Ahmad I A 81 Years Old Man with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Seorang Pria Usia 81 Tahun dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Ahmad Arbi Anindito Faculty of Medicine, Lampung University
Abstrak Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. Laki-laki, 81 tahun, seorang tukang bangunan, dengan keluhan sesak napas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan batuk dengan dahak berwarna putih kental. Pasien merupakan seorang perokok berat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/70 0 mmHg, denyut nadi 100 kali/menit, pernapasan 28 kali/menit, suhu tubuh 36,7 C. Dada berbentuk barrel chest dan tampak retraksi sela iga, terdapat penurunan vokal fremitus, hipersonor pada perkusi dada, dan didapatkan adanya suara wheezing ekspirasi pada auskultasi kedua lapang paru. Pemeriksaan radiologi rontgen thorax Anterior Posterior (AP) tampak gambaran hiperlusen, terdapat pelebaran sela iga dan diafragma mendatar. Pada pemeriksaan spirometri didapatkan Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) kurang dari 75%. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah salbutamol 5 mg/12 jam, teofilin 80 mg/12 jam, dan metilprednisolon 4 mg/hari. Kata kunci: hambatan aliran udara, penyakit paru obstruksi kronis
A 81 years old man with chronic obstructive pulmonary disease (copd)
Abstract Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a chronic lung disease characterized by the air flow resistance in the airway that is progressive irreversible or partially reversible. Male, 81 years old, a bricklayer, with dyspneu since one week before treatment. The patient also complained of cough with thick white sputum. Patient was a heavy smoker. On physical 0 examination the blood pressure 130/70 mmHg, pulse 100 beats/min, breathing 28 times/min, body temperature 36,7 C. The patient had a barrel-shaped chest and looked intercostal retraction, fremitus vocal impairment, hipersonor on chest percussion, and obtained the expiratory wheezing sound on auscultation of both lung fields. AP thorax X-ray shows hiperluscent, there was widening in intercostal spaces and diaphragm horizontally potitioned. The spirometry showed forced expiratory volume in first second (VEP1) less than 75%. Patient received salbutamol 5 mg every 12 hours, teofilin 80 mg every 12 hours and methylprednisolone 4mg every day. Keywords: air flow resistance, chronic obstrutcive pulmonary disease Korespondensi : Ahmad Arbi Anindito, S.Ked., alamat Jl. dr. Sam Ratulangi No. 21/46 Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung, HP 085269269672, e-mail
[email protected]
Pendahuluan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri atas bronkitis kronik, emfisema ataupun gabungan darii keduanya.1 Data World Health Organization (WHO) dari seluruh perokok di dunia, 84% total perokok berada di negara berkembang. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI), penduduk Indonesia hampir 70 % mulai merokok pada usia anak-anak dan remaja. Di Amerika Serikat, PPOK mengenai lebih dari 16.000.000 orang, di Italia mencapai lebih dari 2.500.000 orang, dan menyebabkan kematian 2.740.000 kematian di seluruh dunia pada tahun 2000. Menurut WHO, PPOK merupakan penyakit
dengan penyumbang kematian peringkat keempat di dunia dan diprediksi akan menjadi peringkat ketiga pada tahun 2030. Di Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai penyakit penyebab kematian dan diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga pada tahun 2020 mendatang.2,3,4 Data di Eropa menyebutkan bahwa pada tahun 2008 PPOK merupakan penyakit nomor empat terbanyak penyebab kematian di Eropa di bawah penyakit infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Menurut data tersebut, sebanyak 230.000 penduduk meninggal akibat PPOK dan ini merupakan 2,5 % dari total jumlah kematian akibat penyakit di Eropa.5 Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Selain itu dapat juga terjadi
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 16
Ahmad I A 81 Years Old Man with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
kesulitan menelan pada pasien-pasien PPOK.1,6 Kasus Pasien Tn. T, laki-laki, 81 tahun, seorang pekerja serabutan, dengan keluhan sesak napas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit dan bertambah berat satu hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dirasakan memburuk pada saat pasien beraktivitas. Selain sesak napas, pasien juga mengeluhkan batuk dengan dahak berwarna putih kental, dan nyeri tenggorokan. Pasien mengatakan ini bukanlah pertama kali dirinya mengalami keluhan seperti ini. Pasien pertama kali mengalami keluhan seperti ini pada tahun 1995. Pasien mengatakan dirinya sudah pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya sebanyak tiga kali dengan keluhan yang sama. Pasien merupakan seorang perokok berat sejak 64 tahun yang lalu dan pasien seringkali merokok sebanyak dua bungkus per harinya. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, penyakit jantung, penyakit ginjal atau penyakit diabetes melitus. Pasien sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan dan seringkali terpapar debu pada saat bekerja. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, denyut nadi 100 kali/menit, pernapasan 28 kali/menit, suhu tubuh 36,70C. Pada pemeriksaan paru, inspeksi didapatkan dada berbentuk barrel chest dan tampak retraksi sela iga, palpasi didapatkan penurunan vokal fremitus, perkusi didapatkan hipersonor, dan auskultasi didapatkan adanya suara wheezing ekspirasi pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin, tidak didapatkan adanya kelainan. Pemeriksaan radiologi rontgen thorax AP tampak gambaran hiperlusen, terdapat pelebaran sela iga dan diafragma mendatar. Pada pemeriksaan spirometri didapatkan VEP1 kurang dari 75%. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini terbagi atas dua macam, yaitu medikamentosa dan non medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa adalah pemberian salbutamol 5 mg/12 jam, teofilin 80 mg/12 jam, dan metilprednisolon 4 mg/hari. Penatalaksanaan non medikamentosa adalah dengan berhenti
merokok dan menghindari paparan asap rokok, penyesuaian aktivitas, dan edukasi mengenai penyakit dan gejala-gejala kekambuhan. Pembahasan Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut. Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami sesak napas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit dan memberat sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini disertai batuk berdahak berwarna putih kental dan nyeri tenggorokan. Keluhan ini telah dialami sejak 20 tahun terakhir. Pasien memiliki riwayat merokok sejak 65 tahun yang lalu dengan jumlah rokok per hari sekitar 24 batang. Hal ini mengarah pada penyakit paru obstruksi kronis.1 Jumlah rokok yang dihisap pasien per hari adalah sekitar 24 batang. Berdasarkan hal tersebut, dalam satu tahun pasien menghisap sekitar 8760 batang. Berdasarkan indeks Brinkman, pasien termasuk ke dalam kelompok perokok berat. Kriteria perokok berat menurut indeks Brinkman adalah jumlah rokok yang di hisap dalam satu tahun adalah sama dengan atau lebih besar dari 400 batang.7 Pada pemeriksaan fisik didapatkan takipnea dan retraksi sela iga yang mendukung anamnesis bahwa pasien mengalami sesak napas. Pada auskultasi ditemukan wheezing ekspirasi pada kedua lapang paru yang mendukung adanya penyempitan saluran napas.1 Pada pemeriksaan rontgen thorax AP tampak gambaran hiperlusen, pelebaran sela iga dan pendataran diafragma yang merupakan gambaran dari emfisema. Emfisema merupakan salah satu bentuk PPOK. Pemeriksaan radiologi lain yang mungkin dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan Computed Tomography (CT). Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama lima tahun pada pasien-pasien penderita PPOK di Jepang ditemukan adanya perburukan gambaran CTEmfisema terkait dengan penurunan nilai VEP1.1,8 Pada pemeriksaan spirometri, didapatkan VEP1 kurang dari 75%. Berdasarkan kriteria Global Initiative for J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 17
Ahmad I A 81 Years Old Man with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), pasien dengan VEP1 berada di antara kisaran 50% - 80% termasuk ke dalam PPOK derajat II atau termasuk ke dalam PPOK kategori sedang.9 Penentuan obstruksi saluran napas dapat ditentukan apabila ditemukan penurunan Volume Ekspirasi Paksa detik pertama/Kapasistas Vital Paru-paru (VEP1/KVP). Pada pasien ini hanya diperoleh data mengenai VEP1 saja sehingga diperlukan pemeriksaan lainnya untuk mengetahui apakah ada penurunan rasio VEP1/KVP pada pasien ini. Apabila terdapat obstruksi maka nilai rasio VEP1/KVP kurang dari 70%.9, 10 Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi ini ditujukan untuk mengurangi gejala, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup pasien, mencegah dan mengatasi eksaserbasi, mencegah progresivitas penyakit, mencegah komplikasi, dan mengurangi angka kematian.11 Pada pasien ini terapi farmakologis yang diberikan adalah salbutamol 5 mg/12 jam, teofilin 80 mg/12 jam dan metilprednisolon 4 mg/hari. Penatalaksanaan farmakologis pada PPOK adalah dengan menggunakan obatobatan bronkodilator, kortikosteroid, ekspektoran, mukolitik, antitusif.12 Bronkodilator yang digunakan menurut rekomendasi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan β2 agonis dengan golongan xantin. Golongan β2 agonis yang diberikan pada pasien ini adalah salbutamol sebanyak 2 mg/hari. Sedangkan Golongan xantin yang diberikan adalah Teofilin sebanyak 160 mg/hari.13 Pada pasien diberikan kortikosteroid berupa metilprednisolon sebanyak 4 mg/hari. Hal ini sesuai dengan rekomendasi PDPI. Obatobatan tersebut dikonsumsi secara rutin untuk mencegah terjadinya eksaserbasi pada pasien.12 Menurut GOLD, tatalaksana lini pertama untuk mengontrol gejala dan eksaserbasi pada pasien dengan PPOK menggunakan kombinasi kortikosteroid/β2 agonis kerja panjang. Di Amerika Serikat, obat yang paling sering digunakan adalah kombinasi budesonide/formoterol (dosis
160/4,5 μg) atau kombinasi fluticasone/salmeterol (dosis 250/50 μg). Menurut penelitian yang telah dilakukan, perbandingan efek penggunaan antara kedua kombinasi obat tersebut tidak jauh berbeda sehingga keduanya dapat menjadi pilihan untuk diberikan pada pasien. Menurut penelitian di cina, kombinasi fluticasone/salmeterol menunjukkan efektivitas yang baik dalam penatalaksanaan jangka panjang pada pasien asma dan PPOK untuk menurunkan angka eksaserbasi akut dan meningkatkan kualitas hidup.9,14,15,16,17 Penggunaan β2 agonis kerja panjang dan antagonis muskarinik kerja panjang menunjukkan efektivitas yang lebih baik untuk mengurangi gejala dan lebih nyaman digunakan dibandingkan bronkodilator kerja singkat. Selama dua puluh tahun terakhir, pasien dengan PPOK di Cina menggunakan inhalasi Salmeterol dan formoterol dua kali sehari. Penggunaan salmeterol sendiri menunjukan peningkatan VEP1 yang signifikan pada pasien PPOK di Cina.18,19,20 Menurut penelitian lain yang membandingkan efektivitas antara beberapa obat dari golongan β2 agonis kerja panjang dan antagonis muskarinik kerja panjang seperti Formoterol, Indacaterol, Olodaterol, Vilanterol, Aclidinium, Glycopyrronium dan Tiotropium, kombinasi antara formoterol dengan aclidinium memiliki efektivitas yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah formoterol 12 μg/aclidinium 400 μg dua kali sehari.21,22 Penatalaksanaan non farmakologis pada pasien berupa rehabilitasi, motivasi dan edukasi. Prinsip utama rehabilitasi paru pada pasien PPOK adalah untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan partisipasi fisik dan emosional di dalam kegiatan sehari-hari.9 Edukasi yang diberikan pada pasien seputar informasi tentang PPOK, penghentian merokok, penjelasan umum mengenai terapi yang diberikan, cara meminimalisir gangguan sesak napas, cara menghadapi eksaserbasi dan lain-lain.9 Pada pasien PPOK dengan gejala yang sangat berat dapat dipertimbangkan dilakukan Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR). Menurut penelitian yang telah dilakukan, terapi BLVR disertai dengan infus darah autolog dan trombin secara transbronchial J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 18
Ahmad I A 81 Years Old Man with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
(BLVR dengan darah) merupakan terapi paliatif yang efektif untuk pasien PPOK dengan gejala yang sangat berat.23 Simpulan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. Penegakkan diagnosa dan tatalaksana PPOK yang diterapkan pada pasien ini sudah sesuai dengan panduan yang ada. Penatalaksanaan yang diberikan berupa penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis. Daftar Pustaka 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2003. 2. World Health Organization [internet]. Geneva: Chronic Obstructive Pulmo Disease; [diakses tanggal 11 mei 2015]. Tersedia dari : http://www.who.int/respiratory/copd/en /index.html 3. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease: Epidemiology, pathofisiology and pathogenesis. Fisman’s pulmonary disease and disorders. 4th eds. New York: McGraw Hill; 2008. 4. Albert RK, Spiro SG, Jett JR. Clinical respiratory medicine. 3rd eds. London: Mosby Elsevier; 2008. 5. Erswhitebook, the burden of lung disease [internet]. Sheffield: European Respiratory Society; 2015 [diakses tanggal 11 Mei 2015]. Tersedia dari: http://www.erswhitebook.org/chapters/t he-burden-of-lung-disease/ 6. Cassiani RA, Santos CM, Martinez-Baddini J, Dantas RO. Oral and pharyngeal bolus transit ini patients with chronic obstructive pulmonary disease. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2015; 10: 489-96. 7. Saito T, Miyatake N, Sakano N, Oda K, Katayama A, Nishii K, et al. Relationship Between Cigarette Smoking and Muscle
8.
9.
10. 11.
12. 13.
14.
15.
16.
17.
Strength in Japanese Men. J Prev Med Pub Health. 2012; 45: 381-6. Nishimura M, Makita H, Nagai K, Konno S, Nasuhara Y, Hasegawa M, et al. Hokkaido COPD Cohort Study Investigators. Annual change in pulmonary function and clinical phenotype in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 2012; 185: 44-52. Global Initiative for Chronic Obstuctive Lung Desease. Global Strategy for the Diagnose Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Diseas; 2014. Hogg JC. Pathophysiology of airflow limitation in chronic obstructive pulmonary disease. Lancet: 2004. Alsagaff H, Mukty A. Penyakit obstruksi saluran napas. Dasar-dasar ilmu penyakit paru [skripsi]. Surabaya: Airlangga University Press. 2008. Slamet H. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI. 2006. Yamaya A, Osanai K. Cytokines and proteases involved in pathogenesis of COPD. Nihon Rinsho Japanese J Clin Med. 2011; 69(10): 1748-53. AstraZeneca [internet]. Dunkerque: AstraZeneca prescribing information; 2013 [diakses tanggal 11 Mei 2015). Tersedia dari http://www1.astrazenecaus.com/pi/symbicort.pdf GlaxoSmithKline [internet]. Brentford: GlaxoSmithKline hightlights of prescribing information; 2014 [diakses tanggal 11 Mei 2015]. Tersedia dari https://www.gsksource.com/pharma/con tent/dam/GlaxoSmithKline/US/en/Prescri bing_Information/Advair_Diskus/pdf/AD VAIR-DISKUS-PI-MG.PDF Kern DM, Davis J, Williams SA, Tunceli O, Wu B, Hollis S et al. Comparative effectiveness of budesonide/formoterol combination and fluticasone/salmeterol combination among chronic obstructive pulmonary disease patients new to controller treatment: a US administrative claims database study. Respiratory Research. 2015; 1-12. Gao J, Pleasants RA. Role of the fixed combination of fluticasone and
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 19
Ahmad I A 81 Years Old Man with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
18.
19.
20.
21.
22.
23.
salmeterol in adult Chinese patients with asthma and COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2015; 10: 775-89. Celli BR, Thomas NE, Anderson JA, Ferguso GT, Jenkins CR, Jones PW et al. Effect of Pharmacotherapy on Rate of Decline of lung Function in Chronic Obstructive Pulmonary Disease: results from the TORCH study. Am J Respir Crit Care Med. 2008; 178: 332-8. Boyd G, Morice AH, Pounsford JC, Siebert M, Peslis N, Crawford C. An evaluation of salmeterol in the treatment of chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Eur Respir J. 1997; 10: 815-21. Ulrik CS. Efficacy of inhaled salmeterol in the management of smokers with chronic obstructive pulmonary disease: a single centre randomised, double blind, placebo controlled, crossover study. J Thorax. 1995; 50: 750-4. Moitra S, Bhome AB, Brashier BB. Aclidinium bromide/formoterol fixeddose combination therapy for COPD: the evidence to date. J Drug Des Devel Ther. 2015; 9: 1989-99. D’Urzo AD, Rennard SI, Kerwin EM, Mergel V, Leselbaum AR, Caracta CF. Efficacy and safety of fixed-dose combinations of aclidinium bromide/formoterol fumarate: the 24week, randomized, placebo-controlled Augment COPD study. Respiratory Research. 2014; 15: 1-18. Mizumori Y, Mochiduki Y, Nakahara Y, Kawamura T, Sasaki S, Morimoto A et al. Effects of bronchoscopic lung volume reduction using transbronchial infusion of autologous blood and thrombin in patients with severe chronic obstructive pulmonary disease. J Thorac Dis. 2015; 7(3): 413-21.
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 1|November 2015| 20