Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Organogenesis Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Asal Eksplan Bunga Betina Organogenesis of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) with Explant Source from Female Flower Tyas Larasati1, Suci Rahayu1, Fauziyah Harahap2 Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan; 2Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan,
[email protected] 1Departemen
Abstract The objectives of this research were to composed organ from callus culture and to found the best concentration of plant growth regulator for organ growth from female flower explant of oil palm. This research has already done from June 2014 to May 2015 at Laboratory of Plant Physiology and Tissue Culture Department of Biology Faculty of Mathematics and Science University of North Sumatera. This research used Nonfactorial Completely Random Design. Explant was treated with five concentrations of 2,4-Dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D; 99, 110, 120, 132, and 140 mg/L) for callus induction on Y3 medium (Eeuwens 1976). The result of this research showed that organ was formed from this treatment (basal segment of female flower explant) was root organ. 2,4-D plant growth regulator positively affected to growing of the root. The best result for time of callus induction, time of root growth, the highest percentage of explants that formed the root, fresh weight and dry weight of callus that has become the root generation was resulted from 99 mg/L 2,4-D. Key words: Elaeis guineensis Jacq., female flower, plant growth regulator 2,4-D, organogenesis Pendahuluan Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia (Toruan-Mathius et al., 2005). Kelapa sawit menjadi salah satu andalan komoditi pertanian Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat dan memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional. Salah satu hasil olahannya adalah minyak sawit (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009). Minyak sawit dihasilkan dari buahnya, yang dimanfaatkan secara meluas di dunia karena mengandung banyak kalori yang cukup tinggi, pro-vitamin A dan pro-vitamin E (Mangoensoekarjo & Semangun, 2008). Potensi minyak sawit Indonesia sangat besar dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Produksi minyak sawit pada tahun 2013 mencapai sekitar 27,7 juta ton dengan luas lahan perkebunan mencapai 10,4 juta ha dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan produksi minyak sawit menjadi 29,3 juta ton dengan luas lahan perkebunan mencapai 10,9 juta ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014.). Peningkatan produksi minyak sawit dan luas lahan perkebunan setiap tahunnya menjadikan Indonesia sebagai negara utama pengekspor minyak sawit dunia (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009). Peningkatan produksi ini terutama disebabkan oleh pertambahan luas lahan perkebunan, pengelolaan perkebunan yang semakin intensif, dan perbaikan bibit kelapa sawit.
Penyediaan bibit kelapa sawit pada umumnya dilakukan secara konvensional melalui biji. Cara perbanyakan ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain bibit yang dihasilkan tidak seragam, waktu yang diperlukan relatif lama, dan tidak menjamin kemurnian atau keunggulan dari bibit tersebut. Namun tersedianya teknologi kultur jaringan dengan berbagai kelebihannya menjadi dasar untuk perbanyakan atau budidaya kelapa sawit, dengan melalui teknologi ini yang diharapkan dapat memenuhi permintaan bibit (Hetharie, 2008). Kultur jaringan telah terbukti dapat menyediakan bibit berbagai tanaman yang akan digunakan secara luas terutama pada tanaman semusim. Melalui kultur in vitro tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan. Penggandaan biakan dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik (Purnamaningsih, 2002). Organogenesis berkaitan dengan proses bagaimana pucuk dan/atau akar adventif berkembang dari dalam massa kalus. Prosesnya tersebut berlangsung setelah suatu periode pertumbuhan kalus (Hartmann et al., 1990). Proses organogenik dimulai dengan perubahan sel parenkim tunggal atau sekelompok kecil sel, yang selanjutnya membelah menghasilkan suatu massa sel globuler atau meristemoid, bersifat kenyal dan berkembang menjadi primordium pucuk atau akar (Nugrahani et al., 2011). Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Y3 (Eeuwens, 1976). Menurut
1 104
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Muniran et al. (2008), media Y3 merupakan media yang paling efektif dan paling cocok diantara media N6 dan MS untuk regenerasi langsung, induksi kalus, embriogenesis somatik, dan pengakaran pada tanaman Elaeis guineensis. Dalam penelitian ini juga diberikan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D. Zat pengatur tumbuh 2,4-D adalah auksin yang paling umum digunakan dan sangat efektif dalam praktik kultur jaringan (Slater et al., 2003). Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2,4-D sangat efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan golongan auksin sintetik yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi (Nugrahani et al., 2011). Pemberian 2,4-D pada konsentrasi 10-710-5 M tanpa sitokinin eksogen sangat efektif untuk induksi proliferasi kalus pada kebanyakan kultur (Dodds & Roberts, 1985). Tujuan penelitian ini adalah untuk membentuk organ dari eksplan bunga betina kelapa sawit dan mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D terbaik untuk pertumbuhan organ dari eksplan bunga betina kelapa sawit. Bahan Dan Metode Bahan Tanaman Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Eksplan yang digunakan sebagai bahan tanam adalah floret yang diambil dari spikelet yang terdapat pada segmen basal tandan bunga betina kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq. varietas Tenera yang berumur 5 tahun yang belum diserbuki. Bunga betina tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Bukit Sentang, Brandan, Sumatera Utara. Floret bunga betina dikulturkan dalam media Y3 (Eeuwens, 1976) dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D (99, 110, 120, 132, dan 140 mg/L) dan arang aktif 3 g/L. Sterilisasi Eksplan Salah satu kunci keberhasilan dalam kultur jaringan adalah sterilisasi eksplan sebelum penanaman. Beberapa bahan kimia yang digunakan dalam sterilisasi seperti merkuri klorida (HgCl2), sodium hipoklorit (NaOCl), dan lainnya dapat membunuh mikroorganisme eksternal (Harahap et al., 2015). Spikelet bunga betina kelapa sawit diambil dari segmen basal tandan bunga, dibersihkan dengan air yang mengalir, lalu
direndam dalam deterjen selama ± 5 menit, kemudian dibilas hingga bersih. Selanjutnya di dalam laminar air flow cabinet, spikelet yang sudah bersih direndam dalam larutan Dithane M45® 0,2% yang telah diberi beberapa tetes Tween-80® selama ± 30 menit dan dibilas dengan akuades steril. Kemudian masukkan spikelet ke dalam larutan NaOCl 1% (1% dari 5,25% Nahipoklorit dalam 200 ml akuades, sehingga volume NaOCl yang digunakan untuk sterilisasi eksplan sebanyak 38 ml) selama ± 5 menit dan dibilas dengan akuades steril. Tahap selanjutnya spikelet direndam dalam larutan HgCl2 0,1% selama ± 30 menit dan dibilas 3 kali dengan akuades steril, masing-masing selama ± 5 menit. Spikelet yang telah steril dikeringkan di atas cawan petri steril yang berisi kertas saring dan eksplan siap ditanam (Zulkarnain, 2009). Penanaman Eksplan Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Eksplan yang digunakan adalah floret bunga betina kelapa sawit. Floret diambil dari spikelet yang telah steril, dibuang kulitnya dengan hati-hati dan dalam keadaan aseptik. Floret tanpa kulit diiris ± 1-2 mm dan diinokulasikan ke dalam media kultur. Inisiasi Kalus Kalus embriogenik dipindahkan ke dalam media padat dan disubkultur agar terjadi proliferasi dari kalus embriogenik. Setelah terjadi proliferasi kalus embriogenik, dilanjutkan pembentukkan embrioid yang membutuhkan waktu kira-kira dua bulan, yang selanjutnya disubkultur pada media padat untuk membentuk tunas dan perakaran, sehingga terbentuk planlet. Analisis Statistik Parameter yang diamati meliputi: 1. Waktu inisiasi kalus Waktu inisiasi kalus dihitung secara manual mulai dari hari setelah tanam (HST) hingga terbentuknya kalus. 2. Waktu pembentukan organ Waktu pembentukkan organ dihitung secara manual mulai dari hari setelah kalus embriogenik terbentuk (HSKET) hingga terbentuknya organ. 3. Persentase eksplan yang membentuk organ 4. Berat basah kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar Berat basah diperoleh dengan cara menimbang berat kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar pada akhir pengamatan.
105
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
5.
Berat kering kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar Berat kering konstan diperoleh dengan cara mengeringkan kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar di dalam oven dengan suhu 500C selama 24 jam setiap harinya dan kemudian ditimbang setiap harinya sampai diperoleh berat yang konstan. Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) nonfaktorial, yaitu perlakuan media Y3 dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D (99, 110, 120, 132, dan 140 mg/L). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Data parameter pengamatan yang meliputi persentase eksplan yang membentuk organ dan berat basah serta berat kering kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar diuji statistik menggunakan uji non parametrik Kruskal Wallis pada taraf signifikasi 5%, jika perlakuan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney U pada taraf signifikasi 5% dengan bantuan program statistik komputer yakni program SPSS versi 20. Hasil Dan Pembahasan Waktu Inisiasi Kalus Waktu inisiasi kalus bunga betina kelapa sawit dihitung secara manual mulai dari hari setelah tanam (HST) hingga terbentuknya kalus. Kalus pertama kali dijumpai setelah 3-4 bulan setelah tanam. Pada bulan pertama eksplan hanya mengalami perpanjangan. Fki et al. (2011) menyatakan bahwa proses kultur in vitro tanaman Arecaceae secara umum membutuhkan waktu yang cukup lama. Rata-rata waktu inisiasi kalus pada beberapa tingkat konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa konsentrasi 2,4-D 99 mg/L menghasilkan waktu inisiasi kalus tercepat (94 HST). Penelitian Thuzar et al. (2012) menunjukkan bahwa konsentrasi 2,4-D sebesar 120 mg/L dan arang aktif 0,3% paling efektif dalam menginduksi kalus sawit varietas Tenera yaitu selama 3 bulan setelah tanam. Thuzar et al. (2011) juga menunjukkan penggunaan 2,4-D sebesar 2 mg/L tanpa penambahan arang aktif menghasilkan tingkat induksi kalus tertinggi pada ekplan embrio kelapa sawit varietas Tenera dibandingkan dengan Picloram dan Dicamba dengan konsentrasi yang sama. Penelitian Teixiera et al. (1994) menunjukkan bahwa kalus pertama kali diamati pada konsentrasi 2,4-D sebesar 475 µM dan arang aktif 0,3% pada 2-3 bulan setelah tanam. Namun, Guedes et al. (2011) melaporkan kalus muncul pada 10 bulan setelah
tanam pada kultur sel lapis tipis (thin cell layer) bunga betina kelapa sawit pada media MS yang diberi 2,4-D konsentrasi 450 µM. Tabel 1. Rata-rata Waktu Inisiasi Kalus pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D Waktu Inisiasi Perlakuan Kalus (HST) 99 mg/L 2,4-D 94 110 mg/L 2,4-D 108 120 mg/L 2,4-D 118 132 mg/L 2,4-D 124 140 mg/L 2,4-D 129 Waktu Pembentukan Organ Waktu pembentukan organ dihitung secara manual mulai dari hari setelah kalus embriogenik terbentuk (HSKET) hingga terbentuknya organ (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa waktu pembentukan organ semakin cepat seiring dengan penurunan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang diberikan. Perlakuan konsentrasi 2,4-D 99 mg/L memberikan hasil waktu tercepat dalam menginduksi pertumbuhan organ (110 HSKET). Hal ini karena bunga betina yang digunakan sebagai sumber eksplan bersifat sangat meristematik. Sifat-sifat genetik jaringan meristem yang stabil, memungkinkan dihasilkannya tanaman baru dengan sifat-sifat genetik yang identik dengan induknya (Meilvana, 2014). Menurut Guedes et al. (2011), eksplan yang didapat dari infloresens (bunga majemuk) immature kelapa sawit dapat lebih menjanjikan karena jumlah meristem bunga per infloresens cukup tinggi, sehingga sel-selnya mampu melakukan pembelahan secara terus-menerus untuk menambah jumlah sel yang mampu meningkatkan kecepatan pertumbuhan organ. 2004). Harahap et al. (2012) melaporkan bahwa kemampuan benih untuk membentuk organ vegetatif tidak hanya dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh saja, melainkan juga oleh beberapa faktor lainnya seperti ukuran eksplan. Eksplan yang berukuran 2 cm diperlakukan dengan BA 4 ppm menghasilkan tunas lebih cepat dari pada ukuran eksplan 1 cm. Ini berarti pemotongan ukuran eksplan yang besar mempengaruhi kerja fungsi jarigan yang terdapat di eksplan. Beberapa penelitian mengenai organogenesis dengan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D telah banyak dilaporkan, diantaranya yaitu Slesak et al. (2005) menghasilkan organ akar dengan pemberian 2 mg/L 2,4-D pada media Murashige and Skoog
106
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
(MS) dari eksplan hipokotil Brassica napus L. cv. Kana. Mirshekar et al (2014), penggunaan kombinasi 0,5 mg/L 2,4-D dan 0,5 mg/L BAP lebih cepat meningkatkan jumlah tunas dan panjang tunas dari eksplan Thymus daenensis Celak pada media MS. Lisnandar et al. (2012), pemberian 2,4-D 1,0 mg/L pada media MS mampu menginduksi akar pada eksplan anggrek macan (Grammatophyllum scriptum Lindl.). Tindaon (2014) pemberian 2,4-D 100 mg/L dan arang aktif 3 mg/L pada media Y3 mampu menghasilkan organ pupus pada eksplan tunas pucuk kelapa sawit. Tabel 2. Rata-rata Waktu Pembentukan Organ pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D Waktu Perlakuan Pembentukan Organ (HSKET) 99 mg/L 2,4-D 110 110 mg/L 2,4-D 126 120 mg/L 2,4-D 131 132 mg/L 2,4-D 140 mg/L 2,4-D -
Perlakuan 99 mg/L 2,4-D 110 mg/L 2,4-D 120 mg/L 2,4-D 132 mg/L 2,4-D 140 mg/L 2,4-D
Persentase Eksplan yang Membentuk Organ Persentase kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar pada semua perlakuan adalah sebesar 32%, yaitu sebanyak 8 eksplan dari 25 eksplan, dimana persentase tertinggi dicapai pada perlakuan konsentrasi 2,4D 99 mg/L, yaitu 20% (Tabel 3). Poonsapaya et al. (l989) menyatakan bahwa penambahan auksin ke dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi hormon endogen di dalam sel yang menjadi faktor pemicu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Menurut Kartina et al. (2011), kinerja auksin eksogen yang diberikan bersinergis dengan auksin dan sitokinin endogen yang telah ada dalam eksplan. Pada perlakuan konsentrasi 2,4-D 132 dan 140 mg/L tidak menunjukkan adanya kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar (0%). Hal ini diduga karena konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan terlalu tinggi, sehingga menghambat pertumbuhan organ pada eksplan. Dalam organogenesis terdapat tiga kemungkinan yang dapat menyebabkan eksplan gagal untuk berorganogenesis. Pertama, se-sel pada eksplan kekurangan totipotensi. Kedua, selsel pada eksplan tidak mampu berdeferensiasi dan berdediferensiasi. Ketiga, konsentrasi zpt yang tidak sesuai (Prihatmanti dan Mattjik, 2004).
Tabel 3. Persentase Eksplan yang Membentuk Organ Ulangan Total 1 2 3 4 5 1 1 1 1 1 5 0 0 1 1 0 2 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Total 8
Berdasarkan hasil analisis statistik perlakuan konsentrasi 2,4-D 99 mg/L menunjukkan adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 120, 132, dan 140 mg/L (Gambar 1). Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa perlakuan konsentrasi 2,4-D 99 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 120, 132, dan 140 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 120 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 132 dan 140 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 132 mg/L dan konsentrasi 2,4-D 140 mg/L tidak
Persentase 20% 8% 4% 0% 0% 32%
memberikan perbedaan yang nyata antar kedua perlakuan. Hal ini disebabkan karena dalam induksi organ dibutuhkan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang optimum. Konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang optimum dalam proses pembentukan organ akar dari eksplan bunga betina kelapa sawit adalah 99 mg/L. Semakin tinggi pemberian konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D ke dalam media maka semakin kecil kemampuan kalus untuk beregenerasi menjadi organ. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) dalam Andaryani (2010), pada kadar auksin yang tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan.
107
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Secara visual, akar yang terbentuk pada eksplan bunga betina berwarna kekuningan tanpa bulu akar, tipis, dan tidak kokoh (Gambar 2). Pemberian zat pengatur tumbuh ke dalam media mempengaruhi proses terbentuknya organ. Dengan adanya rangsangan dan zat pengatur tumbuh endogen maupun eksogen menyebabkan metabolisme sel menjadi aktif sehingga akan terbentuk kalus yang selanjutnya
kalus tersebut akan bergenerasi menjadi organ. Dalam kultur jaringan, zat pengatur tumbuh tambahan (eksogen) diberikan untuk memperoleh efek pertumbuhan karena proses mulai terjadinya kalus sampai berdiferensiasi berbeda-beda tergantung macam dan bagian tanaman yang dipakai untuk eksplan, metode budidaya in vitro yang digunakan, dan zat-zat yang ditambahkan pada media.
25
a 20
15
ab
10
b 5
b
b
0 99 mg/L 2,4- 110 mg/L 2,4- 120 mg/L 2,4- 132 mg/L 2,4- 140 mg/L 2,4D D D D D
Perlakuan Gambar 1. Persentase Eksplan yang Membentuk Organ Terhadap Pemberian Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D
(a) Gambar 2.
7 mm MM
5 mm
6 mm (b)
(c)
Kalus yang Sudah Beregenerasi Menjadi Akar dari Eksplan Bunga Betina Kelapa Sawit: (a) Pemberian 99 mg/L 2,4-D, (b) Pemberian 110 mg/L 2,4-D, dan (c) Pemberian 120 mg/L 2,4-D
108
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Berat Basah Kalus yang Sudah Beregenerasi Menjadi Akar Data hasil pengamatan berat basah kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar dan hasil analisis uji statistiknya disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel ini dapat diketahui bahwa perlakuan konsentrasi 2,4-D 99 mg/L memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 110, 120, 132, dan 140 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 120, 132, dan 140 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 120 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 132 dan 140 mg/L, perlakuan
konsentrasi 2,4-D 132 mg/L dan konsentrasi 2,4-D 140 mg/L tidak memberikan perbedaan yang nyata antar kedua perlakuan. Berat basah kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar semakin meningkat seiring dengan penurunan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang diberikan. Konsentrasi 2,4-D terendah (99 mg/L) ternyata memberikan rata-rata berat basah tertinggi, yaitu 0,151 gram. Hal ini disebabkan karena kandungan airnya yang tinggi. Menurut Rahayu et al. (2003), berat basah kalus dipengaruhi oleh jumlah air yang terkandung dalam kalus yang mempengaruhi pertumbuhan dalam media tumbuh.
Tabel 4. Rata-rata Berat Basah Kalus yang Sudah Beregenerasi Menjadi Akar pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D Ulangan Perlakuan Rata-Rata (gram) 1 2 3 4 5 99 mg/L 2,4-D 0,203 0,250 0,150 0,070 0,082 0,151a 110 mg/L 2,4-D 0 0 0,142 0,063 0 0,041b 120 mg/L 2,4-D 0,195 0 0 0 0 0,039b 132 mg/L 2,4-D 0 0 0 0 0 0,000b 140 mg/L 2,4-D 0 0 0 0 0 0,000b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Mann-Whitney U pada taraf 5% (p < 0,05). Berat Kering Kalus yang Sudah Beregenerasi Menjadi Akar Selain didasarkan pada berat basah, indikator pertumbuhan organ juga didasarkan pada berat keringnya. Berdasarkan uji statistik berat kering kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar, perlakuan konsentrasi 2,4-D 99 mg/L memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 110, 120, 132, dan 140 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 99 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 110 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 120, 132, dan 140 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 120 mg/L menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata dengan perlakuan konsentrasi 2,4-D 132 dan 140 mg/L, perlakuan konsentrasi 2,4-D 132 mg/L dan konsentrasi 2,4-D 140 mg/L tidak memberikan perbedaan yang nyata antar kedua perlakuan (Tabel 5). Berat kering kalus yang sudah beregenerasi menjadi akar semakin
meningkat seiring dengan penurunan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D yang diberikan. Perlakuan konsentrasi 2,4-D 99 mg/L memberikan rata-rata berat kering tertinggi, yaitu 0,031 gram. Tingginya berat kering disebabkan karena meningkatnya aktivitas organ pada masing-masing perlakuan. Biomassa organik yang tinggi akan meningkatkan laju metabolisme sel, dimana laju metabolisme sel berbanding lurus dengan laju pertumbuhan organ. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tepat dan sesuai akan meningkatkan laju metabolisme sel. Pemberian auksin 2,4-D dapat memacu pertumbuhan kalus, yang ditunjukkan dengan terjadinya pertambahan ukuran dan berat kering kalus yang tidak dapat balik. Pertumbuhan berkaitan dengan pertambahan volume dan jumlah sel, pembentukan protoplasma baru, pertambahan berat, dan peningkatan berat keringnya. Bahan kering ini terdiri dari bahan-bahan organik dan mineral yang penting untuk pertumbuhan kalus (Rahayu et al., 2003).
109
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Tabel 5. Rata-rata Berat Kering Kalus yang Sudah Beregenerasi Menjadi Akar pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh 2,4-D Ulangan Perlakuan Rata-Rata (gram) 1 2 3 4 5 99 mg/L 2,4-D 0,041 0,045 0,040 0,015 0,012 0,031a 110 mg/L 2,4-D 0 0 0,042 0,008 0 0,010ab 120 mg/L 2,4-D 0,030 0 0 0 0 0,006b 132 mg/L 2,4-D 0 0 0 0 0 0,000b 140 mg/L 2,4-D 0 0 0 0 0 0,000b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Mann-Whitney U pada taraf 5% (p < 0,05). Kesimpulan Inisiasi kalus dari segmen basal tandan bunga betina kelapa sawit mampu membentuk organ akar pada media Y3 dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D 99 mg/L, 110 mg/L, dan 120 mg/L. Pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D 99 mg/L menghasilkan persentase tertinggi terhadap pembentukan organ akar sebesar 20%. Daftar Pustaka Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan Berbagai Konsentrasi BAP dan 2,4-D terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Secara In Vitro. Skripsi Sarjana Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2009. Roadmap Industri Pengolahan CPO. Jakarta: Departemen Perindustrian. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015. Jakarta: Kementerian Pertanian. Dodds, J.H. and L.W. Roberts. 1985. Experiments in Plant Tissue Culture: Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Fki, L., Masmoudi R., Kriaa W., Mahjoub A., Sghaier B., Mzid R., Mliki A., Rival A., and Drira N.. 2011. Date palm micropropagation via somatic embryogenesis. Date palm biotechnology. p. 47-68. Guedes, R.D.S., T.L. Da Silva, Z.G. Luis, and J.E. Scherwinski-Pereira. 2011. Initial requirements for embryogenic calluses initiation in thin cell layers explants from immature female oil palm inflorescences. African Journal of Biotechnology Vol. 10(52), pp. 10774-10780. Harahap, F., Hasruddin, dan C. Suriani. 2012. Pertumbuhan tunas manggis (Garcinia mangostana L.) in vitro hasil perlakuan zat pengatur tumbuh benzyl adenin dan ukuran eksplan yang berbeda. Jurnal Penelitian Saintika, 12 (01). pp. 1-13.
110
Harahap, F., R. Poerwanto, Sobir, Hasruddin, C. Suriani, J. Siallagan, and Rohyana. 2015. Sterilization of Pineapple Explant from Sipahutar, North Sumatera, Indonesia (Ananas comosus L.) and In Vitro Growth Induction. Asian Jr. of Microbiol. Biotech. Env. Sc. Vol. 17, No (2): 469-478. Hartmann, H.T., D.E. Kester, and F.T. Davis-Jr. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices. Englewood Clifts. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Hetharie, H. 2008. Abnormalitas Bunga dan Buah pada Klon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Berdasarkan Analisis Morfologi, Biokimia, dan DNA Genom. Disertasi Doktor Agronomi dan Holtikultura. Institut Pertanian Bogor. Kartina, A.M., Nurmayulis, dan Susiyanti. 2011. Pengaruh Indole Butiric Acid (IBA) terhadap Pembentukkan Akar pada Tanaman Aren. J. Agrivigor 10(2): 208218. Lisnandar, D.S., W. Mudyantini, dan A. Pitoyo. 2012. Pengaruh pemberian variasi konsentrasi NAA (α-naphthaleneacetic acid) dan 2.4 D terhadap induksi protocorm like bodies (PLB) anggrek macan (Grammatophyllum scriptum Lindl.). Bioteknologi 9 (2): 66-72. Mangoensoekarjo, S. dan H. Semangun. 2008. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Meilvana, T.N. 2014. Analisis Histologi Embriogenesis Somatik dari Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) var. Tenera. Tesis Magister Sains. Universitas Sumatera Utara. Mirshekar, A., M. Honarvar, F. Mohammadi, and A. Alizadeh. 2014. Optimization of Tissue Culture of Thymus daenensis Celak. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 14 (9): 949-953. Muniran, F., S.J. Bhore, and F.H. Shah. 2008. Micropropogation of Elaeis guineensis
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 2. Agustus 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Jacq. ‘Dura’: Comparison of three basal media for efficient regeneration. Indian Journal of Experimental Biology Vol. 46, pp. 79-82. Nugrahani, P., Sukendah, dan Makziah. 2011. Regenerasi Eksplan Melalui Organogenesis dan Embriogenesis Somatik. Jawa Timur: Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’. Poonsapaya, P., M.W. Nabors, K. Wright, and M. Vajrabhaya. l989. A Comparison of Methods for Callus Culture and Plant Regeneration of RD25 Rice (Oryza sativa L.) In Two Laboratoris. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 16(3): 175-186. Prihatmanti, D. dan N.A. Mattjik. 2004. Penggunaan ZPT NAA (Naphtaleine Acetic Acid) dan BAP (6-Benzyl Amino Purine) serta Air Kelapa untuk Menginduksi Organogenesis Tanaman Anthurium (Anthurium andraeanum Linden Ex Andre). Buletin Agronomi 32(1): 20-25. Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Buletin AgroBio 5(2): 51-58. Rahayu, B., Solichatun, dan E. Anggarwulan. 2003. Pengaruh Asam 2,4-Diklorofenoksiasetat (2,4-D) terhadap Pembentukan dan Pertumbuhan Kalus serta Kandungan Flavonoid Kultur Kalus Acalypha indica L.. Biofarmasi 1(1): 1-6. Slater, A., N.W. Scott, and M.R. Fowler. 2003. Plant Biotechonogy: The genetic manipulation of plants. New York: Oxford University Press Inc. Slesak, H., M. Popielarska, and G. Goralski. 2005. Morphological and Histological Aspects of 2,4-D Effects on Rape Explants (Brassica napus L. cv. Kana) Cultured In Vitro. Acta Biologica Cracoviensia Series Botanica 47/1: 219-226. Teixera, J.B., Söndahl, M.R., and Kirby, E. G. 1994. Somatic embryogenesis from immature inflorescences of oil palm. Plant Cell Reports. 13: 247-250. Thuzar, M., A. Vanavichit, S. Tragoonrung, and C. Jantasuriyarat. 2012. Recloning of regenerated plantlets from elite oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) cv. Tenera. African Journal of Biotechnology Vol. 11(82), pp. 14761-14770. Thuzar, M., A. Vanavichit, S. Tragoonrung, and C. Jantasuriyarat. 2011. Efficient and rapid plant regeneration of oil palm zygotic embryos cv. ‘Tenera’ through somatic
embryogenesis. Springer Acta Physiol Plant 33: 123-128. Tindaon, F.H. 2014. Organogenesis dari Kelapa Sawit Asal Eksplan Tunas Pucuk (Apical Bud). Tesis Magister Sains. Universitas Sumatera Utara. Toruan-Mathius, N., Endang-Yuniastuti, R. Setiamiharja, dan M.H. Karmana. 2005. Analisis genotip normal dan abnormal pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Menara Perkebunan, 73(1): 12-25. Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Jakarta: Bumi Aksara.
111