PENDAHULUAN
Latar belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Industri minyak sawit merupakan kontributor penting dalam produksi di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cerah. Industri ini juga berkontribusi dalam pembangunan daerah, sebagai sumber daya penting untuk pengentasan kemiskinan melalui budidaya pertanian dan pemprosesan selanjutnya (Sunarko, 2009) Berdasarkan Angka Sementara (ASEM) 2011 dari Direktorat Jenderal Perkebunan, luas areal kelapa sawit di Indonesia cenderung meningkat selama tahun 2000-2011. Perkebunan Besar Swasta (PBS) mendominasi luas areal kelapa sawit, diikuti oleh Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Tahun 2011 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 8,91 juta ha, dengan rincian luas areal PBS sebesar 4,65 juta ha (52,22%), luas areal PR sebesar 3,62 juta ha (40,64%), dan luas areal PBN sebesar 0,64 juta ha (7,15%) (Dirjen Perkebunan, 2013). Salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman adalah adanya organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti serangan beberapa jenis hama, penyakit dan gangguan dari gulma. Jenis-jenis hama dan penyakit pada tanaman kelapa sawit yang harus mendapat perhatian lebih selama perkembangan kelapa sawit, mengingat potensinya yang besar dalam menimbulkan kerusakan maupun kerugian adalah Apogonia sp. dan kumbang Adoretus sp, Setothosea asigna V. Eecke, Setora nitens Walker, Oryctes rhinoceros L, Tiratabaha sp dan Mahasena corbetti Tams sedangkan jenis-jenis penyakit Ganoderma spp, Botryodiploidia palmarum, Glomerella cingulata, Melanconium elaeidis dan Culvularia eragrostidis (Allorerung et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
Ulat grayak (Spodoptera litura F.) merupakan hama penting yang banyak menyerang tanaman budidaya. Ulat grayak bersifat polifag dan dapat menyerang daun dan buah pada tanaman perkebunan, tanaman palawija serta tanaman pangan mulai dari fase vegetatif sampai fase generatif. Larva yang masih muda umumnya menyerang secara berkelompok (Djamilah et al., 2010) Penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi, resurjensi, dan musnahnya musuh alami. Kelebihan pemanfaatan jamur entomopatogen sebagai pengendali hayati populasi serangga hama adalah memiliki spektrum yang luas dan berpotensial untuk mengendalikan berbagai ordo serangan, mempunyai kapasitas produksi yang tinggi, siklus hidup relatif pendek dan mampu membentuk spora yang tahan terhadap pengaruh lingkungan (Prayogo et al., 2005). Salah satu alternatif pengendalian yang dapat digunakan adalah dengan patogen serangga,
khususnya
jamur
entomopatogen
B.
bassiana.
Efektivitas
B. bassiana sebagai pengendali sejumlah serangga hama sudah banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian (Thungrabeab dan Tongma, 2007). Jamur B. bassiana dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Soetopo dan Iga, 2007). Jamur B. bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk mengendalikan serangga. Jamur ini ternyata memiliki spektrum yang luas dan dapat mengendalikan banyak spesies serangga hama tanaman (Dinata, 2006) Sejak tahun 2011, Spodoptera litura menyerang tanaman kelapa sawit di Desa Negeri lama, Kecamatan Bilah hilir, Kabupaten Labuhan batu, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data dari PT. Hari Sawit Jaya, jumlah pokok terserang di Kebun
Universitas Sumatera Utara
Negeri Lama Selatan periode Januari sampai Oktober 2014 yaitu 33, 634, 274, 496, 281, 121, 314, 915, 453, 1686 pohon. Berdasarkan masalah diatas perlu dilakukan pengujian B. bassiana terhadap S. litura pada tanaman kelapa sawit. Penulis merasa tertarik untuk melakukan uji jamur entomopatogen dalam mengendalikan S. litura. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill terhadap Spodoptera litura pada tanaman kelapa sawit. Hipotesis Penelitian - Ada pengaruh perbedaan konsentrasi B. Bassiana terhadap mortalitas Spodoptera litura - Ada pengaruh perbedaan instar larva yang diaplikasi B. bassiana terhadap mortalitas Spodoptera litura Kegunaan Penelitian Sebagai salah satu syarat untuk dapat melakukan penelitian di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan berkelompok (masing-masing berisi 25 - 500 butir) yang pada daun atau bagian tanaman lainnya (Gambar 1). Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina (Deptan, 2010). Setelah telur menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, kemudian beberapa hari setelah itu ulat berpencar. Stadium ulat terdiri atas enam instar dan berlangsung selama 13-17 hari (Prayogo et al., 2005).
Gambar 1 : telur Spodoptera litura Larva berkepompong dalam tanah atau pasir. Membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwarna coklat kemerahan dan berkisar 1.6 cm (Gambar 2). Lama stadium larva 10 – 14 hari (Erwin, 2000). Lama stadia larva 17 - 26 hari, yang terdiri dari larva instar 1 antara 5 - 6 hari, instar 2 antara 3 - 5 hari, instar 3 antara 3 - 6 hari, instar 4 antara 2 - 4 hari, dan instar 5 antara 3 - 5 hari (Cardona et al., 2007) Lama stadia larva 17 - 26 hari, yang terdiri dari
Universitas Sumatera Utara
larva instar 1 antara 5 - 6 hari, instar 2 antara 3 - 5 hari, instar 3 antara 3 - 6 hari, instar 4 antara 2 - 4 hari, dan instar 5 antara 3 - 5 hari (Cardona et al., 2007)
Gambar 2 : larva Spodoptera litura Pupa berada di dalam tanah atau pasir. Pupa berbentuk oval memanjang dan berwarna cokelat mengkilat (Gambar 3). Tubuh pupa memiliki panjang dan lebar antara 22,29 + 0,7 mm dan 7,51 + 0,36 mm. Lama stadia pupa 9-14 hari (Cardona et al., 2007) . Ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon) berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm. Siklus hidup berkisar antara 30 - 60 hari (lama stadium telur 2 - 4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar : 20 - 46 hari, pupa 8 - 11 hari (Marwoto dan Suharsono, 2008).
Gambar 3: Pupa S. litura
Universitas Sumatera Utara
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam (Gambar 4). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km (Marwoto dan Suharsono, 2008)
Gambar 4: Imago S. litura Gejala Serangan Larva yang masih kecil merusak daun dan menyerang secara serentak berkelompok dengan meninggalkan sisa-sisa bagian atas epidermis daun, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun (Tenrirawe dan Talanca, 2008).
Gambar 5: Gejala serangan S. litura
Universitas Sumatera Utara
Jamur entomopatogen Beauveria bassiana Jamur B. bassiana dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Soetopo dan Indrayani, 2007). Beauveria bassiana menghasilkan racun (toksin) yang dapat mengakibatkan paralis secara agresif pada larva dan imago serangga. Beberapa jenis racun yang telah berhasil diisolasi dari B. bassiana antara lain beauvericine, beauverolide, isorolide dan zat warna serta asam oksalat (Mahr, 2003). Karakteristik B. Bassiana Miselia jamur B. Bassiana bersekat dan berwarna putih, di dalam tubuh serangga yang terinfeksi terdiri atas banyak sel dengan diameter 4 𝜇𝑚, sedang diluar tubuh serangga ukurannya lebih kecil dari 2 𝜇𝑚(Utomo dan Pardede, 1990) Jamur
entomopatogen
B.
Bassiana
memproduksi
beauvericin
yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan inti sel serangga inang. Seperti umumnya jamur, B. bassiana menginfeksi serangga inang melalui kontak fisik, yaitu dengan menempelkan konidia pada integumen. Perkecambahan konidia terjadi dalam 12 hari kemudian dan menumbuhkan miselianya di dalam tubuh inang. Serangga yang terinfeksi biasanya akan berhenti makan sehingga menyebabkan imunitasnya menurun, 3-5 hari kemudian mati dengan ditandai adanya pertumbuhan konidia pada integumen (Deciyanto dan Indrayani, 2009) Pada konidia B. bassiana akan tumbuh suatu tabung yang makin lama makin panjang mirip seuntai benang dan pada suatu waktu benang itu mulai bercabang. Cabang-cabang yang timbul selalu akan tumbuh menjauhi hifa utama atau hifa yang pertama. Cabang-cabang tersebut akan saling bersentuhan. Pada titik sentuh akan terjadi
Universitas Sumatera Utara
lisis dinding sel (anastomosis) sehingga protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa. Miselium yang terbentuk akan makin banyak dan membentuk suatu koloni (Gandjar dkk, 2006).
Gambar 6. Konidia Beauveria bassiana Sumber : www.mycology.adelaide.edu.au/.../beauveria1.htm
Ciri-Ciri Serangga Yang Terinfeksi B. bassiana Toksin yang dihasilkan B. bassiana diantaranya beauverizin yang dapat menghancurkan lapisan lemak dan meningkatkan permeabilitas sel yang dapat menghancurkan ion spesifik sehingga dapat menyebabkan terjadinya transport ion yang abnormal kemudian merusak fungsi sel atau organel sel larva. Pada permukaan tubuh serangga yang telah mati dan menjadi mumi muncul miselium yang berwarna putih, mula-mula hifa muncul pada permukaan tubuh yang lunak atau pada antar segmen. Ciri khas
serangga
hama
mati
terinfeksi
cendawan
B . bassiana tampak hifa atau spora berwarna putih yang tumbuh dipermukaan kulit / kutikula(Wahyudi ,2002) Mekanisme Infeksi dan Penyebaran B. bassiana Terdapat empat tahap etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh jamur. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul jamur dengan tubuh
Universitas Sumatera Utara
serangga inang. Tahap kedua yaitu proses penempelan dan perkecambahan propagul jamur pada integumen serangga. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi pada tubuh serangga. Keempat adalah destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimf dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Prayogo dan Suharsono, 2005). B. bassiana masuk ke tubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora dan kutikula. Hifa fungi mengeluarkan enzim kitinase, lipase, dan protemase yang mampu menguraikan komponen penyusun kutikula seragga. Di dalam tubuh, hifa berkembang dan masuk ke dalam pembuluh darah.
Disamping
itu,
B.
Bassiana
juga
menghasilkan
toksin
seperti
beauverisin,beauverolit, bassianalit, isorolit, dan asam oksalat yang menyebabkan terjadinya kenaikan pH, penggumpalan, dan terhentinya peredearan darah serta merusak saluran pencernaan , otot, sistem syaraf, dan pernafasan yang akhirnya meyebabkan kematian (Mahr, 2003) Secara morfologis, semua konidia homogen dengan berbagai ukuran dari konidia tunggal sampai konidia yang bergerombol selain adanya kelompok hifa yang menunjukkan tahapan perkembangan konidia pada kutikula serangga. Tanda adanya hifa yang menetrasi tubuh serangga banyak dijumpai pada bagian abdomen (Suryadi dan Kadir, 2007).
Universitas Sumatera Utara