II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Akarwangi Tanaman akarwangi (Vetiveria zizanioides) termasuk keluarga graminae, berumpun lebat, akar tinggal, bercabang banyak, dan berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Tanaman ini ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar, dan sengaja ditanam di berbagai negara yang beriklim tropis dan subtropics (Kanisius, 1995). Tanaman
akarwangi
diproses
melalui
penyulingan
yang
akan
menghasilkan minyak akarwangi (minyak atsiri). Minyak atsiri merupakan salah satu bahan pewangi yang potensial. Biasanya dipakai secara luas untuk pembuatan parfum, bahan kosmetika, dan sebagai bahan pewangi sabun. Minyak atsiri selain berfungsi sebagai zat pengikat (fiksatif), juga memberikan wangi menyenangkan, tahan lama, dan keras. Pemakaiannya harus memperhatikan dosis karena baunya yang keras. Jika dosisnya berlebihan akan memberikan kesan bau yang tidak enak. Oleh karena itu, penggunaan minyak akar wangi ini dicampur dengan nilam, minyak mawar, dan minyak “sandalwood”. Seiring
dengan
peningkatan
kebutuhan
terhadap
produk-produk
wewangian, maka kebutuhan terhadap minyak akarwangi pun cenderung bertambah. Penghasil utama minyak akarwangi di Indonesia adalah Kabupaten Garut. Minyak akarwangi Indonesia di luar negeri dikenal dengan nama “Java Vetiver Oil”. Tanaman ini biasanya diusahakan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk dan di lereng-lereng berbukit dan bergelombang. Akarwangi dapat tumbuh pada ketinggian sekitar 300-2.000 meter di atas permukaan laut.
14
Akan tetapi, ketinggian optimum yang menghasilkan produktivitas tertinggi adalah sekitar 600-1.500 meter di atas permukaan laut. Tanah yang sesuai untuk menanam akarwangi adalah di tanah yang berpasir atau pada tanah abu vulkanik. Pada tanah tersebut akar tanaman akan menjadi lebat dan panjang. Selain itu, tanaman akarwangi masih dapat tumbuh di tanah-tanah liat yang mengandung air. Namun kelemahan tanah ini adalah sulit dicabut dan pertumbuhan akar menjadi terhambat. Derajat kemasaman tanah (pH) yang cocok bagi pertumbuhan tanaman akarwangi sekitar 6-7. Tanah yang terlalu masam atau dibawah 5,5 akan menyebabkan tanaman akarwangi menjadi kerdil sehingga akarnya akan berbentuk kurus dan berukuran kecil. Penanaman akarwangi sekaligus dapat berfungsi sebagai usaha konservasi tanah dan air, karena kelebatan akarnya mencapai + 50 cm. maka akarwangi dapat ditanam di pematang-pematang sawah untuk menghindari atau mengendalikan kerusakan pematang-pematang sawah. Pertumbuhan tanaman akarwangi pun didukung oleh adanya sinar matahari yang jatuh secara langsung. Maka, bila tanaman akarwangi ditanam ditempat yang teduh akan berpengaruh tidak baik terhadap pertumbuhan sistem akar dan mutu minyak pun akan menurun.
2.1.1. Budidaya Akar Wangi 2.1.1.1. Pembibitan Tanaman
akarwangi
dapat
diperbanyak
secara
vegetatif,
yaitu
menggunakan bonggol-bonggol akarnya. Bonggol tersebut didapatkan dari tanaman dalam rumpun yang tidak berbunga, lalu dipecah-pecah sehingga setiap
15
pecahan bonggol memiliki mata tunas. Kemudian bonggol dapat langsung ditanam di kebun (Kanisius, 1995). Kebutuhan bonggol bibit untuk lahan satu hektar sekitar dua ton dengan jarak tanam antara 0,75 x 0,75 meter atau 1 x 1 meter tergantung tingkat kesuburan tanah. Satu lubang tanam dibutuhkan 2-3 bonggol bibit.
2.1.1.2. Penanaman Tahap pertama yang perlu diperhatikan adalah persiapan lahan. Meskipun akar wangi pada dasarnya kurang membutuhkan pengolahan tanah, namun tanah yang menjadi media tanam akarwangi perlu diolah terlebih dahulu. Pengolahan tanah tersebut dilakukan dengan pencangkulan. Dengan cara ini, tanah yang semula berada di bagian bawah akan berada di permukaan dan mendapat cahaya matahari, sekaligus rumput dan tumbuhan pengganggu lainnya akan mati. Pada fase awal pertumbuhan, tanaman akarwangi membutuhkan air yang cukup. Oleh karena itu, waktu tanam sebaiknya diusahakan pada permulaan musim hujan, yaitu bulan Oktober-November Penanaman bibit akarwangi dilakukan dengan cara memasukkan bonggol siap tanam ke dalam lubang tanam yang telah dibuat, kemudian ditutup kembali dan tanah di sekitarnya agak dipadatkan. Jarak tanam pada tanah yang subur adalah 1 x 1 meter, sedangkan pada tanah yang kurang subur 0,76 x 0,75 meter. Lokasi penanaman akar wangi pada lahan miring perlu dibuat terasering.
2.1.1.3. Pemeliharaan Pemeliharaan
akarwangi
meliputi:
penyulaman,
penyiangan,
pembumbunan, pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama. Sekitar 2-3
16
minggu setelah tanam, hendaknya diadakan pemeriksaan ke kebun akarwangi. Hal ini untuk melihat akar wangi yang tidak tumbuh atau bahkan mati agar dilakukan penyulaman. Kegiatan ini untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya dan akan digunakan untuk memprediksi produk yang dihasilkan (Kanisius, 1995). Kegiatan
yang
dilakukan
dalam
pemeliharaan
akarwangi
yaitu
penyiangan. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah datangnya hama yang biasanya menjadikan gulma lain sebagai tempat persembunyian, sekaligus untuk memutus daur hidup hama. Tindakan penyiangan dilakukan pada umur tiga bulan sejak tanam dan pada awal maupun akhir musim penghujan. Tanaman akarwangi tidak tahan terhadap tanah yang tergenang air. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembumbunan agar aerasi dan drainase dapat diatur dengan baik. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan. Setelah dilakukan kegiatan penyiangan, yang perlu diperhatikan adalah kegiatan pemupukan. Pertumbuhan akarwangi akan terganggu apabila kondisi tanah tidak subur. Pemupukan dilakukan biasanya dilakukan dua kali dalam satu tahun. Pada umur tiga bulan, pupuk yang diberikan untuk lahan seluas satu hektar adalah lima ton pupuk kandang, 100 kg urea, 50 kg TSP, dan 50 kg KCL. Sedangkan pada bulan ke sembilan dilakukan pemupukan dengan dosis yang berbeda yaitu lima ton pupuk kandang, 50 kg urea, 25 kg TSP, dan 25 kg KCL. Cara pemberian pupuk adalah dengan memasukan pupuk ke dalam lubang melingkar sedalam 10 cm dan ditutup kembali oleh tanah.
17
Setelah tanaman berumur + 6 bulan dilakukan pemangkasan daun untuk mendapatkan akar yang rimbun dan panjang. Pemangkasan ini dilakukan tga bulan atau enam bulan sekali pada daerah dataran tinggi. Sedangkan pada dataran rendah tidak perlu dilakukan pemangkasan karena akan menurunkan hasil produksi.
2.1.1.4. Pemanenan Waktu pemanenan akar wangi bergantung pada musim dan penggunaan tanah. Kondisi tanaman dan kandungan minyak masih sedikit apabila dipanen terlalu dini. Namun apabila panen terlambat akan mengakibatkan akar layu dan mengering sehingga sebagian minyak akan hilang. Oleh karena itu, umur yang paling baik untuk melakukan pemanenan adalah antara 1,5 -2 tahun (Kanisius, 1995). Pemanenan dilakukan dengan menggunakan cangkul. Pencabutan tanaman harus dilakukan secara hati-hati agar akar tidak putus dan tertinggal di dalam tanah. Akar yang baru dipanen harus dibersihkan dari tanah yang masih melekat dan dipotong di bawah bonggolnya. Sedangkan daun akar wangi dapat dijadikan kompos dan bonggolnya sendiri dapat dijadikan bibit untuk penanaman masa berikutnya kemudian hasil panen tersebut disuling.
2.1.2. Penyulingan Akar Wangi Minyak atsiri yang berasal dari tanaman akar wangi dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: pengempaan, ekstraksi menggunakan pelarut, dan penyulingan. Dari ketiga cara tersebut, yang erat kaitannya untuk mendapatkan minyak akar wangi (vetiver oil) adalah cara penyulingan (Kanisius, 1995).
18
Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam suatu ketel dan mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air ke dalam ketel penyulingan. Dalam hal ini terdapat tiga jens penyulingan yaitu: 1) penyulingan dengan air, 2)penyulingan dengan air dan uap, 3) penyulingan dengan uap
2.1.2.1. Penyulingan dengan air Prinsip kerja penyulingan dengan air dimulai dengan pengisian air pada ketel penyulingan kemudian dipanaskan. Sebelum air mendidih, bahan baku dimasukkan ke dalam ketel penyulingan. Dengan demikian penguapan air dan minyak atsiri berlangsung secara bersamaan. Penyulingan ini disebut penyulingan langsung. Penyulingan ini merupakan cara tertua dan sangat mudah dilaksanakan. Namun, kualitas minyak atsiri yang dihasilkan cukup rendah (Kanisius, 1995)..
2.1.2.2. Penyulingan dengan air dan uap Penyulingan ini relatif lebih maju dibandingkan penyulingan dengan air. Prinsip kerja yang dilakukan adalah dimulai dengan ketel penyulingan diisi air sampai batas saringan. Bahan baku diletakkan di atas saringan sehingga tidak berhubungan langsung dengan air yang mendidih, tetapi akan berhubungan dengan uap air. Penyulingan ini disebut penyulingan tidak langsung. Air yang menguap akan membawa partikel-partikel minyak atsiri dan dialirkan melalui pipa ke alat pendingan sehingga terjadi pengembunan dan uap air yang bercampur minyak atsiri tersebut akan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah untuk memisahkan minyak atsiri dari air. Kualitas yang dihasilkan cukup baik (Kanisius, 1995)..
19
2.1.2.3. Penyulingan dengan uap Penyulingan dengan cara ini memerlukan modal yang relatif besar dibandingkan cara-cara yang sebelumnya. Namun, kualitas minyak atsiri yang dihasilkan jauh lebih sempurna. Prinsip kerja penyulingan seperti ini hampir sama dengan cara menyuling dengan air dan uap tetapi antara ketel uap dan ketel penyulingan harus terpisah. Ketel uap yang berisi air dipanaskan, lalu uap tersebut dialirkan ke ketel penyulingan yang berisi bahan baku, partikel-partikel minyak pada bahan baku terbawa bersama uap dan dialirkan ke alat pendingin. Di dalam alat pendingin itulah terjadi proses pengembunan, sehingga uap air yang bercampur minyak akan mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya dialirkan ke alat pemisah yang akan memisahkan minyak atsiri dari air (Kanisius, 1995).. Mengingat produksi minyak akarwangi di Indonesia hampir seluruhnya diekspor, maka pemerintah telah menetapkan persyaratan ekspor. Warna akarwangi yang didayaratkan yaitu kecoklat-coklatan sampai kemerah merahan. berat jenis pada suhu 25 derajat celcius,bilangan ester antara 5-25 Umumnya minyak akarwangi yang baik ditandai oleh berat jenis dan putaran optik yang tinggi. Komponen penting lainnya adalah vetiverol. Menurut Santoso (1993), peningkatan kadar vetiverol di dalam minyak akar wangi akan sekaligus meningkatkan mutu minyak tersebut.
20
2.2. Studi Kelayakan Proyek Tahapan pertama dalam kegiatan proyek adalah identifikasi gagasan proyek, yaitu menganalisis gagasan, ide, atau saran-saran mengenai rencana proyek yang akan dilaksanakan. Setelah analisis pendahuluan dilakukan, maka analisis lebih rinci dilakukan yang disebut dengan istilah studi kelayakan. Studi kelayakan akan memberikan informasi yang cukup untuk melaksanakan proyek tersebut. Studi kelayakan akan memberikan kesempatan untuk menyusun proyek agar bias sesuai dengan lingkungan fisik dan sosialnya, serta dapat memastikan bahwa proyek tersebut akan memberikan hasil yang optimal (Herjanto, 1999).
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Damanik (2003) di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Data aspek sosial ekonomi diambil dari 120 petani akarwangi dan 22 pabrik penyuling akarwangi. Percobaan lapangan dilaksanakan pada lahan seluas tiga hektar. Metode penelitian yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok dengan tiga pola tanam dan dua ulangan. Perlakuan yang dicoba adalah pola tanam petani, pola tanam introduksi, dan pola tanam konservasi. Parameter yang diamati adalah berat akar, kadar minyak, tingkat erosi, tingkat produktivitas, dan kelayakan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga pola yang diteliti ternyata pola konservasi mempunyai berat akar yang lebih tinggi yaitu 0,74 kg, sedangkan pola petani 0,60 kg dan pola introduksi 0,50 kg. Hasil analisis kadar minyak ketiga pola menunjukkan bahwa kadar minyak pola konservasi dan pola petani tidak berbeda nyata yaitu 2,60 persen dan 2,25 persen, sedangkan pola introduksi hanya 1,25 persen. Dari kedua parameter di atas (berat akar dan kadar minyak) dapat disimpulkan bahwa pola konservasi lebih baik
21
dibandingkan dengan pola lainnya. Tingkat erosi yang terjadi di pertanaman akarwangi adalah: (a) pola petani 26,20 ton/ha, (b) pola introduksi 19,40 ton/ha, dan (c) pola konservasi 17,80 ton/ha. Tingkat produktivitas yang dicapai dari ketiga pola usahatani tersebut yaitu (a) pola petani sebesar 16.000 kg/ ha/tahun, (b) pola introduksi 15.000kg/ha/tahun, dan (c) pola konservasi 18.000kg/ha/tahun. Dari ketiga pola tersebut yang tertinggi adalah pola konservasi, tetapi analisis kelayakan ekonomi pada ketiga pola adalah : Pola konservasi : B/C ratio 3,26, NPV Rp 7.852.000, dan IRR 18,75 persen; Pola introduksi : B/C ratio 2,03, NPV Rp 5.089.000, dan IRR 18,75 persen; Pola petani : B/C ratio 3,60, NPV Rp7.130.000, dan IRR 18,50 persen. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha tersebut layak untuk dilaksanakan. Penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisa (2004) mengenai perencanaan kelayakan pengembangan usaha budidaya lebah madu (Apis mellifera) di Jawa Timur dilihat tingkat kelayakannya berdasarkan aspek-aspek kelayakan usaha. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pengembangan usaha tersebut layak untuk dikembangkan berdasarkan aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial dan lingkungan, dan aspek finansial. Pola pengembangan usaha yang dilakukan adalah dengan menetapkan empat skenario. Skenario pertama yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun (12 bulan) dan menggunakan pengemasan madu. Skenario kedua yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman sepanjang tahun (12 bulan) dan tanpa menggunakan pengemasan madu. Skenario ketiga yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim (7 bulan), stimulasi pada saat paceklik (5 bulan), dan pengemasan madu.
22
Skenario keempat yaitu pengembangan usaha menggunakan pakan lebah tanaman semusim (7 bulan), stimulasi pada saat paceklik (5 bulan), dan tanpa pengemasan madu. Berdasarkan keempat skenario tersebut, skenario pertama paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, nilai Net B/C > 1, IRR lebih dari tingkat diskonto (60%), dan payback period paling cepat yaitu 1 tahun 10 bulan 6 hari. Selain itu, adanya perubahan tingkat diskonto sebesar 14 persen dari keempat skenario tidak didapatkan NPV negative sehingga keempat skenario tersebut dapat dijalankan. Penelitian yang dilakukan oleh Dolly (2006) mengenai analisis kelayakan investasi pengusahaan pembibitan duria (Durio zibhetinus) di CV.Milad Perkasa Rancamaya Bogor menghasilkan beberapa kesimpulan. Analisis dilakukan pada ketiga pola. Pola pertama bahwa bibit dijual seluruhnya untuk proyek gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL). Pola kedua bibit dijual langsung ke konsumen. Pola ketiga bahwa bibit 50 persen dijual ke GNRHL dan 50 persen dijual langsung ke konsumen. Dari ketiga pola tersebut, pola kedua paling layak untuk dijalankan karena NPV bernilai positif, Net B/C > 1, IRR > discount rate, pay back periode paling cepat. Selain itu, switching value dengan parameter penurunan penjualan dan peningkatan biaya dilakuakn pada ketiga pola. Pola kedua paling sensitif terhadap kedua parameter yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Sukarman (2007) mengenai risk management, suatu kebutuhan bagi pengelolaan perbankan yang sehat menghasilkan beberapa kesimpulan. Bagi perbankan, penerapan pengelolaan risiko menyebabkan bertambahnya biaya, jumlahn pegawai, waktu, dan mengurangi inisiatif untuk membuat keputusan. Hal ini banyak dikeluhkan oleh para bankir yang pada
23
gilirannya akan mempengaruhi performanya. Krisis tahun 1997 yang berdampak hingga sekarang dan berbagai kecurangan menyebabkan trauma akan berulangnya krisis ini. Namun, penerapan berbagai peraturan termasuk pengelolaan risiko perbankan dan perekonomian nasional akan segera membaik sehingga risiko bisnis juga berkurang. Hal ini akan mendorong perbankan untuk melanjutkan intermediasinya karena pertumbuhan suatu ekonomi suatu negara memerlukan kelancaran pemberian kredit bank.