I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah suatu keadaan dengan kerusakan pada struktur pendukung gigi yang terdiri dari jaringan keras dan lunak. Jaringan pendukung gigi terdiri dari tulang alveolar, sementum, dan ligamen periodontal. Kerusakan jaringan pendukung gigi akan mengakibatkan gigi menjadi goyah. Kegoyahan gigi akan berakibat terjadinya kehilangan gigi lebih awal (Giannobile, 2006). Axelsson (2002), Loomer dan Armitage (2004) menjelaskan bahwa salah satu penyakit periodontal yang menyerang individu ketika masa pubertas hingga berusia 25 - 30 tahun dan bersifat agresif adalah Localized Aggresive Periodontitis (LAP). Penyakit LAP akan menyerang gigi incisivus dan molar sebagai infeksi awal (Shaddox dkk., 2012). Menurut Quirynen dkk. (2006) LAP merupakan penyakit yang disebabkan karena infeksi bakteri periodontopatogen. Bakteri yang menjadi etiologi primer penyebab penyakit LAP ialah bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans (A. actinomycetemcomitans), dengan populasi lebih banyak jika dibandingkan dengan bakteri lain, yaitu sebesar 90%. Bakteri A. actinomycetemcomitans memiliki morfologi yang berbentuk bulat, oval, atau batang sesuai dengan temperatur inkubasi. Dalam keadaan normal, A. actinomycetemcomitans ditemukan pada plak gigi, poket periodontal, dan sulkus gingiva. Rongga mulut dengan oral hygiene yang buruk, akan memicu pertumbuhan berlebih dari A. actinomycetemcomitans (Kesic dkk., 2009). Koloni bakteri A. actinomycetemcomitans yang berlebihan pada plak di permukaan gigi 1
2
akan menginvasi jaringan periodontal. Invasi spesifik patogen oral, dalam hal ini adalah A. actinomycetemcomitans, dapat menginisiasi terjadinya suatu infeksi periodontal (Giannobile, 2006). Infeksi A. actinomycetemcomitans akan menghasilkan leukotoksin dan endotoksin (Novak dan Novak, 2006). Leukotoksin yang dihasilkan oleh bakteri A. actinomycetemcomitans merupakan faktor virulensi utama. Leukotoksin tersebut akan menyerang leukosit, sehingga sistem imun akan terganggu (Axelsson, 2002). Keadaan sistem imun tubuh yang terganggu menyebabkan terjadinya imunosupresi lokal pada jaringan yang terinfeksi. Endotoksin yang dihasilkan oleh A. actinomycetemcomitans adalah lipopolisakarida (LPS). Keberadaan LPS akan menginduksi makrofag untuk menghasilkan sitokin. Sitokin tersebut menyebabkan terjadinya resorpsi tulang alveolar. Resorpsi tulang alveolar yang terjadi secara berkala akan berdampak pada kegoyahan hingga kehilangan gigi. Hal tersebut menunjukkan bahwa leukotoksin dan endotoksin berperan
penting
dalam
perkembangan
penyakit
LAP.
Infeksi
A.
actinomycetemcomitans dapat ditanggulangi dengan memberikan antibiotik seperti tetrasiklin, metronidazol, klindamisin, kloramfenikol, ampisilin, dan eritromisin (Axelsson, 2002; Kesic dkk., 2009; Brooks dkk., 2010). Antibiotik telah dijual bebas di pasaran, sehingga dapat ditemukan di setiap toko obat dan apotek. Penjualan bebas antibiotik mengakibatkan masyarakat dapat membeli dan mengkonsumsi antibiotik tanpa resep dokter. Penggunaan antibiotik secara tidak tepat, tanpa resep dokter dapat menimbulkan kerugian yang luas dari segi kesehatan (Utami, 2012). Rehana dkk. (2007)
3
mengemukakan bahwa sebagian masyarakat di Indonesia mengkonsumsi antibiotik dengan indikasi yang tidak tepat. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai informasi ilmiah tentang penggunaan antibiotik, akan memicu terjadinya penggunaan antibiotik yang meluas dan irasional. Penggunaan antibiotik yang meluas dan irasional dapat menyebabkan resistensi pada bakteribakteri dalam tubuh dan perluasan infeksi (Utami, 2012). Resistensi pada bakteri dalam tubuh akan mempengaruhi kondisi flora normal mulut. Pemanfaatan bahanbahan alam atau herbal dapat menjadi alternatif untuk mengurangi konsumsi obatobatan dari bahan kimia. Salah satu bahan herbal yang memiliki daya antibakteri ialah cengkeh (Alitonou dkk., 2012). Cengkeh (Syzygium aromaticum) merupakan tanaman biji tertutup yang berasal dari Kepulauan Maluku. Tanaman cengkeh mampu tumbuh subur di negara-negara tropis (Daniel, 2006). Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan produksi cengkeh terbesar di dunia (Deptan, 2007). Cengkeh hasil produksi Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai bahan yang bermutu, misalnya sebagai obat herbal. Cengkeh dalam obat tradisional, dimanfaatkan sebagai obat kolera dan obat campak (Thomas, 1992). Saat ini, cengkeh dimanfaatkan sebagai expectorants, obat asthma, parfum, dan sabun. Dalam dunia kuliner, cengkeh dimanfaatkan sebagai campuran permen, minuman, coklat, puding, roti, dan kue (Milind dan Deepa, 2011). Komponen utama yang dimanfaatkan dalam industri tersebut ialah minyak atsiri (Arung dkk., 2011). Minyak atsiri cengkeh diperoleh melalui proses distilasi (Al-Bayati dan Mohammed, 2011; Bankar dkk., 2011).
4
Salah satu proses distilasi minyak atsiri cengkeh ialah menggunakan distilasi air dan uap melalui proses pemisahan zat berdasarkan titik didih (Ledgard, 2006). Kandungan minyak atsiri cengkeh yang mudah menguap seperti golongan monoterpena dan seskuiterpena akan terdistilasi dan menjadi produk minyak cengkeh, sedangkan zat yang berupa lemak dan tidak menguap seperti triterpena (asam oleanolat dan asam ursolat), tidak terdistilasi dan akan tertinggal dalam ampas cengkeh (Harborne, 2006). Ampas cengkeh yang masih mengandung senyawa aktif dapat dimanfaatkan sebagai bahan yang bermutu. Hasil penelitian Djoukeng dkk. (2005) menunjukkan bahwa tumbuhan genus syzygium (cengkeh) mengandung zat-zat aktif. Penelitian tersebut melakukan fraksinasi metode kromatografi lapis tipis terhadap ekstrak cengkeh (Syzygium guineense), sehingga diperoleh 10 zat aktif golongan triterpena, salah satunya adalah asam oleanolat. Hasil fraksinasi kemudian digunakan dalam uji antibakteri. Hasil penelitian Nowak dkk. (2013) juga menunjukkan bahwa asam oleanolat adalah zat aktif yang terkandung dalam cengkeh (Syzygium aromaticum). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam oleanolat memiliki daya antibakteri. Penelitian Kurek dkk. (2012) menunjukkan bahwa asam oleanolat dapat mempengaruhi aktivitas pertumbuhan bakteri gram negatif maupun positif. Dinding sel bakteri merupakan target dari daya antibakteri asam oleanolat. Bakteri yang diujikan adalah Pseudomonas aeruginosa, Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus epidermidis. Penelitian JimenezArellanes dkk. (2013) menunjukkan bahwa asam oleanolat berpengaruh terhadap
5
pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penelitian Fontanay dkk. (2008) juga menunjukkan bahwa asam oleanolat memiliki kemampuan sebagai antibakteri yang menghambat pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis dan Staphylococcus aureus. Penelitian Duric dkk. (2013) memperlihatkan bahwa asam oleanolat mampu mempengaruhi pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis dengan terbentuknya zona hambat pada uji kepekaan bakteri. Penelitian ini akan menggunakan asam oleanolat yang diperoleh melalui fraksinasi ampas cengkeh sisa proses distilasi minyak atsiri. Fraksinasi yang digunakan ialah metode kromatografi lapis tipis. Asam oleanolat yang diperoleh melalui proses fraksinasi tersebut, akan digunakan dalam uji sensitivitas terhadap pertumbuhan bakteri A. actinomycetemcomitans.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : Apakah asam oleanolat hasil fraksinasi ampas cengkeh (Syzygium
aromaticum) berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri A.
actinomycetemcomitans ?
6
C. Keaslian Penelitian Djoukeng dkk. (2005) melakukan penelitian mengenai uji sensitivitas antibakteri dari hasil fraksinasi ekstrak cengkeh (Syzygium guineense). Hasil fraksinasi berupa beberapa triterpena, yaitu betulinic acid, oleanolic acid, ursolic acid, arjunolic acid, asiatic acid, terminolic acid, 6-hydroxyasiatic acid, arjunolic acid 28-β-glucopyranosyl ester, dan asiatic acid 28-β-glucopyranosyl ester. Triterpena hasil fraksinasi diujikan pada bakteri Escherichia coli, Bacillus subtilis, dan Shigella sonnei. Penelitian ini tidak menggunakan ekstrak cengkeh (Syzygium giuneense), melainkan menggunakan ekstrak ampas cengkeh (Syzygium aromaticum) sisa distilasi.
Ekstrak
ampas
cengkeh
tersebut
difraksinasi
dengan
metode
kromatografi lapis tipis. Hasil fraksinasi berupa asam oleanolat, kemudian diujikan pada bakteri A. actinomycetemcomitans.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh asam oleanolat hasil fraksinasi ampas cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap pertumbuhan bakteri A. actinomycetemcomitans.
7
E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh asam oleanolat hasil fraksinasi ampas cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap pertumbuhan bakteri A. actinomycetemcomitans. 2. Memberikan informasi ilmiah yang dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih
lanjut
aromaticum).
mengenai
daya
antibakteri
ampas
cengkeh
(Syzygium