II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
BUAH MARKISA KUNING
Markisa (Passion fruit) tergolong dalam filum Spermatopyhta, kelas Angiospermae, sub kelas Monocotyledone dan family passifloraceae. Ada sekitar 400 jenis markisa yang telah diketahui, dan 50-60 jenis diantaranya dapat dimakan. Beberapa jenis markisa terkenal adalah Passiflora quadrangularis, Passiflora ligularis, Passiflora laurifolia, dan Passiflora molissima. Diantara jenis yang ada terdapat dua jenis markisa yang paling banyak diproduksi secara komersial yaitu markisa ungu atau Passiflora edulis sims dan markisa kuning atau passiflora edulis f. flavicarpa ( Nakasone dan Paull, 1999). Penamaan buah markisa bervariasi di tiap daerah. Markisa dinamakan Passion fruit atau granadilla di Inggris dan beberapa negera Eropa lainnya, grenadille di Prancis, buah negeri ( Jawa), pasi (sunda) di Indonesia, buah susu atau markisa di Malaysia, Passionaria di Philipina, dan linmangkon di Thailand. Markisa kuning (Passiflora edulis f. flavicarpa) berasal dari Brazil bagian selatan, tumbuh di pinggiran hutan hujan. Markisa ini tumbuh baik pada ketinggian 0-800 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 2000-3000 mm (Verheij dan Coronel,1997). Di Indonesia markisa di tanam di ketinggian antara 800-1500 m diatas permukaan laut dengan curah hujan minimal 1200 mm per tahun, kelembapan nisbi antara 80-90%, suhu lingkungan antara 20300C dan tidak banyak angin. Tanaman markisa dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, terutama pada tanah yang gembur, mempunyai cukup bahan organik, mempunyai Ph antara 6,5-7,5 dan berdrainase baik. Buah markisa yang matang memiliki rasa yang asam, sehingga lebih sering dikonsumsi dalam bentuk sari buah, konsentrat, es krim, jam dan jelly. Hampir setengah dari hasil komersial buah markisa dimanfaatkan untuk produksi sari buah. Namun, produksi markisa di mancanegara relatif sedikit, yaitu dengan luas lahan komersial dari 12 negara produsen utamanya sekitar 4500 ha (Verheij dan Coronel 1997) Penelitian invitro di University of Florida juga mendapati bahwa ekstrak buah markisa kuning banyak mengandung fitokimia yang mampu membunuh sel kanker. Fitokimia tersebut antara lain polifenol dan karotenoid. Kandungan fitokimia yang lain dalam markisa adalah harman, harmol, harmalin, passaflorine, harmine, karotenoid, viteksin, krisin, dan isoviteksin. Sedangkan kandungan gizinya antara lain: energi, lemak, protein, serat, mineral, kalsium, fosfor, zat besi, karoten, tiamin, riboflavin, niasin, asam askorbat, dan asam sitrat. Markisa kuning disebut juga buah rola atau yellow passion fruit. Merupakan jenis markisa hasil mutasi dari bentuk markisa ungu. Banyak di budidayakan di daerah kuba, Puerto riko, suriname, Venezuela, kolumbia, Haiti dan Brasil. Di Indonesia markisa kuning banyak ditanam di pelabuhan ratu, sukabumi ,Jawa Barat. Persilangan (Hybrid) antara markisa ungu (yang beraroma kuat) dan markisa kuning (yang memiliki kadar sari buah tinggi) menghasilkan hibrida baru yang unggul yaitu hybrid e-23. Saat ini Hybrid e-23 dikembangkan skala perkebunan di Queensland, Australia, dan Hawai. Karakterisitik dari markisa kuning yaitu 1. Buah muda berwarna hijau, sedangkan buah tua berwarna kuning berbintik-bintik putih, buah berukuran sebesar bola tenis, berdiameter 5-6 cm, dan beraroma sangat kuat, serta rasa buah asam denga jus berwarna kuning sehingga cocok dibuat sirup atau jus. 2. Bentuk daun menjari dengan ukuran daun lebih besar dan lebih tebal daripada markisa ungu, panjang tangkai 2-4 cm, panjang daun 10-13 cm, dan lebar 9-12 cm, daun muda berwarna hijau, sedangkan tangkai berwarna hijau kecoklatan.
4
3.
Ruas batang panjang 7-10 cm, sulur muda berwarna kecoklatan, ukuran bunga besar, diameter 7-8 cm, mahkota tambahan berbentuk benang dan memencar, panjang ± 3,5 cm, pangkal berwarna ungu dan ujung berwarna putih. 4. Buah muda berwarna hijau, sedangkan buah tua (masak) berwarna kuning muda – kuning berbintik putih, kulit buah agak tebal dan agak keras. 5. Tanaman mampu berbuah cukup lebat, buah berbentuk bulat sampai bulat agak lonjong atau oval, berdiameter 5-7 cm, bobot 55-130 g, sari buah berwarna kuning, rasanya asam manis dengan aroma seperti jambu biji. Tanaman markisa yang berasal dari buah mulai berbuah setelah berumur 9-10 bulan, sedangkan yang berasal dari stek, mulai berubah dari awal, yaitu sekitar 7 bulan.Warna buah yang pada mulanya berwarna hijau muda akan berubah menjadi ungu tua atau kuning ketika masak. Perlakuan pasca panen buah markisa yang akan dijual sebagai buah segar atau sari buah berbeda. Buah markisa termasuk buah klimaterik, untuk itu jika buah tersebut akan dijual sebagai buah segar, sebaiknya buah dipanen pada saat persentase warna ungu mencapai 50-70% dan disisakan tangkainya 3 cm. Buah markisa digolongkan ke dalam buah klimaterik karena pola respirasi markisa meningkat seiiring dengan perubahan akibat pematangan seperti pelunakan daging buah atau perubahan pigmen warna dan gas volatile tertentu. Respirasi dan produksi etilen akan menurun saat buah mencapai tingkat kematangan penuh dan mulai mengalami pembusukan. Beberapa buah-buahan klimaterik seperti apricot, “peach”, mangga dan markisa menunjukkan kandungan sukrosa yang tinggi pada saat matang tetapi tidak seperti aprikot dan “peach” yang kandungan sukrosanya mengalami peningkatan selama proses pematangan, pada markisa justru terjadi sedikit penurunan ( Pruthi, 1963). Isi buah markisa banyak mengandung zat-zat yang penting bagi tubuh manusia, oleh karena itu bijinya langsung dapat dimakan. Kandungan biji markisa kuning dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan biji markisa kuning
a
Komponen
Jumlah (%)
Kapur
0.3
Fosfor
0.66
Protein
12.7
Lemak
9.32
Serat kasar
59.20
Sari bebas N
18.36
Rismunandar (1986)
Komposisi kimia sari buah markisa kuning telah dilaporkan oleh Pruthi (1958) serta Pruthi dan Lal (1959) sebagaimana terlihat pada Tabel 3, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama tahun 19521954 di India. Sari buah markisa banyak mengandung Passiflorine, suatu zat menentramkan urat syaraf serta mengandung ± 21.9-69.9 mg vitamin C per 100 gram sari buah. Sari buah markisa memiliki kandungan pati yang cukup tinggi. Pati akan terlihat sebagai endapan putih atau kelabu selama penyimpanan sari buah (Knock, 1951) Komposisi sari buah markisa dapat dilihat pada Tabel 4.
5
Tabel 4. Komposisi kimia sari buah markisa Komponen Kadar air (%) Ekstrak eter (%) Serat kasar (%) Padatan terlarut (%) Asiditas (%) 0 Brix /asam Ph Gula pereduksi (%) Gula non pereduksi (%) Total gula (%) Kalsium (mg %) Fosfor (mg %) Besi (mg %) Asam askorbat (mg %) Karoten (IU Vitamin A/100 gr) a
Kisaran 76.9 – 82.5 0.01 – 0.08 14.4 – 21.9 2.4 – 4.8 3.4 – 7.7 2.6 – 3.2 3.6 – 8.3 2.3 – 7.9 7.4 – 13.3 9.7 – 18.4 21.4 – 60.4 2.3 – 4.0 21.9 – 69.9 1073.0 – 1547.0
Rata-rata 80.4 0.05 17.3 3.4 5.3 2.8 6.2 4.6 10 12.1 30.1 2.6 34.6 1345.0
Pruthi dan Lal (1959)
Menurut Pruthi (1963), kondisi optimum untuk penyimpanan buah markisa adalah pada suhu 6.5 C dengan kelembapan nisbi 85 – 90%. Pada kondisi ini buah markisa akan tahan disimpan selama 4 – 5 minggu. Selanjutnya dikemukakan bahwa pada kondisi tersebut setelah penyimpanan 4 minggu kehilangan berat secara fisiologis adalah 23.2%. Bila disimpan pada suhu ruang (23 – 33 0C), pada kelembapan nisbi 55 – 70% selama 4 minggu, maka kehilangan berat adalah 76.5% . Bila disimpan selama satu minggu pada suhu ruang, kehilangan berat yang terjadi adalah 34.5%. Peningkatan gula-gula pereduksi disebabkan oleh hidrolisa sukrosa dan oleh produksi dekstrosa sebagai hasil hidrolisa pati yang berjalan lambat. Selama penyimpanan juga terjadi peningkatan kandungan pektin larut-air dan pektin larut-oksalat, tetapi ada penurunan kandungan pektin larut-asam pada kulit buah. Perubahan ini lebih nyata pada suhu yang lebih tinggi. Pada suhu ruang, perubahan fisik dan kimia dan kehilangan aroma (Flavor) nyata dalam 1 – 2 minggu. Tanaman markisa kuning menjalar, setengah mengayu, batangnya tidak berbulu, beralur dan berwarna hijau. Buahnya bertipe bulat hingga lonjong seperti telur berukuran (4-12) cm x (4-7) cm, berwarna kuning kenari (Cannary yellow), eksokarpnya keras dan tipis, dan endokarpnya putih. Bila telah matang, tangkai buah markisa mudah tanggal dari ranting pohonnya, daging buah berwarna kuning dengan aroma yang khas, mengelilingi biji berwarna hitam (Verheij dan Coronel 1997) Laju respirasi buah markisa adalah 40 – 130 CO2/kg/jam (Pruthi, 1963). Selama penyimpanan dilakukan, terjadi perubahan-perubahan fisik dan kimia pada buah markisa. Data-data perubahan tersebut telah dilaporkan oleh Pruthi (1963) seperti yang terlihat pada Tabel 5. 0
6
Tabel 5. Perubahan-perubahan fisik dan kimia pada buah markisa selama penyimpanan Komponenkomponen
Sebelum penyimpanan
Penyimpanan pada 6.5 0C (dalam minggu) 2
4
6
8
Penyimpanan suhu ruang selama 2 minggu
Kulit (%) Sari buah (%)
45.3 39.6
43.57 39.60
37.30 43.29
33.90 44.30
38.80 36.00
34.20 32.20
Residu (%)
15.1
18.00
19.40
21.90
25.20
33.60
KA kulit (%)
73.1
79.90
62.80
56.60
54.70
11.40
KA sari (%)
80.4
80.40
80.30
77.60
75.00
-
Sukrosa (%)
2.1 4.8
2.10 4.20
2.30 3.70
2.70 3.40
1.50 3.40
1.80 1.80
Total gula (%)
10.1
10.10
10.30
11.00
10.00
-
Protein (%)
1.0
0.95
-
-
-
-
Gula pereduksi (%)
5.2
5.80
6.50
7.50
6.50
8.20
Keasaman (%)
a
B.
Pruthi (1963)
KITOSAN
Kitosan merupakan salah satu bahan yang memiliki prospek yang baik dimasa depan. Kitosan merupakan salah satu polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang banyak terdapat di alam. Kitin dapat diperoleh dari crustacean atau berbagai fungi. Kitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama dengan selulosa, yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekulmolekul glukosa sederhana yang identik. Kitosan sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari hewan berkulit keras terutama dari laut seperti udang, rajungan, kepiting dengan kadar kitosan antara 10-15%. Selain dari kulit hewan laut, kitosan juga dapat diperoleh dari dinding sel jamur antara lain Aspergillus niger (Hardjito, 2006). Ornum (1992) menjelaskan bahwa kitin merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer nasetil D-glukosamin dalam ikatan ß(1-4) atau 2-asetamida-2-deoksi-Dglukopiranol dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Proses produksi kitosan (dari sebelum terbentuknya kitin) meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku.
7
Kitosan dapat ditemukan secara alami pada dinding-dinding sel filamen dan yeast karena deasetilasi enzymatis. Kitosan tidak larut di dalam air, alkali pekat, alkohol dan aseton, tetapi larut dalam asam lemah seperti asetat dan formiat. Asam organik seperti asam hidrokloride dan asam netral dapat melarutkan kitosan pada pH tertentu dalam keadaan hangat dan pengadukan lama, tetapi hanya sampai derajat terbatas. Karena kondisi ekstrim yang digunakan pada saat proses deasetilasi kitosan mempunyai rantai yang lebih pendek dibandingkan kitin.Oleh karena itu, jika kitosan dilarutkan dalam asam encer, viskositasnya bervariasi menurut berat molekul dan derajat deasetilasinya. Kitosan dapat mengalami depolimerisasi selama penyimpanan yang lama dengan suhu tinggi. Depolimerisasi thermal kitosan maksimal terjadi pada suhu 280 0C. Degradasi enzimatis terhadap kitosan dapat dilakukan untuk enzim kitonase.
1.
SIFAT FISIK DAN KIMIA KITOSAN
Sifat dan penampilan produk kitosan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi, seperti jenis pelarut, konsentrasi, waktu, dan suhu proses ekstraksi. Kitosan berwarna putih kecoklatan. Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin atau semikristalin. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitin memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Kitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai kitin. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viscositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Terdapat dua metode untuk 10 memperoleh kitin , kitosan dan oligomernya dengan berbagai DD, polimerisasi, dan berat molekulnya (BM) yaitu dengan kimia dan enzimatis. Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD) sampai 10% dan kandungan nitrogennya kurang dari 7%. Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100 0F maka sifat keseluruhannya dan viskositasnya akan berubah. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka maka akan terjadi dekomposisi warna menjadi kekuningan dan viskositasnya berkurang. Suatu produk dapat dikatakan kitosan jika memenuhi beberapa standar seperti tertera pada Tabel 6.
8
Tabel 6. Standard Kitosan Deasetilasi
≥ 70 % jenis teknis dan > 95 % jenis pharmasikal
Kadar abu
Umumnya < 1 %
Kelarutan
Hanya pada pH ≤ 6
Kadar air
2 – 10 %
Kadar nitrogen
7 - 8,4 %
Ukuran partikel
5 ASTM Mesh
Viscositas
309 cps
E.Coli
Negatif
Salmonella
Negatif
Warna
Putih sampai kuning pucat
pH
7-9
Bau
Tidak berbau
Kadar logam berat (As)
< 10 ppm
Kadar logam berat (Pb)
< 10 ppm
Ketidaklarutan
<1%
Kadar protein
< 0.5 %
a
Muzzarelli (1985), Austin (1981)
Dua faktor utama yang menjadi ciri dari kitosan adalah viskositas atau erat molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengendalian kedua parameter tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan kitosan yang bervariasi dalam penerapannya di berbagai bidang. Misalnya kemampuan kitosan membentuk gel dalam N-methyl morpholine-N-oxide, belakangan ini telah dimanfaatkan untuk formulasi obat. Kitosan dapat dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang bermuatan, seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu dan fosfolipid. Kitosan yang dilarutkan dalam asam maka secara proporsional atom hidrogen dari radikal amina primernya akan lepas sebagai proton, sehingga larutan akan bermuatan positif, dan bila ditambahkan molekul lain sebagai pembawa muatan negatif, maka akan terbentuklah polikationat, dan kitosan akan menggumpal. Sebagai contoh, natrium alginat (molekul pembawa bermuatan negatif) dan larutan-larutan bervalensi dua (sulfat, fosfat atau polianion) dari ion mineral atau protein dapat membentuk senyawa kompleks dengan kitosan. Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. coli misalnya, setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase akan terlepas. Hal ini menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya, atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambat pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel (Simpson,1997).
9
2.
MANFAAT KITOSAN
Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer (Hirano et al., 1999). Kitosan dan turunannya telah banyak dimanfaatkan secara komersial dalam industri pangan, kosmetik, pertanian, farmasi pengolahan limbah dan penjernihan air. Dalam bidang pangan, kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengawetan pangan, bahan pengemas, penstabil dan pengental, antioksidan serta penjernih pada produk minuman. Dalam bidang kesehatan kitosan dapat berperan sebagai antibakteri, antikoagulan dalam darah, pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah, antitumor (penggumpal) sel-sel leukemia (Brine et al., 1991). Kitosan mengaktifkan beberapa proses pertahanan pada jaringan inang (El-Ghouth et al., 1992). Chen et al., (1996) meneliti aplikasi kitosan sebagai antimikrobial untuk pengemas dan Kittur et al., (1998) menggunakan kitosan sebagai bahan dasar pengemas berupa film. Selain itu kitosan juga diketahui tidak menyebabkan alergi dan dapat memacu pertumbuhan bakteri penghasil enzim lactase yang biasa hidup dalam organ pencernaan bayi (Austin, 1981). Rhoades, Roller (2000) melaporkan penggunaan kitosan dan hidrolisat kitosan untuk pengawet juice dan minuman ringan, kitosan juga menghambat pertumbuhan mikroba perusak daging (Pseudomonas fragi), perusak saus tomat (Cryptococcus albidus dan Bacillus sp). Kitosan memiliki struktur kimia yang menyerupai selulosa telah diketahui untuk melindungi makanan mudah rusak (perisable food) dari kerusakan dengan cara mengurangi laju dehidrasi dan respirasi, serta mampu menjaga teksturnya (No et al., 2007). Dalam bidang pengolahan pangan kitin dapat digunakan sebagai pemantap sistem emulsi, sebagai pereaksi pengikat air atau lemak, menaikkan volume roti tawar (Knoor, 1982), sebagai pengikat pewarna makanan (Knoor, 1983). Dalam bidang enzimlogi kitin digunakan sebagai media untuk immobilisasi enzim (Santoso, 1990). Baik kitin maupun kitosan digunakan sebagai bahan pembungkus atau kapsul obat-obatan, juga sebagai benang operasi dalam pembedahan ( Santoso, 1990). Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa film khusus, industri metalurgi sebagai absorban untuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, fotografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein sel tunggal (Suptijah et al., 1992). Zivanovic et al., (2004) memanfaatkan kitosan dalam produk emulsi. Penambahan 0.1% kitosan polisakarida dapat menjamin keamanan dari produk emulsi oil in water. Model emulsi yang digunakan terdiri dari campuran 20% minyak jagung, 1% Tween 20, 1.5% Tripticase soy broth, 0.58% asam asetat, dan kitosan polisakarida. Dalam saluran pencernaaan, senyawa kitosan berinteraksi dengan lemak membentuk misela atau emulsifikasi lipid pada fase absorbs (Deuchi et al., 1994). Kitosan menyerap 97% absorbsi lemak tubuh yang dianggap ebih unggul dibandingkan jenis polimer lain seperti selulosa, karagenan, dan agar-agar (Sugano et al., 1980). Roller et al., (2002) menunjukkan bahwa kitosan bekerja sinergis dengan pengawet tradisional seperti asam benzoat, asam asetat, dan sulfit. Kitosan juga dapat mengawetkan ikan hering dan
10
kod, yaitu berfungsi sebagai film edibel sehingga mampu meningkatkan kualitas produk perikanan selama penyimpanan. Menurut El Ghaouth et al., (1991) kitosan memiliki kemampuan bioaktif sebagai penghambat pertumbuhan cendawan. Menurut El Ghaouth et al., (1992 a) kitosan dapat mengaktifkan pertahanan alami dari tanaman dan membantu jaringan dalam mencegah infeksi cendawan. Dengan adanya kitosan proses kolonialisasi pathogen pada jaringan tanaman dapat dicegah dan apabila jaringan tanaman telah terinfeksi, penyebaran pathogen dapat dibatasi sehingga tidak meluas ke jaringan yang sehat. Berdasarkan hasil penelitian Harjanti (1997), kitosan dapat dipergunakan sebgai bahan pelapis tomat yang mampu menghambat kematangan buah tomat serta mencegah penyerangan oleh cendawan. Tomat dengan pelapisan kitosan 1.5% dapat disimpan hingga hari ke-20, sedangkan dengan pencelupan Benlate-50 dapat disimpan hingga hari ke-15 dan untuk kontrol hanya sampai hari ke-10. Aplikasi kitosan dalam bidang pangan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Aplikasi kitosan dan turunannya dalam industri pangan Aplikasi Antimikroba
Contoh Bakterisidal, fungisidal, mengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian
Edible film
Mengatur
perpindahan
uap
sekitar,
menahan
lingkungan
antara
makanan
pelepasan
dan
zat-zat
antimikroba, antioksidan, nutrisi, flavor, dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan proses browning enzimatis pada buah, mengembalikan tekanan osmosis membran Bahan aditif
Mempertahankan flavor
alami,
bahan
pengontrol
tekstur, bahan pengemulsi Nutrisi
Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti grastitis (radang lambung), dan sebagai bahan makanan bayi
Pengolahan limbah
Flokulan dan pemecah agar
makanan padat Pemurnian air Aplikasi lain
Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernih. Imobilisasi enzim, enkapsulasi, kromatrografi, dan bahan analisis
a
Shahidi et al., 1999
11
3.
EKSTRAKSI KITOSAN
Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu kitosan.14 Deasetilasi kitin dilakukan dengan menambahkan NaOH (Kolodziesjska 2000). Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan akan bersifat polikationik. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat (Ornum, 1992). Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan sangat berperan dalam berbagai aplikasinya, misalnya sebagai bahan pengawet, penstabil warna, flokulan, membantu proses reverse osmosis dalam penjernihan air, dan sebagai bahan aditif untuk proses agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al., 1999) Secara umum, pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunannya hanya sedikit menahan penguapan air tetapi efektif untuk mengontrol difusi dari berbagai jenis gas seperti CO2 dan O2 (Nisperoscarriedo, 1995). El Ghaouth, et al. (1994) mengemukakan bahwa polikation alami dari kitosan dapat menghambat pertumbuhan kapang dan jamur patogen. Kitosan diketahui mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan kapang Bothria cinerea dan Rhizopus stolonifer pada buah strawberry. Kemampuan kitosan sebagai pelapisan lilin dibatasi oleh permeabilitas kelembapan yang relative tinggi. Salah satu kegunaannya yaitu sebagai pengemas roti,dimana difusi kelembapan yang melalui kemasan dapat digunakan dalam menyeimbangkan kelembapan kulitnya yang rendah (Caner et al.,1998).
C.
LAJU RESPIRASI BUAH-BUAHAN
Laju respirasi merupakan petunjuk daya simpan buah-buahan sesudah dipanen, intensitas respirasi sering dianggap sebagai potensi daya simpan buah-buahan. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai umur simpan yang pendek, hal ini merupakan petunjuk laju kemunduran kualitas dan nilainya sebagai bahan pangan (Pantastico, 1986). Pola respirasi buah ada dua macam yaitu respirasi klimaterik dan respirasi non klimaterik. Pola respirasi klimaterik mempunyai karakteristik dimana laju respirasi pada saat awal setelah pemetikan akan menurun, dan selanjutnya akan terjadi konsumsi O2 dari udara untuk pernapasan dan menghasilkan CO2, H2O dan panas. Panas yang dikeluarkan akan mempercepat reaksi respirasi selanjutnya sampai mencapai titik maksimum. Setelah itu respirasi akan menurun secara perlahan sampai buah menjadi layu (Senescence) Buah dan sayuran tetap melakukan respirasi setelah pemanenan, dan sebagai akibatnya pengemasan harus masuk dalam perhitungan aktivitas respirasi. Respirasi dibedakan dalam tiga tingkat yaitu pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobic menjadi CO2, air, dan energi (Phan, 1986). Saat mendisain sistem pengemasan, penyimpanan dan distribusi produk segar, aspek paling penting dari hasil respirasi adalah pengaturan suhu respirasi. Menurut Ryal, et al (1982), respirasi dapat dianalogikan sebagai pembakaran yang terjadi pada ruang temperature dan bahkan pada penyimpanan suhu rendah. Formula sederhana dari respirasi adalah
12
C6H12O6 + 6 O2 → 6 CO2 + 6 H20 + energi (panas dan ATP) gula
oksigen karbon dioksida air
Reaksi kimia dikontrol oleh temperatur. Kenaikan 10°C (18°F) maka dapat meningkatkan respirasi lebih dari dua kali lipat.
D.
MASA SIMPAN BUAH
Buah memiliki masa simpan yang relatif rendah sehingga buah dikenal sebagai bahan pangan yang cepat rusak dan hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas masa simpan buah. Mutu simpan buah sangat erat kaitannya dengan proses respirasi dan transpirasi selama penanganan dan penyimpanan di mana akan menyebabkan susut pasca panen seperti susut fisik yang diukur dengan berat, susut kualitas karena perubahan wujud (kenampakan), cita rasa, warna atau tekstur yang menyebabkan bahan pangan kurang disukai konsumen, susut nilai gizi yang berpengaruh terhadap kualitas buah. Untuk masa simpan dari buah markisa kuning terlalu lama hanya akan tahan disimpan selama seminggu. Namun mungkin dengan penyimpanan dingin masa simpan buah markisa kuning dapat diperpanjang tapi penyimpanan dingin pada buah markisa kuning pada umumnya dapat menyebabkan buah markisa menjadi menyusut. Penyimpanan buah-buahan dengan suhu dingin dianggap kurang baik untuk diterapkan pada beberapa jenis buah-buahan, maka dari itu proses penyimpanan dingin buah-buahan diganti proses pemberian lapisan lilin pada buah-buahan untuk memperpanjang masa simpan buah-buahan tapi harus menyebabkan kerusakan dingin. Batas aman suhu rendah dan chilling injury yang mungkin terjadi pada buah-buahan apabila buah-buahan disimpan pada suhu dingin dapat dijelaskan pada Tabel 8.
13
Tabel 8. Batas aman suhu rendah dan chilling injury pada buah-buahan Buah
Apel Alpukat
Batas Aman Suhu Rendah (°C) 2-3 5 -7
pencoklatan daging, warna seperti terbakar, lembek warna daging coklat ke abu-abuan
Cranberries
2
warna kulit kusam, pencoklatan pada daging, gagal matang tekstur liat, daging memerah
Anggur
10
lembek, warna seperti terbakar
Lemon
11 - 13
Bercak
7–9
Bercak
Pisang
Lime
12 - 13
Chilling Injury yang Bisa Terjadi antara 0°C Hingga Suhu Aman
Zaitun
7
perubahan warna menjadi ke abu-abuan dan kematangan tidak merata pencoklatan bagian dalam
Jeruk
3
bercak coklat
Pepaya
7
gagal matang, hambar, busuk
Nanas
7 - 10
Dlima
5
Mangga
10 - 13
warna hijau kusam saat matang pencoklatan bagian dalam dan luar
a
Ryall, 1982
E.
PENYIMPANAN PADA SUHU RENDAH
Prinsip penyimpanan buah adalah untuk memperpanjang daya guna dan dalam keadaan tertentu memperbaiki mutu, juga terkait dengan faktor penuaan. Tujuan utama penyimpanan buah segar adalah untuk mempertahankan produk dalam keadaan paling berguna bagi konsumen, dengan jalan mengendalikan laju transpirasi dan respirasi, mengatur suhu dan kelembapan ruangan serta mengendalikan infeksi penyakit (Pantastico, 1986). Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu buah-buahan, dengan cara pengaturan kelembapan dan kondisi udara serta penambahan zat pengawet kimia. Pendinginan akan mengurangi kelayuan serta kehilangan air, menurunkan laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang akan disimpan (Watkins, 1971). Pendinginan maupun pembekuan tidak dapat meningkatkan mutu bahan pangan, hasil terbaik yang dapat diharapkan hanyalah mempertahankan mutu tersebut pada kondisi terdekat dengan saat akan memulai proses pendinginan. Hal ini berarti mutu hasil pendinginan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan pada saat awal proses pendinginan (Purwanto, 2007). Penurunan suhu penyimpanan sebesar 10 0C akan mengurangi laju respirasi sebesar 2-4 kalinya dan itu cukup berarti untuk menunda kemunduran mutu dan penuaan komoditi. Untuk mendapatkan hasil yang baik maka penting dijaga agar suhu ruang penyimpanan relatif tetap, perubahan 2-30C dari suhu yang dikehendaki sebaiknya dicegah. Sayuran dan buah-buahan yang disimpan pada suhu lebih tinggi
14
dari seharusnya bila suhu pendinginan tidak segera dicapai, akan sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang tidak baik. Keadaan kondisi penyimpanan yang diatas suhu optimum jika berlangsung semakin lama, maka semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan pada bahan yang akan disimpan (Syarif, Haryadi 1990 dalam Sunarti, 1995). Suhu rendah memberikan pengaruh besar terhadap umur simpan buah-buahan segar yang disimpan. Hal tersebut terjadi karena buah-buahan dan sayur-sayuran segar adalah komoditi yang hidup sehingga masih melakukan proses metabolisme terutama respirasi dan reaksi kimia lainnya. Sudibyo (1979) menyatakan bahwa penyimpanan dingin pada prinsipnya bertujuan untuk menekan laju respirasi dan transparansi agar dapat berjalan lambat, dan sebagai akibatnya daya simpan bahan pangan diperpanjang dengan susut bobot minimum dan mutu masih tetap baik. Penyimpanan suhu rendah pada umumnya dilakukan diantara 15 0C sampai titik beku. Dengan penyimpanan pada suhu tersebut, penurunan mutu buah-buahan dapat dicegah karena terhambatnya laju kehilangan air, laju respirasi, reaksi biokimia, dan laju pertumbuhan mikroba. Dalam Ashari, (1995), buah-buahan disimpan rata-rata pada suhu 0-5 0C dengan kelembapan relative 80-95%, sedangkan sayuran rata-rata disimpan pada suhu 0-50C dengan kelembapan relative 85-90%. Tiap buah dan sayuran mempunyai suhu optimum untuk menghambat pematangan dan penuaan proses-proses fisiologis yang membuat komoditi menjadi rentan terhadap kegiatan parasitik dan bakteri (Pantastico, 1975). Kebanyakan produk buah-buahan tahan pada kelembapan 90%, sayuran bahkan lebih tinggi (92%) supaya tidak layu. Temperature optimum untuk penyimpanan dingin adalah 7-130C (Ryall, Lipton 1983). Fluktuasi suhu seringkali mengakibatkan terjadinya kondensasi pada bahan, sehingga dapat merangsang pertumbuhan jamur dan proses pembusukan. Menjaga suhu agar merata pada semua bagian ruang penyimpanan dingin lebih penting daripada menghindari suhu pada suatu tempat. Pada bagian ruangan yang lebih hangat, buah-buahan yang disimpan akan matang lebih dahulu daripada bagian lain yang suhunya tetap dingin. Hal ini akan menyulitkan waktu dikeluarkan, karena kematangan buah tidak seragam, bahkan sering terjadi sebagian telah mengalami pelayuan atau bahkan pembusukan (Syarief, Hariyadi 1990). Perubahan-perubahan fisik kimia yang umumnya terjadi pada buah-buahan selama pematangan dan penyimpanan diantaranya adalah tekstur, warna, kandungan gula, keasaman, susut bobot, kadar air, dan kandungan vitamin C. Berikut adalah beberapa perubahan fisik kimia selama pematangan dan penyimpanan yaitu:
1.
Susut bobot Proses respirasi dan transpirasi akan menyebabkan komoditi mengalami susut bobot. Susut bobot juga dapat disebabkan oleh penguraian glukosa buah menjadi karbondioksida dan air. Gas yang dihasilkan akan dapat menguap dan menyebabkan terjadinya susut bobot.
2.
Kekerasan buah Kekerasan buah tergantung pada turgor sel hidup, adanya jaringan, adanya jaringan penunjang, dan sifat kohesi dari sel (Pekerti dalam Nugroho, 2002). Turgor adalah tekanan dari isi sel terhadap dinding sel sehingga sel ada pada volume normal tetapi dapat terjadi pertukaran
15
senyawa. Tekstur terbentuk dari polisakarida, dimana komponen utama dari dinding sel adalah selulosa dan pektin (Hulme, 1970). Semakin lama buah disimpan akan semakin lunak, karena protopektin yang tidak larut diubah menjadi pektin yang larut dan asam pektat (Winarn, Wirakartakusumah 1981). Selain itu melunaknya buah selama pematangan juga disebabkan oleh aktivitas enzim poligalakturonase yang menguraikan protopektin dengan komponen utama poligalakturonat mejadi asam galakturonat (Pantastico, 1986). Sementara itu menurut Marcelin (1954), tingkat porositas buah selama proses pematangan akan mengalami penurunan.
3.
Perubahan total padatan terlarut Buah dan sayuran menyimpan karbonhidrat untuk persediaan bahan energi dan selanjutnya digunakan untuk melangsungkan keaktifan dari sisa hidupnya. Karena itu dalam proses pematangan, kandungan karbonhidrat dan gula berubah. Apabila buah-buahan menjadi matang, maka kandungan gulanya meningkat, tetapi kandungan asamnya menurun. Akibatnya kandungan gula dan asam akan mengalami perubahan yang drastis.
F.
PELILINAN PADA BUAH-BUAHAN
Dalam penanganan pasca panen, pendinginan diperlukan khususnya untuk buah yang tidak tahan lama seperti berries dan jenis figs. Kondisi ini tidak hanya mengurangi aktivitas metabolisme buah tetapi juga untuk mencegah kebusukan buah. Pelilinan merupakan perlakuan khusus bagi beberapa buah yang bertujuan untuk mengurangi laju transpirasi, meningkatkan umur simpan, mengurangi perkembangan penyakit, mengganti bahan lilin alami pada buah yang hilang selama pencucian, melindungi dari luka dan memperbaiki penampilan. Menyimpan produk terlalu dingin dapat juga merupakan masalah serius. Penting untuk menghindari kerusakan dingin, karena tanda seperti gagal untuk masak (untuk pisang dan tomat), perkembangan lekukan-lekukan kecil dengan area basah (untuk jeruk, melon dan mentimun), perubahan warna menjadi coklat (untuk apokat, terung,cherimoya), meningkatnya kepekan terhadap penyakit (untuk mentimun dan beans), dan munculnya bau yang tidak diinginkan (untuk tomat) (Shewfelt, 1990). Memperpanjang umur simpan buah-buahan dengan pemberian lapisan lilin juga dapat menurunkan biaya yang dibutuhkan untuk menyimpan buah-buahan. Namun, walaupun seperti itu masih banyak sekali yang memilih menyimpan buah-buahan di ruang dingin daripada harus member lapisan lilin pada buahbuahan. Pelapisan merupakan salah satu cara yang dikembangkan untuk memperpanjang masa simpan dan melindungi produk segar dari kerusakan dan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti serangan mikroba. Pelapisan juga dapat menutupi luka-luka atau goresan-goresan kecil pada permukaan buah dan sayuran, sehingga dapat menekan laju respirasi yang terjadi pada buah dan sayuran. Buah-buahan dan sayur-sayuran memiliki selaput lilin alami di permukaan luar yang sebagian hilang karena pencucian. Mitchell (1992) menyatakan bahwa pelilinan digunakan untuk menggantikan lapisan lilin alami yang hilang akibat proses pra panen serta dapat memperbaiki penampilan buah. Menurut Baldwin (1997), pelapisan lilin juga dapat memodifikasi kondisi atmosfer dalam buah serta memperlambat pendewasaan dan pematangan buah.
16
Pelilinan yang termasuk ke dalam perlakuan pra pengangkutan bertujuan untuk mengurangi susut mutu dan kerusakan komoditas pertanian sampai ke tingkat serendah-rendahnya. Keberhasilan pelapisan lilin untuk buah-buahan dan sayuran tergantung dari ketebalan lapisan. Hardenburg (1967) mengatakan bahwa pelilinan dimaksudkan untuk mengurangi kehilangan air pada buah-buahan dan sayuran, dan dengan demikian dapat mengurangi kelayuan dan pengisutan. Keberhasilan pelapisan lilin untuk buahbuahan dan sayur-sayuran tergantung dari ketebalan lapisan. Pelilinan yang terlalu tipis tidak berpengaruh nyata pada pengurangan penguapan air, sedangkan yang terlalu tebal dapat menyebabkan kerusakan, bau, dan rasa menyimpang akibat udara di dalam buahbuahan dan sayuran terlalu banyak mengandung CO2 dan sedikit O2 (Park et al.,1994). Menurut Purwadaria, (1992), pelilinan dilakukan untuk mempertahankan lapisan minyak seperti pada jeruk siam (tangerine) dan lapisan pupur pada mangga yang disukai konsumen, bahkan konsumen negeri pengimpor. Sedangkan Chace, Pantastico (1993) mengatakan bahwa pelilinan pada buah-buahan dan sayuran ditujukan untuk mengurangi kelayuan dan pengeriputan serta menaikkan daya tarik pembeli. Menurut Roosmani (1975) fungsi lapisan lilin adalah sebagai lapisan pelindung terhadap hilangnya air dari komoditas dan mengatur kebutuhan oksigen untuk respirasi sehingga dapat memperkecil kerusakan buah yang dipanen akibat proses respirasi. Pelapisan lilin akan menutupi sebagian stomata, sehingga dapat mengurangi kehilangan air, memperlambat proses fisiologis dan mengurangi aktivitasaktivitas enzim respirasi, akibatnya proses pematangan terhambat. Menurut Srivastava (1962) teknik pelapisan emulsi lilin pada produk hortikultur di sentral produksi yang minim fasilitas pasca panen dapat dikembangkan untuk memperpanjang masa simpannya pada suhu ruang. Teknik pelapisan emulsi lilin merupakan cara menunda proses pematangan yang bertujuan untuk memperpanjang umur simpan. Pelapisan lilin mampu mengurangi laju respirasi dan transpirasi produk hortikultur. Luka-luka akibat goresan kecil dapat ditutupi lapisan lilin sehingga penampakan lebih menarik (Pantastico, 1986). Tetapi tidak semua buah-buahan memberikan respon yang baik terhadap pelapisan lilin, misalnya buah sukun akan berkurang umur simpannya apabila dilapisi lilin pada suhu dingin (Muchtadi, 1992). Menurut Roosmani (1975), buah yang dilapisi lilin akan tertutupi sebagian stomatanya sehingga dapat mengurangi kehilangan air, memperlambat proses fisiologis dan mengurangi aktivitas enzim-enzim pernapasan sehingga proses pematangan terhambat. Hasil dari percobaan Fatimah (1996) memperlihatkan pelapisan lilin pada buah sawo menggunakan konsentrasi emulsi lilin 9% dengan pencelupan 60 detik serta konsentrasi 10% dengan pencelupan selama 30 detik dapat mengurangi susut buah. Pada penyimpanan suhu kamar dapat juga dijaga kekerasannya sampai hari ke-12 dengan perlakuan pelilinan 10% pencelupan selama 30 detik. Sedangkan untuk suhu dingin (100C) optimum smapai hari ke-12 pada konsentrasi 9% dengan pencelupan selama 60 detik. Berdasarkan uji pelapisan lilin pada paprika diketahui bahwa perlakuan dengan konsentrasi lilin 2% memiliki daya simpan paling lama dibandingkan dengan konsentrasi lilin 1% dan 3% yaitu sampai hari ke-24. Konsentrasi lilin tidak mempengaruhi parameter laju respirasi, kekerasan, tingkat keasaman, dan kadar vitamin, sementara secara nyata mempengaruhi total asam tertitrasi (Saptono, 1997). Siahaan (1998) menyimpulkan bahwa pelapisan lilin untuk jeruk besar memiliki nilai yang optimum dalam menghambat susut bobot dan kelunakan buah serta mempertahankan kualitas penampakan luar buah dan padatan terlarut buah terjadi pada konsentrasi 9% dan 12%. Sedangkan penyimpanan pada suhu rendah kurang berpengaruh nyata dalam menghambatkan kelunakan dan mempertahankan padatan terlarut pada buah.
17
Melalui percobaan pelapisan lilin pada mangga arumanis dan indramayu disimpulkan bahwa konsentrasi lilin 6% optimum meningkatkan daya simpan selama 21 hari untuk mangga arumanis dan 7 hari untuk kontrol, dan 23 hari untuk mangga indaramayu dari 16 hari untuk kontrol (Rufiarti, 1990). Pada penelitian Maryam (1995), mengenai pelapisan lilin tomat dihasilkan konsentrasi 9% dan 10% optimum menghambat laju respirasi, mempertahankan mutu dan meningkatkan daya simpan sampai 16 hari dari 12 hari untuk kontrol. Sedangkan berdasarkan percobaan pelapisan lilin untuk alpukat yang dilakukan Mujiono (1997) diketahui bahwa konsentrasi 4% optimum meningkatkan daya simpan sampai hari ke-8 dari 3 hari pada kontrol dan menghambat kematangan sampai hari ke-20. Lapisan lilin untuk komoditi hortikultur segar harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu tidak berpengaruh terhadap baud an rasa komoditi, tidak beracun, mudah kering dan tidak lengket, tidak mudah pecah, mengkilap dan licin, mudah diperoleh dan murah harganya (Muchtadi, Sugiyono, 1992). Pelapisan lilin dilakukan dengan berbagai macam cara. Cara-cara tersebut adalah pembusaan, penyemprotan, pencelupan dan pengolesan (Pantastico, 1986). Pembuatan emulsi lilin tidak boleh menggunakan air sadah, karena bentuk garamnya akan merusak emulsi lilin. Emulsifier yang umum digunakan adalah trietanolamin dan asam oleat (Pantastico,1986). Pemberian lilin semata-mata tidak dapat mengendalikan pembusukan, dan bahkan sering menaikkan pembusukan. Hal ini terjadi karena lapisan lilin menyebabkan patogen-patogen terjebak dalam retakan dan luka-luka kecil. Pelilinan biasanya dikombinasikan dengan bahan kimia pemberantas bakteri dan cendawan. Fungisida digunakan untuk menghindari kerusakan pelapisan lilin, diserapkan dalam material pengemas atau kain keras pembalut, atau dengan cara fumigasi (Pantastico, 1986). Mekanisme pelapisan lilin adalah menutupi pori-pori buah-buahan dan sayuran yang sangat banyak. Dengan pelapisan lilin, diharapkan pori-pori dari buah-buahan dan sayuran dapat ditutup sebanyak ± 50%, sehingga dapat mengurangi keaktifan enzim-enzim pernafasan, memperlambat proses fisiologis, dan mengurangi kehilangan air (Setiasih 1999). Lapisan lilin untuk komoditi hortikultura segar harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tidak berpengaruh terhadap bau dan rasa komoditi, tidak beracun, mudah kering dan tidak lengket, tidak mudah pecah, mengkilap, licin, dan mudah diperoleh serta harganya murah. (Muchtadi, Sugiyono 1992). Pelapisan lilin akan lebih baik apabila digabungkan dengan penggunaan fungisida (Satuhu, 2002). Jenis fungisida yang sering digunakan pada beberapa produk hortikultur saat pelapisan lilin seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis fungisida pada pelapisan lilin
a
Jenis fungisida
Konsentrasi (%)
Komoditi
Benlate
0.1
Tomat, pisang, jeruk
SOPP
0.5
Pisang, wortel, kentang, jambu biji, pepaya
Thiobendazole
0.1-0.2
Cabe, mangga, papaya
Chlorax
0.2
Ketimun, tomat
FLITT-406
0.4
Pisang, jambu biji, Tomat, cabe, nenas
Satuhu, 2002, Setyowati, Budiarti (1992)
18
Konsentrasi emulsi lilin optimal beberapa komoditas hortikultura berdasarkan data Sub Balai Penelitian Hortikultura Pasar Minggu dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Konsentrasi emulsi lilin optimal beberapa komoditas hortikultura
a
Komoditas
Konsentrasi Optimal
Alpukat
4
Apel
8
Cabe
12
Jeruk
12
Kentang
12
Mangga Alphonso
6
Nenas
6
Papaya
6
Pisang raja
9
Tomat
9
Wortel
12
Sub Balai Penelitian Hortikultura Pasar Minggu dalam Nugroho (2002).
19