis. Penelitian meta analisis sebelumnya juga menunjukkan bahwa adanya peningkatan risiko kematian pada target Hb tinggi (KDIGO, 2012).
35
Salah satu faktor minor yang dapat mempengaruhi efektivitas ESA adalah rendahnya kepatuhan (Johnson, dkk., 2000). Hal ini disebabkan karena kepatuhan mempengaruhi optimalisasi dosis ESA yang diterima oleh pasien. Apabila lupa atau kehilangan satu dosis maka harus segera diganti saat ingat. Kepatuhan menjadi salah satu hal yang harus dilihat ketika terjadi hiporesponsivitas ESA (KDIGO, 2012). Setiap obat memiliki profil farmakokinetik dan farmakodinamik masing-masing. Hal ini mendasari penentuan dosis terapi suatu obat. Jika pasien tidak patuh dalam pengobatan maka dikhawatirkan farmakokinetik dan farmakodinamik obat tidak tercapai atau terpelihara dengan baik sehingga dapat menimbulkan penurunan respon. Ketidakpatuhan dapat menyebabkan rendahnya outcome terapi untuk penyakit-penyakit long threatening (Sabate, 2003). Jenis ESA epoetin α dan β merupakan golongan short acting ESA, sehingga pemberiannya 2-3 kali seminggu (PERNEFRI, 2011). Frekuensi yang tinggi dapat meningkatkan angka ketidakpatuhan pasien. Selain itu, administrasi obat melalui injeksi juga menurunkan kepatuhan pasien karena ketidaknyamanan penggunaan, harus dilakukan oleh tenaga ahli, dan dapat menimbulkan rasa sakit. Efektivitas pengobatan erythropoietin pada end-stage renal disease (ESRD) dapat menurun akibat adanya defisiensi zat besi, asam folat, atau vitamin B12. Sebuah penelitian cost-effectiveness untuk menganalisis pengobatan anemia sebelum menggunakan EPO. Skrining anemia dilakukan secara porspektif selama 48 jam pada pasien ESRD Ralph H. Johnson Veterans Affairs Medical Center sebelum pengobatan EPO dimulai. Angka hematokrit rata-rata 0,264 +/- 0,036 dan BUN rata-rata 32 +/- 2 mmol/L. Delapan pasien (37,5%) memiliki serum besi
36
kurang dari 7 micromol/L, 25 pasien (52%) memiliki transferrin saturation (Tsat) kurang dari 0,20. Hasil penelitian menunjukkan defisiensi zat besi, vitamin B12, dan asam folat dapat mengganggu secara signifikan efektivitas pengobatan EPO. Hal ini menghasilkan pengobatan yang tidak cost-effectiveness (Hutchinson & Jones, 1997). G. Kerangka Konsep Penelitian Faktor berhubungan dengan terapi ESA yang diteliti : Jenis ESA Kepatuhan Hb awal terapi Obat anemia lain yang dikonsumsi
Capaian kadar Hb setelah 3 bulan pengobatan ESA
Faktor lain dalam terapi yang dapat mempengaruhi capaian kadar Hb antara lain : Adanya infeksi dan inflamasi Dialisis yang kurang adekuat Dosis dan frekuensi pemberian ESA
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya, berikut hipotesis penelitiannya yaitu terdapat hubungan antara faktor jenis ESA, kepatuhan, Hb awal terapi, dan obat antianemia lain terhadap capaian kadar Hb.