BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tuberkulosis (TB)
2.1.1
Pengertian TB TB adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.
TB tidak hanya menyerang paru namun dapat menyerang organ lain termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe. Agen infeksius utama dari penyakit ini adalah mycobacterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smelter & Suzanne, 2001). TB adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, suatu basil aerobic yang tahan terhadap asam, yang ditularkan melalui udara (Asih, 2003). Menurut Depkes RI penyakit TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ lain. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara yang umumnya menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain.
13
14
2.1.2
Patofisiologi TB Pertama kali klien terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis, disebut
sebagai infeksi primer dan biasanya terdapat pada apeks paru atau di dekat pleura lobus bawah. Tempat infeksi primer ini mrgnalami proses degenerasi nekrotik (perkejuan) yang menyebabkan pembentukkan rongga yang terisi oleh massa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati dan jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair dan mengalir ke dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan oleh penderita (Asih, 2003). Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitive terhadap protein yang dibuat oleh mycobacterium tuberculosis dan akan bereaksi positif jika dilakukan tes tuberculin atau tes mantoux. Sebagian besar tuberkel primer ini sembuh dalam waktu bulanan dengan membentuk jaringan parut. Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali, meski telah bertahun-tahun dan menyebabkan infeksi sekunder.
Sebanyak 90% di
antaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganansan, silikosis, diabetes mellitus dan AIDS (Mutaqqin, 2008).
2.1.3
Penatalaksanaan TB Menurut Zain, 2001 dalam Muttaqin (2008), penatalaksanaan dari TB
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pencegahan, pengobatan dan penemuan penderita (active case finding).
15
a.
Pencegahan TB paru. Pencegahan TB paru dilakukan dengan pemeriksaan terhadap individu
yang bergauk erat dengan penderita TB paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberculin, klinis dan radiologis. Bila tes positif, maka pemeriksaan radiologis diulang 6 dan 12 bulan mendatang. Selain itu, dilakukan pemeriksaan missal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu yang disebut mass chest X-ray. Pemeriksaan ini dilakukan misalnya kepada karyawan rumah sakit, penghuni rumah tahanan, atau siswasiswi asrama. Jika hasil negatif maka akan diberikan vaksinasi BCG sebagai pencegahan, namun jika hasilnya positif atau pada kasus bayi yang menyusui dari ibu dengan BTA positif, maka akan diberikan kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Selain pemeriksaan tersebut, tentunya pencegahan yang sangat diperlukan adalah informasi dan edukasi tentang penyakit TB kepada masyarakat. Dengan memberikan edukasi yang benar, diharapkan masyarakat lebih mengetahui tentang pencegahan TB dan juga pengobatan.
b.
Pengobatan TB Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Untuk program nasional pembatasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori
16
tersebut didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Kategori dalam penyakit TB dibagi menjadi empat yaitu: 1.
Kategori I Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan
sputum negatif tetapi memiliki kelainan paru yang luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Dimulai dengan fase 2 HRZS (E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan. Jika setelah dua bulan pengobatan, sputum menjadi negatif, maka dilanjutkan dengan fase lanjutan. Jika setelah dua bulan, hasil sputum tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu setelah fase intensif pertama, kemudian dilanjutkan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil sputum berikutnya. 2.
Kategori II Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
Fase intensif HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum berubah menjadi negative, maka diteruskan ke fase lanjutan. Bila setelah pengobatan selama tiga bulan sputum tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari. Kemudian uji resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan. 3.
Kategori III Kategori III adalah kasus dengan sputum negative tetapi kelainan parunya
tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebutkan dalam kategori I. pengobatan yang diberikan 2HRZ/6 HE, 2HRZ/4 HR, 2HRZ/4 H3R3.
17
4.
Kategori IV Kategori IV adalah TB kronis. Prioritas pengobatan rendah karena
kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil. Untuk negara kurang mampu dari segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja seumur hidup. Untuk Negara maju atau pengobatan secara individu (penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua seperti Quinolon, Ethioamide, Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan sebagainya. (Muttaqin, 2008)
2.1.4
Resistensi Terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Hasil surveilans global menjelaskan bahwa mycobacterium tuberculosis
yang resisten terhadap OAT telah menyebar dan menjadi ancaman terhadap program pengendalian TB di berbagai negara. Kegagalan pada pengobatan akan menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman mycobacterium tuberculosis. Kegagalan ini tidak hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. Resistensi OAT adalah suatu fenomena akibat pengobatan penderita TB yang tidak adekuat. Faktor penyebab resistensi OAT terhadap kuman mycobacterium tuberculosis antara lain: 1). faktor mikrobiologik, diantaranya resistensi yang natural, didapat, amplifier effect, virulensi kuman, atau tertular kuman yang telah MDR; 2). Faktor klinik, diantaranya pengobatan yang tidak lengkap, kualitas obat yang kurang baik, obat tidak dapat diserap dengan baik misalkan rifampisin yang diminum sebelum makan atau pada saat diare, ketersediaan obat yang tidak adekuat, kurangnya
18
pengawasan
terhadap
pengobatan
dan
dosis
obat
yang
tidak
tepat.
(Soepandi,2008) Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberculosis dibagi menjadi: a.
Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
b.
Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau tidak
c.
Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.
Kategori resistensi obat anti TB adalah sebagai berikut: a.
Mono resistance
: kekebalan terhadap salah satu obat OAT
b.
Poly resistance
: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid dan rifampisin c.
Multidrug resistance (MDR)
:
kekebalan
terhadap
sekurang-
:
TB-MDR
ditambah
kekebalan
kurangnya isoniazid dan rifampicin d.
Extensive drug resistance (XDR)
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisisn, dan amikasin).
19
2.2
Kepatuhan Berobat Kepatuhan berasal dari kata
patuh yang berarti taat, suka menuruti,
disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Sari (2011), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan
kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Menurut sacket
(Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Secara umum, istilah kepatuhan (compliance atau adherence) didefinisikan sebagai ukuran sejauh mana pasien mengikuti instruksi-instruksi atau saran medis (Sabate, 2001; Dusing, Lottermoser & Mengden, 2001). Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepatuhan berobat adalah perilaku pasien taat dan disiplin dalam mengikuti seluruh instruksiinstruksi yang diberikan oleh professional kesehatan yang berhubungan dengan pengobatan yang sedang dijalani.
2.2.1
Kepatuhan Berobat Pada Pasien TB Menurut Snider dikutip Aditama (dalam Khoiriyah, 2009) menyatakan
bahwa salah satu indikator kepatuhan dalam pengobatan TB adalah datang atau tidaknya penderita setelah mendapat anjuran untuk kontrol kembali. Seseorang penderita akan dikatakan patuh jika dalam proses pengobatan penderita meminum obat sesuai dengan aturan paket obat dan tepat waktu dalam pengambilan obat. Menurut University of south Australia tipe-tipe ketidakpatuhan pasien antara lain: (1) Tidak meminum obat sama sekali; (2) Tidak meminum obat dalam
20
dosis yang tepat (terlalu kecil/ terlalu besar); (3) Meminum obat untuk alasan yang salah; (4) Jarak waktu meminum obat yang kurang tepat; (5) Meminum obat lain di saat yang bersamaan sehingga menimbulkan interaksi obat. Berikut adalah jumlah obat dan waktu minum obat pada pasien TB.
a.
Jumlah obat Panduan OAT yang digunakan oleh program nasional penanggulangan
TB di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 yaitu: 1.
Kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3 Obat ini diberikan untuk pasien baru dengan BTA positif, pasien TB paru
BTA negative namun foto toraks positif atau pasien TB ekstra paru
Tabel 1 Dosis Untuk panduan OAT KDT untuk kategori 1
Berat Badan
Tahap intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4 KDT
Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 2 KDT
3 tablet 4 KDT
3 tablet 2 KDT
4 tablet 4 KDT
4 tablet 2 KDT
5 tablet 4 KDT
5 tablet 2 KDT
30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg ≥ 71 kg
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
21
Tabel 2 Dosis Untuk panduan OAT Kombipak untuk kategori 1
Lama Pengobatan
Tahap pengobatan
2 bulan
Dosis per hari/kali Tablet Kaplet Tablet Tablet Isoniazid rifampisin pirazinamid etambutol @300 @450 mg @500 mg @250 mg mg 1 1 3 3
Jumlah hari/kali menelan obat 56
Intensif 4 bulan
1
1
-
-
Lanjutan Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
2.
Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya namun kambuh, gagal atau pasien dengan pengobatan setelah putus obat (default)
Tabel 3 Dosis Untuk panduan OAT KDT untuk kategori 2
Berat Badan
30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg ≥ 71 kg
Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari Selama 28 hari 2 tablet 4 KDT + 500mg streptomisin inj 3 tablet 4 KDT + 750mg streptomisin inj 4 tablet 4 KDT + 1000mg streptomisin inj 5 tablet 4 KDT + 1000mg streptomisin inj
2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
2 tablet 2 KDT + 2 tablet etambutol 3 tablet 2 KDT + 3 tablet etambutol 4 tablet 2 KDT + 4 tablet etambutol 5 tablet 2 KDT + 5 tablet etambutol
48
22
Tabel 4 Dosis Untuk panduan OAT Kombipak untuk kategori 2
Tahap pengobatan
Lama Pengobatan
Tablet Isoniazid @300 mg
Kaplet rifampisin @450 mg
Dosis per hari/kali Tablet Tablet pirazinamid etambutol @500 mg @250 mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 (dosis 1 bulan 1 1 3 harian) Lanjutan 4 bulan 2 1 (Dosis 3x seminggu) Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
3.
Tablet etambutol @400 mg
Strepto misin inj
3 3
-
0,75 gr
1
2
OAT Sisipan (HRZE) Panduan obat ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir
pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Pada sisipan kombinasi dosis tetap (KDT) adalah sama seperti panduan paket unutk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 5 Dosis Untuk paduan OAT KDT untuk sisipan
Berat Badan
Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4 KDT
30-37 kg 3 tablet 4 KDT 38-54 kg 4 tablet 4 KDT 55-70 kg ≥ 71 kg
5 tablet 4 KDT
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
Jumlah hari/kali menelan obat 56 28 60
23
Tabel 6 Dosis Untuk paduan OAT Kombipak untuk sisipan
Tahap pengobatan
Lama Pengobatan
2 bulan
Dosis per hari/kali Tablet Kaplet Tablet Tablet Isoniazid rifampisin pirazinamid etambutol @300 @450 mg @500 mg @250 mg mg 1 1 3 3
Jumlah hari/kali menelan obat 56
Intensif 4 bulan
1
1
-
-
Lanjutan Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
b.
Waktu minum obat Semua OAT diminum malam hari sebelum tidur atau setidaknya satu jam
sebelum makan. Makanan dapat mengganggu penyerapan obat OAT sehingga baik diminum dalam keadaan lambung kosong (Smeltzer&Bare, 2002). Pengobatan TB diberikan dalam dua fase yaitu: (1) fase intensif yang menggunakan isoniazid yang dikombinasikan dengan rifampisin dan pirazinamida selama dua bulan, yang ditujukan untuk menghancurkan sejumlah besar organism yang berkembang biak dengan cepat. Pada fase ini, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu kepatuhan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan kegagalan penyembuhan. (2) fase rumatan atau lanjutan menggunakan isoniazid bersama rifampisisn selama 4 bulan. Fase ini ditujukan untuk memusnahkan basil yang masih tersisa. Kultur sputum digunakan untuk mengevaluasi pengobatan. Tahap lanjutan sangat penting untuk mencegah kekambuhan (Asih, 2003).
48
24
2.2.2
Alat Ukur Tingkat Kepatuhan Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat dievaluasi dengan berbagai
metode (Dȕsing, Lottermoser dan Mengden, 2001) a.
Medication Event Monitoring Systems (MEMS) Metode ini menggunakan wadah obat khusus yang dilengkapi dengan
mikrosirkuit yang mengirim data ke komputer setiap wadah tersebut dibuka dan ditutup. Oleh karena itu, MEMS dapat mengukur kepatuhan pasien dengan tepat. Namun, kekurangan MEMS adalah memerlukan biaya yang cukup besar dalam pelaksanaannya. b.
Pill count (Hitung pil) Pengukuran kepatuhan dengan metode ini dilakukan dengan menghitung
sisa obat yang tidak dihabiskan oleh pasien. Kelemahan metode ini adalah mudah dimanipulasi oleh pasien. c.
Refilling (Pengisian ulang) Pada pengukuran ini, obat diberikan seluruhnya pada pasien, tetapi dalam
jangka waktu tertentu pasien harus kembali ke petugas untuk mendapatkan stok untuk selanjutnya. Metode ini dapat membantu untuk mengetahui diskontinyu obat. d.
Chemical markers (Penanda kimia) Pengukuran kepatuhan dilakukan dengan menggunakan penanda kimia,
seperti digoksin dan fenobarbital, dalam dosis kecil yang dimasukkan ke dalam obat yang diresepkan.
25
e.
Self report (Laporan diri) Evaluasi kepatuhan dengan metode ini biasanya menggunakan kuesioner
sebagai data primer. Pasien ditanya mengenai pernah tidaknya lupa meminum obat kepada orang lain, dan sebagainya. Dibandingkan dengan seluruh metode pengukuran kepatuhan pasien, perhitungan sisa pil, pengisian ulang dan penggunaan kuesioner merupakan cara yang paling sederhana. Namun demikian, kuesioner dianggap lebih baik untuk mengevaluasi kepatuhan karena dapat mengetahui sikap dan pandangan pasien terhadap pengobatan yang dijalani (Osterberg, Lars, Terrence Blaschke, 2005).
2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan Green dan Kreuter mengajukan sebuah kerangka teori (teori Green)
yang mempelajari mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku sehat seseorang . Teori ini
mencakup 3 faktor yakni, faktor predisposisi, factor
pemungkin (enabling factor), dan factor penguat (reinforcing factor). Teori ini sangat tepat untuk meneliti perilaku kesehatan individu dengan penyakit kronik, salah satunya adalah kepatuhan pada pengobatan TB. a.
Faktor Predisposisi (Predisposing factors) Merupakan faktor internal yang ada pada diri individu, kelompok, dan
masyarakat, yang mempermudah individu untuk berperilaku. Faktor predisposisi tersebut adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, keyakinan dan kebiasaan. Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus/objek (Notoatmodjo, 2007).
26
Mednick,
Higgins
dan
Kirschenbaum
(dalam
Panjaitan,
2010)
menyebutkan bahwa salah satu faktor yang membentuk sikap seseorang adalah kepribadian. Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih tinggi dalam mengalami depresi, ansietas, memiliki ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian
pada dirinya sendiri. Blumenthal mengatakan bahwa ciri-ciri
kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program pengobatan (Risty, 2009). Kepercayaan, nilai-nilai, dan keyakinan merupakan faktor-faktor personal yang selalu mempengaruhi persepsi seseorang terhadap situasi yang dihadapi sehingga akan mempengaruhi reaksinya terhadap situasi tersebut. Nantinya gabungan dari ketiga factor ini akan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda tergantung pada orientasi kehidupan masing-masing individu yang disebut Rotter sebagai Locus of control. b.
Faktor Pemungkin (Enabling factors) Merupakan faktor yang memungkinkan individu berperilaku seperti yang
terwujud dalam lingkungan, fisik, tersedia atau tidak tersedia fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. c.
Faktor Penguat atau Faktor Pendorong (Reinforsing factors) Merupakan faktor yang menguatkan perilaku seperti terwujud dalam
sikap seperti dukungan dari tenaga kesehatan serta dukungan dari keluarga atau
27
suami merupakan koordinasi referensi dalam perilaku masyarakat. (Notoatmodjo, 2003).
2.3.1
Kepribadian
a.
Pengertian Menurut Murray (dalam Hall&Lindzey, 1993) kepribadian adalah fungsi
yang menata atau mengarahkan dalam diri individu. Tugas-tugasnya meliputi mengintegrasikan konflik-konflik dan rintangan-rintangan yang dihadapi individu, memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu dan menyusun rencana-rencana untuk mencapai tujuan di masa mendatang. Feist&Feist (2009) mengatakan bahwa kepribadian mencakup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku yang terlihat dan pikiran yang tidak terlihat, serta tidak hanya merupakan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu. Kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan proses serta struktur dan perkembangan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Allport (1951) mengatakan bahwa bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagi system psikofisik yang menentukan caranya yang khas dalam menyeseuaikan diri terhadap lingkungan (Krisnawati, 2012). Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa, kepribadian adalah satu kesatuan system psikologis dan fisik yang berada dalam diri individu yang terlihat maupun tidak terlihat yang mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan di masa yang akan datang.
28
b.
Pembentukan kepribadian Menurut Murray, masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang
semuanya mempunyai bobot yang setara dalam menentukan tingkah laku, sehingga motivasi tak sadar menjadi tidak terlalu penting. Pembentukan kepribadian menurut Murray adalah sebagai berikut: Id: seperti Freud, Murray memandang Id sebagai gudang semua kecenderungan impulsif yang dibawa sejak lahir. Id menguasai energi dan mengarahkan tingkah laku, sehingga menjadi dasar kekuatan motivasi kepribadian. Id bukan hanya berisi impuls primitif, amoral dan kenikmatan, tetapi juga berisi impuls yang dapat diterima baik dan diharapkan masyarakat seperti empati, cinta dan memahami lingkungan. Ego: Murray memberi peran ego jauh lebih luas dari Freud. Sebagai unsur rasional dari kepribadian, ego bukan hanya melayani, mengubah arah dan menunda impuls id yang tak terima, tetapi ego juga menjadi pusat pengatur semua tingkahlaku, secara sadar merencanakan tingkah laku, mencari dan membuat peluang untuk memperoleh kepuasan id yang positif. Superego: Murray menekankan pentingnya pengaruh kekuatan lingkungan sosial atau kultur dalam kepribadian. Seperti Freud dia memandang superego sebagai internalisasi nilai-norma-moral kultural pada usia dini, yang kemudian dipakai untuk mengevaluasi tingkah laku diri dan orang lain. Superego terus menerus berkembang sepanjang hayat merefleksi pengalaman semakin dewasa semakin kompleks dan canggih.
manusia yang
29
c.
Tipe Kepribadian Kepribadian pertama kali disusun secara sistematis oleh Hippocrates, yang
membagi tipe kepribadian seseorang berdasarkan cairan tubuh seseorang. Empat cairan
itu, darah (blood), empedu kuning (yellow bile), lendir (phlegm) dan
empedu hitam (black bile), masing-masing dipercaya berhubungan erat dengan tipe perilaku yang berbeda. Kelebihan darah membuat seseorang menjadi sanguin, empedu kuning menghasilkan sifat kolerik, lendir secara alamiah akan menghasilkan penampilan yang flegmatik, dan empedu hitam berhubungan dengan sifat seseorang yang melankolik. Teori ini masih digunakan hingga abad pertengahan bahkan sampai hari ini, kata-kata sanguine, phlegmatic, choleric dan melancholic masih umum digunakan. Pada awal 1920an, seorang ahli psikologi flamboyan dari Amerika Serikat, William Moulton Marston, mengembangkan teori untuk menjelaskan respon emosional seseorang. Sampai pada masa itu, pekerjaan sejenis ini umumnya terbatas pada orang-orang yang sakit secara mental atau perilaku kriminal, dan kali ini Marston bermaksud mengembangkan ide ini mencakup kepribadian orangorang biasa atau normal. Penelitiannya dilakukan dengan cara mengukur empat faktor penting, yaitu Dominance, Influence, Steadiness dan Compliance, yang kemudian dikenal sebagai DISC. Pada 1926, Marston menerbitkan penemuannya dalam sebuah buku terkenal yang berjudul The Emotions of Normal People, yang juga berisikan sebuah deskripsi singkat tentang berbagai pengujian dan percobaan yang telah dikembangkannya.
30
DISC mengukur empat faktor perilaku seseorang, yaitu: Dominance, Influence, Steadiness dan Compliance. Model DISC Marston menyimpulkan bahwa apa yang cenderung orang pikirkan, rasakan dan lakukan adalah hasil dari kepribadian. Ini merupakan suatu konstruksi yang cukup kompleks, dan tidak mudah digambarkan dengan satu kata saja, tetapi dapat dikelompokkan sebagai unsur ketegasan
(assertiveness), komunikasi
(communication), kesabaran
(patience) dan terstruktur (structure). Orang-orang tinggi di sifat dominance berpikir secara mandiri, ambisius, dan mengambil keputusan dengan cepat dan aktif untuk memecahkan masalah. Dominan suka berkompetisi dan menikmati tantangan. Mereka memiliki kebutuhan yang kuat untuk mencapai dan mencoba untuk mempertahankan kontrol atas lingkungan di mana mereka tinggal dan bekerja. Orang-orang yang memiliki sifat Influence memiliki sifat dasar menghibur dan sosial. Mereka ingin berpartisipasi dalam kelompok dan mengandalkan keterampilan sosial mereka sebagai sarana utama untuk menyelesaikan sesuatu. Sangat ekstrovert, orang-orang ini ramah dan pandai bergaul. Mereka memiliki dorongan untuk bertemu dan berbicara dengan orang lain, dan mereka bahkan mencoba untuk membawa orang-orang yang kurang bersosialisasi bersama-sama. Orang-orang yang bersifat Steadiness memiliki sifat dasar gigih dan sabar . Mereka memiliki hidup yang stabil dan tidak suka kejutan. Mereka sering menunjukkan loyalitas kuat untuk orang di sekitar mereka. Orang steady menempatkan nilai tinggi pada ketulusan, mereka biasa mengatakan kebenaran dan mengharapkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Individu yang
31
stabil memiliki tingkat ketekunan yang luar biasa, sangat sulit untuk memulai sesuatu yang baru dan melakukan perubahan. Ingin semuanya berjalan dengan tenang sehingga cenderung lambat dan tidak suka dikejar atau ditargetkan sesuatu. Orang-orang yang bersifat compliance memiliki sifat dasar presisi dan akurasi. Mereka memiliki pola pikir terstruktur dan detail, dan mereka fokus pada fakta-fakta. Mereka menganggap tradisi dan etiket sebagai sangat penting dan akan memperluas upaya besar untuk mendukung adat istiadat tersebut. Mereka cenderung menggunakan pendekatan sistematis untuk kegiatan mereka, dan akan bersikeras pada penggunaan aturan untuk mengelola atau mengendalikan lingkungan mereka. Hal ini dapat menyebabkan orang lain melihat mereka sebagai orang yang patuh dan disiplin.
The four temperament model of human behavior
Active/task-oriented “D” – directing, driving, demanding, dominating, determined, decisive, doing
Passive/task-oriented “S” – steady, stable, shy, security-oriented, servant, submissive, specialist
D
I
S
C
Active/people-oriented “I” – inspiring, influencing, inducing, impressing, interactive, interested in people.
Passive/task-oriented “C” – cautious, competent, calculating, compliant, careful, contemplative.
Gambar 1 empat model sifat pada perilaku manusia menurut DISC (Bradbery,2007).
32
d.
Alat Ukur Tipe Kepribadian DISC Alat yang digunakan untuk mengukur tipe kepribadian adalah DISC
personal profile system atau yang dalam bahasa indoesia sudah diterjemahkan menjadi Marston Model Indonesia (MMI). Alat ukur ini terdiri dari 24 kotak yang masing-masing kotaknya berisi empat pernyataan yang mewakili empat dimensi tipe kepribadian DISC. Keempat kuadran itu adalah dominance, influence, steadiness dan compliance. Alat ukur ini diciptakan sendiri oleh William Moulton Marston yang digunakan untuk memeriksa tingkah laku individu di dalam lingkungannya atau di dalam situasi yang spesifik. Pada setiap kotak terdapat empat pernyataan yang harus dipilih oleh subjek, dimana terdapat dua bagian pilihan yaitu yang paling menggambarkan diri subjek dan yang paling tidak menggambarkan diri subjek. Jadi pada tiap item, subjek harus memilih satu dari empat pernyataan tersebut yang paling menggambarkan dirinya dan satu pernyataan yang paling tidak menggambarkan dirinya. Setiap pernyataan yang dipilih bernilai satu dan akan dimasukkan ke kolom total skor sesuai dengan dimensi yang diwakili oleh pernyataan tersebut. Jumlah total pernyataan yang paling menggambarkan subjek akan dimasukkan ke kolom most (grafik public self) dan pernyataan yang paling tidak menggambarkan dirinya akan dimasukkan ke kolom least (grafik private self). Setelah mendapatkan total skor dari masing-masing dimensi, maka total skor pada kolom most dikurangi dengan total skor pada kolom least. Skor yang diperoleh dari selisih ini disebut scaled score. Scaled score inilah yang akan dikonversikan ke dalam grafik perceived self yang menggambarkan kecenderungan kepribadian seseorang yang
33
mengkombinasikan respon yang dipelajari dari masa lalu subjek dengan tingkah laku yang diharapkan dari lingkungan subjek (Kory, 2008). Dimensi yang memiliki skor tertinggi antara steadiness dan compliance pada grafik perceived self akan dijadikan tipe kepribadian responden pada penelitian ini.
e.
Hubungan Tipe Kepribadian dengan Tingkat Kepatuhan Menurut Dinicola Da Dimatteo dalam Niven (2002), mengemukakan lima
rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien yaitu: 1.
Menumbuhkan kepatuhan dengan mengembangkan tujuan kepatuhan. Pasien akan dengan senang hati mengungkapkan tujuan kepatuhannya, jika
pasien memiliki keyakinan dan sikap positif terhadap tujuan tersebut serta adanya dukungan dari keluarga dan teman terhadap keyakinannya tersebut. 2.
Mengembangkan strategi untuk merubah perilaku dan mempertahankannya Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap dirinya,
evaluasi diri dan penghargaan terhadap perilaku yang baru tersebut. 3.
Mengembangkan kognitif Pengembangan kognitif tentang masalah kesehatan yang dialami, dapat
membuat pasien menyadari masalahnya dan dapat menolong mereka berperilaku positif terhadap kepatuhan. 4.
Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-
34
program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan. Sesuai dengan teori tersebut, maka tipe kepribadian berguna untuk mengetahui kecenderungan pola pikir dan perilaku seseorang. Selain itu, tipe kepribadian juga berguna untuk mengetahui kelemahan, kelebihan dan juga bagaimana orang tersebut ingin diperlakukan. Sehingga menumbuhkan kepatuhan dengan mengembangkan tujuan kepatuhan dan mengembangkan strategi untuk merubah perilaku dan mempertahankannya akan lebih mudah dilakukan jika perawat mengetahui kepribadian pasiennya. Dengan mengetahui kepribadian pasien, perawat akan lebih mudah melakukan pendekatan dan mendapatkan kepercayaan dari pasiennya karena perawat mampu memberikan respon yang tepat sesuai dengan keinginan dan harapan dari pasien tersebut. Mufida, 2012 dalam penelitiannya berjudul “Perbedaan Burn Out Ditinjau Dari Gaya Kepribadian Dominance, Influence, Steadiness dan Compliance” dari total 198 responden, 97 diantaranya memiliki tipe kepribadian steadiness dan 53 lainnya adalah compliance, sedangkan 23 orang dengan tipe kepribadian dominant dan 25 orang dengan tipe kepribadian interpersonal. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa, tipe kepribadian steadiness cenderung mengalami burn out sedang, sedangkan tipe kepribadian compliance cenderung mengalami burn out ringan. Setiarini, 2010 dalam penelitiannya berjudul ”Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Indeks Prestasi Kumulatif Mahasiswa Program A Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara” mengatakan bahwa ditemukan bahwa
35
tipe kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku seseorang dalam mengikuti instruksi-instruksi serta pelajaran di kampus sehingga mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa. Nilai OR terbesar adalah koleris yaitu 3,750 dengan pembanding tipe kepribadian plegmatis yang menunjukkan bahwa koleris mempunyai peluang 3,75 kali lebih tinggi untuk mendapatkan prestasi sangat memuaskan dari pada plegmatis. Dengan mengetahui tipe kepribadian dapat membantu untuk lebih mengenal diri sendiri, lebih fokus pada wilayah pengembangan diri, memahami orang lain dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam tipe kepribadian orang dan untuk lebih percaya diri. DISC juga berguna agar seseorang mampu memetakan wilayah masalah, akar konflik, dan tingkat stress (dari dalam diri atau disebabkan oleh lingkungan) secara akurat dan mendeteksi sebab konflik utama dalam hubungan (Kristanto,2012).
2.3.2
Health Locus Of Control
a.
Pengertian Locus of control pertama kali dirumuskan oleh Julian Rotter. Locus of
control menurut Petri (1980) merupakan konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai kemampuannya untuk mengendalikan penguat yang menyertai perilaku. Pendapat ini diperkuat oleh Rotter (1966) yaitu pada dasarnya locus of control menunjuk pada keyakinan atau harapan-harapan individu mengenai sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Widodo, 2007).
36
Munandar (2004) menyatakan bahwa health locus of control sebagai keyakinan atau harapan individu mengenai sumber penyebab peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, yaitu kecenderungan untuk merasa apakah peristiwa itu dikendalikan dari dalam dirinya (internal) atau dari luar dirinya seperti keberuntungan, nasib, kesempatan, kekuasaan orang lain dan kondisi yang lain yang dapat dikuasai (eksternal) Menurut Sweeting (dalam Mandasari, 2012) health locus of control menggambarkan derajat keyakinan yang dimiliki individu dalam mempersepsi kualitas kesehatan dirinya sebagai hasil dari tindakannya sendiri, sehingga dapat dikontrol, atau sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya sendiri, sehingga berada di luar kontrol dirinya. Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa health locus of control adalah suatu keyakinan yang dimiliki individu terhadap kemampuannya dalam mengontrol kesehatan dirinya.
b.
Dimensi Health Locus of Control Pada mulanya Rotter melihat locus of control sebagai hal yang bersifat
unidimensional (internal dan eksternal). Namun pada tahun 1973, Levenson mengembangkan konsep locus of control dan membaginya menjadi tiga dimensi independent yaitu: internalisasi (internality), powerful other, dan chance. Menurut model Levenson, seseorang dapat memunculkan masing-masing dimensi locus of control secara independen dalam waktu yang sama (Zawawi dalam Tektonika, 2012).
37
Levenson (1973) dalam Tektonika (2012), mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi ke arah internal locus of control akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua kejadian atau peristiwa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Individu yang memiliki orientasi pada locus of control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada disekitarnya (powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan serta adanya kesempatan (chance). Wallston, Wallston & DeVellis (1978) dalam Mandasari (2012) membagi dimensi Health Locus of Control menjadi: 1.
Internal health locus of control (IHLC) Merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas
kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kualitas kesehatannya ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri. 2.
Powerful others health locus of control (PHLC) Merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas
kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh orang lain yang lebih berkuasa.
38
3.
Chance health locus of control (CHLC) Merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas
kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh nasib, peluang dan keberuntungan.
c.
Alat Ukur Health Locus of Control Wallston dan Wallston memperkenalkan konsep keyakinan kendali yang
berhubungan dengan kesehatan sebagai suatu konsep multidimensional yang disebut health locus of control. Multidimentional health locus of control scales (MHLC) yang disusun oleh Wallston, menyebutkan bahwa health locus of control merupakan tingkat kepercayaan subyek terhadap kesehatan yang dilihat dari aspek internal health locus of control dan eksternal health locus of control (Wallston, K.A., Wallston, B.S, 1998). Wallston mengatakan pada akhir penyelesaian kuisioner, tidak ada total skor MHLC, karena tidak ada batas yang memisahkan antara internal dan eksternal. Hasil dari kuisioner ini nantinya berupa internal tinggi, atau eksternal tinggi. Internal tinggi belum tentu eksternal rendah, dan begitu juga sebaliknya eksternal rendah tidak sama dengan internal tinggi. Dalam konsep ini tidak ada seorang pun yang benar-benar internal atau eksternal. Seseorang bisa berada di sepanjang garis yang menghubungkan kutub internal dan eksternal. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah form A MHLC yang memiliki 18 item pernyataan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan model skala likert. Model asli dari skala MHLC
39
menggunakan enam pilihan jawaban yaitu “sangat tidak setuju”, “agak tidak setuju”, “tidak setuju”, “setuju”, “agak setuju” dan “sangat setuju”. Pengukuran pada MHLC menggunakan aspek-aspek sebagai berikut: 1. aspek keyakinan kendali terhadap kesehatan yang berkarakteristik internal secara langsung. 2. aspek keyakinan kndali terhadap kesehatan yang berkarakteristik eksternal yaitu faktor nasib (chance) dan orang lain yang lebih berkuasa (powerful others).
Tabel 7 panduan skoring pada MHLC Form A
Sub skala Internal Chance Powerful Others
Kemungkinan skor 6 - 36 6 - 36 6 - 36
Nomor soal 1, 6, 8, 12, 13, 17 2, 4, 9, 11, 15, 16 3, 5, 7, 10, 14, 18
Sumber: http://www.nursing.vanderbilt.edu/faculty/kwallston/mhlcscales.htm
Setelah responden menyelesaikan 18 item pernyataan tersebut, maka nilai setiap item akan dimasukkan ke kolom skoring sesuai dengan sub skala yang diwakili oleh item tersebut. Sub skala yang memiliki skor tertinggi akan digunakan sebagai health locus of control responden pada penelitian ini.
d.
Hubungan Health Locus of Control dengan Tingkat Kepatuhan Perkembangan locus of control menurut monks (1987) dalam nurhalimah
dan muslimah (2013) dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial pertama adalah keluarga. Apabila tingkah laku anak di dalam keluarga mendapatkan respon, anak akan merasakan sesuatu dalam lingkungannya. Dengan dernikian, tingkah laku itu menimbulkan motif
40
yang dipelajari dan merupakan awal terbentuknya internal locus of control. Sebaliknya, jika tingkah lakunya tidak mendapatkan reaksi, anak akan merasa bahwa perilakunya tidak mempunyai akibat apapun, anak merasa tidak dapat menentukan akibatnya, keadaan di luar dirinyalah yang menentukan. Pengalaman ini akan mendorong perkembangan ke arah eksternal locus of control. Noviarini (2012) menyatakan bahwa dimensi internal-external locus of control dari Rotter memfokuskan pada strategi pencapaian tujuan tanpa memperhatikan asal tujuan tersebut. Bagi seseorang yang mempunyai internal locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran didalamnya. Individu
yang
mempunyai
external
locus
of
control
diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan Sementara
itu
individu
yang
mempunyai
internal
locus
of
control
diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang menguntungkan.