II. TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI KELAPA Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan satu-satunya spesies dari genus cocos. Varietas tanaman kelapa banyak sekali, tetapi umumnya dibedakan atas dua golongan yaitu kelapa genjah (Dwarf coconut) dan kelapa dalam (Tall coconut). Kelapa varietas dalam diantaranya adalah kelapa dalam afrika (West african tall), kelapa dalam bali, kelapa dalam palu, dan kelapa dalam tengah. Varietas genjah diantaranya kelapa genjah kuning nias (Nias yellow dwarf), kelapa genjah merah Malaya (Malaya red dwarf) (Santoso dan Mansyur, 1982). Kelapa varietas dalam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kelapa genjah diantaranya produksi kopra lebih tinggi, daging buah tebal, dan lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Kekurangannya yaitu lambat berbuah dan produksi tandan buah sedikit. Tanaman kelapa merupakan tanaman dataran rendah yang sering disebut tanaman pantai. Pada ketinggian sampai 450 m di atas permukaan laut, tanaman kelapa tumbuh subur dengan produksi buah yang banyak. Semakin rendah tempat tumbuh tanaman kelapa, semakin cepat waktu berbuah. Tanaman kelapa masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang dibutuhkan antara 1250-2500 mm per tahun dan distribusinya merata sepanjang tahun. Suhu optimum untuk tanaman kelapa sekitar 27 oC dan membutuhkan banyak sinar matahari. Diperkirakan bahwa penyinaran selama 200 jam per tahun dan 120 jam untuk setiap bulannya merupakan faktor limit dalam pembentukan buah (Santoso dan Mansyur, 1982). Batang kelapa dapat mencapai ketinggian 20 sampai 25 m pada kelapa dalam dan 10 sampai 15 m pada kelapa genjah. Tanaman kelapa merupakan tanaman monokotil sehingga tidak mempunyai lapisan kambium. Diameter batang tanaman dewasa pada ketinggian di atas dua meter dari permukaan tanah dan selanjutnya ke atas rata-rata 30-40 cm pada kelapa dalam. Pada kelapa genjah diameter batangnya lebih kecil dari kelapa dalam dan bentuknya hampir sama dari bagian bawah sampai ke atas (Santoso dan Mansyur, 1982). Tanaman kelapa memiliki bunga jantan dan bunga betina (monocious). Bunga jantan terdapat dalam rangkaian bunga. Kelapa dalam dapat berbunga pada umur 6-7 tahun, sedangkan kelapa genjah dapat berbunga pada umur 2-3 tahun. Penyerbukan dapat terjadi oleh angin atau serangga. Tanaman kelapa genjah mulai berproduksi pada umur 3-4 tahun, sedangkan kelapa dalam pada umur 6-8 tahun (Santoso dan Mansyur, 1982). Masa panen buah kelapa berlangsung sepanjang tahun. Setiap tahun buah kelapa dapat dipanen satu, dua, atau tiga bulan sekali. Pada kebun kelapa yang dipelihara dengan baik dan dipupuk, setiap pohonnya dapat menghasilkan 80-120 buah per tahun. Pada kebun kelapa yang hanya dibersihkan dan tidak dipupuk, setiap pohonnya menghasilkan 40-60 buah per tahun (Djatmiko et al., 1981).
B. BUAH KELAPA Buah kelapa berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih sebesar kepala manusia. Buah kelapa berdasarkan umurnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu kelapa muda, kelapa setengah tua, dan kelapa tua. Buah kelapa muda berumur 6-8 bulan, kelapa setengah tua berumur 10-11 bulan, dan kelapa tua berumur 11-13 bulan (Nainggolan dan Sitinjak, 1977).
Gambar 1. Buah kelapa tua Komposisi buah kelapa tua terdiri dari 35% sabut, 12% tempurung, 28% daging buah, dan 25% air buah (Djatmiko dkk, 1981). Komposisi kimia daging buah kelapa bervariasi menurut tingkat kematangan dan varietas buah kelapa. Kadar lemak tertinggi terdapat pada buah kelapa yang tua. Komposisi kimia daging buah kelapa pada berbagai tingkat kematangan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia daging buah kelapa pada berbagai tingkat kematangan dalam 100 gram bahan Kandungan
Satuan
Muda
Setengah tua
Tua
Kal
68.0
180.0
359.0
Air
g
83.3
70.0
46.0
Protein
g
1.0
4.0
3.4
Lemak
g
0.9
15.0
34.7
Karbohidrat
g
14.0
10.0
14.0
Kalsium
g
7.0
8.0
21.0
Fosfor
mg
30.0
55.0
98.0
Besi
mg
1.0
1.3
2.0
Vitamin A
SI
0.0
10.0
0.0
Vitamin B1
mg
0.06
0.05
0.10
Vitamin C
mg
4.0
4.0
2.0
Kalori
Sumber: Direktorat Gizi (1981)
C. SANTAN KELAPA Santan kelapa merupakan cairan yang diperoleh dari perasan kelapa parut kering. Santan banyak digunakan sebagai bahan untuk mengolah berbagai masakan yang mengandung daging, ikan, ayam, dan pembuatan berbagai aneka kue (Satoto,1999). Santan dapat berwarna putih susu karena partikelnya berukuran lebih besar dari satu mikron. Santan merupakan emulsi minyak dalam air yang distabilisasi secara alamiah oleh protein (globulin dan albumin) dan fosfolipida (Tangsuphoom dan Coupland, 2008). Santan kelapa memiliki aroma yang menyenangkan. Menurut Un dan Wiekens (1970), senyawa delta-C8-laktone, delta-C10-laktone, dan n-oktanol merupakan komponen volatil utama dan memberikan karakteristik aroma pada santan kelapa.
4
Komposisi kimianya bervariasi tergantung pada varietas lokasi tumbuh, cara budi daya, kematangan buah, dan metode ekstraksi seperti jumlah penambahan air dan suhu ekstraksi. Menurut Seow dan Gwee (1997), komposisi kimia santan kelapa yang diekstraksi dengan tanpa penambahan air terdiri atas protein 2.6-4.4%; lemak 32-40%; air 50-54%; dan abu 1-1.5%. Secara alamiah santan kelapa mudah sekali rusak, umumnya hanya dapat bertahan selama 24 jam dalam penyimpanan di suhu ruang (Koswara, 2003). Kondisi tersebut disebabkan oleh komposisi kimia santan yang cocok bagi pertumbuhan mikroba. Hasil penelitian Kajs et al. (1976), menunjukkan bahwa TPC (Total Plate Count) santan mencapai batas yang menyebabkan kerusakan organoleptik (1,2 x 106 - 1,7 x 108 CFU/ml) hanya dalam waktu 6 jam pada penyimpanan di suhu 35oC. Selain kerusakan oleh mikroba, santan kelapa sangat rentan terhadap kerusakan kimia (termasuk enzimatis), khususnya melalui oksidasi lemak dan hidrolisis yang menghasilkan bau dan rasa yang tidak enak. Secara fisik santan kelapa tidak stabil dan cenderung terpisah menjadi dua fase. Menurut Tangsuphoom Coupland (2008), santan kelapa akan terpisah ke dalam fase kaya minyak (krim) dan fase kaya air (skim) dalam waktu 5-10 jam. Berbagai penelitian untuk meningkatkan stabilitas santan terhadap kerusakan baik yang disebabkan oleh mikroba, kimia, maupun fisik telah dilakukan. Perlakuan panas merupakan proses yang efektif untuk memperpanjang masa simpan santan kelapa. Pada pemanasan santan dengan suhu tinggi (80oC atau lebih) protein mengalami denaturasi yang menyebabkan ketidakstabilan emulsi santan (Peamprasart dan Chiewchan, 2006).
D. KAKAO Kakao atau coklat dengan nama ilmiah Theobroma cacao Linneaus, telah dikenal manusia sejak jaman pendudukan kuno Maya dan Astek sebagai "makanan dewa-dewa“ dan banyak dipakai pada upacara adat, resep makanan mereka, serta sebagai obat (Mao et al., 2003). Setelah penyebarannya ke seluruh dunia, kakao telah dikenal sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit, seperti anemia, sakit kepala, anoreksia, asma, diare, sakit mata, dan kelelahan (Minifie, 1999).
Gambar 2. Buah kakao
5
Menurut Tjitrosupomo (1988), klasifikasi kakao adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Dialypetalae Ordo : Malvales Famili : Sterculiaceae Genus : Theobroma Spesies : Theobroma cacao Linneaus
Tanaman kakao yang banyak dibudidaya di Indonesia adalah jenis kakao mulia atau kakao edel (fine atau flavour cocoa) yang berasal dari varietas criollo, dengan buah berwarna merah, dan jenis kakao lindak (bulk cocoa) yang berasal dari varietas forestero dan trinitario dengan warna buah hijau. Buah kakao yang telah matang ditandai dengan warna buah yang mulai berwarna oranye dari warna merah untuk kakao mulia, dan berwarna kuning dari warna hijau untuk kakao lindak. Kakao lindak merupakan kakao kualitas kedua. Namun kakao jenis ini mendominasi perkebunan Indonesia. Disamping itu, 90% kakao yang diproduksi petani belum terfermentasi serta mutunya rendah sehingga pemasok lebih senang mengekspor kakao mutu rendah tersebut dan mengimpor kakao olahan dari luar. Untuk meningkatkan daya saing, pemerintah telah mengeluarkan SNI agar produk kakao seluruhnya dilakukan fermentasi. Namun pada kenyataannya adanya monopoli dari negara pembeli kakao terbesar, membuat petani tetap menjual biji kakao non fermentasi yang bernilai rendah. Pohon kakao menghasilkan tandan bunga berwarna merah muda dan putih serta tidak begitu harum. Tandan tersebut menghasilkan buah yang masing-masing berisi 20-50 biji kakao. Biji kakao yang bermutu baik biasanya berukuran cukup besar, yaitu seberat lebih dari 1 gram per biji kering (Minifie, 1999). Biji kakao merupakan salah satu bahan yang kaya akan senyawa flavonoid diantaranya adalah senyawa flavanol yang berfungsi sebagai antioksidan. Flavonoid dalam kakao umumnya ditemukan dalam bentuk katekin, epikatekin, prosianidin, dan antosianidin. Kandungan polifenol kakao dilaporkan lebih tinggi daripada yang terdapat di dalam teh hijau, anggur merah, dan sebagainya. Banyak penelitian di dalam dan luar negeri yang telah membuktikan manfaat flavonoid kakao bagi kesehatan baik secara in vitro maupun in vivo. Di antaranya dilaporkan bermanfaat bagi kesehatan vascular, meningkatkan fungsi pembuluh darah, melindungi sel darah merah dari lisis dan kerusakan oksidatif yang erat hubungannya dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Flavonoid kakao juga dilaporkan mampu menurunkan aktivitas platelet pada kasus aterosklerosis, meningkatkan proliferasi limfosit, dan meningkatkan sistem imun.
E. KAKAO BEBAS LEMAK Kakao bebas lemak merupakan hasil samping proses ekstraksi kakao tinggi lemak. Lemak kakao banyak digunakan sebagai bahan baku farmasi dan kosmetika, sedangkan kakao bebas lemak belum banyak pemanfaatannya. Produk ini tidak begitu memiliki aroma khas coklat, agak pahit dengan kadar lemak hanya 2.59%. Pada skala laboratorium, lemak dalam bubuk kakao dapat dipisahkan dengan metode soxhlet menggunakan pelarut petroleum eter (titik didih 40-60ºC) selama 16 jam. Bubuk kakao bebas lemak kemudian dikeringkan dengan oven. Polifenol kasar dapat diekstrak dari bubuk tersebut dengan penambahan metanol absolut (1:10), kemudian dihomogenisasi.
6
Setelah disentrifugasi pada 4000 rpm selama 15 menit pada suhu dingin, diperoleh supernatan yang kemudian diuapkan untuk mendapatkan polifenol murni (Misnawi dan Selamat, 2004). Polifenol kakao paling banyak terdapat pada bubuk kakao dibandingkan pada lemak kakao. Hal ini disebabkan polifenol tersimpan di dalam sel pigmen yang menentukan warna kakao (Belitz dan Grosch, 1999). Penelitian terdahulu melaporkan adanya kandungan polifenol yang tinggi pada bubuk kakao bebas lemak yaitu sekitar 120-180g/kg dan kandungan total fenol yang cukup tinggi terdapat dalam bubuk kakao bebas lemak dari varietas bulk masak yaitu sebesar 35,5 ppm setiap 0,8 mg/ml ekstrak kakao dalam pelarut air atau sekitar 4,43 g/100 g bubuk kakao. Banyak penelitian di dalam dan luar negeri yang telah membuktikan manfaat polifenol kakao bagi kesehatan vaskular, peningkatan fungsi pembuluh darah, melindungi sel darah merah dan limfosit dari lisis, dan kerusakan oksidatif. Dengan bukti-bukti aktivitas antioksidan yang tinggi, maka peluang pemanfaatan bubuk kakao bebas lemak sebagai suplemen bahan makanan dan minuman (functional food) sangat besar.
F. ANTIOKSIDAN Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan, ataupun memadukan efek spesies oksigen reaktif (Lautan, 1997). Penggunaan senyawa antioksidan juga anti radikal saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti jantung, arteriosklerosis, kanker, dan gejala penuaan. Masalah-masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu pencetus penyakit-penyakit di atas (Tahir dkk, 2003). Beberapa metode telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir untuk menghitung total aktivitas antioksidan sampel. Metode penangkapan senyawa radikal bebas stabil DPPH dipilih karena metode ini dapat mengukur kapasitas antioksidan semua jenis substrat dalam sampel, baik substrat yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik sehingga diharapkan dapat menghasilkan hasil pengukuran yang lebih baik dibandingkan metode pengukuran aktivitas antioksidan lainnya (Vankar et al., 2002).
G. TOTAL FENOL Polifenol terbagi menjadi 3 grup, yaitu polifenol non flavonoid (hydrolysable tannins), flavonoid, dan asam fenolat (hydroxyl benzoates dan hydroxyl cinnamates). Sejumlah polifenol golongan flavonoid terdapat dalam biji kakao, termasuk di dalamnya katekin, epikatekin dan antosianin (Minifie, 1999). Flavonoid adalah komponen yang memiliki berat molekul rendah, dan pada dasarnya adalah phenylbenzopyrones (phenylchromones) dengan berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama yang saling melekat. Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzena (A dan B) yang dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron (dengan ikatan ganda) yang disebut cincin ”C” (Middleton et al., 2000). Hal ini dipertegas lagi oleh Miean dan Mohamed (2001) bahwa struktur flavonoid adalah rangkaian cincin karbon CCC. Struktur inilah yang membuat senyawa fenolik cenderung mudah larut dalam pelarut organik atau air (CIC, 2001). Flavonoid mempunyai kemampuan untuk menghambat kerja enzim lipoksigenase, prostaglandin synthase, dan cyclooxygenase. Flavonoid juga berperan sebagai antikarsinogen dan antimutagen.
H. MINERAL Sebagian besar bahan makanan yaitu sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat-zat anorganik tidak karena itulah disebut abu. Di samping sebagi komponen jaringan tubuh, mineral adalah unsur non organik yang juga
7
berfungsi dalam sistem enzim. Mineral berinteraksi dengan vitamin dan hormon dan berperan dalam fungsi fisiologis. Sekalipun dibutuhkan dalam jumlah kecil, keberadaan mineral dalam tubuh sangat penting. Menurut Christensen (1982), klasifikasi mineral membantu pemahaman akan peranan zat gizi. Mineral yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar disebut makromineral atau mineral utama, contohnya natrium, klorida, kalsium, fosfor, magnesium, dan belerang. Mineral yang dibutuhkan dalam jumlah yang relatif sedikit disebut sebagai mikromineral yaitu besi, iodium, mangan, litium, molibdenum, nikel, selenium, dan lain-lain. Makromineral berfungsi sebagai bagian penting dalam struktur sel dan jaringan keseimbangan cairan dan elektrolit serta berfungsi di dalam cairan tubuh baik interseluler maupun ekstraseluler. Makromineral dibutuhkan dalam konsentrasi yang lebih besar dari 100 ppm (part per million). Mikromineral berfungsi sebagai bagian dari struktur suatu hormon agar sebagian enzim dapat berfungsi secara maksimal dan dibutuhkan dalam jumlah yang kurang dari 100 ppm (Christensen, 1982). Mineral tidak seperti asam amino ataupun vitamin, yaitu tidak dapat hancur akibat terpapar panas, agen pengoksidasi, pH yang ekstrim, dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi nutrisi organik. Mineral bersifat indestructible (Fennema, 1996).
1. Kalsium (Ca) Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1.5 - 2 % dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Dari jumlah ini, 99% berada di dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit (3Ca 3(PO4)2.Ca(OH)). Hidroksiapatit merupakan kristal mineral yang terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi kalsium fosfat dan kalsium hidroksida. Kristal mineral ini terbentuk melalui proses kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Selebihnya kalsium tersebar luas di dalam tubuh (Almatsier, 2001). Ca merupakan salah satu makro mineral penting dalam tubuh manusia. Fungsi kalsium adalah untuk kekuatan tulang dan gigi, membantu pembekuan darah, transmisi impulse syaraf, kontraksi otot, dan membantu regulasi sel. Kebutuhan kalsium per orang per hari bagi orang dewasa sekitar 800 mg. Dalam hal pembekuan darah, menurut Wardlaw (1999) ion kalsium berpartisipasi dalam beberapa reaksi di dalam darah yang mengarah pada pembentukan fibrin, komponen protein utama pada pembekuan darah, misalnya perubahan protrombin menjadi trombin memerlukan kalsium. Tanpa kalsium yang cukup dalam darah, pembekuan darah tidak akan terjadi.
2. Kalium (K) Tubuh seorang dewasa mengandung kalium (250 g) dua kali lebih banyak dari natrium (110 g). Berbeda dengan natrium, kalium biasanya lebih banyak berada di dalam sel daripada di luar sel sehingga lebih mudah menyimpan dan menjaganya. Komposisi kalium juga biasanya tetap sehingga digunakan sebagi indeks untuk lean body mass (bagian badan tanpa lemak). Peranan kalium mirip dengan natrium. Jika natrium bersama sengan klorida membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa dalam cairan ekstraseluler, maka kalium menjaga tekanan osmotik dalam cairan intraseluler dan sebagian terikat dengan protein. Kalium juga membantu mengaktivasi reaksi enzim, seperti piruvat kinase yang dapat menghasilkan asam piruvat dalam proses metabolisme karbohidrat. Seperti halnya natrium, kalium mudah sekali diserap tubuh; diperkirakan 90% dari yang dicerna akan diserap dalam usus kecil. Kalium merupakan kation penting dari dalam cairan intraseluler yang berperan dalam kesetimbangan pH dan osmolasitas. Tubuh manusia mengandung 2.6 mg kalium per kilogram berat
8
badan bebas lemak, sedangkan sel-sel syaraf dan otot mengandung banyak kalium. Kalium memiliki kemampuan menerobos membran sel lebih besar dibandingkan dengan natrium. Ion kalium diperlukan dalam metabolisme karbohidrat dan protein, namun mekanismenya belum jelas diketahui. Pembentukan glikogen dan degradasi glukosa memerlukan kalium. Pengaruh kekurangan kalium terutama pada otot yaitu lemah urat dan dapat menimbulkan kelumpuhan (Suhardjo, 1982).
3. Fosfor (P) Fosfor merupakan mineral terbanyak kedua setelah kalsium. Fosfor dalam bentuk fosfat merupakan salah satu komponen penyusun DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dan RNA (Rybo Nucleic Acid) dan juga penyusun membran sel yang membantu menjaga permeabilitas membran sel (Winarno, 2008). Dalam bahan pangan, fosfor terdapat dalam berbagai bahan organik, misalnya senyawa ester fosfat organik yang tidak dapat dimanfaatkan tubuh karena usus manusia relatif kekurangan enzim fosfatase yang penting untuk hidrolisis senyawa tersebut. Senyawa ester fosfat organik tersebut juga menurunkan penyerapan kalsium dengan membentuk garam kalsium yang tidak larut di dalam usus (Muchtadi, 1993).
I. ASAM LEMAK BEBAS Keberadaan asam lemak bebas dalam lemak/minyak biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan lemak/minyak karena proses hidrolisis. Pembentukan asam lemak bebas akan mempercepat kerusakan oksidatif lemak/minyak karena asam lemak bebas mudah teroksidasi jika dibandingkan dalam bentuk ester. Jumlah asam lemak bebas pada contoh ditunjukkan dengan bilangan asam yang biasanya dinyatakan sebagai jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak. Bilangan asam ditentukan dengan reaksi penyabunan, yaitu dengan cara mereaksikan lemak/ minyak dengan basa seperti KOH atau NaOH.
J. ANALISIS PEROKSIDA Asam lemak bebas dalam contoh lemak/minyak mudah mengalami reaksi oksidasi. Stabilitas oksidasi asam lemak sangat tergantung pada jumlah ikatan rangkapnya. Semakin banyak ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak, maka stabilitas oksidatif asam lemak tersebut semakin rendah. Selain dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkapnya, stabilitas oksidasi asam lemak dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi oksigen, cahaya, logam, aktivitas air, pro-oksidan, antioksidan, dan katalis (Winarno, 2008). Reaksi oksidasi terjadi melalui beberapa tahap, yaitu tahap inisiasi, tahap propagasi, dan terminasi. Radikal bebas yang terbentuk di tahap awal reaksi (tahap inisiasi) dapat bereaksi dengan oksigen dan menghasilkan senyawa peroksida. Keberadaan senyawa peroksida ini digunakan sebagai indikator terjadinya oksidasi lemak/minyak. Keberadaan senyawa peroksida pada lemak/minyak dapat ditentukan dengan metode spektrofotometri atau titrimetri. Penentuan peroksida dengan metode spektrofotometri dilakukan berdasarkan pengukuran senyawa berwarna hasil reaksi dari senyawa peroksida dengan senyawa tertentu. Penentuan peroksida dengan metode titrimetri dilakukan dengan mengukur sejumlah iod yang dibebaskan dari KI melalui reaksi oksidasi oleh peroksida di dalam pelarut asam asetat/kloroform. Iod yang berhasil dibebaskan ditentukan jumlahnya dengan menggunakan larutan Na2S2O3 yang bereaksi dengan I2 yang berhasil dibebaskan oleh peroksida. Semakin tinggi bilangan peroksida menunjukkan bahwa jumlah peroksida semakin banyak dan dapat diduga bahwa tingkat reaksi oksidasi semakin tinggi.
9