4
TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit bukanlah tanaman asli Indonesia, diperkirakan kelapa sawit berasal dari Afrika Barat dan Amerika Selatan. Secara taksonomi, kelapa sawit dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Tracheophyta
Subdivisi : Pteropsida Kelas
: Angiospermae
Subkelas : Monocotyledoneae Ordo
: Spadiciflorae (Arecales)
Famili
: Palmae
Subfamili : Cocoideae Genus
: Elaeis
Spesies
: Elais guineensis Jacq.
“Elaeis” berasal dari bahasa Yunani “Elaion” yang berarti “minyak”, “guineensis” berasal dari kata “Guinea” yaitu suatu wilayah di pantai barat Afrika dan “Jacq.” berasal dari “Jacquin” nama seorang botanis dari Amerika Serikat (Lubis, 2008). Akar kelapa sawit merupakan bagian dari tanaman yang berfungsi untuk menunjang struktur batang di atas tanah, menyerap air dan unsur-unsur hara dari dalam tanah serta dapat menjadi alat respirasi tanaman. Akar terdiri atas akar primer, sekunder, tersier dan kuartener. Akar primer keluar dari pangkal batang dan menyebar secara horizontal ke dalam tanah dengan sudut yang beragam. Akar sekunder merupakan akar yang terbentuk dari akar primer. Akar sekunder membentuk akar tersier, dan akar tersier membentuk akar kuartener. Akar tersier dan kuartener inilah yang paling aktif dalam menyerap air dan hara lain dari dalam tanah. Pada tanaman di lapangan, akar-akar tersebut terutama berada pada jarak 2 - 2.5 m dari pangkal pokok atau di luar piringan yang merupakan daerah sebaran pupuk (Gambar 1).
5
Keterangan: Distribusi akar utama kelapa sawit berumur 10 tahun. RI = akar primer; RII = akar sekunder; sRIII= akar tersier dekat permukaan tanah, biasanya sangat bercabang; dRIII = akar tersier yang mendalam di tanah, biasanya kurang bercabang; RIV = akar kuarterner; VD = akar vertikal dengan arah menurun; VU = akar vertikal dengan arah naik ke atas, H = akar horizontal .
Gambar 1. Distribusi Akar pada Satu Akar Primer Tanaman Kelapa Sawit yang Berumur 10 Tahun (Jourdan dan Rey dalam Corley dan Tinker, 2003) Menurut Lubis (2008) daun kelapa sawit yang pertama kali muncul pada stadia bibit berbentuk lanceolate, kemudian muncul bifurcate dan meyusul pinnate. Daun dihasilkan dalam urutan-urutan yang teratur dan memiliki rumus daun 1/8. Lingkaran atau spiralnya ada yang berputar ke kiri atau ke kanan, tetapi kebanyakan berputar ke kanan. Pengenalan arah putaran penting dilakukan untuk mengetahui letak daun ke-17 yang digunakan untuk pengambilan contoh daun untuk analisis perhitungan dosis pemupukan. Selama setahun, pelepah daun yang dihasilkan berkisar antara 20 – 30 pelepah, kemudian semakin berkurang sesuai dengan umurnya menjadi 18 – 25 pelepah. Jumlah anak daun yang dihasilkan oleh setiap pelepah dapat mencapai 150 – 200 helai. Daun kelapa sawit terdiri atas beberapa bagian, yaitu: a. Kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian (lamina) dan tulang anak (midrib). b. Rachis yang merupakan tempat anak daun melekat. c. Tangkai daun (petiole) yang merupakan bagian antara daun dan batang. d. Seludang daun (sheath) yang berfungsi sebagai perlindungan dari kuncup dan memberikan kekuatan pada batang.
6
Luas permukaan daun tanaman kelapa sawit dapat mencapai 10 - 15 m2 pada tanaman dewasa yang berumur 10 tahun atau lebih. Perbedaan umur akan mempengaruhi luas permukaan daun demikian pula jenis pohon induk yang dipakai dalam persilangan. Pada umumnya daun akan mencapai luas maksimum pada umur 10 - 13 tahun. Penanaman rapat akan lebih mempercepat tercapainya angka maksimum tersebut (Lubis, 2008). Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus dan dapat mencapai ketinggian antara 15 - 20 m. Batang berbentuk silindris dengan diameter 0.5 m pada tanaman dewasa. Batang bagian bawah umumnya lebih besar dari batang bagian atas yang disebut bongkol batang atau bowl. Kelapa sawit ada yang tumbuh secara cepat dan ada pula yang lambat. Sifat-sifat tersebut dapat digunakan dalam pemilihan pohon induk karena keterkaitannya dengan masalah panen (Lubis, 2008). Pembungaan kelapa sawit disebut monocious karena bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon. Risza (1994) menyatakan bunga jantan dan bunga betina keluar pada ketiak pelepah daun. Satu tandan bunga jantan terdiri dari ± 200 spikelet. Dalam satu spikelet terdapat 700 – 1 000 bunga jantan. Dalam satu tandan bunga jantan dapat mencapai ± 50 gram tepung sari. Bunga betina dalam satu tandan juga dapat mencapai 200 spikelet, tetapi dalam satu spikelet hanya terdapat ± 20 bunga betina. Satu tandan bunga betina terdapat ± 3 000 bunga betina. Jenis-jenis inflorescent pada bunga kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2. A1 A A2
Bk
B
Keterangan: Bunga jantan dan betina pada dua tahap perkembangan. (A) Sebelum anthesis, tandan bunga masih dalam seludang (A1) dan tandan bunga setelah seludangnya dibuang (A2). (B) Saat bunga anthesis. (Bk) Tandan bunga betina yang abnormal, karena terdapat bunga jantan pada spikelet di tandan bunga betina.
Gambar 2. Inflorescent Bunga Jantan dan Betina serta Bunga Abnormal (Corley dan Tinker, 2003)
7
Proses pembentukan buah sejak saat penyerbukan sampai buah matang ± 6 bulan. Dalam satu tandan dewasa dapat mencapai 2 000 buah. Buah kelapa sawit termasuk buah batu terdiri dari 3 bagian yaitu : lapisan luar (Epicarpium) disebut kulit luar, lapisan tengah (Mesocarpium) disebut daging buah dan lapisan dalam (Endocarpium). Syarat Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada suhu 27oC dengan suhu maksimum 33oC dan suhu minimum 22oC. Curah hujan rata-rata tahunan yang memungkinkan untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1 250 – 3 000 mm yang merata sepanjang tahun, curah hujan optimal sekitar 1 750 – 2 500 mm. Lama penyinaran matahari yang optimal adalah 6 jam per hari dan kelembapan nisbi untuk kelapa sawit pada kisaran 50 – 90% (optimal 80%) (Buana, Siahaan dan Adipura, 2003). Ketinggian (elevasi) dari permukaan laut yang optimal adalah dari 0 – 500 m dpl. Pada elevasi yang lebih tinggi pertumbuhan akan terhambat dan produksi cenderung rendah, namun berkaitan dengan konteks perubahan iklim maka sampai dengan 850 m dpl tanaman kelapa sawit pada kondisi tertentu sudah sesuai dan layak dibudidayakan. Kecepatan angin 5 – 6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan. Angin yang terlalu kencang akan menyebabkan tanaman baru menjadi doyong atau miring (Lubis, 2008). Menurut Lubis (2008) kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti podsolik, latosol, hidromorfik kelabu (HK), regosol, dan osol, organosol dan alluvial. Sifat fisik tanah yang baik untuk kelapa sawit adalah : 1. Solum tebal 80 cm. Solum tebal baik bagi perkembangan akar sehingga efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. 2. Tekstur ringan, dikehendaki memiliki pasir 20 – 60%, debu 10 – 40%, dan liat 20 – 25%. 3. Perkembangan srtuktur baik, konsistensi gembur sampai agak teguh dan permeabilitas sedang. 4. pH tanah, kelapa sawit dapat dapat tumbuh pada pH 4,0 – 6,0 namun yang terbaik pada 5,0 – 5,5.
8
5. Kandungan unsur hara tinggi. Daya tukar K = 0,15 – 0,20 me/100 gram. C/N mendekati 10 dimana C 1% dan N 0,1%. Daya tukar Mg = 0,4-1,0 me/100 gram. Perbandingan daya tukar Mg dan K berada pada batas normal. Jenis Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit memiliki berbagai jenis varietas. Vaughan (1970) membagi jenis kelapa sawit tersebut dalam beberapa macam, yaitu: (1) varietas Macrocarya dengan ketebalan cangkang 40 – 60 %, (2) varietas Dura dengan ketebalan cangkang 20 – 40 %, (3) varietas Tenera dengan ketebalan cangkang antara 5 – 20 %, dan (4) varietas Pisifera dengan cangkang tipis. Menurut Pahan (2008) varietas Tenera lebih disukai untuk penanaman komersial karena kandungan minyak di dalam mesocarp-nya lebih tinggi daripada Dura. Varietas Macrocarya akhir-akhir ini sudah tidak dipakai lagi karena tidak memiliki sifat genetik yang signifikan. Jenis tanaman kelapa sawit juga dapat dibedakan dari warna buah. Varietas yang dibedakan dari warna buah (Lubis, 2008) antara lain: 1. Nigrescens, yaitu buahnya berwarna violet sampai hitam waktu muda dan menjadi merah-kuning (orange) setelah matang. 2. Virescens, yaitu buahnya berwarna hijau waktu muda dan setelah matang berwarna merah kuning (orange). 3. Albescens, yaitu buahnya muda berwarna kuning pucat dan tembus cahaya karena mengandung sedikit karoten.
Benih Kelapa Sawit Morfologi Benih Menurut Corley dan Tinker (2003), benih kelapa sawit merupakan biji yang merupakan bagian dari buah (Gambar 3). Benih akan terlihat setelah bagian mesokarp yang berminyak dibuang. Benih kelapa sawit terdiri dari cangkang atau endokarp, kernel dan embrio.
9
a. Cangkang adalah bagian yang keras dan berwarna hitam yang mengelilingi inti (kernel). b. Inti (kernel) adalah bagian berwarna putih keabu-abuan dan mengandung minyak. c. Embrio adalah bagian yang berwarna putih berukuran ± 3 mm, berada di dalam inti dekat lubang kecambah (germ pore).
Gambar 3. Struktur Buah Kelapa Sawit (Corley dan Tinker, 2003) Pada umumnya benih kelapa sawit terdiri dari hanya satu kernel saja, karena dua dari tiga ovul dalam ovary tricarpellate benih biasanya tidak berkembang (abort). Kadang-kadang pada benih dengan ovary yang abnormal dapat terdiri dari 4-5 kernel, tetapi hal ini jarang ditemui (Gambar 4).
A
B
C
Gambar 4. Buah Kelapa Sawit yang Memiliki (A) Satu Kernel, (B) Dua Kernel, dan (C) Tiga Kernel Ukuran benih kelapa sawit bermacam-macam, tergantung ketebalan cangkang dan ukuran kernelnya. Untuk tipe Dura afrika, benih mempunyai panjang 2-3 cm dan mempunyai rata-rata berat 4 gram. Benih untuk tipe Deli Dura mempunyai berat 5-6 gram hingga mencapai 13 gram. Benih Tenera biasanya mempunyai panjang ± 2 cm dan berat 2 gram, tetapi benih dengan berat ± 1 gram tidaklah umum.
10
Struktur benih dan kecambah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 5. Pada bagian cangkang (Gambar 5B), terdapat serat (fibre) yang melekat secara membujur. Cangkang memiliki tiga buah lubang kecambah yang berhubungan dengan tiga bagian dari ovary tricarpelate. Setiap lubang kecambah yang berfungsi secara normal berhubungan dengan kernel yang berkembang baik. Pada setiap lubang kecambah terdapat sebuah fiber plug yang menutup lubang kecambah (Gambar 5B). Fiber plug ini melekat dengan lubang kecambah dan pemukaan cangkang bagian dalam sampai pada bagian testa, membentuk struktur seperti plate (Hussey dalam Corley dan Tinker, 2003).
Keterangan : (A) tampilan benih yang dipotong membujur, (B) benih yang baru berkecambah, (C) tampilan bagian tengah embrio yang dipotong membujur, (D, E, F, G) tahapan pertumbuhan secara berurutan pada benih yang baru berkecambah, (H) tumbuh adventitious root pada kecambah, (I) kecambah yang telah berumur 4 minggu, (J) tampilan pada benih untuk memperlihatkan bagian haustorium, (c) cap of testa, (e) embrio, (en) endosperma, (f) fibre plug, (g) germ pore (lubang kecambah), (h) haustorium, (l): ligule, (p) petiole, (pl) plumula, (r) radikula, (r’) adventitious root, (s) cangkang (shell), (I–III) plumular leaves.
Gambar 5. Benih kelapa sawit dan pertumbuhan awalnya (Rees dalam Corley dan Tinker, 2003)
11
Bagian kernel berada di dalam cangkang (Gambar 5A dan 5B). Kernel terdiri dari lapisan-lapisan endosperma yang berminyak dan keras, berwarna putih keabu-abuan dikelilingi oleh testa yang berwarna coklat gelap dengan jaringan penghubung berupa serat (with a network of fibres). Di dalam endosperma terdapat embrio (Gambar 5C dan 5e). Letak embrio pada endosperma berhadapan dengan germ pore, jaraknya ± 3 mm. Embrio bagian ujung distal berhadapan dengan lubang kecambah tetapi terpisah oleh lapisan tipis endosperma. Testa dan struktur seperti plate berhubungan hingga kepermukaan benih. Ke tiga struktur ini secara bersamaan disebut operculum (Gambar 5A). Proses Perkecambahan Benih hingga Menjadi Bibit Pada dinding embrio, terdapat daerah yang membelah secara membujur. Saat terjadi perkecambahan, bagian pada embrio ini akan terpisah oleh desakan kecil dari kotiledon yang akan berkembang hingga ke haustorium. Endosperma yang berada di atas embrio akan ikut terpisah. Bagian yang terpisah ini berbentuk lingkaran dengan ukuran yang kecil, terlihat seperti disc. Disc yang terdiri dari endosperma, testa dan germ pore plate akan menekan fibre plug yang menutup lubang kecambah. Proses perkecambahan dijelaskan oleh Gambar 5 dan 6. Embrio yang muncul berbentuk seperti sebuah tombol kecil (button) yang biasanya disebut hipokotil (dipertimbangkan oleh Hendry untuk mewakili petiol dari kotiledon) (Hendry dalam Corley dan Tinker, 2003). Plumula dan radikula keduanya muncul berbentuk silinder, dengan ligule yang terdapat diantaranya yang menutup lubang kecambah. Pada bagian dalam benih, houstorium juga terus berkembang. Houstorium berwarna kekuning-kuningan dan menjalar sepanjang poros benih, hingga memberikan permukaan yang lebih luas untuk absopsi endosperma. Sampai 3 bulan setelah perkecambahan dimulai, bagian yang menyerupai spons pada haustorium bisa menyerap cadangan makanan pada endosperma dan mengisi penuh ruangan yang ada di dalam benih (Anon dalam Corley dan Tinker, 2003). Selama beberapa minggu peratama pertumbuhan, bibit seluruhnya mengandalkan suplai sumber makanan yang berasal dari endosperma. Endosperma terdiri dari 47% lemak dan 36% galactomannan (sejenis karbohidrat). Kecambah yang sedang berkembang menggunakan galactomannan
12
sebagai sumber makanan sebelum ia menggunakan lemak (Alang et al. dalam Corley dan
Tinker, 2003). Bibit menggunakan sebanyak 80% lemak dalam
endosperma selama 3 bulan setelah perkcambahan dan 98% setelah 5 bulan. Sebagian lemak yang ada digunakan untuk respirasi, dan berat total dari benih hingga menjadi bibit turun 20% setelah 3 minggu benih berkecambah (Boatman dan Crombie dalam Corley dan Tinker, 2003). Indeks luas daun pada pre nursery secara signifikan berbanding lurus dengan berat kernel. Hal ini menunjukkan pentingnya cadangan makanan dalam kernel pada pertumbuhan tahap awal bibit, tetapi setelah 6 bulan di main nursery pengaruh yang ditunjukkan tidak signifikan (Tan dan Hardon dalam Corley dan Tinker, 2003).
Keterangan : Gambar di atas memperlihatkan bagian ujung distal embrio yang diwakili oleh endosperma dan testa dengan warna yang gelap. Catatan, endosperma terdapat hingga ke bagian atas embrio. Bagian endosperma yang terpisah akan terdapat pada bagian kecil yang berada di sudut.
Gambar 6. Bagian kernel benih tenera yang dipotong secara melintang (Hussey dalam Corley dan Tinker, 2003) Plumula tidak akan muncul dari bagian
plumular projection sampai
radikulanya mempunyai panjang ± 1 cm. Akar adventif terbentuk hanya pada daerah ligkaran di atas pertemuan antara daerah radikula dengan hipokotil dan mereka ikut membantu perkembangan pada akar sekunder sebelum daun pertama muncul (Gambar 5H dan 5I). Radikula terus tumbuh selama ± 6 bulan dengan panjang mencapai ± 15 cm, setelah itu disusul dengan tumbuhya akar-akar primer.
13
Hormon yang berpengaruh terhadap pemanjangan plumula dan radikula adalah hormon auksin (Indole-3 acetic acid). Pada akar, auksin disintesis pada pangkal jaringan meristem apikal yang kemudian didistribusikan ke tudung akar melalui stele. Setelah itu auksin didistribusikan kembali ke bagian terbawah dari tudung akar. Hal ini menyebabkan akar cenderung berkembang ke bawah (Copeland dan Mc Donald, 1985). Bibit yang telah berumur 2 bulan dapat dilihat pada Gambar 7. Dua pelepah dauh dari plumula akan terbentuk sebelum daun hijau muncul. Daun hijau ini disebut daun bendera (lamina) yang akan muncul setelah ± 1 bulan setelah perkecambahan, setelah itu satu daun akan muncul setiap bulannya sampai bibit berumur 6 bulan. Setelah daun pertama berkembang, dimulailah kegiatan fotosintesis oleh bibit dan bobot dari bibit mulai bertambah. Pemindahan bibit selama 7 minggu pertama akan mengurangi pertumbuhan rata-rata indeks area daun (Corley dalam Corley dan
Tinker, 2003). Setelah tahap ini, setiap
minggunya berat dari endosperma akan berkurang. Berkurangnya berat pada endosperma ini lebih besar dari pada pertambahan berat bibit. Segera setelah daun pertama berkembang secara penuh, kontribusi dari fotosintesis mulai melebihi kehilangan yang disebabkan oleh respirasi. Pemindahan setelah tahap ini tidak memberikan efek yang berpengaruh nyata pada bibit, hal ini menunjukkan bahwa bibit tidak lagi bergantung pada cadangan makanan di endosperma. Setelah 3-4 bulan akan ada bagian dari dasar akar yang akan membengkak menjadi seperti benjolan dan akar primer pertama akan muncul dari sini. Akar primer ini lebih tebal dari radikula dan akan tumbuh pada sudut 45o dari arah vertikal. Akar sekunder akan dapat tumbuh keluar dari segala arah. Selama periode ke dua ini, daun-daun secara berturut-turut akan menjadi lebih besar dan lebar serta bentuknya akan berubah. Daun (folium) pertama yang muncul pada stadia bibit berbentuk lanceolate, kemudian muncul daun bifurcate dan menyusul bentuk pinnate. Kelapa sawit yang sudah dewasa memiliki bentuk daun pinnate. Penebalan meristem primer pada bibit dapat dilihat pada Gambar 8.
14
Keterangan : (SL) permukaan tanah (soil level); (S) cangkang (shell), (Co) kotiledon (haustorium); (P) plumula; (R) radikula,( Pr) akar primer, (Ad) akar adventif
Gambar 7. Bibit kelapa sawit yang berumur 2 bulan (Anon dalam Corley dan Tinker, 2003)
15
Keterangan : Perhatikan bagian seperti cekungan yang berisi meristem apikal dan daun muda yang masih belum memanjang. Penebalan meristem primer terletak tepat di atas skala indikator 5 cm.
Gambar 8. Irisan melintang bagian tengah apeks pada kelapa sawit yang masih muda (Rees dalam Corley dan Tinker, 2003). Dormansi Benih Sadjad (1993) menyatakan bahwa dormansi benih adalah keadaan benih yang mengalami istirahat total sehingga meskipun dalam keadaan media tumbuh benih optimum, benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena hidup. Menurut Sutopo (2002), benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi syarat bagi suatu perkecambahan. Ada dua tipe dormansi benih, yaitu dormansi primer dan dormansi sekunder. Dormansi primer ada dua jenis, yaitu: 1. Dormansi eksogeneous, yaitu kegagalan perkecambahan yang disebabkan oleh tidak tersedianya komponen penting perkecambahan. Tipe dormansi ini berhubungan dengan sifat fisik kulit benih dan faktor lingkungan selama perkecambahan. 2. Dormansi endogeneous, yaitu dormansi yang disebabkan oleh sifat-sifat tertentu yang melekat pada benih, seperti embrio benih yang rudimenter dan sensitivitas benih terhadap suhu dan cahaya.
16
Dormansi primer adalah jenis dormansi pada benih yang sering terjadi. Tipe dormansi lainnya adalah dormansi sekunder yang terjadi karena dihilangkannya satu atau lebih faktor penting perkecambahan (Copeland , 1980). Di alam, dormansi benih dipatahkan secara perlahan-lahan atau pada suatu kejadian lingkungan yang khas. Tipe dari kejadian lingkungan yang dapat mematahkan dormansi benih tergantung pada tipe dormansi benih itu sendiri. Secara alami, dibutuhkan waktu ± 1 tahun agar benih kelapa sawit dapat berkecambahan dengan persentase daya berkecambah yang rendah (± 40 %) (Brahmana dan Chairani, 1997). Benih yang dorman dapat menguntungkan atau merugikan dalam penanganan benih. Keuntungan benih yang dorman adalah dapat mencegah agar benih tidak berkecambah selama penyimpanan. Di sisi lain, kerugian dari dormansi benih adalah apabila tipe dormansi yang terjadi termasuk tipe yang sulit untuk pematahan dormansinya, maka benih membutuhkan perlakuan awal yang khusus. Kegagalan dalam mengatasi masalah ini dapat mengakibatkan kegagalan perkecambahan. Dengan diterapkannya teknik perkecambahan dengan fermentasi, pemanasan, dan perendaman, proses perkecambahan benih kelapa sawit hanya menjadi ± 4 bulan dengan persentase daya berkecambah mencapai 75-80 % (Brahmana dan Chairani, 1997). Menurut Copeland (1980), dormansi eksogeneous yang diakibatkan oleh struktur fisik kulit benih terjadi karena: a. Impermeabilitas kulit benih terhadap air dan udara. Benih-benih yang menunjukkan tipe dormansi ini disebut benih keras. Selain pada kelapa sawit, contoh lainnya seperti pada tumbuhan famili Leguminoceae. Imbibisi air pada benih tumbuhan famili Leguminoceae terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel-sel berupa palisade yang berdinding tebal, terutama dipermukaan paling luar dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin. b. Resistensi mekanis kulit benih terhadap pertumbuhan embrio. Pada tipe dormansi ini, beberapa jenis benih tetap berada dalam keadaan dorman yang disebabkan kulit benih yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan embrio. Jika kulit ini dihilangkan, embrio akan tumbuh dengan
17
segera. Pada tipe dormansi ini juga didapati tipe kulit biji yang bisa dilalui oleh air dan oksigen, tetapi perkembangan embrio terhalang oleh kekuatan mekanis dari kulit biji tersebut. Hambatan mekanis terhadap pertumbuhan embrio dapat diatasi dengan cara mengekstrasi benih dari pericarp atau kulit benih. c. Adanya zat penghambat. Sejumlah jenis tanaman mengandung zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan. Zat penghambat paling sering dijumpai di dalam daging buah, untuk itu benih tersebut harus diekstrasi dan dicuci untuk menghilangkan zat-zat penghambat. Pematahan Dormansi Benih Berbagai macam metode telah dikembangkan untuk mengatasi tipe dormansi yang diakibatkan oleh struktur kulit benih. Semua metode menggunakan perinsip yang sama, yakni bagaimana caranya agar air dan udara dapat masuk sehingga benih dapat berkecambah. Berbagai teknik untuk mematahkan dormansi fisik antara lain seperti: a. Perlakuan mekanis (skarifikasi) Perlakuan mekanis (skarifikasi) pada kulit benih dilakukan dengan cara penusukan, pengoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran dengan bantuan pisau, jarum, kikir, atau kertas gosok. Cara ini efektif untuk mengatasi dormansi fisik, karena setiap benih ditangani secara manual sehingga dapat memberikan perlakuan kepada individu sesuai dengan ketebalan kulit benih. Pada hakekatnya semua benih dibuat permeabel dengan resiko kerusakan yang kecil (Schmidt, 2002). Seluruh permukaan kulit benih dapat dijadikan titik penyerapan air. Pada benih legum, lapisan sel palisade dari kulit benih menyerap air dan proses pelunakan menyebar dari titik ini keseluruh permukan kulit benih dalam beberapa jam. Pada saat yang sama embrio menyerap air. Skarifikasi manual efektif pada seluruh permukaan kulit benih, tetapi daerah microphylar dimana terdapat radikel harus dihindari. Kerusakan pada daerah ini dapat merusak benih, sedangkan kerusakan pada kotiledon tidak akan mempengaruhi perkecambahan (Schmidt, 2002).
18
b. Air Panas Menurut Schmidt (2002) air panas dapat mematahkan dormansi fisik pada leguminosae
melalui
tegangan
yang
menyebabkan
pecahnya
lapisan
macrosclereids. Metode ini paling efektif bila benih direndam dengan air panas. Pencelupan sesaat juga lebih baik untuk mencegah kerusakan pada embrio karena bila dilakukan perendaman yang lama, panas yang diteruskan kedalam embrio dapat menyebabkan kerusakan. Suhu tinggi dapat merusak benih yang kulitnya tipis. Kepekaan terhadap suhu bervariasi pada tiap jenis benih, umumnya benih kering yang masak atau benih dengan kulit biji yang relatif tebal toleran terhadap perendaman sesaat dalam air mendidih. c. Perlakuan kimia Perlakuan kimia dengan bahan-bahan kimia sering dilakukan untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuan utamanya adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Penggunaan larutan asam kuat seperti asam sulfat dengan konsentrasi pekat juga terbukti dapat membuat kulit benih menjadi lunak sehingga dapat dilalui air dengan mudah. Larutan asam untuk perlakuan ini adalah asam sulfat pekat (H2SO4) yang dapat menyebabkan kerusakan pada kulit biji. Metode ini dapat diterapkan pada legum dan non-legum (Copeland, 1980). Metode ini tidak sesuai untuk benih yang mudah sekali menjadi permeabel karena asam akan merusak embrio. Lamanya perlakuan larutan asam harus memperhatikan dua hal, yaitu : (1) kulit biji atau pericarp yang dapat diretakkan untuk memungkinkan imbibisi, (2) larutan asam tidak mengenai embrio. Struktur Dinding Sel Tanaman Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa (Lynd et al., 2002) membentuk suatu struktur yang disebut lignoselulosa. Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui.
19
Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman. Dinding sel tanaman muda terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Seiring dengan perkembangannya lignin menjadi bagian dari dinding sel. Lignin berikatan dengan hemiselulosa dan senyawa fenol lainnya melalui ikatan kovalen, tetapi ikatan yang terjadi antara selulosa dengan lignin belum diketahui secara lengkap. Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa yang keras (Lynd et al., 2002). Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada substrat dilarutkan, dihilangkan atau dikembangkan terlebih dahulu. Lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis (Hofrichter, 2002). Menurut Aurora et al., (1992), lignin yang merupakan salah satu komponen dari lignoselulosa dapat didegradasi oleh Jamur Pelapuk Putih atau Phanerochaete chrysosporium yang dapat memproduksi ligninase. Susunan dinding sel tanaman (Gambar 9) terdiri dari lamella tengah (M), dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2), dan dinding sekunder bagian dalam (S3). Dinding primer mempunyai ketebalam 0.1-0.2 μm dan mengandung jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih tebal (Chahal dan Chahal 1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu β-D-glukopiranosa yang berikatan melalui ikatan β-1,4 glukosida yang disebut serat dasar (elementary fiber). Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan membentuk mikrofibril. Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang berbeda pada setiap lapisan dinding sel (Perez et al., 2002). Lapisan dinding sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang berbentuk heliks.
20
Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengan (M) dan diisi dengan hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan lignin. Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin.
Gambar 9. Konfigurasi Dinding Sel Tanaman (Lynd et al., 2002) Selulosa Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50 % dari berat kering tanaman (Lynd et al., 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara
bersama
melalui
ikatan
hidrogen
dan
gaya
van
der
Waals
(Perez et al., 2002). Selulosa mengandung sekitar 50-90 % bagian berkristal dan sisanya bagian amorf (Aziz, Husin dan Mokhtar, 2002). Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan cara hidrolisis asam atau enzimatis.
21
Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15-30 % dari berat kering bahan lignoselulosa. Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat (Perez et al., 2002). Lignin Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda (Perez et al., 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30% tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan patogen (Orth, Royse dan Tien, 1993). Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa. Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril selulosa, tetapi juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa. Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi derivate dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, koniferil dan sinafil alkohol (Perez et al., 2002). Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. Faktor lignin dalam membatasi fermeabilitas dinding sel tanaman dapat dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek kimia, yaitu hubungan ligninkarbohidrat dan asetilisasi hemiselulosa. Lignin secara fisik membungkus mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan antara lignin karbohidrat tersebut berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Chahal dan Chahal, 1998).
22
Enzim Ligninase dan Selulase Enzim Ligninase Ligninase secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase (Perez et al., 2002) yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP) (Chahal dan Chahal, 1998). Lignin Peroksidase (EC 1.11.1.14, LiP, ligninase) atau LiP adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung heme yang aktivitasnya bergantung pada H2O2, mempunyai potensial redoks yang luar biasa besar dan pH optimum yang rendah (Gold dan Alic, 1993). LiP mengoksidasi inti aromatik (fenolik dan non-fenolik) menghasilkan radikal kation dan fenoksil melalui pelepasan satu elektron (Akhtar, Blanchette dan Kirk, 1997). Manganese peroksidase (EC 1.11.1.13, MnP) atau MnP merupakan heme peroksidase ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+ sebagai substrat pereduksinya. MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+, yang kemudian mengoksidasi struktur fenolik menjadi radikal fenoksil. Mn3+ yang terbentuk sangat reaktif dan membentuk kompleks dengan mengkelat asam organik seperti asam oksalat atau malat (Cui dan
Dolphin, 1990; Kishi et al., 1994). Radikal fenoksil yang
dihasilkan lebih lanjut bereaksi yang pada akhirnya melepaskan CO2. Ilustrasi reaksi ini dapat dilihat pada Gambar 10. MnP merupakan salah satu peroksida pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh beberapa kapang pelapuk kayu dan pengurai serasah. Enzim ekstraseluler ini biasanya mempunyai berat 40-50 Kda dan aktif berkisar pada pH antara 3-4 (Hofrichter, 2002). Laccase (EC 1.10.3.2, benzenediol:oxygen oxidoreductase) merupakan fenol oksidasi yang mengandung tembaga yang tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen (Thurston, 1994). Laccase mereduksi O2 menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi melepas esatu elektron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990). Dengan adanya mediator seperti ABTS (2,2azinobis(3-ethylbenzthiazoline-6-sulphonate)) atau HBT (hydroxybenzo triazole), laccase mampu mengoksidasi senyawa non-fenolik tertentu dan veratryl alkohol (Bourbonnais dan Paice, 1990; Eggert et al., 1996).
23
Gambar 10. Skema Pembentukan Karbon Diokasida dari Struktur Aromatik Lignin oleh MnP (Hofrichter, 2002) Enzim Selulase Enzim selulase adalah enzim yang dapat mendegradasi selulosa. Umumnya enzim hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas, pH optimum aktivitas enzim selulase berkiasar pada pH 4.5 – 6.5. Enzim selulase terdiri dari tiga kelompok utama yaitu (a) endoglucanases atau 1,4-β-D-glucan-4glucanohydrolases (EC 3.2.1.4); (b) exoglucanases, yang meliputi 1,4-β-D-glucan glucanohydrolases atau cellodextrinases (EC 3.2.1.74) dan 1,4-β-D-glucan cellobiohydrolases atau cellobiohydrolases (EC 3.2.1.91) dan (c) β-glucosidases atau β- glucoside glucohydrolases (EC 3.2.1.21) (Lymar et al., 1995; Lynd et al., 2002; Perez et al., 2002; Howard et al., 2003). Mekanisme kerja enzim selulase dimulai dari kerja enzim endoglucanases yang menghidrolisis secara acak bagian amorf serat selulosa (Howard et al., 2003) menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya unjung rantai baru (Lynd et al., 2002). Enzim Exoglucanases bekerja terhadap ujung pereduksi dan non-pereduksi rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa yang dilakukan oleh enzim glucanohydrolases dan cellobiohydrolases (Lynd et al., 2002). Hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dapat dilakukan secara efiesien oleh enzim exoglucanases (Perez et al., 2002; Lynd et al., 2002). Hasil kerja sinergis endoglucanases dan exoglucanases menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim β-glucosidases yang memecah selobiosa menjadi dua molekul glukosa (Perez et al., 2002). Skema Hidrolisis Selulosa Menjadi Glukosa dapat dilihat pada Gambar 11.
24
Gambar 11. Skema Hidrolisis Selulosa Menjadi Glukosa
(Lynd et al., 2002) Menurut Enari (1983), dalam proses hidrolisis selulosa terdapat tiga macam enzim selulase yang terlibat, yaitu cellobiohydrolases, endoglucanases dan β-glucosidases. Enzim-enzim ini merupakan enzim hidrolitik yang bekerja secara bertahap atau bersamaan. Menurut Montenecourt dan Eveleigh (1979), endoglucanases merupakan pembatas bagi aktivitas enzim selulase. Mekanisme kerja enzim selulase yang terjadi adalah sebagai berikut : 1. Enzim endoglucanases menyerang bagian yang amorf dari serat selulosa sehingga membuka jalan bagi enzim cellobiohydrolases. 2. Enzim cellobiohydrolases membebaskan unit selobiosa dari ujung-ujung non-reduksi rantai selulosa. 3. Kerjasama di antara ke dua enzim tersebut, disebabkan karena substrat baru dari cellobiohydrolases terbentuk akibat kerja enzim endoglucanases.
4. Enzim β-glucosidases menghidrolisis selooligosakarida dan selobiosa menjadi glukosa (Montenecourt dan Eveleigh, 1979 dalam Enari, 1983).