Artikel Penelitian
Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis setelah Rehabilitasi Paru Ikalius,* Faisal Yunus,* Suradi,** Noer Rachma*** *Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan, Jakarta, **Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi,Surakarta, ***Bagian Rehabilitasi Medik FK UNS /RSUD Dr. Moewardi, Surakarta
Abstrak: Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mengalami penurunan kapasitas dan kualitas hidup, peningkatan biaya hidup serta ketidakmampuan fisik. Salah satu program yang dapat membuat pasien PPOK menjadi lebih baik adalah rehabilitasi paru. Tujuan penelitian ini untuk menilai manfaat rehabilitasi paru pada pasien PPOK. Penelitian bersifat prospektif membandingkan kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapat program rehabilitasi paru selama 8 minggu, fisioterapi dada dan latihan dengan sepeda statis 3 kali seminggu selama 8 minggu. Pengukuran kualitas hidup dengan St George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ) sedangkan kapasitas fungsional diukur dengan uji jalan 6 menit. Kelompok perlakuan sebanyak 21 dan kelompok kontrol 22 pasien. Nilai SGRQ total pada kelompok perlakuan menurun secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol yaitu - 21,8 (9,1)% berbanding 0,9 (2,7)% (p< 0.005). Uji jalan 6 menit pada kelompok perlakuan meningkat 55 (26,6) m dengan median 47 m dibandingkan pada kelompok kontrol hanya 3,4 (15,2) m dengan median 9 m secara statistik berbeda bermakna (p<0.05). Disimpulkan program rehabilitasi paru 3 kali seminggu selama 8 minggu meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK Kata kunci: PPOK, kualitas hidup, kapasitas fungsional, Uji jalan 6 menit, SGRQ
446
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007
Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru
The Changes of Quality of Life and Functional Capacity of COPD Patients after Pulmonary Rehabilitation Program Ikalius,* Faisal Yunus,* Suradi,** Noer Rachma*** *Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Persahabatan hospital, Jakarta **Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, FK UNS/RSUD Dr. Moewardi,Surakarta ***Divison of Medical Rehabilitation, FK UNS/RSUD Dr. Moewardi,Surakarta
Abstract: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients tend to decrease the capacity, quality of working and increased of life expenses. Pulmonary rehabilitation is a program to make COPD patients in better condition. The aim of this study is to assess the benefit of pulmonary rehabilitation to the COPD patients. This is a prospective study, comparing treatment group and control who underwent 8 weeks administration of pulmonary rehabilitation programs. The patients in the treatment groups received chest physiotherapy and ergo-cycle exercise 3 times a week within 8 weeks. The quality of life was assessed by St George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ), functional capacity was assessed by six minutes walking test (SMWT). Total SGRQ patient in the treatment group (n=21) compare with control group (n=22) had statistically significant decreased {-21,8 (9,1)%; 0,9 (2,7)% respectively, p<0,005}.There are statistically significant improving of six minute walking test (SMWT) in treatment group compare to control group {55 (26,6) m; 3,4 (15,2) m respectively, p<0,005}. The pulmonary rehabilitation programs 3 times a week within 8 weeks improve the quality of life and functional capacity of COPD patients. Key words: COPD, quality of life, functional capacity, SGRQ score, SMWT
Pendahuluan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menjadi salah satu penyebab gangguan pernapasan yang sering dijumpai baik di negara maju maupun di negara berkembang. Saat ini PPOK menduduki peringkat keempat penyebab kematian di dunia. Tahun 2020 PPOK diperkirakan akan menduduki urutan ketiga penyebab kematian. Jumlah penderita PPOK di Amerika Serikat (AS) misalnya, meningkat tajam pada dekade terakhir dan diperkirakan 14 juta penduduk di AS menderita PPOK.1 Angka pasti jumlah penderita PPOK di Indonesia masih belum pasti. Data RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 20002003 didapatkan 15% dari total kunjungan pasien rawat jalan (2368 pasien) didiagnosis PPOK. Peningkatannya dari tahun ke tahun sekitar 10%. 2 Pada penderita PPOK akan terjadi penurunan kapasitas dan kualitas kerja, peningkatan biaya hidup serta ketidakmampuan fisik (disability). Salah satu program yang dapat membuat pasien lebih baik adalah rehabilitasi paru. Pada penderita PPOK yang telah menjalani rehabilitasi paru gejala sesak napasnya akan berkurang dan pernapasannya menjadi terkontrol. Selain itu kemampuan pernapasan penderita lebih optimal karena fisioterapi dada dapat memobilisasi sputum sehingga pernapasan lebih efektif. Kinerja kardiorespirasi Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007
meningkat sehingga penderita lebih percaya diri dan dapat menerima derajat kesesakan. Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko dalam riwayat perjalanan PPOK. Faktor risiko lainnya yaitu polusi udara, hiperreaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang dan defisiensi antitripsin alfa-1.3 Sekitar 90% pasien PPOK adalah perokok tetapi hanya 15-20% perokok yang menderita PPOK. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya faktor genetik dan lainnya yang terlibat dalam patogenesis PPOK.4,5 Menurut sistem international classification of impairment disability and handicap (ICIDH)-WHO, penyakit paru diklasifikasikan menjadi tiga tingkat yaitu impairment, disability dan handicap.6 Impairment merupakan keadaan patologis dan dapat ditentukan dengan pengukuran laboratorium. Pada penyakit saluran napas impairment menunjukkan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan udara yang terperangkap pada uji faal paru atau penurunan kekuatan otot quadriceps pada uji fungsi otot.6 Disability, pasien mengalami sesak napas, kapasitas fisik menurun sehingga terjadi penurunan kemampuan berjalan, naik tangga dan melakukan aktivitas harian.7 Handicap, pasien mengalami gangguan tidur, berkurang rasa percaya
447
Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru diri dan terjadi gangguan aktivitas sosial.7 Handicap adalah suatu keadaan akibat impairment dan disability sehingga pasien tidak mampu berperan dalam masyarakat seperti yang diharapkan.6 Penderita akan jatuh ke dalam keadaan yang kurang menguntungkan karena berkurangnya aktivitas yang dapat mempengaruhi sistem muskuloskeletal, respirasi, kardiovaskuler dan lainnya. Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer.10 Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronik.11 Hipoksia menghambat sintesis protein di mitokondria karena aktivitas enzimnya menurun. Hipoksia juga dapat menyebabkan stres oksidatif, yang menyebabkan proteolisis otot skletal.11,12 Hiperkapnia pada penderita PPOK memicu asidosis intraseluler, yang berakibat terjadinya proteolisis. Keadaan asidosis intraseluler ada hubungannya dengan penurunan kadar potasium dan magnesium otot skeletal.11 Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat rehabilitasi paru pada pasien PPOK. Metode Penelitian dilakukan pada seluruh penderita PPOK stabil yang berobat jalan di poliklinik paru RSUD Dr Moewardi Surakarta dari 1 April sampai dengan 1 Juni 2006. Penelitian ini bersifat prospektif. Penderita PPOK yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah penderita dengan nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dibagi dengan nilai prediksi kurang dari 70% (berdasarkan GOLD 2003), Penderita PPOK dengan derajat sangat berat, anggota olahraga atau senam asma, riwayat asma, kelainan jantung, stroke dan diabetes melitus tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Penilaian kualitas hidup dengan metode wawancara memakai kuesioner SGRQ terdiri atas 76 pertanyaan yang kemudian disesuaikan dengan daerah tertentu menjadi 51 butir pertanyaan terbagi dalam tiga komponen yaitu:15,16 1. Gejala penyakit, berhubungan dengan gejala sesak napas, frekuensi dan beratnya gejala tersebut. 2. Aktivitas, berhubungan dengan aktivitas yang menyebabkan sesak atau dihambat oleh sesak. 3. Dampak, meliputi rangkaian aspek yang berhubungan dengan fungsi sosial dan gangguan psikologis akibat penyakitnya Nilai setiap pertanyaan dijumlahkan menjadi 3 kelompok (gejala, aktivitas dan dampak). Nilai berkisar 1-100 dan nilai yang semakin rendah menunjukkan kualitas hidup meningkat. Penderita PPOK yang mendapat rehabilitasi paru selama 8 minggu dinilai ulang untuk kedua kali dengan kuesioner SGRQ. Penilaian kapasitas fungsional dilakukan dengan cara uji jalan 6 menit kemudian dicatat hasilnya dalam meter. 448
Rehabilitasi paru yang diberikan adalah fisioterapi dada dan latihan ergometer sepeda.7,9 Cara Fisioterapi dada yaitu pemberian sinar infra merah di daerah dada selama 7,5 menit serta punggung selama 7,5 menit (15 menit). Pernapasan diafragma dilanjutkan dengan pernapasan pursed lip, latihan elevasi otot-otot bahu, sendi leher, dan sendi lengan atas. Vibrasi dilakukan saat ekspirasi 5x napas dalam dan latihan batuk. Latihan dilanjutkan dengan ergometer sepeda. Pada latihan ergometer tersebut ditentukan target kisaran denyut jantung dengan rumus Carvonen yaitu target kisaran denyut jantung submaksimal = 50-85% (denyut jantung maksimal – denyut jantung istirahat) ditambah denyut jantung istirahat. Denyut jantung maksimal ditentukan dengan rumus 210- (0,65 x umur dalam tahun). Latihan dilakukan 3 kali seminggu selama 10 menit dalam minggu pertama dan kedua kemudian dinaikkan 5 menit setiap minggu, minggu keenam sampai minggu kedelapan 30 menit. Latihan akan dihentikan bila denyut nadi melebihi target kisaran denyut jantung, kesulitan berbicara atau frekuensi napas >30 kali /menit, skala Borg 78 dan saturasi O2<90%. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan komputer (SPSS versi 12). Uji beda dilakukan terhadap kelompok perlakuan dan kontrol. Data variabel sebaran normal menggunakan statistik parametrik (uji t tidak berpasangan). Data variabel dengan sebaran tidak normal dipakai uji MannWhitney. Uji kemaknaan bila p<0,05 adalah bermakna dan p>0,05 tidak bermakna. Hasil Penelitian Subyek penelitian sebanyak 47 orang penderita PPOK stabil rawat jalan di poliklinik paru RSUD Dr Moewardi Surakarta. Kelompok perlakuan berjumlah 24 orang dan kontrol 23 orang. Sebanyak 3 orang dari kelompok perlakuan dikeluarkan dari penelitian karena 1 orang mengalami nyeri dada saat latihan, 1 orang menolak meneruskan latihan dan 1 orang terjadi eksaserbasi akut. Kelompok kontrol yang dikeluarkan dari penelitian 1 orang karena tidak mampu meneruskan uji jalan 6 menit. Semua subyek penelitian yang Tabel 1. Karakteristik Subjek PPOK di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta Karakteristik
Perlakuan (%)
Kontrol (%)
Jenis kelamin - Laki-laki 15 (71,4%) 18 (81,8%) - Perempuan 6 (28,6%) 4 (18,2%) Usia (tahun) - Rerata (SD) 61,9 (8,7) 59,9 (8,3) - Rentang 46-75 47-74 Derajat PPOK - Ringan 5 (23,8%) 5 (22,7%) - Sedang 12 (57,1%) 13 (59,1%) - Berat 4 (19,1%) 4 (18,2%) Indeks masa tubuh (SD) 20,7 (4) 20 (1,86) VEP1, ml (SD) 1233,8 (291,3) 1246 (34,9)
p
0,813 0,463
0,898
SD = Standar Deviasi Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007
Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru dapat mengikuti penelitian sampai selesai berjumlah 43 orang yaitu kelompok perlakuan 21 orang dan kelompok kontrol 22 orang. (Tabel 1) .
tidak berbeda bermakna (p=0,143) sehingga kelompok perlakuan dan kontrol adalah homogen. Tabel 4.
Nilai Uji Jalan 6 Menit sebelum Rehabilitasi. Pelaksanaan uji jalan 6 menit yang dilakukan pada tahap awal penelitian pada kelompok perlakuan diperoleh jarak rerata (SD) adalah 342,8 ( 65,7) dan kelompok kontrol rerata 312,7 (62,5). Dari uji t tidak berpasangan tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,108) di antara kedua variabel, seperti yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Jarak Jalan 6 Menit Sebelum Rehabilitasi Uji jalan 6 menit
Perlakuan (meter)
Rerata Median Rentang Simpang baku (SB) Jumlah
342,8 340 250-464 65,7 21
Uji t tidak berpasangan
Kontrol (meter) 312,7 294,5 223-421 62,5 22
p=0,108
Nilai VO 2 maks Sebelum Rehabilitasi
Nilai VO 2 maks
Perlakuan
Rerata Median Rentang Standar Deviasi (SD) Jumlah
14,1 14 12,3-16,5 1,3 21
Kontrol 13,5 13,2 11,8-15,7 1,2 22
Uji t tidak berpasangan p=0,143
Perbedaan VO2 maks Nilai ini merupakan selisih antara VO2 maks pasien sebelum dan sesudah rehabilitasi. Pada Tabel 5 nilai rerata VO2 maks kelompok perlakuan adalah 1,08 dan kelompok kontrol 0,04. Hasil uji normalitas antara kelompok perlakuan dan kontrol p=0,000 maka sebaran data tidak normal. Terdapat perbedaan bermakna perubahan VO2 maks pada subjek yang mendapat perlakuan dan kontrol (p=0,000). Tabel 5. Perbedaan VO 2 maks
Uji Beda Jarak Uji Jalan 6 Menit Penilaian terhadap perbedaa didapatkan dari jarak yang ditempuh setelah rehabilitasi paru dikurangi dengan nilai sebelum rehabilitasi paru. Pada Tabel 3, dapat dilihat perbedaan jarak jalan 6 menit pada kelompok perlakuan adalah 55 (26,6) meter sedangkan kelompok kontrol 3,4 (15,2) meter.
Perlakuan Perbedaan jarak (m)
Rerata Median Rentang Standar Deviasi (SD) Jumlah Uji mann-whitney
55 47 31-140 26,64 21
Rerata Median Rentang Standar Deviasi (SD) Jumlah
Perlakuan
Kontrol
1,08 0,9 0,6-2,7 0,51 21
0,04 0,1 1- 0,30 0,28 22
Uji mann-whitney p=0,000
Tabel 3. Perbedaan Jarak Uji Jalan 6 Menit Uji jalan 6 menit
Perbedaan nilai VO 2 maks
Kontrol Perbedaan jarak (m) 3,4 9 -5-18 15,2 22
p=0,000
Hasil uji normalitas shapiro-wilk p<0,005 maka data termasuk sebaran tidak normal sehingga uji statistik adalah uji nonparametrik (uji mann-whitney). Hasil uji jarak jalan 6 menit antara kelompok perlakuan dan kontrol berbeda bermakna (p=0,000) Nilai VO2 Maks sebelum Rehabilitasi Pada Tabel 4 dapat dilihat nilai rata-rata VO2 maks sebelum rehabilitasi kelompok perlakuan adalah 14,1 (1,3) dan kontrol 13,5 (1,2). Secara uji homogenitas menunjukkan Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007
Nilai SGRQ Sebelum Rehabilitasi Pada Tabel 6. dapat dilihat nilai SGRQ gejala, aktivitas, dampak dan total. Semakin tinggi nilai SGRQ, penilaian kualitas hidup penderita PPOK semakin baik. Pada kelompok perlakuan nilai SGRQ terendah adalah 24,1 sedangkan tertinggi 85,5. Rerata nilai SGRQ gejala kelompok perlakuan 55,1 dan kontrol 53,8 secara uji homogenitas menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p=0,798) berarti kedua kelompok homogen. Pada kelompok control, nilai SGRQ terendah yaitu 13,2 sedangkan nilai tertinggi 80,5. Rerata nilai SGRQ aktivitas kelompok perlakuan 48,4 dan kontrol 48,8 secara uji homogenitas tidak berbeda bermakna (p=0,935) sehingga kedua kelompok homogen. Rerata nilai SGRQ dampak pada perlakuan 41,9 dan kontrol 39,5 secara uji homogenitas menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p=0,585) maka data antara kelompok perlakuan dan kontrol homogen. Rerata SGRQ total pada kelompok perlakuan 45,8 dan kontrol 43,3 secara uji homogenitas tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,771) berarti kedua kelompok terhadap SGRQ total homogen.
449
Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru Tabel 6. Nilai Gejala, Aktivitas, Dampak dan Total SGRQ Sebelum Rehabilitasi SGRQ X (SD)
Perlakuan Median Rentang
X (SD)
Kontrol Median Rentang
Nilai
Gejala Aktivitas Dampak
55,1 (16,6) 48,4 (16,3) 41,9 (14,7)
57,5 47,6 39,7
24,1-85,5 17,1-80,3 13,9-68,4
53,8 (16,1) 48,8 (15,1) 39,5 (13,3)
54,9 47,7 40,1
13,2-80,5 17,1-72,8 5-66,5
p=0,798 p=0,935 p=0,585
Total
45,8 (13,7)
41,7
26,6-72,6
44,6 (12,3)
43,3
17,7-70,1
p=0,771
Tabel 7. Perbedaan Nilai SGRQ Gejala, Aktivitas, Dampak dan Total setelah Rehabilitasi SGRQ X (SD)
Perlakuan Median
Rentang
X (SD)
Rentang
Nilai
Gejala Aktivitas Dampak
-18,2 (13,5) -9,7 (12,2) -27,8 (11,9)
-14 -9 -24,6
-55-0,7 -37,1-29 -50,4-11,9
2,1 (4,9) 1,2 (5,3) 0,5 (3,3)
0 0 0
-4- -13 -6,8- 9,3 -10,1-5,6
p=0,000 p=0,000 p=0,000
Total
-21,8 (9,1)
-19,3
-40,6-9,9
0,9 (2,7)
1,1
-3,9-5,7
p=0,000
Perbedaan nilai SGRQ Pada Tabel 7 dapat dilihat nilai SGRQ gejala, aktivitas, dampak dan total. Rerata (SD) perbedaan SGRQ gejala kelompok perlakuan –18,2 (13,5)% dan kontrol 2,1 (4,9)% secara uji mann-whitney berbeda bermakna (p=0,000). Rerata perbedaan SGRQ aktivitas kelompok perlakuan –9,7% kontrol 1,2% secara uji mann- whitney berbeda bermakna (p=0,000). Rerata perbedaan SGRQ dampak kelompok perlakuan –27,8 (11,9)% kontrol 0,5 (3,3)% secara uji mann-whitney berbeda bermakna. Rerata nilai SGRQ total kelompok perlakuan –21,8 (9,1)% dan kontrol 0,9 (2,7)% secara uji t tidak berpasangan berbeda bermakna (p=0,000). Hasil uji beda tersebut dapat diringkas: 1. Perbedaan rerata jarak jalan 6 menit pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan perbedaannya bermakna (p=0,000) 2. Perbedaan rerata VO2 maks pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan perbedaannya bermakna (p=0,000) 3. Perbedaan rerata SGRQ gejala, aktivitas, dampak dan total kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan perbedaannya bermakna (p=0,000) Diskusi Karakteristik Subyek Penelitian Pada kelompok perlakuan laki-laki 15 (71,4%) lebih banyak dari perempuan 6 (28,6%); pada kelompok kontrol laki-laki 18 (81,8%) dan perempuan 4 (18,2%). Sesuai penelitian Yunus18 di RSUP Persahabatan yang mendapatkan laki-laki (86,2%) lebih banyak dari pada perempuan (13,6%). Wihastuti19 meneliti hubungan nilai faal paru dengan kualitas hidup pada PPOK mendapatkan laki-laki 95% dan perempuan 450
Kontrol Median
5 %.19 Pada penelitian Wiyono15 didapatkan jumlah laki-laki (92,8%) juga lebih banyak dari perempuan (7,2%). Hal demikian terjadi karena kebiasaan merokok pada laki-laki lebih sering ditemukan dibandingkan perempuan. Sebaran subyek menurut rerata umur antara perlakuan 61,9 tahun dan kontrol 59,9 tahun. Riyadi15 mendapatkan rerata umur 64,3 tahun sedangkan kontrol 67,2 tahun. Wihastuti et al,19 mendapat rerata umur adalah 65,4 19 Rerata umur pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Wiyono dan Wihastuti. Sebaran subyek pada penelitian ini berdasarkan derajat PPOK, kebanyakan subyek termasuk PPOK derajat sedang sebanyak 57,1% pada kelompok perlakuan dan kontrol 59,1%. Riyadi mendapatkan PPOK derajat sedang pada kelompok perlakuan sebanyak 59,3% dan kelompok kontrol 65,5%. Penelitian ini kelompok terbanyak adalah PPOK derajat sedang. Hal tersebut mungkin karena sebagian penderita PPOK akan mencari pertolongan medis atau mau memeriksakan kesehatannya apabila gejala pernapasannya dirasakan sudah lebih berat. Indeks masa tubuh pada penelitian ini sebagian besar dalam batas normal. Semakin rendah IMT semakin tinggi risiko mendapat PPOK. Rerata VEP1 penelitian ini kelompok perlakuan 1233,8 mL dan kontrol 1246 mL. Wiyono15 melaporkan peningkatan nilai faal paru pada perlakuan dan kontrol tetapi secara uji statistik tidak terdapat perbedaan bermakna. Wijkstra27 melakukan penelitian rehabilitasi paru dirumah selama 12 minggu ternyata, kelompok perlakuan tidak terjadi perubahan nilai VEP1 sedangkan kelompok kontrol terjadi penurunan VEP1 secara bermakna 200 mL (p<0.05). Wijkstra27 tidak dapat menerangkan kenapa terjadi penurunan VEP1 pada kontrol. Penurunan VEP1 pada kontrol penelitian Wijkstra27 tersebut sesuai dengan penelitian Yunus, yaitu faal paru penderita PPOK mengalami penurunan VEP1 sekitar 52 ml/tahun sedangkan orang normal terjadi penurunan Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007
Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru VEP 1 sekitar 30 ml/tahun.21 Wihastuti et al20 mendapatkan hubungan faal paru dengan nilai SGRQ secara uji statistik tidak bermakna. Perbedaan Kapasitas Fungsional Sesudah Rehabilitasi Setelah dilakukan rehabilitasi paru penderita PPOK selama 8 minggu kelompok perlakuan meningkat jarak jalan pada uji jalan 6 menit sejauh 55 meter dibandingkan kelompok yang tidak mendapat rehabilitasi paru (kontrol 3,4 meter). Jarak jalan 6 menit merupakan cara yang mudah untuk menilai toleransi terhadap latihan untuk menilai status fungsional penderita PPOK. Finnerty et al,22 mendapatkan hasil uji jalan 6 menit pada kelompok yang mendapat rehabilitasi selama 6 minggu, meningkat hingga mencapai jarak jalan 59 meter.22 Bendstrup et al,23 membandingkan hasil peningkatan jarak jalan 79,8 meter pada kelompok perlakuan dan 21,6 meter pada kelompok kontrol (p<0,001).23 Lacase et al,24 melakukan meta-analisis terhadap penderita PPOK yang mendapat rehabilitasi; rerata peningkatan jarak jalan 6 menit sekitar 55,7 meter.24 Penelitian tersebut memperoleh jarak terpendek yang dicapai mendapatkan perbaikan klinis sebesar 50 meter (minimum clinically important difference=MCID).24 Penelitian Redelmier et al25 mendapatkan jarak terpendek yang dicapai mendapat perbaikan klinis adalah 54 meter. Quell26 melakukan uji jalan 6 menit terhadap 30 penderita PPOK yang mendapat latihan dan fisioterapi dada selama 6 bulan dibandingkan dengan PPOK tanpa rehabilitasi paru didapatkan peningkatan jarak jalan 57 meter.26 Hasil penelitian ini jarak jalan 6 menit lebih rendah dari pada penelitian Finerty, Benstrup dan Lacase, karena cara rehabilitasi dan lama terapi berbeda. Penelitian ini dibandingkan penelitian Lacase, Radelmeir dan BTS (British Thoracic society) memenuhi minimum clinically important difference. Penelitian Quell mendapatkan peningkatan jarak jalan 6 menit sejauh 57 meter tetapi, lama fisioterapi dada selama 6 bulan. 25,26 Perbedaaan VO2 maks Setelah Rehabilitasi Setelah dilakukan rehabilitasi paru berupa latihan fisik terdapat peningkatan VO2 maks kelompok perlakuan sebesar 1,08 (0,51) dan kelompok yang tidak mendapat rehabilitasi (kontrol) sebesar 0,04 (0,28). Peningkatan VO2 maks biasanya disertai penurunan kadar asam laktat darah. Penelitian tersebut dilakukan terhadap penderita PPOK yang mendapat rehabilitasi paru selama 12 minggu.27 Pada penelitian ini terjadi peningkatan VO2 maks setelah dilakukan rehabilitasi paru selama 8 minggu. Perbedaan Kualitas Hidup Kualitas hidup dinilai dengan kuesioner SGRQ. Penilaian kualitas hidup meningkat apabila nilai SGRQ menurun. Hasil perubahan SGRQ total setelah dilakukan rehabilitasi paru pada kelompok perlakuan adalah -21,8% dan kelompok yang Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007
tidak mendapat rehabilitasi paru (kontrol) adalah 0,9%. Penelitian ini memperoleh penurunan sebesar 21,8%, sedangkan Wiyono sebesar 15,1%. British Thoracic society (BTS) menganjurkan memakai SGRQ karena lebih sensitif untuk menilai perubahan klinis.4 Kuesioner SGRQ dapat juga dipakai mendeteksi respons terhadap medikamentosa atau nonmedikamentosa seperti program rehabilitasi paru. Perubahan klinis minimal bermakna bila penurunan nilai SGRQ sebesar 4%.22 Pada penelitian ini (21,8%) melebihi perubahan klinis minimal bermakna (minimally clinically significant change) karena lebih dari 4%. Kuesioner SGRQ yang telah disesuaikan dapat menilai secara obyektif efek penyakit terhadap kehidupan seharihari. Penilaian kualitas hidup yang diusulkan PW Jones adalah pengaruh penyakit terhadap kehidupan sehari-hari. 16 Kuesioner SGRQ lebih berhubungan dengan kualitas hidup dari pada nilai faal paru.19 Penderita PPOK karena penyakitnya progresif sering mengalami gangguan psikis dan sosial.3 Gangguan tersebut berupa depresi, cemas, gelisah, marah, terancam kematian, kelelahan dan lain-lain.6 Prevalensi depresi penderita PPOK diperkirakan 42%.28 Gejala lain depresi seperti rasa sedih, tidak ada motivasi, perasaan lelah atau tidak bertenaga, keinginan bunuh diri dan kemunduran psikomotor sering terjadi pada penderita PPOK.28 Faktor lain yang menyebabkan depresi termasuk gangguan aktivitas sehari-hari, tidak mampu bekerja seperti teman sebaya karena penyakitnya progresif.28 Latihan ditambah edukasi selama 6 minggu mendapatkan perubahan bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol (p<0.001).22 Wijkstra et al,27 meneliti selama 12 minggu dirumah dan mendapatkan peningkatan kualitas hidup yang bermakna antara perlakuan dan kontrol (p<0,001).27 Lacase et al24 menyimpulkan rehabilitasi paru akan menurunkan sesak dan meningkatkan kemampuan aktivitas penderita PPOK sehingga kapasitas fungsional dan kualitas hidup juga meningkat. Rehabilitasi akan meningkatkan komsumsi oksigen maksimum dan kapasitas kerja maksimum sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup.27 Kesimpulan Program rehabilitasi paru 3 kali seminggu selama 8 minggu meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK. Perlu dilakukan penelitian dengan jangka panjang dan sampel yang lebih banyak untuk melihat efek rehabilitasi paru jangka panjang pada penderita PPOK. Daftar Pustaka 1.
2.
Senior RM, Shapiro Steven D. Chronic obstructive pulmonary disease: Epidemiology pathophysiology and pathogenesis In: Fishman AP editors Fishman¢s pulmonary disease and disorder. New york: Mc Grawhill;1998.p.659-81. Suradi. Peran kadar IL-1b, IL-12, IFN-g dan IL-10 terhadap kadar elastase MMP-9 di paru suatu pendekatan immunologi patogenesis emfisema paru [disertasi]. Surabaya:Universitas Airlangga; 2004.
451
Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru 3.
4. 5.
6. 7. 8.
9. 10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
452
GOLD.Pocket Guide to COPD diagnosis, management and prevention (Update July,2003). Geneva, World Health Organization ;2003.p.1-27. NHLBI/WHO workshop report. Global initiatif for chronic obstructive lung. Geneva: WHO;2001.p.6-95. Respine JE, Bast A, Lankhorst I. The oxydative stress study group. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit care Med 1997;156:341-57. Donner CF, Carone M, Bertolotig, Zotti AM. Methods of assesment of quality of life. Eur Respir Rev 1997;7: 42-5. Yunus F. Rehabilitasi penyakit paru obstruksi kronis. J Respir Indo 2001;21:138-40. West BJ. Obstructive diseases. In: West BJ, (editor).Pulmonary pathofisiology, the essential. 2nd ed.Philadelpia: Williams & Wilkins;1982.p.59-61. Rachma N. Rehabilitasi napas pasien PPOK.Prosiding Kongres Nasional X PDPI. Surakarta;2005.p.323-32. Bernard S, Leblanc P, Whittan F. Peripheral muscle weakness. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:629-34. Jagoe RT, Engelen MKJ. Muscle wasting and changes in muscle protein metabolism in chronic obstructive pulmonary disease . Eur Respir J 2003;22:52-63 S. Gosselink R, Troaster T, Decramer M. Peripheral muscle weakness contributes to exercise limitation in COPD. Am J Respir Crit Care Med 1996;153:976-80. Efthimiou J, Fleming J, Gomes C, Spiro SG. The effect of supplementary oral nutrition in poorly nourished patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis 1998;137:107582. Jakobson P, Jorfeldt, Brundin A. Skeletal muscle metabolites and fibertypes in patients with advanced chronic obstructive pulmonary disease (COPD) with and without respiratory failure. Eur Respir J 1990;3:192-6. Wiyono WH, Riyadi J, Yunus F, Ratnawati A, Prasetyo S. The benefit of pulmonary rehabilitation against quality of life alteration and functional capacity of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patient assessed using St George’s respiratory questionnaire (SGRQ) and 6 minutes walking distance test (6MWD). Med J Indones 2006;15:165-72. Hyland ME. Assesment of quality of life in chronic lung disease. In: Morgan M, Sally S, editors. Practical pulmonary rehabilitation. London: Chapman and hal medical;1997.p.47-63. ACSM, Guidelines for exercise testing and prescription, 5rded. Pennsylvania :ACSM;1995.p.231-45
18. Yunus F.Gambaran PPOK yang dirawat dibagian pulmonologi FKUI/SMF Paru RSUP Persahabatan Jakarta. J Respir Indo 2000;20:64-8 19. Wihastuti R, Wiweka IBS, Yunus F. Manuhutu EJ. Hubungan antara nilai faal paru dengan kualitas hidup penderita penyakit paru kronis. J Respir Indo 2001;21:147-51. 20. Casaburi R. Exercise Training Obstructive Lung Disease.In :Casaburi R, Petty TL. Principle and practice of pulmonary rehabilitation. Philadelphia: W.B. Saunder Company;1993.p.35163. 21. Yunus F. Masa depan tatalaksana penyakit obstruksi saluran napas dengan tinjauan faal paru dan kualiti hidup penderita. Pidato pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 24 April 2004. 22. Finnerty JP, Keeping I, Bullough I, Jones J. The effectiveness of outpatient pulmonary rehabilitation in chronic lung disease. Chest 2001;110:1705-10. 23. Bendstrup KE, Jensen JI, Holm S, Bengtsson B. Outpatient rehabilitation improves activities of daily living, quality of life and exercise tolerance in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 1977;10:2801-6. 24. Lacase Y, Wong E, Guyat GH, King D, Cook DJ. Goldstein RS. Meta-analysis of respiratory rehabilitation in chronic obstructive pulmonary disease. Lancet 1996;348:1115-9. 25. Radelmeier DA, Ahmed M, Bayoumi, Roger S, Goldstein. Interpreting small differences in functional status: the six minute walk test in chronic lung disease patients. Am J Respir Crit Care Med 1997;155:1278-82 26. Guell R casan P, Belda J. Long term effect of outpatients rehabilitation of COPD. Chest 2000;117:976-83. 27. Wijkstra PJ, Van de mark TW, Kraan J. Van altena R, Koeter GH, Postma DS. Effects of home rehabilitation on physical performance in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Chest 2000;117:976-83. 28. Kaplan R, Eakin EG, Ries AL.Psychosocial issues in the rehabilitation of patients with chronic obstructive pulmonary disease. In: Cassabur R, Petty Tled. Principle and practice of pulmonary rehabilitation. Philadelphia; WB Saunder Company; 1993.p.35163.
SS
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12, Desember 2007