4
TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil yang secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam ordo Palmales, Famili Palmae, Subfamili Cocoidae, Genus Elaeis, dan spesies Elaeis guineensis Jacq. (Setyamidjaja, 2006). Asal taaman kelapa sawit secara pasti belum bisa diketahui, namun ada dugaan kuat tanaman ini berasal dari dua tempat, yaitu Amerika Selatan dan Afrika (Guinea). Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia, merupakan orang yang pertama memasukkan tanaman ini ke Indonesia pada tahun 1911 dan mendirikan perkebunan kelapa sawit di Asahan dan Sungai Liput yang sekarang bernama PT. Socfindo (Sastrosayono, 2003). Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit meliputi akar (radix), batang (caulis), dan daun (folium). Kelapa sawit tidak memiliki akar tunggang dan akar cabang. Jumlah akar yang keluar dari pangkal batang sangat banyak dan terus bertambah banyak dengan bertambahnya umur tanaman. Sistem perakaran kelapa sawit terdiri atas akar primer, akar sekunder, serta akar tertier dan kuartener yang paling aktif mengambil hara dan air dari dalam tanah. Batang kelapa sawit berbentuk silindris dan berdiameter 40-60 cm, namun pada pangkalnya membesar. Pada ujung batang terdapat titik tumbuh yang membentuk daun-daun dan memanjangkan batang. Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Setiap bulan akan tumbuh dua daun. Pertumbuhan daun awal dan daun berikutnya akan membentuk sudut 135o (Setyamidjaja, 2006). Susunan bunga tanaman kelapa sawit terdiri atas karangan bunga yang memiliki bunga jantan dan bunga betina. Pada beberapa tanaman kelapa sawit ada juga yang hanya memproduksi bunga jantan. Umumnya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam dua tandan yang terpisah, namun terkadang dapat berada dalam satu tandan yang sama. Bunga jantan selalu masak lebih dahulu daripada bunga betina sehingga penyerbukan sendiri antara bunga jantan dan bunga betina dalam satu tandan jarang terjadi. Bunga yang telah dibuahi akan berkembang menjadi buah. Buah kelapa sawit menempel di karangan yang disebut tandan buah. Dalam satu tandan terdiri atas puluhan hingga ribuan buah. Buah kelapa
4
5
sawit terdiri atas beberapa bagian yaitu eksokarp (kulit luar yang keras dan licin), mesokarp (sabut) yang merupakan bagian yang paling banyak mengandung minyak, endokarp (tempurung), dan kernel atau inti sawit (Sastrosayono, 2003). Berdasarkan ketebalan cangkang dan daging buah, kelapa sawit dibedakan menjadi tiga jenis yaitu dura, tenera, dan pisifera. Dura memiliki cangkang tebal (3-5 mm) dan daging buah yang tipis dengan rendemen minyak 15-17%. Tenera memiliki cangkang tipis (2-3 mm) dan daging buah yang tebal dengan rendemen minyak 21-23%. Pisifera memiliki cangkang yang sangat tipis, tetapi daging buahnya tebal, bijinya kecil, dan rendemen minyaknya tinggi yaitu lebih dari 23% (Sunarko, 2007). Kelapa sawit merupakan tanaman hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang sangat baik terhadap kondisi lingkungan dan perlakuan yang diberikan. Seperti tanaman budidaya lainnya, kelapa sawit membutuhkan kondisi tumbuh yang baik agar potensi produksinya dapat mencapai maksimum. Faktor utama lingkungan tumbuh yang perlu diperhatikan adalah iklim serta keadaan fisik dan kesuburan tanah, disamping faktor lain seperti genetik tanaman, perlakuan yang diberikan, dan pemeliharaan (Pardamean, 2008) Perkecambahan Kelapa Sawit Menurut Silomba (2006), perkecambahan benih kelapa sawit merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan morfologi, fisiologi, dan biokimia. Sadjad (1993) mengemukakan bahwa secara fisiologis, perkecambahan benih diartikan sebagai munculnya akar melalui kulit benih, sedangkan analis benih mengatakan sebagai muncul dan berkembangnya embrio dan merupakan kemampuan
benih
untuk
berkecambah
normal
dalam
kondisi
yang
menguntungkan. Struktur benih kelapa sawit terdiri atas serabut buah (pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri atas tiga lapis yaitu lapisan luar yang disebut exocarp, lapisan sebelah dalam disebut mesocarp atau pulp, dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Inti kelapa sawit terdiri atas lapisan kulit biji (testa), endosperma, dan embrio. Ujung embrio dan titik tumbuh dipisahkan oleh lapisan operculum sebagai tempat keluarnya kecambah kelapa sawit (Gambar 1).
5
6
Kelapa sawit memiliki tipe perkecambahan hypogeal, yaitu kotiledon tetap berada di permukaan tanah setelah benih berkecambah. Benih kelapa sawit termasuk ke dalam benih rekalsitran sehingga tidak tahan disimpan dalam suhu dingin di bawah 5oC dan akan mati apabila kadar airnya berada di bawah 12.5% (Chin dan Roberts, 1980). Kecambah kelapa sawit merupakan embrio yang keluar dari kulit biji dan berkembang ke dua arah. Arah tegak lurus ke atas (phototropism) disebut dengan plumula yang selanjutnya akan menjadi batang dan daun, sedangkan arah tegak lurus ke bawah (geotropism) disebut dengan radikula yang selanjutnya akan menjadi akar (Sunarko, 2007).
exocarp operculum embryo
mesocarp
endosperm endocarp testa
Gambar 1. Stuktur benih kelapa sawit (Sumber: Kurnila, 2009) Kecambah normal adalah kecambah yang tumbuh sempurna dan secara jelas dapat dibedakan antara radikula dan plumula, tidak patah, tumbuh lurus, panjang plumula dan radikula berkisar 1-1.5 cm. Kecambah abnormal mempunyai ciri-ciri tumbuh bengkok, plumula dan radikula tumbuh searah, kecambah kerdil, dan hanya memiliki radikula atau plumula saja serta terserang penyakit (Adiguno, 1998). Kriteria kecambah normal yang digunakan PPKS adalah (1) kecambah tumbuh sempurna, (2) plumula dan radikula sudah dapat dibedakan, (3) plumula dan radikula tampak segar, (4) kecambah tidak berjamur, dan (5) panjang plumula dan radikula maksimum 2 cm. Kriteria kecambah abnormal yaitu (1) tumbuh 6
7
membengkok, (2) plumula dan radikula tumbuh searah, dan (3) layu atau berjamur. Kriteria kecambah panjang yaitu panjang plumula dan radikula lebih dari 2 cm (Kurnila 2009). Williyatno (2007) melaporkan bahwa pada selang 5-10 hari setelah benih mulai berkecambah, panjang plumula dan radikula melebihi 2 cm. Oleh karena itu untuk menghindari kecambah tumbuh panjang maka pemilihan kecambah harus dilakukan paling lambat 10 hari setelah benih mulai berkecambah. Benih kelapa sawit memiliki kulit yang tebal, oleh karena itu diperlukan persiapan yang lama untuk mengecambahkannya. Setelah buah yang masak dipanen, tandan buah diperam (fermentasi I) selama 3 hari agar semua buahnya rontok, setelah itu diperam lagi selama 3 hari (fermentasi II). Selama fermentasi I dan II, penyiraman dilakukan setiap hari. Setelah daging dan sabut membusuk, biji dipisahkan dari daging buah dan serat. Setelah terpisah, biji dikering-anginkan dan disimpan selama 2 bulan dalam ruang suhu kamar untuk perkecambahan (Sastrosayono, 2003). Pematahan Dormansi Benih Pada saat masak fisiologis, tidak semua benih siap untuk berkecambah. Benih membutuhkan waktu tertentu agar dapat berkecambah secara alami setelah dipanen, atau seringkali membutuhkan perlakuan tertentu agar dapat berkecambah (Kuswanto, 2003). Dormansi benih adalah keadaan dimana benih mengalami istirahat total sehingga meskipun dalam keadaan media tumbuh benih optimum, benih tidak menunjukkan gejala atau fenomena hidup (Sadjad, 1993). Dormansi benih merupakan cara tanaman agar dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya, dan merupakan sifat yang diturunkan secara genetik. Intensitas dormansi dipengaruhi oleh lingkungan selama perkembangan benih. Dormansi pada spesies tertentu mengakibatkan benih tidak berkecambah di dalam tanah selama beberapa tahun. Beberapa mekanisme dormansi terjadi pada benih baik fisik maupun fisiologi, termasuk dormansi primer dan sekunder (Ilyas, 2012). Pematahan dormansi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan perlakuan mekanis, perlakuan suhu, perlakuan cahaya, perendaman dengan air panas, dan perlakuan menggunakan bahan kimia. Perlakuan
7
8
perendaman menggunakan air panas bertujuan untuk memudahkan penyerapan air oleh benih. Perlakuan ini dilakukan dengan memasukkan benih pada suhu air tertentu dan dibiarkan hingga air menjadi dingin (Copeland dan McDonald, 1995). Perlakuan air panas dengan suhu 60oC pada benih Casuarina equisetifolia Lum. memberikan hasil daya berkecambah yang lebih baik dibandingkan perendaman dalam air dingin maupun dalam air suhu 40oC (Kesaulija, 1979). Perendaman benih sengon laut (Paraserianthes falcataria) dalam air panas dengan suhu 75oC selama 24 jam memberikan hasil terbaik dengan persentase daya berkecambah sebesar 54.9% dibanding perlakuan perendaman pada air dingin, air dengan suhu 50oC dan suhu 100oC tanaman
(Ratnasari,
et al.,
2006).
Perendaman
benih
jati (Tectona grandis L.) dalam air panas dengan suhu 60oC juga
efektif dalam meningkatkan bobot kering kecambah normal sebesar 1.17 g (Miranda, 2005). Ani (2006) melaporkan bahwa perendaman benih Lamtoro (Leucaena leucocephala) dalam air dengan suhu awal 60-70oC selama 10-12 menit mampu mematahkan dormansi dan menghasilkan daya berkecambah sebesar 75%, sedangkan pengaruh perendaman benih dalam air panas terhadap pertumbuhan bibit selanjutnya berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan panjang akar. Khaeruddin (1994) menyatakan bahwa tanaman akasia dengan perlakuan benih direndam air panas kemudian didiamkan selama 24 jam sampai air rendamannya dingin, juga dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan daya berkecambah. Benih kelapa sawit mengalami dorman karena kulit bijinya yang keras dan mengandung
lignin
yang
cukup
tinggi
(Nurmailah,
1999).
Perlakuan
menggunakan bahan kimia dilakukan agar kulit benih terdegradasi sehingga air lebih mudah berimbibisi. Bahan kimia yang paling umum dan efektif digunakan dalam industri saat ini yaitu asam sulfat dan kalium nitrat. Bahan lain yang dapat digunakan untuk mematahkan dormansi benih yaitu hormon tumbuh seperti giberelin, sitokinin, auksin, dan etilen (Copeland dan McDonald, 1995). Menurut Ilyas (2012), metode pematahan dormansi pada benih berkulit keras yaitu dengan skarifikasi mekanis untuk menipiskan testa, pemanasan, pendinginan, perendaman dalam air mendidih, pergantian suhu drastis, dan skarifikasi kimia menggunakan asam sulfat untuk mendegradasi testa. Herrera et al. (1998) melaporkan bahwa
8
9
perendaman dalam ethephon dengan konsentrasi 0.6% selama 48 jam pada benih kelapa sawit menghasilkan daya berkecambah 84% dalam 75 hari, sedangkan pada perlakuan ethephon 0.6% yang dikombinasikan dengan perlakuan pendahuluan dengan merendam dalam asam sulfat 98% mampu menghasilkan daya berkecambah sebesar 88% selama 25 hari.
9