4
TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Upaya klasifikasi kelapa sawit sudah dimulai sejak empat abad yang lalu (abad ke-16) dan dilanjutkan pada abad-abad selanjutnya. Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika. Asal tanaman kelapa sawit (Elaeis giuneensis jacq.) secara pasti belum bisa diketahui. Namun, ada dugaan kuat tanaman ini berasal dari dua tempat, yaitu Amerika Selatan dan Afrika (Guenia). Spesies Elaeis melanococca atau Elaeis oleivera diduga berasal dari Amerika Selatan dan spesies Elaeis guineensis berasal dari Afrika (Guenia). Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Bibit kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1848 berasal dari Mauritus dan Amsterdam sebanyak empat tanaman yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan selanjutnya disebarkan ke Deli Sumatera Utara (Lubis, 1992). Perkebunan kelapa sawit
pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera
Utara oleh Schad (Jerman) pada tahun 1911. Taksonomi kelapa sawit adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Angiopspermae
Sub kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Spadiciflorae
Keluarga
: Palmaceae
Sub keluarga : Cocoideae Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis guineensis Jacq.
5
Morfologi Kelapa sawit Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil. Batangnya lurus, tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium tingginya dapat mencapai 15-20 m (Lubis, 2008). Tanaman ini berumah satu atau monoecious, bunga jantan dan bunga betina berada pada satu pohon. Bagian vegetatif terdiri atas akar, batang, dan
daun,
sedangkan
bagian
generatifnya
yakni
bunga
dan
buah
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Akar Calon akar muncul dari biji kelapa sawit yang dikecambahkan disebut radikula, panjangnya dapat mencapai 15 cm dan mampu bertahan sampai 6 bulan (Lubis, 2008).
Akar primer yang tumbuh dari pangkal batang (bole) ribuan
jumlahnya, diameternya berkisar antara 8 dan 10 mm. panjangnya dapat mencapai 18 cm. Akar sekunder tumbuh dari akar primer, diameternya 2-4 mm. Dari akar sekunder tumbuh akar tersier berdiameter 0.7-1.5 mm dan panjangnya dapat mencapai 15 cm (Lubis, 2008). Batang Batang
membengkak
pada
pangkal
(bole),
bongkol
ini
dapat
memperkokoh posisi pohon pada tanah agar dapat berdiri tegak (Sastrosayono, 2008). Dalam satu sampai dua tahun pertama pertumbuhan batang
lebih
mengarah kesamping, diameter batang dapat mencapai 60 cm. setelah itu perkembangan ke atas dapat mencapai 10 – 11 m dengan diameter 40 cm. Menurut Lubis (2008) pertumbuhan meninggi ini berbeda - beda untuk setiap varietas. Daun Daun pertama yang tumbuh pada stadium benih berbentuk lanset (lanceolate), kemudian muncul bifurcate dan setelah dewasa berbentuk menyirip (pinnate) ( Lubis, 2008). Pada tanaman dewasa dapat menghasilkan 40-60 daun dengan laju dua daun /bulan dan satu helai daun hidup fungsional dua tahun. Panjang daun bisa mencapai 5-7 m terdiri dari : satu tulang daun (rachis), 100-160
6
pasang anak daun linear, dan
satu tangkai daun (petiole) yang berduri
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Bunga Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12-14 bulan, tetapi baru ekonomis untuk di panen pada umur 2,5 tahun (Lubis, 2008). Bunga kelapa sawit merupakan monoecious, bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon. Satu inflor dibentuk dari ketiak setiap daun setelah diferensiasi dari pucuk batang. Jenis kelamin jantan atau betina ditentukan 9 bulan setelah inisiasi dan selang 24 bulan baru inflor bunga berkembang sempurna. Bunga-bunga betina dalam satu inflor membuka dalam tiga hari dan siap dibuahi selama 3-4 hari. sedangkan bungabunga yang berasal dari inflor jantan melepaskan serbuk sarinya dalam lima hari. Penyerbukan yang umum terjadi biasanya penyerbukan silang namun kadang juga sendiri (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Buah Buah kelapa sawit adalah buah batu yang sessile (sessile drup), menempel dan menggerombol pada tandan buah. Jumlah per tandan dapat mencapai 1600, berbentuk lonjong membulat. Panjang buah 2-3 cm, beratnya 30 gram. Bagianbagian buah terdiri atas eksokarp atau kulit buah dan mesokrap atau sabut dan biji. Eksokarp dan mesokarp disebut perikarp. Biji terdiri atas endocarp atau cangkang, dan inti atau kernel. Sedangkan inti tersebut terdiri dari endosperma dan embrio (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Biji Biji merupakan bagian buah yang telah terpisah dari daging buah dan sering disebut noten atau nut yang memiliki berbagai ukuran tergantung tipe tanaman (Lubis, 2008). Biji kelapa sawit terdiri atas cangkang, embryo dan inti atau endosperm. Embrio panjangnya 3 mm berdiameter 1,2 mm berbentuk silinderis seperti peluru dan memiliki dua bagian utama. Bagian yang tumpul permukaannya berwarna kuning dan bagian lain agak berwarna kuning. Endosperm merupakan cadangan makanan bagi pertumbuhan embryo. Pada
7
perkecambahan embrio berkembang dan akan keluar melalui lubang cangkang (germpore). Bagian pertama yang muncul adalah radikula (akar) dan menyusul plumula (batang) (Lubis, 2008). Ekologi kelapa Sawit Curah hujan Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit adalah diatas 2000 – 2500 mm/tahun, tidak mengalami defisit air dan merata sepanjang tahun (Lubis, 2008). Sedangkan menurut Buana, Siahaan dan Adiputra (2003), curah hujan rata-rata tahunan yang memungkinkan untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1250-3000 mm merata sepanjang tahun, curah hujan optimal berkisar 1750-2500 mm. Penyinaran matahari Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman heliofil atau menyukai cahaya matahari. Penyinaran matahari sangat berpengaruh terhadap perkembangan buah kelapa sawit. Tanaman yang ternaungi karena jarak tanam yang sempit, pertumbuhannya akan terhambat karena hasil asimilasinya kurang. Penyinaran sinar matahari yang baik untuk pertumbuhan kelapa sawit yakni 5 – 7 jam/hari (Lubis, 2008). Tanah Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik dibanyak jenis tanah seperti podsolik, latosol, hidromofik kelabu, regosol, andosol, organosol dan alluvial. Hal yang penting bagi tanaman kelapa sawit adalah tidak kekurangan air pada musim kemarau dan tidak tergenang air pada musim hujan (drainase baik) (Hartley, 1977). Di lahan-lahan yang permukaan air tanahnya tinggi atau tergenang, akar akan busuk. Selain itu pertumbuhan batang dan daunnya tidak mengindikasikan produksi buah baik. Kesuburan tanah bukan merupakan syarat mutlak bagi perkebunan kelapa sawit.
8
Suhu Suhu berpengaruh pada produksi dan melalui pengaruhnya terhadap laju reaksi biokimia dan metabolisme dalam tubuh tanaman. Suhu 20°C merupakan batas minimal dan suhu 33°C merupakan suhu maksimum, bagi pertumbuhan vegetatif
dan suhu rata-rata tahunan sebesar 22-23°C (Buana et al., 2003).
Sedangkan menurut Lubis (2008) temperatur yang optimal bagi tanaman kelapa sawit 24-28°C, terendah 18°C dan tertinggi 32°C. Kelembaban 80% dan kecepatan angin 5 – 6 km/jam. Tehnik Budidaya Kelapa Sawit Teknik pembukaan lahan 1. Cara mekanis Pembukaan lahan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan traktor. Mula-mula, tunggul-tunggul kayu ditumbangkan dengan buldoser dan didorong sampai tepi jurang. Tujuan penempatan pohon ditepi jurang untuk menghalangi mengalirnya topsoil (tanah bagian atas) kedalam jurang jika terjadi hujan. Setelah itu, tanah yang datar dicangkul dengan traktor. Lahan yang kemiringannya lebih dari 18% tidak ditraktor karena dikhawatirkan terjadi erosi ketika hujan atau traktornya bisa terguling (Buana et al., 2003). 2. Cara kimia Persiapan lahan dengan bahan kimia dilakukan pada areal lahan berupa padang ilalang atau lahan-lahan yang kemiringannya lebih dari 18%. Penyemprotan bahan kimia dilakukan pada musim kemarau. Bahan kimia yang dipakai adalah bahan yang bersifat sistemik, seperti bustofan, glyphosate, dowpon, dan dalapon (Lubis, 2008). 3. Pemasangan ajir Ajir adalah kayu atau bambu yang ditancapkan ditempat-tempat yang akan ditanami tanaman kelapa sawit. Ajir ini sebagai tanda bagi kontraktor atau buruh untuk membuat lobang tanam. Jarak tanam yang dipakai 9 x 9 x 9 meter dengan
9
pola segitiga sama sisi sehingga dalam satu hektar ada 142 tanaman (Setyamidjaja, 2006). Barisan dibuat dari arah utara ke selatan, kecuali dilereng-lereng dan puncak-puncak gunung yang curam dibuat searah kontur. Pemasangan ajir ini tidak mudah karena selain memperhatikan kelurusan barisan tanaman, juga serongannya. Pemasangan ajir disisi timur atau barat sebagai tanam patokannya (Buana et al., 2003). 4. Pembuatan lubang tanam Lubang tanam dibuat minimal dua minggu sebelum tanam agar mudah diperiksa jumlah maupun ukurannya, tanah cukup matang, dan tidak terburu-buru waktu tanam. Pada titik pancang dibuat lubang 60 x 60 x 60 cm3. Tanah atas (top soil) hasil galian diletakan disebelah kanan dan sub soil di sebelah kiri (Lubis, 2008). 5. Menanam tanaman penutup tanah (legum cover crop) Penanaman tanaman penutup tanah, baik yang dilakukan sebelum maupun sesudah bibit ditanam, merupakan usaha yang sangat dianjurkan di perkebunan kelapa sawit. Jenis tanaman penutup tanah biasanya dipilih dari jenis kacangkacangan (legum) seperti Calopogonium mucunoides, Pueraria javanica, Mucuna bracteata, Centrosema pubescens. Tanaman penutup tanah bermanfaat sebagai penghindar tanah dari bahaya erosi, guguran daun dan bintil akarnya bisa memberi tambahan unsur Nitrogen (N) pada tanah dan sebagai bahan organik untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan alang-alang dan gulma lain, dapat menghisap banyak air agar pada lokasi rendah tanahnya kering (Lubis, 2008). Pembibitan Bibit merupakan bahan tanaman yang siap untuk ditanam di lapangan. bibit bisa berasal dari organ reproduktif (benih) atau hasil perbanyakan vegetatif (ramet) (Buana et al., 2003). Pembibitan merupakan cara atau usaha yang dilakukan untuk mengecambahkan bahan tanaman agar menjadi bibit yang bermutu dan berkualitas serta siap untuk ditanam. Pembibitan merupakan awal kegiatan lapang yang harus dimulai setahun sebelum penanaman dimulai (Lubis,
10
2008). Pembibitan bertujuan untuk menghasilkan bibit berkualitas tinggi yang harus tersedia pada saat penyiapan lahan tanam telah selesai (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Sedangkan menurut Buana, Siahaan dan Adiputra (2003) sasaran akhir dari kegiatan pembibitan adalah menyediakan bibit yang asli dan jagur. Bibit kelapa sawit yang asli dan jagur merupakan jaminan untuk memperoleh kebun dengan produktivitas tinggi. Pembibitan kelapa sawit merupakan langkah permulaan yang sangat menentukan keberhasilan penanaman di lapangan, sedangkan bibit unggul merupakan modal dasar dari perusahaan untuk mencapai produktivitas dan mutu minyak kelapa sawit yang tinggi (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Menurut Lubis (2008) ditinjau dari luasnya memang pembibitan relatif kecil tetapi volume kerja cukup padat dan biayanya cukup besar. Untuk pemeliharaan pembibitan diperlukan 5 sampai 6 orang setiap hari setiap hektar. Diperlukan dana sebanyak 20 – 25 juta rupiah per ha pembibitan setiap tahun (Lubis, 2008). Pembibitan diperlukan karena benih tanaman kelapa sawit tidak dapat di tanam secara langsung dilapangan, terlebih dahulu harus dilakukan pengelolaan pembibitan agar hasilnya maksimal. Menurut Pahan (2008) alasan diperlukannya pembibitan terutama pada kelapa sawit yakni : 1). Keadaan kecambah kelapa sawit yang mudah diserang insekta, tikus dan hama lain, 2). Bahan tanaman memerlukan ketegakan habitusnya sehingga tidak miring atau roboh, serta 3). Pembibitan diperlukan untuk memperpendek waktu
antara
persiapan lapangan dan penanaman pertama sehingga begitu lahan siap tanam bibit sudah siap untuk ditanam. Baik pembibitan pendahuluan maupun pembibitan utama memerlukan lokasi yang baik dan aman (Lubis, 2008). Menurut Lubis (2008) hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan areal pembibitan yakni : 1). Dekat dari sumber air, tersedia air sepanjang tahun namun tidak kebanjiran waktu musim hujan, 2). Dekat dari pengawasan dan mudah untuk dikunjungi, 3). Tidak jauh dari areal yang akan ditanami jika mungkin ditengah lokasi untung mengurangi biaya pengangkutan, 4). Dekat dari sumber tanah untuk pengisian kantong plastik (top soil), 5). Jika areal bergelombang atau berbukit perlu dibuat teras-teras yang sesuai dengan kemiringannya, 6). Perlu dibuat barak pekerja agar mudah diawasi.
11
Biji kelapa sawit secara normal tidak dapat berkecambah dengan cepat karena adanya sifat dormansi (Sastrosayono, 2008). Menurut Pahan (2008) jika benih langsung ditanam pada tanah atau pasir maka persentase daya kecambahnya setelah 3-6 bulan hanya 50%. Untuk mematahkan dormansi dapat dilakukan dengan pemeraman tandan buah (fermentasi I) selama tiga hari untuk merontokan buah dan pemeraman kedua (fermentasi II) selama tiga hari (Satrosayono, 2008). Setelah daging dalam sabut membusuk, bijinya dipisahkan dikeringkan dan disimpan selama dua bulan (Satrosayono, 2008). Pertumbuhan bibit pada mingguminggu pertama sangat tergantung pada cadangan makanan di dalam endosperm (minyak inti). Cadangan makanan tersebut berisi karbohidrat, lemak dan protein. Menurut Pahan (2008) faktor utama dalam perencanaan dan pengelolaan pembibitan dilakukan atas dasar : 1). Pemusatan pembibitan yang permanen di satu tempat dengan pembibitan yang tersebar dibeberapa tempat, 2). Pembibitan dilakukan di lapangan (tanah) dengan pembibitan yang dilakukan dalam polibeg, 3). Pembibitan sistem polibeg satu tahap (single step nursery) dengan pembibitan sistem dua tahap (double step nursery). 1. Sistem pembibitan Pembibitan kelapa sawit telah banyak mengalami kemajuan yang sangat berarti. Menurut Lubis (2008) sampai tahun 1963 pembibitan masih menggunakan bibit tanam (field nursery). Kecambah ditanam dalam bak pasir selama satu bulan kemudian ditanam langsung di tanah pada lokasi pembibitan. Sistem ini sudah tidak digunakan lagi karena memiliki banyak kelemahan dan tidak efisien. Kemudian sistem pembibitan berkembang dengan menggunakan keranjang yang terbuat dari bambu dan pelepah kelapa sawit. Namun kesukaran memperoleh bambu dan pelepah serta keranjang yang cepat rusak menjadi kendala baru sehingga sejak tahun 1965 keranjang diganti dengan dengan kantong plastik hitam (black polythene). Setelah ditemukannya plastik tersebut mulai muncul dua sistem pembibitan kelapa sawit yakni sistem langsung atau sistem pembibitan langsung di lapangan dan sistem tidak langsung, pre nursery dan main nursery (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Menurut Pahan (2008) umumnya pembibitan di lapangan tidak dipakai lagi karena memerlukan areal yang luas dan
12
perawatan yang lebih intensif pada fase-fase awal penanaman kecambah. Selain itu, sistem langsung pemindahan bibit dari pembibitan akan sulit. Pembibitan secara tidak langsung terbagi antara pre nursery dan main nursery. a. Pre nursery Pada pre nursery atau pembibitan awal dapat dilakukan pada bedenganbedengan yang tanahnya ditinggikan sampai mencapai 35 cm atau bibit ditanam dalam polibeg kecil berupa tanah bagian atas (top soil) yang sudah dibersihkan (Sastrosayono, 2008). Ciri utama pembibitan tahap awal adalah penggunaan kantong plastik berukuran kecil, sehingga jumlah bibit per ha areal pembibitan menjadi banyak. Untuk areal pembibitan dipilih lahan yang rata dan datar (tidak miring), berdrainase lancar, dekat sumber air, tetapi tidak rawan banjir (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Pada pre nursery bibit ditanam dan disusun rapat sampai berumur 3-4 bulan (Lubis, 2008). Dalam waktu 3-4 bulan pertama dari pertumbuhan bibit diperlukan naungan agar intensitas cahaya yang diterima bibit sekitar 40% (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Bibit ditanam pada kantong plastik kecil berukuran 14 x 22 cm rata dengan tebal 0,07 mm. tanah yang diisikan adalah tanah atas (top soil) yang disaring. Kecambah ditanam dengan plumula menghadap ke atas dan radikula ke bawah sedalam 2-3 cm (Lubis, 2008). Pembibitan awal merupakan tahap yang menentukan keberhasilan dalam pengelolaan bahan tanaman selanjutnya (Buana et al., 2003). Pemeliharaan bibit di pembibitan awal
dilakukan dengan pengisian dan
penyusunan polibeg, alih tanam, penyiraman, pengendalian gulma, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan seleksi bibit (Pahan, 2008). Setelah pembibitan awal bibit dipindahkan ke pembibitan utama (main nursery). b. Main nursery Pada pembibitan utama (main nursery) bibit dari pembibitan awal dipindahkan ke kantong pelastik yang lebih besar berukuran 40 x 50 cm pada umur sekitar empat bulan (Sastrosayono, 2008). Pelaksanaan transplanting dari pembibitan awal ke pembibitan utama merupakan tahap krusial dan memerlukan perhatian yang lebih (Buana et al.,2003). Pada main nursery bibit diletakkan dengan jarak tanam 90 x 90 x 90 cm atau dalam satu ha bersisi sebanyak 12 000
13
bibit (Lubis, 2008). Pemeliharaan bibit di pembibitan utama hampir sama dengan pembibitan awal dilakukan dengan pengisian dan penyusunan polibeg, alih tanam, penyiraman, pengendalian gulma, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan seleksi bibit (Pahan, 2008). 2. Penyiraman bibit Ketersediaan air sangat penting bagi pertumbuhan bibit. Pemberian air juga memerlukan perhatian dan ketelitian, karena baik kelebihan atau kekurangan air sama-sama berdampak negatif (Buana et al.,2003). Pemberian air biasa dilakukan dengan sederhana, sprinkler irrigation, dan drip irrigation. Frekuensi dan banyaknya air siraman ditentukan oleh pola curah hujan di lokasi pembibitan. Bibit memerlukan air 6-8 mm curah hujan per hari (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Pada pembibitan awal (pre nursery) Bibit memerlukan penyiraman sebanyak 0,25-0,50 liter/bibit dua kali sehari pada pagi dan petang (Lubis, 2008). Selain itu penyiraman harus dilakukan secara hati-hati agar kecambah atau bibit tidak terbongkar. Sedangkan standar penyiraman pada pembibitan utama (main nursery) ada pada Tabel 1: Tabel 1. Standar Penyiraman Bibit pada Pembibitan Awal Umur bibit (Bulan)
Kebutuhan air (liter/pokok/hari)
0–3
1 (dengan sprinkler 1,5 jam)
3–6
2 (dengan sprinkler 1 jam dan 45 menit)
6 – 12
3 (dengan sprinkler 2-3 jam)
3. Pemupukan Persediaan hara yang tersimpan dalam biji segera habis pada awal pertumbuhan kecambah bibit, sehingga kebutuhan unsur hara selanjutnya harus dipenuhi dengan pemupukan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Pemberian pupuk pada bibit sangat jelas memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan namun jika pemberian berlebihan akan berpengaruh menekan pertumbuhan (Lubis, 2008). Interaksi antara unsur N, P, K, sangat nyata berbeda dan bibit sangat peka terhadap perubahan perimbangan antara unsur-unsur hara (Thomas dan Hardon, 1968 dalam Lubis, 2008). Bibit kelapa sawit sangat cepat pertumbuhannya dan
14
membutuhkan banyak pupuk. Pupuk yang digunakan bisa pupuk tunggal maupun majemuk (Pahan, 2008). Pada pembibitan awal (Pre nursery) Bibit muda memerlukan pupuk agar tumbuh lebih baik. Pupuk urea (0,20%) dapat disemprotkan sekali seminggu dimana campuran lima liter cukup untuk 100 bibit (Lubis, 2008). Untuk pembibitan utama pupuk yang digunakan ada pada Tabel 2: Tabel 2. Standar Pemupukan pada Pembibitan Utama Umur (Minggu)
Jenis Pupuk (gram/pokok) 15-15-6-4
2 dan 3
2,5
4 dan 5
5,0
6 dan 8
7,5
10 dan12
10,0
14, 16, 18, dan 20 19 dan 21 22, 24, 26, dan 28 23 dan 25 30, 32, 34, dan 36 27, 29, dan 36 38 dan 40
12-12-17-2
Kieserite
10,0 -
5,0
15,0
-
-
7,5
20,0
-
-
10,0
25,0
Sumber : Fidber Chan dan E. L. Tohing (1982): Pemupukan bibit kelapa sawit
4. Pengendalian gulma Pengendalian gulma bisa dilakukan baik pada pembibitan awal maupun pembibitan utama (Sastrosayono, 2008). Pengendaliannya dapat dilakukan dengan manual dengan tangan yakni mencabut gulma pada kantong plastik sekali dalam dua minggu atau dengan kored dan garu untuk wilayah di sekitar kantong bibit dengan siklus 2-3 minggu (Lubis, 2008). Apabila dengan cara kimia bisa menggunakan herbisida ametrin, simazin, dan diuron 2 - 2,5 kg dilarutkan dalam 500 liter air untuk 1ha (Lubis, 2008). Jenis-jenis gulma diantaranya : Ageratum conyzoides, Cynodon dactylon, Axonopus compressus, Cyperus rotundus,Boreria latifolia, Mimosa sp., dan lain-lain (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
15
5. Pengendalian hama dan penyakit Untuk mendapatkan bibit yang sehat dan prima pengendalian hama dan penyakit sangat penting. Dalam pelaksanaannya diperlukan pengenalan yang baik, tanda serangan awal, tindakan preventif yang akan diambil dan tindak lanjut (Lubis, 2008). Secara umum ada tiga jenis gangguan yang dapat menghambat pertumbuhan bibit, yaitu serangan hama, penyakit yang disebabkan oleh patogen, dan penyakit fisiologis (Pahan, 2008). Hama umumnya merupakan jasad makro yang kasat mata, sedangkan penyakit biasanya disebabkan oleh jasad renik seperti cendawan, bakteri dan lain-lain. Pada umumnya serangan hama di pembibitan tidak berarti, tetapi kadang-kadang dapat merugikan. Beberapa hama merugikan diantaranya : Tungau, jangkrik, belalang, ulat, kumbang, semut dan siput (Lubis, 2008). Penyakit yang menyerang pembibitan diantaranya penyakit fisiologis (karena kekurangan unsur hara) dan yang disebabkan pathogen seperti penyakit : blast,
Anthracnose,
Helminthosporium
dan
penyakit-penyakit
daun
(Melanconium, Corticium dan lain-lain) (Setyamidjaja, 2006). 6. Transplanting (alih tanam) Transplating dilakukan setelah tanaman berumur 3-4 bulan (pre nursery) dan transplanting ke lapangan setelah 10-12 bulan. Alih tanam bibit harus per nomor kelompok supaya tidak tercampur dengan kelompok bibit lainnya (Pahan, 2008). Menurut Hartley (1977) pemindahan bibit ke lapangan sangat dipengaruhi kesehatan bibit di pembibitan. Hanya bibit yang sehat dan jagur saja yang dipindahkan (alih tanam) agar bisa tumbuh dan beradaptasi dengan baik (Lubis, 2008). 7. Standar pertumbuhan bibit Angka standar pertumbuhan bibit sangat diperlukan sebagai pelaksana pembibitan guna melihat perkembangan pertumbuhan bibitnya. Menurut Lubis (2008) bibit dapat hidup sendiri setelah umur tiga bulan dimana akar primer dan sekunder telah terbentuk dan pada saat ini penggemukan batang sudah dimulai. Daun berubah-ubah bentuknya dari lanceolate menjadi bifurcate dan kemudian berbentuk pinnate pada umur 5-6 bulan. Fotosintesis dimulai pada umur satu
16
bulan yaitu ketika daun pertama telah terbentuk dan selanjutnya secara berangsurangsur peranan endosperm sebagai suplai bahan makanan mulai tergantikan. Pertumbuhan bibit banyak dipengaruhi jenis persilangan, tindakan kultur teknis, media tanah, jarak tanam, pemupukan, hama penyakit, penyiraman dan lain-lain (Lubis, 2008). Beberapa standar pertumbuhan bibit dilihat dari beberapa komponen seperti : 1). Tinggi tanaman yang diukur dari pangkal atau dasar batang sampai ke ujung daun termuda yang telah kembang. Terlebih dahulu daun ditegakan ke atas lalu diukur dalam cm. 2). Batang yang diukur dengan menggunakan kaliper sehingga diameternya diperoleh atau dengan melilitkan tali pengukur sehingga dapat diketahui lingkarannya. 3). daun yang dihitung dari banyaknya daun yang ada dan hanya daun yang sudah berkembang yang dihitung. Standar pertumbuhan bibit ada pada Tabel 3: Tabel 3. Standar Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit di Pembibitan Umur
Tinggi (cm)
(Bulan)
Batang/diameter (cm)
Banyak daun
4,5
26,0
±
1,3
1,30
±
0,02
5,0
±
0,2
6
39,9
±
1,1
1,84
±
0,02
8,6
±
0,2
7
52,2
±
1,4
2,70
±
0,12
10,8
±
0,3
8
64,3
±
0,6
3,56
±
0,04
11,0
±
0,0
9
88,3
±
2,5
4,50
±
0,15
13,3
±
0,3
10
101,9
±
5,1
5,96
±
0,33
15,8
±
0,1
11
144,1
±
3,9
5,84
±
0,14
15,6
±
0,3
12
126,9
±
7,0
6,02
±
0,24
15,8
±
0,4
Sumber : Lubis, Adlin U (1974): Standar Pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan. Laporan Intern Pusat Penelitian Marihat, P. Siantar, Indonesia
8. Seleksi bibit Tidak semua bibit yang disemaikan di pembibitan awal dan dipelihara di pembibitan utama akan berkembang menjadi bibit yang unggul. Sekitar 25% dari jumlah benih yang akan disemaikan akan di afkir dari pembibitan karena tumbuh abnormal (Darmosarkoro et al., 2008). Keberadaan tanaman abnormal di lapangan sangat merugikan. Hal ini dikarenakan pohon tersebut tidak dapat berproduksi, dan bila berproduksi hanya 25-50% dari produksi tanaman normal. Jika
17
dilapangan dijumpai tanaman abnormal 5% maka kerugian produksi akan mencapai lebih dari 4,42% (Lubis, 2008). Pengamatan di Marihat pada tanaman 1958 dan di Bah Jambi tanaman 1968 menunjukkan bahwa produksi tanaman abnormal hanya 61% dan 65% saja dari tanaman normal bahkan ada yang sama sekali tidak berproduksi (Akiyat dan Lubis, 1982c; Lubis, 1973c). Salah satu cara untuk mengantisipasi hal tersebut melalui pelaksanaan seleksi yang ketat pada pembibitan sebelum dipindahtanamkan menurut Lubis (2008) tindakan tegas sewaktu di pembibitan perlu dilakukan seperti segera memusnahkan bibit yang dicurigai abnormal, memperketat pengawasan terutama seleksi akhir dan memperkecil kerusakan sewaktu pembongkaran, pengangkutan dan penanaman. Selain itu, dianjurkan untuk melakukan tindakan pembongkaran sejak dini terhadap pohon-pohon yang diketahui abnormal di lapangan (Fauzy et al., 1999). Timbulnya pohon abnormal dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor genetis dan faktor lingkungan. Abnormalitas yang disebabkan oleh faktor genetis bersifat menetap dan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sedangkan abnormalitas yang disebabkan oleh faktor lingkungan bersifat sementara (Fauzy et al., 1999). Pada tanaman kelapa sawit, abnormalitas dapat terjadi pada bagian vegetatif dan generatif keadaan ini dapat disebabkan oleh keadaan lingkungan, sifat genetis tanaman atau keduanya. Abnormalitas yang disebabkan oleh keadaan lingkungan pada umumnya dapat diperbaiki atau dicegah melalui tindakan kultur teknis, seperti pemupukan. Sedangkan abnormalitas yang disebabkan oleh sifat genetis sulit untuk diperbaiki (Fauzy et al., 1999). Abnormalitas yang disebabkan secara genetis dapat terjadi karena beberapa hal, salah satu diantaranya adalah proses inbreeding. Gejala abnormalitas ini dapat dilihat pada tanaman dengan ciriciri kaku, merunduk, terputar, memiliki rachis pendek/panjang, dan kerdil. Ciriciri itu umumnya ditemui di tahap pembibitan gejalanya yakni bergaris putih (chimere), memiliki anakan (vivipary), steril, dan bercak oranye (orange spotting) (Fauzy et al., 1999). Abnormalitas yang disebabkan oleh faktor lingkungan dikenal disebut abnormalitas accidental. Abnormalitas ini masih memungkinkan untuk diperbaiki. Abnormalitas accidental terjadi dikarenakan oleh faktor manusia dan faktor lingkungan itu sendiri. Abnormalitas yang disebabkan oleh faktor manusia diantaranya, terbakarnya daun-daun pada tanaman dan pelukaan pada
18
akar serta batang tanaman. Abnormalitas ini terjadi karena kekeliruan kultur teknis, antara lain kesalahan pemupukan, kesalahan penanaman, drainase yang buruk, serta kesalahan kultur teknis lainnya. Faktor lingkungan yang menyebabkan abnormalitas antara lain banjir, angin keras, kebakaran, naungan, dan gangguan hama/penyakit (Fauzy et al., 1999), sedangkan menurut Lubis (2008) abnormalitas juga dapat terjadi karena : 1). Salah tanam seperti terbalik, terlalu dalam atau dangkal, 2). Tanah terlalu padat hingga akar sulit terbentuk, 3). Tanah bercampur batu, kayu dan lain-lain karena tidak disaring, 4). Kurang pelindung, terbakar karena kekeringan, 5). Kurang siram, atau tergenang atau akar busuk karena ada kantong air pada kantongan, 6). Tanah terlalu penuh hingga akar terbongkar, pupuk hanyut dan air tidak terserap tanah, 7). Gangguan hama dan penyakit, 8). Salah pupuk, kena serangan hama dan keracunan pestisida, 9). Jarak tanam terlalu rapat, 10). Kantongannya pecah, 11). Tanahnya kurang sesuai terlalu asam (peat = gambut), dan 12). Air penyiraman kurang baik (asin, mengandung racun dan lain-lain). Seleksi merupakan kegiatan memilih yang terbaik dari beberapa pilihan. Menurut Soebagyo (1997) Seleksi bibit adalah kegiatan memilih bibit yang baik dan membuang bibit yang abnormal. Seleksi bibit perlu dilakukan agar diperoleh tanaman yang sehat sehingga saat di tanam mampu tumbuh dengan baik (Lubis, 1992). Sedangkan menurut Darmosarkoro et al. (2008) Seleksi bertujuan untuk menghindari terangkutnya bibit abnormal ke tahap pembibitan selanjutnya. Seleksi bibit harus dilakukan dengan cermat untuk memastikan bahwa bibit yang ditanam di lapangan merupakan bibit yang baik dan sehat. Bibit-bibit abnormal yang ikut ditanam ke lapangan dapat mengurangi homogenitas tanaman sehingga dapat menurunkan potensi produksi. Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa bibit abnormal selalu di dapatkan pada setiap pembibitan (Darmosarkoro et al., 2008). Seleksi bertujuan memperoleh bibit yang sehat dengan memisahkan bibit yang abnormal dari pembibitan. Menurut Buana et al. (2003) bibit abnormal dapat disebabkan oleh faktor genetik, kesalahan kultur teknis atau serangan hama dan penyakit. Seleksi bibit harus dilakukan secara hati-hati dan sangat cermat untuk menghindari
terbuangnya
bahan
tanaman
yang
baik
(Soebagyo,1997).
19
Pelaksanaan
seleksi
harus
dilakukan
secara
bertahap
pada
tiap
persilangan/bedengan dengan membuang bibit abnormal. Untuk seleksi bibit kelapa sawit dilakukan sebanyak tiga kali, seleksi pertama dilakukan pada waktu pemindahan bibit ke pembibitan utama (main nursery). Seleksi kedua dilakukan setelah bibit berumur empat bulan di pembibitan utama. Seleksi terakhir dilakukan sebelum bibit dipindahkan ke lapangan. Bibit dapat dipindahkan setelah berumur 12-14 bulan (Darmosarkoro et al., 2008). Dengan ditemukannya kantong plastik sebagai media tumbuh bibit maka seleksi bibit menjadi lebih mudah dibandingkan dengan pembibitan langsung di tanah (field nursery) (Lubis, 2008). Bibit yang mati atau abnormal dapat segera dibuang dengan mencabut dari kantongnya dan jika masih diperlukan dapat digunakan kembali. Bibit dapat digeser pindah
dan efisiensi pemupukan
penyiraman akan lebih tinggi (Lubis, 2008). Pengamatan visual perlu dilakukan terhadap seluruh parameter pertumbuhan bibit dengan cara membandingkan antara satu bibit dengan bibit lain yang berasal dari persilangan yang sama. Berdasarkan
hasil
pengamatan,
dapat
diketahui
keadaan
bibit
yang
penampilannya menyimpang dari bibit normal yang telah ditentukan (tinggi, jumlah pelepah, dan besar bonggol) serta beda populasi yang ada seperti kerdil, penyakit tajuk (crown desease), pertumbuhan berputar, daun tidak membuka dan lain-lain. Setelah diseleksi maka bibit-bibit abnormal dapat diklasifikasikan per jenis keabnormalannya sekaligus diketahui presentasenya. Seleksi bibit dilakukan dengan melakukan inspeksi pada setiap jangka pertumbuhan tanaman. Seleksi dilakukan per kelompok dengan meletakan bibit mati/afkir
di
bagian
ujung
kelompok/persilangan
berbatasan
dengan
kelompok/persilangan lain dalam satu bedengan. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pencatatan dan pembuatan berita acara pemusnahan bibit mengingat bibit abnormal harus dikumpulkan dan dimusnahkan. Seleksi yang ketat di PN dan MN yang dilakukan dengan baik merupakan jaminan untuk memperoleh bibit yang baik dan seragam dalam pertumbuhannya (Darmosarkoro et al., 2008). Seleksi yang kurang keras dilakukan akan membawa sebagian bibit abnormal tertanam di lapangan. Seleksi yang kurang tajam dapat disebabkan karena : 1). Kurangnya pengertian terhadap akibat tertanamnya bibit abnormal di
20
lapangan, 2). Kurang mengenal tanda-tanda bibit yang abnormal, 3). Karena kurang bibit maka seleksi di piringan dan 4). Sulit melaksanakan karena ditanam terlalu rapat atau terlambat dilakukan (Lubis, 2008). Menurut Soebagyo (1997) untuk mencegah terbuangnya bahan tanaman yang baik maka seleksi ini harus dikerjakan oleh orang yang sudah menguasai pekerjaan ini dengan baik atau terlatih.
Dengan melakukan hal tersebut maka akan didapatkan hasil yang
maksimal saat melakukan seleksi. a. Seleksi bibit kelapa sawit di pembibitan awal (pre nursery) Pada pembibitan awal seleksi harus dilakukan sebelum tanaman dipindahkan ke pembibitan utama untuk menghindari tanaman yang abnormal dan kontaminasi dari bibit yang terkena penyakit (Soebagyo, 1997). Tanaman normal pada umur 3 bulan
biasanya memiliki 3-4 helai daun dan telah sempurna
bentuknya (Buana et al., 2003). Menurut Buana et al. (2003) persentase bibit yang terseleksi saat transplanting ke pembibitan utama mencapai 5-10 %. Seleksi bibit di PN sebaiknya dilakukan tiga tahap. Dengan memberi tanda yang dibuat dari patok kayu kecil yang ujungnya di cat dan di tancapkan dalam polibeg yang bibitnya tidak memenuhi syarat (abnormal). Seleksi pertama di lakukan terhadap kecambah yang tidak tumbuh, ditandai dengan patok yang berwarna putih. Seleksi kedua merupakan pra seleksi terhadap bibit-bibit abnormal ditandai dengan patok berwarna biru, dan seleksi terakhir dilakukan terhadap bibit yang diyakini tumbuh abnormal ditandai dengan patok berwarna merah (Darmosarkoro et al., 2008). Menurut Soebagyo (1997) Kriteria seleksinya yakni : daun seperti rumput (Grass leaf), daun bergulung (Rolled leaf), daun Berputar (Twisted leaf), daun tidak terbuka (Collante), daun berkerut (Crinkled leaf), daun dengan strip kuning (Chimera), tanaman kerdil (Runt), tanaman sakit (Diseased). Bibit-bibit tersebut harus dimusnahkan karena bisa merusak pertanaman dan merugikan. b. Seleksi bibit di pembibitan utama (main nursery) Perbedaan pertumbuhan bibit di pembibitan utama dapat disebabkan oleh faktor genetis dan perbedaan kultur teknis yang diterima masing-masing bibit (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). Kegiatan seleksi diharapkan hanya pada tanaman abnormal yang disebabkan oleh pengaruh faktor genetis, sehingga
21
diusahakan tidak terdapat kesalahan kultur teknis yang dapat menyebabkan timbulnya tanaman abnormal (Buana et al., 2003). Seleksi di pembibitan utama dilaksanakan secara bertahap karena munculnya gejala sejalan dengan bertambahnya umur bibit. Seleksi dapat dilaksanakan pada saat bibit berumur 4 bulan atau seleksi tahap pertama dengan memberi pancang pada bibit-bibit yang kemungkinan abnormal, seleksi tahap kedua (8 bulan) pancang yang telah ada dibiarkan untuk bibit yang masih menunjukan gejala abnormal dan mencabut pancang untuk bibit yang telah pulih pancang ditambahkan apabila bibit yang menunujukan gejala abnormal ditemukan, dan saat akan dipindahkan kelapangan (12 bulan) bibit abnormal dipisahkan untuk kemudian dimusnahkan (Darmosarkoro et al., 2008). Tetapi menurut Sastrosayono (2008) tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan seleksi pada saat ditemui bibit abnormal di luar waktu yang telah ditetapkan. Menurut Buana, Siahaan dan Adiputra (2003) beberapa faktor yang dapat memperbesar persentase bibit tidak normal antara lain : 1.Kesalahan menanam pada saat pindah tanam dari pembibitan awal ke pembibitan utama. Bila bibit ditanam terlalu dangkal maka pertumbuhan tanaman akan menggantung dan mudah rebah, 2. Penyiraman kurang merata, terlalu deras atau tidak cukup penyiraman pada masing-masing tanaman. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan yang heterogen pada hamparan pembibitan yang sama, 3. Kesalahan dalam pemberian pupuk, herbisida atau pemakaian obat-obatan. Tindakan ini dapat mengakibatkan daun tanaman ini terbakar, 4. Penempatan jarak tanam yang terlalu rapat sehingga terjadi persaingan dalam memperoleh sinar matahari. Jarak tanam yang dianjurkan adalah segitiga sama sisi 90 cm x 90 cm x 90 cm, 5. Pemindahan bibit pada pembibitan awal terlalu cepat akan menimbulkan “scorching” sedangkan pemindahan bibit yang terlambat akan menimbulkan pertumbuhan yang meninggi (etiolasi). Menurut Soebagyo (1997) Kriteria seleksinya yakni : Pelepah tegak (Barren/Sterile), Pelepah memendek, rata atas (Top flat), Pelepah dan anak daun lemas (Limp/Flacit), Pelepah tidak pecah, bentuk muda (Juvenile), Jarak anak daun pendek (Short internode), Jarak anak daun lebar (Wide internode), Jarak daun sempit (Narrow pinnae), Anak daun lebar dan pendek (Short broad leaf), Sudut anak daun tajam (Acute pinnae insertion.)
22
9. Bibit Cameroon Cameroon merupakan jenis kelapa sawit yang diintroduksi langsung dari Negara asalnya Kamerun. Jenis ini baru pertama kali di budidayakan di Indonesia. benih yang langsung didatangkan dari Kamerun di tanam dan dipelihara di beberapa perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Jenis Cameroon sangat intensif diperhatikan pertumbuhannya pada pembibitan awal dan pembibitan utama. Pemeliharaan dilakukan secara maksimal dan selalu memperhatikan setiap fase pertumbuhannya mulai dari fase vegetatif pengukuran jumlah daun, tinggi dan diameter dan fase generatif yakni adanya bunga yang sudah tumbuh. Setiap informasi tersebut dicatat secara teratur dan berkesinambungan. Keunikan dari jenis ini pertumbuhannya sangat cepat dibandingkan dengan jenis-jenis yang lebih dahulu ada dan fase generatif yang sangat cepat karena pada pembibitan utama tanaman ini sudah mampu menghasilkan bunga. Kurangnya informasi dan deskripsi jenis tersebut menjadikan jenis kamerun menjadi jenis yang paling di perhatikan. Selain pengamatan vegetatif dan generatif faktor abnormalitas tanaman sangat diperhatikan. Seleksi bibit dilakukan dengan sangat ketat pada pembibitan awal dan pembibitan utama. Informasi mengenai abnormalitas pada jenis ini belum diketahui secara jelas oleh petugas seleksi, hal ini menyebabkan petugas sedikit mengalami kendala dalam melakukan seleksi. Setiap ciri abnormalitas benar-benar diperhatikan agar tidak terjadi kesalahan seleksi yang menyebabkan terangkutnya bibit abnormal atau sangat mungkin terseleksinya bibit yang sehat. Seleksi dilakukan dengan mekanisme standar seleksi yang telah berlaku dan setiap ditemukan ciri-ciri abnormalitas tanaman ditandai dan dilaporkan kepada pihak yang lebih mengenal tanaman tersebut untuk dianalisis apakah termasuk abnormal atau merupakan ciri petumbuhan tanaman tersebut baik vegetatif maupun generatif. Apabila tanaman tersebut pasti memperlihatkan ciri-ciri abnormalitas maka tanaman tersebut langsung dipisahkan dan diafkirkan. Proses penanaman kelapa sawit di lapangan Penanaman kelapa sawit di lapangan sangat penting, karena akan menentukan produksi dan kelangsungan hidup tanaman. Penanaman merupakan
23
aktivitas utama yang menentukan tingkat keberhasilan usaha suatu perkebunan (Pahan, 2008). Penanaman di lapangan dilakukan setelah bibit berumur 12 bulan dan telah dilakukan seleksi terakhirnya (Lubis, 2008). Dua minggu sebelum tanam, bibit diputar agar akarnya yang menembus tanah terputus dan telah beregenerasi (Lubis, 2008). Umumnya pola tanam kelapa sawit berbentuk segi tiga sama sisi. Penanaman biasanya disesuaikan dengan pola musim hujan, dimana kelembaban tanah cukup tinggi untuk merangsang perkembangan akar sehingga bibit cepat menyesuaikan diri dengan keadaan di lapang (Pahan, 2008). Dengan tahapan yaitu pembuatan lubang tanam, pemupukan dasar, dan terakhir penanaman bibit kelapa sawit yang dilakukan pada bulan Oktober dan sudah harus selesai pada akhir bulan Februari. Pada bulan Oktober, hujan sudah mulai turun sehingga tanaman tidak kekurangan air. Sementara itu, pada bulan Februari juga masih ada hujan (Buana et al., 2003). Pemeliharaan kelapa sawit 1. Pengendalian gulma Gulma di kelapa sawit harus dikendalikan supaya secara ekonomi tidak berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi. Alasannya, gulma akan menghambat jalan para pekerja, gulma menjadi pesaing tanaman kelapa sawit dalam menyerap unsur hara dan air, serta kemungkinan gulma menjadi tanaman inang bagi hama atau penyakit yang menyerang kelapa sawit (Buana et al., 2003). Pengendalian gulma bisa dilakukan dengan mekanis seperti menggaruk dan mencabut dengan tanah atau menggunakan bahan kimia seperti ametrin, simazin, dan diuron (Lubis, 2008). 2. Kastrasi (cuci bunga) Kastrasi merupakan istilah di perkebunan kelapa sawit yang artinya membuang semua bunga yang ada pada tanaman kelapa sawit muda atau TBM (tanaman belum menghasilkan) baik bunga jantan maupun betina yang dilakukan sebulan sekali (Lubis, 2008). Dimulai saat tanaman berumur 14 bulan dan berlangsung selama 10 – 12 bulan atau 6 bulan sebelum panen perdana dimulai (Lubis, 2008). Secara fisiologis, kastrasi menguntungkan karena semua hasil
24
fotosintesis akan tersalurkan untuk pertumbuhan batang sehingga batang pohon kelapa sawit tetap tegap dan sehat. Alat kastari berupa besi penjepit yang diberi tangkai. Caranya, bunga dijepit, lalu ditarik dan didorong hingga putus (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008). 3. Penyerbukan bantuan Bunga pada tandan hanya dapat berkembang menjadi buah yang sempurna jika terjadi penyerbukan oleh tepung sari terhadap putik atau yang disebut dengan polinasi. Polinasi dapat terjadi dengan bantuan angin dan serangga (Lubis, 2008). Serangga yang biasa digunakan untuk membantu penyerbukan kelapa sawit adalah SPKS Elaeidobius kamerunicus. Penyerbukan bantuan dilakukan karena bunga jantan dan bunga betina tumbuh ditempat terpisah. Masa antesis bunga jantan tidak selalu sama dengan masa reseptif bunga betina (Lubis, 2008). Penyerbukan bantuan dilakukan 1 bulan setelah kastrasi dihentikan dan diakhiri setelah tanaman berumur 7 tahun. Penyerbukan buatan ini dilakukan setiap 3 hari sekali. Pelaksanaannya, areal penyerbukan bantuan dibagi 3 seksi, A pada hari senin, B selasa, C rabu, dan seksi A lagi pada hari kamis. 4. Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian ini perlu dilakukan mengingat hama dan penyakit akan berpengaruh terhadap hasil produksi. Jika hama dan penyakit akan menyerang tanaman sawit tidak cepat diberantas, produksi buah akan turun, baik secara kuantitas maupun kualitas (Sastrosayono, 2008). 5. Pemupukan Pemupukan merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan hasil produksi. Biaya yang dikeluarkan untuk pemupukan berkisar 40-60% dari biaya pemeliharaan keseluruhan. Pemupukan sangat mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit dan produktivitas kelapa sawit. Pemupukan harus segera dilakukan apabila tanaman telah menunjukan ciri-ciri kekurangan hara. Hasil penelitian menunjukan
pemupukan
mutlak
dilakukan
karena
secara
nyata
meningkatkan produksi dan tetap menjaga stabilitas tanaman (Risza, 1994).
biasa
25
6. Tunasan Tunasan berarti membuang atau memangkas daun yang berada dibawah buah. Tujuannya adalah membersihkan tanaman supaya pollen mudah membuahi putik, memudahkan pekerja mengambil buah masak, secara fisiologis daun tua dibagian bawah sudah tidak efektif berfotosintesis (Lubis, 2008). Penunasan sangat baik untuk tanaman karena akan menjadikan tanaman bersih dan sehat (sanitasi). Pemanenan 1. Pemungutan hasil Saat buah mulai masak, kandungan minyak dalam daging buah (mesokarp) meningkat cepat. Hal ini disebabkan adanya proses konversi karbohidrat menjadi lemak dalam buah. Setelah kadar minyak dalam buah mencapai maksimal, buah akan lepas (brondol) dari tandanya. Asam lemak bebas dalam buah akan terus naik. Ciri-ciri tandan buah masak ditentukan oleh angka kematangan, yaitu jumlah buah yang brondol dari tandannya, tidak ditentukan oleh warna buahnya. 2. Taksasi atau perkiraan produksi Penjualan produk kelapa sawit, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dilakukan dengan sistim kontrak. Bagi pemilik perkebunan berupa kontrak penjualan, sedangkan bagi perusahaan konsumen berupa kontrak pembelian. Kontrak jual beli ini dibuat 6 bulan sebelum hasil produksi diserahkan kepada pembeli. Karena itu, pemilik perkebunan kelapa sawit harus bisa memperkirakan hasil produksinya (Sastrosayono, 2008). Hasil produksi untuk 6 bulan ke depan bisa ditaksir dengan rumus sebagai berikut ; Y=axbxc Keterangan ; a = Jumlah seluruh tandan yang akan dipanen selama 6 bulan. b = Berat tandan rata-rata. c = Persentase minyak terhadap berat tandan. Untuk CPO sebesar 20%.
26
3. Transportasi Sistem jaringan jalan di perkebunan merupakan salah 1 faktor penting untuk mengumpulkan dan mengangkut hasil kelapa sawit ke pabrik. Pengangkutan buah harus dilakukan secepat mungkin. Buah yang dipotong hari ini harus diolah langsung agar asam lemak bebas (FFA) tidak tinggi. Ketersediaan transportasi ini tentunya sangat membantu kelancaran kegiatan operasional (Sastrosayono, 2008).