II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elais guineensis) termasuk dalam divisi Tracheophyta, Sub-divisi Pteropsida, Kelas Angiospermae, Sub-kelas Monocotyledoneae, Ordo Cocoideae, Famili Palmae, Genus Elaeis, Species Elaeis guineensis Jacq. Klasifikasi kelapa sawit beragam dengan parameter pembeda seperti tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang, dan warna buah. Dari warna buah, terdapat tiga varietas kelapa sawit yaitu Nigrescens, Virescens dan Albescens. Varietas Nigrescens dicirikan oleh warna buah violet kehitaman waktu muda dan menjadi warna oranye jika matang. Varitas Virescens dicirikan oleh warna buah muda yang hijau dan menjadi oranye jika matang, sedangkan varitas Albescens dicirikan oleh warna buah muda yang kuning pucat serta tembus cahaya karena mengandung sedikit karoten, dan jika masak umumnya berwarna kuning kemerahan. Baik Nigrescens maupun Virescens biasanya memiliki bentuk buah yang bersayap (mantled). Varietas lainnya yang disebut Elaeis idolatrica dicirikan oleh anak daun yang bertautan (Adiwiganda, 2007).
3
2.2. Syarat Tumbuh Kelapa Sawit Kelapa sawit memerlukan kondisi lingkungan yang baik agar mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal. Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama bagi pertumbuhan kelapa sawit, disamping faktor-faktor lainnya seperti genetis, budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.
2.2.1.
`Faktor Iklim
` Curah hujan
Jumlah curah hujan yang optimal untuk tanaman kelapa sawit adalah 2.0003.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun. Hujan yang merata sepanjang tahun kurang baik karena pertumbuhan vegetatif akan lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga bunga/buah yang terbentuk relatif lebih sedikit (Setyamidjaja, 2006). Sebaliknya, curah hujan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan timbulnya masalah terutama sulitnya upaya peningkatan kualitas jalan, pembukaan lahan, pemeliharaan, pemupukan, dan pencegahan erosi (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006). Suhu dan elevasi Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 24-28ºC. Di daerah sekitar katulistiwa, tanaman sawit liar masih dapat menghasilkan buah pada 1.300 m dari permukaan laut. Dengan demikian, tanaman kelapa sawit diperkirakan masih dapat tumbuh dengan baik sampai kisaran suhu 20ºC, tetapi pertumbuhannya akan terhambat pada suhu 15ºC (Pahan, 2008). Suhu udara terutama suhu udara minimum, berhubungan erat dengan elevasi. Di daerah beriklim tropis, secara umum suhu udara bukan merupakan faktor pembatas pada elevasi di bawah 400 m dpl. Sebaliknya, di atas 400 m dpl, meskipun faktor iklim lainnya seperti curah hujan sudah sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit, suhu udara minimum yang terlalu rendah bisa menjadi faktor pembatas, tetapi masih berpotensi untuk budidaya kelapa sawit. Elevasi juga berkaitan dengan penyinaran matahari dan kelembaban udara. Pada elevasi tinggi diperlukan kultur
4
teknis untuk mengantisipasi masalah yang timbul akibat terbatasnya penyinaran matahari dan tingginya kelembaban udara (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006). Kelembaban dan penyinaran matahari Kelapa sawit membutuhkan kelembaban udara sekitar 80% dan penyinaran matahari 5-7 jam/hari. Pada beberapa daerah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan sering terjadi pada bulan tertentu penyinaran matahari ini kurang dari 5 jam. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya asimilasi, timbulnya gangguan penyakit, gagalnya pembukaan lahan, rusaknya jalan karena lambat kering dan lain-lain ( Lubis, 2008).
2.2.2.
`Faktor Edafik
Lahan yang optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit mengacu pada tiga faktor, yaitu lingkungan, sifat fisik lahan, dan sifat kimia tanah atau kesuburan tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh baik pada lingkungan dengan ketinggian 25-200 m dpl, dengan kemiringan lereng datar hingga berombak (> 10 % ) (Pahan, 2008). Sedangkan sifat fisik tanah yang baik untuk pertumbuhan kelapa sawit yaitu solum cukup dalam (> 80 cm) dan tidak berbatu agar perkembangan akar tidak terganggu, tekstur ringan dan yang terbaik memiliki pasir 20-60 %, debu 10-40 %, dan liat 20-50 %, struktur tanah baik, konsistensi gembur sampai agak teguh, permeabilitas sedang, drainase baik dan permukaan air tanah cukup dalam. Tanah yang berdrainase jelek dengan permukaan tanah yang dangkal sebaiknya dihindari. Pada tanah yang berdrainase jelek sebaiknya dibuat saluran drainase (Setyamidjaja, 2006). Sifat kimia tanah yang merupakan faktor penentu keberhasilan budidaya kelapa sawit adalah pH tanah dan ketersediaan hara. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH 4,0-6,0, namun pH yang optimal adalah 5-5,5. Pada pH yang terlalu rendah, ketersediaan hara makro utama seperti P, Ca, dan Mg akan sangat rendah, dan sebaliknya unsur-unsur lain seperti Al dan Fe justru menjadi terlalu tinggi sehingga bersifat meracun. Pada tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut air laut, kedalaman mineral pirit juga harus diperhatikan sehingga tidak teroksidasi dan mengakibatkan kemasaman tanah. Secara umum, tanah mineral yang dipengaruhi
5
oleh pasang surut air laut dan memiliki potensi sulfat masam pada kedalaman lebih dari 1,5 meter masih potensial untuk budidaya kelapa sawit dengan syarat tinggi muka air tanah tetap dipertahankan pada kedalaman sekitar 75 cm sehingga pirit tetap dalam keadaan tereduksi (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
2.3. Teknik Budidaya Tanaman Kelapa Sawit Teknik budidaya tanaman pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis) meliputi berbagai hal sebagai berikut:
2.3.1. Pembukaan Lahan Pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit merupakan komponen biaya investasi awal. Menurut Lubis (1992) tahapan-tahapan pekerjaan sudah tertentu sehingga jadwal kerja harus dilaksanakan secara konsekuen. Keterlambatan suatu pekerjaan akan berlarut pada pekerjaan lain sehingga akan menambah biaya. Tantangan yang dihadapi cukup banyak misalnya alam (gangguan cuaca, hewan liar), biaya yang berkesinambungan, sumberdaya manusia dan alat-alat yang harus tersedia beserta suku cadangnya. Tahapan-tahapan pekerjaan pada pembukaan lahan adalah : • Babat pendahuluan Pekerjaan yang dilakukan sebelum pengimasan. Semak belukar dan pohon kecil yang tumbuh di bawah pohon perlu dibabat. Pekerjaan ini membutuhkan 5-6 orang/ha. • Pengimasan Pekerjaan memotong semak dan pohon kecil yang berdiameter 10 cm dengan parang atau kapak untuk mempermudah penumbangan pohon besar. • Penebangan pohon Penebangan pohon dilakukan dengan gergaji (chain saw) atau kapak, pohon yang berdiameter 10 cm di tebang. Tinggi penebangan diukur dari tanah tergantung pada diameternya. Sebelum pekerjaan ini dimulai, kayu besar yang berguna sudah dikeluarkan dan izin dari kehutanan sudah ada.
6
• Merencek/memerun Pekerjaan memotong-motong cabang/ranting kayu yang sudah tumbang untuk mempermudah perumpukan • Perumpukan Perumpukan adalah cabang dan ranting yang telah dipotong dikumpulkan sebagai bahan pembakar dari kayu yang lebih besar. Perumpukan dibuat memanjang utara-selatan agar bisa diterpa panas matahari dan cepat kering. Jarak antar rumpukan dibuat 50-100 m tergantung kerapatan pohon yang ditumbang dan keadaan areal.
2.3.2. Konservasi Tanah Tindakan konservasi tanah mutlak diperlukan terutama di daerah yang memiliki jumlah dan hari hujan besar serta pada lahan yang berombak-berbukit. Pada daerah datar yang diutamakan adalah parit drainase dan jembatan, sedangkan teras dan benteng tidak banyak diperlukan. Untuk mengatasi aliran air permukaan dan memperbesar daya infiltrasi air ke dalam tanah, diperlukan teras. Pada kemiringan 820 derajat dibuat rorak setiap 12 meter dan pada kemiringan lebih dari 20 derajat dibuat rorak bersambung dengan panjang 4 m dan dalam 30 cm. Pembuatan parit dan drainase penting terutama pada daerah datar, rendahan dan areal yang sering kebanjiran. Parit berguna untuk mencegah genangan air dan menurunkan permukaan tanah dan lain-lain. Banyaknya parit tergantung pada kondisi lahan, keadaan banjir, dalamnya gambut atau tinggi rendahnya permukaan air tanah (Lubis, 1992). Menurut Murtilaksono, et al., (2007), aplikasi guludan dan rorak yang dilengkapi dengan mulsa vertikal memberikan pengaruh yang positif terhadap jumlah pelepah daun, jumlah tandan, rataan berat tandan dan produksi TBS.
2.3.3. Pemilihan bahan tanam Bahan tanam yang digunakan di Indonesia pada saat ini adalah Tenera yaitu hasil perkawinan antara Deli Dura terpilih dari kebun induk dengan Pisifera hasil
7
pengujian (Lubis, 1992). Menurut Asmono (2007) saat ini di Indonesia secara resmi dikenal 30 varietas kelapa sawit.
2.3.4. Pembibitan Sistem pembibitan yang digunakan dalam perkebunan kelapa sawit dibagi menjadi dua yaitu pembibitan satu tahap dan pembibitan dua tahap. Pembibitan satu tahap artinya penanaman kecambah langsung pada pembibitan utama tanpa tahap pembibitan awal, sedangkan pada pembibitan dua tahap, terdapat dua tahapan yaitu tahap pembibitan awal (pre nursery) dan pembibitan utama (main nursery). Menurut Lubis (1992) pemilihan lokasi pembibitan harus memperhatikan halhal antara lain adalah dekat dari sumber air, dekat dari pengawasan dan mudah untuk dikunjungi, tidak jauh dari areal yang ditanami jika mungkin di tengah lokasi untuk mengurangi biaya pengangkutan bibit, dekat dari sumber tanah untuk mengisi kantong plastik (top soil), areal datar atau jika miring dibuat teras-teras. Pemeliharaan pada pembibitan awal hampir sama seperti pada pembibitan utama. Menurut Pahan (2008) pemeliharaan di pembibitan awal (pre nursery) dan pembibitan utama (main nursery) meliputi proses penyiraman, penyiangan gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, serta seleksi bibit. Secara umum, karakter yang menyimpang dari tanaman kelapa sawit pada proses seleksi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelainan pada habitus tanaman, kelainan pada bentuk anak daun, dan kelainan daya pertumbuhan (Pahan, 2008).
2.3.5. Pemeliharaan Setelah selesai penanaman, maka dimulai masa pemeliharaan tanaman yang dibedakan atas pemeliharan tanaman belum menghasilkan (TBM) yang berlansung sampai tanaman mulai dipanen dan pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM). • Pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Pekerjaan pemeliharaan TBM antara lain sebagai berikut :
8
a. Konsolidasi, yaitu pemeriksaan situasi blok demi blok yang sudah ditanam untuk melihat kekurangannya, kemudian memperbaikinya sekaligus dilakukan inventarisasi tanaman dan permasalahan lainnya. Bibit yang mati, abnormal, tumbang, terserang berat hama atau penyakit harus disisip, teras yang rusak diperbaiki dan lain-lain. b. Pemeliharaan jalan, benteng, teras, parit. Hal ini penting karena frekuensi pemakaian akan meningkat terus, baik untuk pengangkutan para pekerja, pupuk, pengawasan, dan lain-lain. c. Penyisipan tanaman, yaitu menyisipkan tanaman akibat tanaman mati, rusak berat, sakit dan abnormal. Makin cepat disisip, makin baik
agar
pertumbuhannya tidak ketinggalan dan sebaiknya menggunakan bibit yang telah disediakan untuk sisipan. Penyisipan masih dapat dilakukan sampai tanaman berumur 5 tahun. d. Pemberantasan alang-alang. Agar alang-alang tidak meluas, maka perlu disediakan pekerja khusus yang disebut sebagai mandoran lalang. Untuk lalang yang sporadik, dilakukan penggalian akar lalang atau disebut garpu lalang. Akarnya dijemur di atas tonggak kayu hingga kering. Cara lain adalah dengan menyapukan kain yang telah dicelupkan racun lalang yang disebut wiping. e. Pemeliharaan piringan pokok atau disebut juga bokoran, dilakukan dengan cara membersihkan gulma pada bokoran agar pupuk yang ditempatkan tidak diserap gulma. Pada saat penggarukan piringan ini maka lebar atau radiusnya diperbesar menurut perkembangan tajuk. f. Pemeliharaan penutup tanah. Tanaman penutup tanah jenis kacang-kacangan membutuhkan waktu 4-6 bulan baru dapat menutup dan perlu dipertahankan untuk beberapa tahun. Selama masa itu, penutup tanah tidak akan luput dari persaingannya dengan gulma. Oleh karena itu, perlu disiangi sehingga pertumbuhan tanaman penutup tanah maksimal. g. Pemupukan TBM. Pupuk yang diberikan sedikit tapi lebih sering diberikan, karena kemampuan tanaman menyerap pupuk masih rendah. Selain pemberian
9
pupuk N, P, K, Mg, B, unsur mikro seperti Cu dan Zn diperlukan pada tanah gambut. h. Kastrasi dan Ablasi, yaitu perkawinan bunga jantan dan betina muda pada saat TBM yang dilakukan sebulan sekali dan dimulai pada tanaman berumur 14 bulan. Kegunaan kastrasi yaitu untuk merangsang pertumbuhan vegetatif, menghemat penggunaan unsur hara dan air terutama
pada daerah yang
memiliki curah hujan yang relatif kecil, kondisi tanaman menjadi lebih bersih sehingga mengurangi kemungkinan serangan hama dan penyakit. i. Penyerbukan. Proses penyerbukan umumnya dilakukan oleh angin dan serangga. Selain itu juga terdapat penyerbukan bantuan yang dimulai 6 bulan sebelum panen perdana sampai tanaman berumur 7 tahun. j. Pemberantasan hama dan penyakit. Serangan hama pada tanaman muda biasanya pada bagian umbut, daun, dan bunga. Beberapa jenis hama yang terdapat pada tanaman muda adalah kumbang tanduk, Apogonia sp, belalang, ulat api, penggerek bunga. •
Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM) Pekerjaan pada tanaman menghasilkan meliputi : ¾ Pemeliharaan jalan, teras, parit dan lain-lain. ¾ Pemberantasan gulma pada TM. Pemberantasan gulma dilakukan pada gawangan dan pasar pikul. ¾ Penunasan pelepah daun. Dilakukan dengan cara membuang pelepah yang rusak,
sanitasi
mencegah
berkembangnya
hama
dan
penyakit,
memperlancar penyerbukan baik yang dilakukan serangga atau angin, mempermudah panen dan pengamatan tandan masak. ¾ Konsolidasi dan inventarisasi ¾ Penjarangan, bertujuan untuk menghindari kepadatan tanaman yang dapat menurunkan produksi. Penjarangan dilakukan secara selektif dan sitematis.
10
¾ Pemupukan. Teknik, aplikasi, dosis, dan jenis pupuk tergantung pada jenis tanah, umur tanaman, tingkat produksi yang dicapai, realisasi pemupukan sebelumnya, jenis pupuk yang akan dipakai, tenaga kerja yang tersedia, keadaan penutup tanah, analisis kadar hara pada daun. ¾ Pemberantasan hama dan penyakit. Secara umum hama dan penyakit pada fase ini relatif sama. Contoh hama yang menyerang yaitu ulat penggulung daun, ulat jengkal, ulat anggrung, kumbang, belalang, dan lain-lain. Penyakit yang menyerang antara lain busuk pucuk, busuk tandan, busuk pangkal batang.
2.3.6. Pemanenan pada Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit dapat mulai dipanen pada umur 30 bulan. Dalam keadaan normal, 90-100% dari seluruh pokok sudah matang panen. Tandan yang cukup besar dan siap untuk diolah adalah yang padat isinya dan beratnya sekitar 3 kg. Kriteria panen yang digunakan yaitu dua brondolan artinya sudah ada 2 buah lepas dari tandannya atau jatuh ke piringan pohon. Untuk tandan yang beratnya lebih dari 10 kg, dipakai 1 brondolan yang jatuh ke tanah. Kapasitas pemanen tergantung pada produksi/ha yang dikaitkan dengan umur tanaman, topografi areal, kerapatan pohon, dan intensif.
2.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan 2.4.1.
Pengertian Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses penilaian potensi sumberdaya lahan untuk penggunaan yang spesifik. Kegiatan evaluasi lahan antara lain meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei, studi bentuk lahan, tanah, iklim, dan aspek lainnya agar dapat diidentifikasi untuk membuat berbagai perbandingan penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan. Evaluasi lahan merupakan bagian penting dalam perencanaan penggunaan lahan. Fungsinya adalah untuk memberikan bimbingan terhadap pengambilan keputusan, sehingga penggunaan sumberdaya lahan menjadi
11
lebih menguntungkan, dan pada waktu yang sama melestarikannya bagi kepentingan masa mendatang (FAO, 1976). Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan ( land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristic). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan, misalnya peternakan, perikanan, dan kehutanan (Djaenudin et al., 2003). Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan dua tahapan. Pendekatan dua tahapan terdiri atas tahapan pertama adalah evaluasi lahan secara fisik, dan tahapan kedua secara ekonomi. Kegiatan lahan secara fisik dan ekonomi pada pendekatan paralel dilakukan secara bersamaan, sedangkan pada pendekatan non paralel dilakukan secara terpisah. (FAO, 1976). 2.4.2.
Asumsi-asumsi dalam Evaluasi Lahan
Asumsi –asumsi Djaenudin et al (2003), dibedakan menjadi dua yaitu yang menyangkut areal proyek dan yang menyangkut pelaksanaan evaluasi/interpretasi serta waktu berlakunya dari hasil evaluasi lahan. Beberapa contoh asumsi yang ditetapkan untuk evaluasi lahan secara fisik : •
Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data dari satuan lahan atau satuan peta tanah.
•
Reabilitas data yang tersedia meliputi rendah, sedang, atau tinggi.
•
Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
•
Infrastruktur dan aksessibilitas serta fasilitas pemerintah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
•
Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas tiga tingkatan yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
•
Pemilikan tanah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
12
•
Pemasaran hasil produksi serta harga jual tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
•
Evaluasi lahan dilaksanakan secara kualitatif, kuantitatif fisik atau kuantitatif ekonomi.
•
Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar.
Menurut FAO (1976), dengan proses membandingkan ini, evaluasi lahan diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana lahan sekarang dikelola dan apa yang akan terjadi jika cara tersebut dilakukan. 2. Perbaikan apa yang mungkin dilakukan terhadap cara pengelolaan sekarang. 3. Penggunaan-penggunaan lain apakah yang mungkin secara fisik dan relevan dari segi sosial dan ekonomi. 4. Diantara penggunaan-penggunaan lahan yang memungkinkan tersebut mana yang memungkinkan untuk produksi yang berkesinambungan atau memberikan keuntungan lain. 5. Efek negatif apa yang mungkin muncul secara fisik, ekonomi atau sosial terhadap masing-masing penggunaan tersebut. 6. Masukan apa yang diperlukan untuk mendapatkan produksi yang diinginkan dan untuk menekan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. 7. Apa keuntungan dari tiap penggunaan lahan tersebut, dan bila berkenaan terhadap penggunaan baru yang melibatkan perubahan yang nyata pada lahan, seperti perencanaan irigasi, maka pertanyaan di atas akan ditambah dengan : 8. Perubahan kondisi lahan apa yang mungkin dan diperlukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan, dan 9. Masukan tidak berulang apa yang diperlukan untuk implementasi perubahan ini.
13
Meskipun pada proses evaluasi lahan banyak sekali aspek yang perlu ditinjau, tetapi dalam prakteknya evaluasi lahan tidak menentukan bagaimana perubahan tata guna lahan dilakukan, akan tetapi hanya menyediakan data/informasi dengan dasar apa suatu keputusan diambil. Agar efektif dalam peranan ini, keluaran evaluasi harus memberikan informasi mengenai dua atau lebih bentuk penggunaan lahan yang potensial termasuk konsekuensi, keuntungan dan kerugiannya.
2.4.3.
Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktorfaktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.4.4.
Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi, contohnya kemiringan lereng dan curah hujan. Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi ada yang sifatnya tunggal dan ada yang sifatnya lebih dari satu karena mempunyai interaksi satu sama lainnya. Dalam interpretasi
perlu
mempertimbangkan
atau
membandingkan
lahan
dengan
penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan, misalnya saja ketersediaan air sebagai kualitas lahan ditentukan dari bulan kering dan curah hujan rata-rata tahunan, tetapi air yang dapat diserap tanaman tentu tergantung pula pada kualitas lahan lainnya, seperti kondisi drainase atau media perakaran, antara lain tekstur tanah dan kedalaman zone perakaran tanaman yang bersangkutan (Djaenudin et al., 2003).
14
2.4.5.
Kualitas Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, dimana satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan. Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Dalam evaluasi lahan sering kualitas lahan tidak digunakan tetapi langsung menggunakan karakteristik lahan, karena keduanya dianggap sama nilainya dalam evaluasi (Driessen, 1997) & PPT, 1983, dalam Djaenudin et al., 2003). Kualitas lahan dapat bersifat positif yaitu dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi suatu penggunaan, akan tetapi dapat juga memberikan pengaruh negatif dengan menimbulkan kerugian-kerugian atau dengan kata lain merupakan faktor penghambat atau pembatas terhadap penggunaan lahan tertentu. Kualitas lahan dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih dari jenis penggunaan lahannya. Begitu pula sebaliknya penggunaan lahan dipengaruhi oleh kualitas lahan.
2.4.6.
Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu (Djaenudin et al., 2003). Kondisi lahan dapat dinilai berdasarkan kondisi saat ini atau saat setelah dilakukan perbaikan. Evaluasi Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) pada suatu perkebunan kelapa sawit sangat diperlukan untuk memprediksi produktivitas kelapa sawit tersebut dalam jangka panjang. Dua tahap pekerjaan dilakukan dalam evaluasi KKL, yaitu tahap pertama penentuan KKL-Aktual, dan selanjutnya penentuan KKL-Potensial. •
KKL-Aktual menunjukkan kemampuan lahan itu dalam mendukung budidaya sesuai dengan kondisi lahan yang terlihat saat ini. Bentangan lahan yang terlihat secara visual adalah hasil dari proses pembentukan lahan tersebut sejalan dengan perkembangan bumi.
•
KKL-Potensial memberikan informasi kemampuan produktivitas lahan tersebut jika upaya perbaikan telah dilakukan kepada lahan tersebut, atau
15
dengan perkataan lain KKL-Potensial akan terjelma jika telah ada input manajemen (Adiwiganda, 1995) Metode klasifikasi kesesuaian lahan Sys et al. (1993) dapat dipakai untuk klasifikasi kuantitatif dan kualitatif, dengan menggunakan 4 kategori dan 5 derajat pembatas (0-4) yaitu tanpa pembatas (0) sampai pembatas sangat berat (4) yaitu : Ordo
:Keadaan yang menunjukkan apakah lahan tersebut sesuai atau tidak untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ini, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
Kelas :Keadaan yang menunjukkan tingkat kesesuaian lahan dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan dalam tiga kelas yaitu sangat sesuai (S1) atau lahan yang tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan, cukup sesuai (S2) atau lahan yang mempunyai faktor pembatas yang akan mempengaruhi produktivitas akan tetapi faktor pembatas tersebut dapat diatasi oleh petani sendiri, dan sesuai marjinal (S3) atau lahan yang mempunyai faktor pembatas yang berat sehingga memerlukan input yang lebih besar. Lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) merupakan lahan yang memiliki faktor pembatas yang berat dan sulit diatasi terdiri dari kelas tidak sesuai saat ini (N1) dan kelas tidak sesuai untuk selamanya (N2). Subkelas:Keadaan yang menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dilakukan. Tiap kelas terdiri dari satu atau lebih subkelas. Subkelas ini berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Kelas kesesuaian lahan ini kemungkinan dapat diperbaiki, tergantung peranan faktor pembatas pada masing-masing subkelas. Unit : Keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detil dari
16
faktor pembatasnya. Faktor pembatas tingkat unit dapat memudahkan penafsiran secara detil dalam perencanaan usaha tani.
17