TINJAUAN PUSTAKA Buah Markisa Markisa (Passion fruit) tergolong dalam filum Spermatophyta, kelas Angiospermae, sub kelas Monocotyledone dan famili Passifloraceae. Ada sekitar 400 jenis markisa yang telah diketahui, dan 50 – 60 jenis diantaranya dapat dimakan.
Beberapa
jenis
markisa
yang
terkenal
adalah
Passiflora
quandrangularis, Passiflora ligularis, Passiflora laurifolia dan Passiflora molissima. Gambar 1 dibawah ini adalah gambar dari markisa kuning (Passiflora edulis f.flavicarpa) yang merupakan jenis markisa yang paling banyak diproduksi secara komersial, begitu juga dengan markisa ungu (Passiflora edulis Sims) (Nakasone dan Paull 1999).
Gambar 1 Buah Markisa Kuning (Passiflora edulis f.flavicarpa). Tanaman markisa dapat berbunga sepanjang tahun, namun musim bunga yang utama adalah bulan Agustus-Oktober dan musim panen raya jatuh pada bulan November - Januari (Sunarjono 1998). Penanaman markisa bervariasi di tiap daerah. Markisa dinamakan Passion fruit atau granadilla di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya, grenadille di Prancis, buah negeri (Jawa), pasi (Sunda) di Indonesia, buah susu atau markisa di Malaysia, passionaria di Filipina dan linmangkon di Thailand. Markisa kuning (Passiflora edulis f. Flavicarpa) berasal dari Brazil bagian selatan, tumbuh di pinggiran hutan hujan. Markisa tumbuh baik pada ketinggian 0-800 mdpl dengan curah hujan 2000-3000 mm (Verheij dan Coronel 1997).
9
Dalam pemanfaatannya, buah markisa banyak diolah menjadi sari buah, konsentrat, cocktail, es krim, jam dan jelly. Flavor markisa yang kuat dan menyenangkan menjadikan buah tersebut sering ditambahkan pada beberapa produk makanan seperti pie, cake, saus, salad dan sherbets (Nakasone dan Paull 1999). Sari
buah
markisa
banyak
mengandung
Passiflorine,
suatu
zat
menentramkan urat syaraf serta mengandung ± 21.9 – 69.9 mg vitamin C per 100 gr sari buah. Komposisi sari buah markisa dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini: Tabel 3 Komposisi Kimia Sari Buah Markisa Komponen Kadar air (%) Ekstrak eter (%) Serat kasar (%) Padatan terlarut (%) Asiditas (%) 0 Brix / asam pH Gula pereduksi (%) Gula non pereduksi (%) Total gula (%) Kalsium (mg %) Fosfor (mg %) Besi (mg %) Asam askorbat (mg %) Karoten (IU Vitamin A/100gr)
Kisaran 76.9 – 82.5 0.01 – 0.08 14.4 – 21.9 2.4 – 4.8 3.4 – 7.7 2.6 – 3.2 3.6 – 8.3 2.3 – 7.9 7.4 – 13.3 9.7 – 18.4 21.4 – 60.4 2.3 – 4.0 21.9 – 69.9 1073.0 – 1547.0
Rata-rata 80.4 0.05 17.3 3.4 5.3 2.8 6.2 4.6 10 12.1 30.1 2.6 34.6 1345.0
Sumber : Pruthi dan Lal (1959).
Buah Markisa Ungu (Passiflora edulis f. edulis Sims) Jenis buah markisa yang digunakan sebagai bahan baku industri markisa olahan adalah buah markisa ungu (Passiflora edulis Sims) seperti terlihat pada Gambar 2, yang banyak tumbuh dan dibudidayakan di Propinsi Sumatera Utara. Buah diatas berbentuk bulat lonjong, dengan panjang antara 4.42 - 5.76 cm, garis tengah antara 4.05 - 5.18 cm dan bobot per buah antara 28.19 - 60.87 g. Sewaktu buah masih muda, kulitnya berwarna hijau dan setelah tua, berubah menjadi coklat ungu. Di dalam buah terdapat banyak biji berbentuk gepeng kecil berwarna hitam, yang masing-masing diselimuti selaput yang mengandung cairan masam berwarna kuning (Verheij dan Coronel 1997).
10
Gambar 2 Buah Markisa Ungu (Passiflora edulis f. edulis Sims).
Produksi buah markisa di Indonesia pada umumnya mengalami peningkatan setiap tahunnya, kecuali pada tahun 1999 dan 2004 dimana terjadi penurunan yang cukup merosot dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel 4). Mengingat produksi buah markisa yang terus meningkat, hal ini menjadi potensi bagi Indonesia untuk mengembangkan bisnis markisa, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan. Tabel 4 Produksi Buah Markisa di Indonesia Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Produksi Buah Markisa (Ton) 17.340 * 3.738 * 14.952 * 15.401 * 15.863 * 71.898 ** 59.435 ** 75.767 ** 120.128 **
Keterangan : * = Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2005. ** = Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, 2007.
Tanaman markisa yang berasal dari biji mulai berbuah setelah berumur 9-10 bulan, sedangkan yang berasal dari stek mulai berbuah lebih awal yaitu sekitar tujuh bulan. Warna buah pada mulanya berwarna hijau muda akan berubah ungu tua (edulis) atau kuning (flavicarpa) ketika matang. Sari buah yang berkualitas baik diperoleh dari buah markisa yang dipanen pada tingkat kematangan minimal 75% (Jagtiani et al. 1988).
11
Diagram alir pembuatan sari buah markisa dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan proses pembuatan sari buah markisa dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini : Buah Markisa Diblansir 1000C selama 2 menit Dipotong Dikeruk
Kulit
Pulp Markisa Pulper
Biji
Disaring Sari Markisa Gambar 3 Diagram Alir Ekstraksi Sari Markisa (Hardiansyah 2004). Blansir adalah perlakuan panas baik berupa air panas atau uap panas dengan suhu 100 0C selama 1 menit dan tekanan 1 atm. Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa perlakuan blansir diperlukan untuk beberapa macam bahan sebagai perlakuan pendahuluan sebelum dikeringkan atau dibekukan. Blansir bertujuan untuk menginaktifkan enzim peroksidase, katalase dan enzim pencoklatan lainnya. Blansir juga dapat mengurangi jumlah oksigen dalam sel, mengurangi jumlah mikroba dan mempertahankan warna. Tergantung dari panas yang diberikan blansir juga dapat menginaktifkan mikroorganisme. Suhu dan lamanya blansir berbeda-beda pada setiap bahan, tergantung dari sifat bahan yang akan diolah.
12
Na-benzoat
Air panas 1000C
Sari Markisa
Larutan gula dengan perbandingan 2 : 1 Disaring 100 mesh Tahap Pencampuran Sari markisa dihomogenisasi Dipasteurisasi suhu 800C selama 15 menit Pengisian Dikemas Sirup markisa Gambar 4 Tahap Pembuatan Sirup Markisa (Hardiansyah 2004). Perlakuan pasca panen buah markisa yang akan dijual sebagai buah segar atau sari buah berbeda. Buah markisa termasuk buah klimakterik, untuk itu jika buah tersebut akan dijual sebagai buah segar, sebaiknya buah dipanen pada saat persentase warna ungu mencapai 50-70% dan tangkai buah disisakan ± 3 cm. Buah tersebut harus dijaga kenampakan kulit buahnya, yaitu tetap mulus, tidak keriput. Buah markisa dapat disimpan selama empat – lima minggu pada suhu 700C dan kelembaban nisbi 85-95% tanpa merusak kualitasnya (www.bi.go.id diakses 23 Juni 2007). Pada Tabel 5 dapat dilihat komposisi nutrisi dari buah markisa ungu.
13
Tabel 5 Komposisi Nutrisi Markisa Ungu Per 100 Gram Bagian yang Dapat Dimakan Komposisi Kandungan 72.2 Air (%) 3.0 Protein (gr) 0.12 Lemak (gr) 13.4 Total Karbohidrat (gr) 12.8 Serat (gr) 0.5 Abu (gr) 6.8 Kalsium (mg) 63.8 Fosfor (mg) 0.6 Besi (mg) 8.0 Natrium (mg) 208.1 Kalium (mg) 23.3 Asam Askorbat (mg) Sumber : Rodriguez, et al. (1993).
Untuk menghasilkan sari buah markisa yang bermutu baik, buah harus dipanen masak. Buah sebaiknya dipanen minimal pada saat kematangan mencapai 75% dan akan lebih baik jika buah dipanen masak. Tetapi buah yang dipanen masak yaitu yang telah jatuh dari tangkainya akan lebih cepat mengalami penurunan kadar air, sehingga kulitnya menjadi keriput. Namun demikian kondisi sari buahnya tetap tidak berubah. Dari 100 kg buah dapat dihasilkan sekitar 40 kg jus buah yang masih mengandung biji atau 30 kg jus buah (www.bi.go.id diakses 23 Juni 2007). Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi buah markisa di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2000-2007 mengalami peningkatan dan penurunan, seperti dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini : Tabel 6 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Panen Buah Markisa Tahun 2000-2007 Propinsi Sumatera Utara Tahun Luas Panen Produktivitas Panen Produksi Panen (Ha) (Kw/Ha) (Ton) 2000 718 208.25 14.952 2001 0 0.00 0 2002 499 231.92 11.573 2003 665 232.14 15.437 2004 652 230.32 15.017 2005 619 228.71 14.157 2006 679 227.36 15.438 2007 3.205 34.94 11.197 Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara 2008.
14
ISO 9000 Kebutuhan perusahaan untuk meningkatkan mutu produk atau jasa serta kepuasan pelanggan semakin besar karena terbukanya perdagangan bebas dalam era globalisasi. Oleh karena itu perusahaan berusaha memenangkan persaingan dengan meningkatkan mutu produk atau jasa, sehingga dapat memberikan kepuasan pelanggan. Untuk meningkatkan mutu produk atau jasa perusahaan harus menerapkan sistem manajemen mutu. ISO 9000 merupakan salah satu standar sistem manajemen mutu yang diakui dunia internasional dan bersifat global untuk berbagai bidang usaha. Landasan Teori ISO 9000 merupakan suatu kumpulan standar manajemen mutu dan standar proses tetapi bukan standar produk. ISO 9000:2000 terdiri dari beberapa bagian yang memuat tentang sistem manajemen mutu, diantaranya ISO 9001:2000 dan ISO 9004: 2000. ISO 9001:2000 berisikan persyaratan standar yang digunakan untuk mengukur kemampuan organisasi dalam memenuhi persyaratan pelanggan dan peraturan yang sesuai. ISO 9004:2000 berisikan pedoman standar yang menyediakan acuan dalam peningkatan berkelanjutan sistem manajemen mutu untuk memberikan keuntungan pada semua pihak, termasuk kepuasan pelanggan. Dalam ISO 9001:2000 terdapat delapan prinsip sistem manajemen mutu yang dijadikan sebagai acuan kerangka kerja yang membimbing organisasi menuju peningkatan kerja. Kedelapan prinsip sistem manajemen mutu yang terdapat dalam ISO 9001:2000, adalah sebagai berikut (www.iso.ch) : 1. Fokus pada pelanggan Pelanggan merupakan bagian yang sangat penting bagi organisasi, oleh sebab itu manajemen organisasi harus benar-benar memahami, memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini dan yang akan datang bahkan melebihi harapan pelanggan. 2. Kepemimpinan Pemimpin sangat penting dalam menciptakan kesatuan arah dan tujuan organisasi, menciptakan dan mempertahankan lingkungan internal sehingga personel terlibat secara penuh untuk mencapai tujuan organisasi.
15
3. Keterlibatan personel Keterlibatan personel secara penuh pada semua tingkatan organisasi sangat penting sehingga kemampuan personel dapat digunakan untuk kepentingan organisasi. 4. Pendekatan proses Pendekatan proses sangat penting untuk mencapai hasil yang diinginkan agar lebih efisien, dengan mengelola aktivitas dan sumber-sumber daya yang berkaitan sebagai suatu proses. Proses merupakan integrasi yang berurutan dari personel, material, metode, mesin, dan peralatan, dalam suatu lingkungan untuk menghasilkan keluaran yang memiliki nilai tambah bagi pelanggan. 5. Pendekatan sistem terhadap manajemen Pengidentifikasian, pemahaman dan pengelolaan proses-proses yang saling berkaitan sebagai suatu sistem yang mendukung efektivitas dan efisiensi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. 6. Peningkatan berkesinambungan Peningkatan berkesinambungan akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan dan harus menjadi komitmen perusahaan. Peningkatan berkesinambungan merupakan suatu proses berkesinambungan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi dalam memenuhi kebijakan dan mencapai tujuan organisasi. 7. Pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan Keputusan yang efektif harus berdasarkan analisis data dan informasi yang faktual, sehingga masalah-masalah mutu dapat terselesaikan secara efektif dan efisien. Keputusan yang diambil harus ditujukan untuk meningkatkan kinerja organisasi dan efektivitas implementasi sistem manajemen mutu. 8. Hubungan pemasok yang saling menguntungkan Organisasi dan pemasok-pemasoknya saling tergantung dan hubungan yang saling menguntungkan akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan nilai tambah bagi pelanggan.
16
Pengertian dan Konsep Mutu Mutu dapat didefinisikan berdasarkan tinjauan dasar pendefinisiannya. Beberapa definisi mutu yang populer adalah sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung 2003) : a. Menurut American Society for Quality Control (1998), mutu adalah karakteristik produk dan fitur yang memenuhi kepuasan pelanggan. b. Menurut Webster dalam kamusnya, mutu dijelaskan sebagai tingkat atau derajat kemampuan suatu benda. c. Berdasarkan pengguna, mutu adalah apa yang diharapkan konsumen. d. Berdasarkan usaha manufaktur, mutu adalah derajat kecocokan produk dengan spesifikasi desain. e. Dan berdasarkan produk, mutu adalah tingkat karakteristik produk yang dapat diukur. Pengertian mutu adalah sebagai berikut: (1) mencapai atau melebihi harapan pelanggan; (2) berlaku untuk produk, jasa, proses, dan lingkungan, dan (3) suatu keadaan yang selalu berubah, artinya apa yang dianggap bermutu dewasa ini mungkin tidak cukup baik untuk dianggap bermutu di masa mendatang. Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa mutu mengisyaratkan adanya suatu karakteristik yang dapat diukur (Goetsch dan Davis 1997). Karakteristik yang dapat diukur tersebut dapat disebut sebagai dimensidimensi mutu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Beberapa dimensi mutu produk menurut Mowen dan Minor (1998) adalah sebagai berikut : (1) performance (kinerja), yaitu fungsi yang terdapat pada karakteristik produk; (2) features (fitur) yaitu sejumlah atribut yang menyusun suatu produk; (3) reliability (keandalan) yaitu kemungkinan terjadinya cacat pada produk; (4) durability (usia produk) yaitu rentang waktu produk aman untuk dikonsumsi; (5) serviceability (pelayanan) yaitu kemudahan produk untuk diperbaiki dan diperoleh; (6) aesthetics (estetika) yaitu penampilan produk, dan (7) perceived quality (persepsi mutu) yaitu brand image dan faktor intangible lainnya yang mempengaruhi persepsi konsumen mengenai mutu produk.
17
Manajemen Mutu Agar mutu produk sesuai dengan harapan konsumen maka harus dilakukan suatu perlakuan manajemen mutu. Manajemen mutu dapat diartikan sebagai suatu perilaku
sistematis
dan
berkesinambungan
upaya
memenuhi
kepuasaan
konsumen. Hal ini berimplikasi terhadap seluruh rantai pasokan mulai dari tahap awal produk diproduksi sampai dengan produk di tangan konsumen. Dengan demikian, semua pihak yang terlibat di dalam rantai pasokan ikut bertanggung jawab. Penekanannya adalah bahwa mutu tidak diinspeksi pada tahap akhir saja, tetapi pada semua tahapan produksi. Berdasarkan hal ini, dalam manajemen mutu dikenal dengan istilah pengendalian mutu dan jaminan mutu. Pengendalian mutu (quality control) adalah pengukuran kinerja produk, membandingkan dengan standar dan spesifikasi produk, serta melakukan tindakan koreksi bila ada penyimpangan. Menurut Juran (1995), pengendalian mutu merupakan proses yang digunakan untuk membantu pencapaian produk dan proses sesuai dengan tujuan, sedangkan untuk jaminan mutu (quality assurance) merupakan jaminan dari suatu produk sehingga produk tersebut dibeli oleh konsumen dengan penuh keyakinan dan kepercayaan dan digunakan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama dengan tingkat kepuasaan yang tinggi. Dari istilah pengendalian mutu dan jaminan mutu, dapat disimpulkan bahwa pengendalian mutu lebih terfokus pada produk, sedangkan jaminan mutu terfokus pada rangkaian proses untuk menghasilkan produk yang bermutu. Manajemen mutu dalam bidang pertanian, khususnya untuk agribisnis buahbuahan dapat dilaksanakan dengan melalui keikutsertaan agribisnis buah-buahan dalam GAP dan penerapan HACCP. Namun untuk dapat ikut serta, maka diperlukan langkah-langkah berikut (Pusat Kajian Buah Tropis 2005a) : (1) tahap perencanaan. Tahap ini pelaku agribisnis mempelajari syarat mutu dan jaminan keamanan pangan yang dibutuhkan konsumen, melakukan persetujuan dengan konsumen mengenai protokol kegiatan untuk mencapai mutu, dan membuat dokumentasi mutu yang disepakati bersama; (2) pelatihan petani, distributor, dan petugas; (3) implementasi kegiatan dan pencatatan; (4) kontrol terhadap hal-hal yang bisa menyebabkan tidak tercapainya mutu, audit internal; dan (5) membuat logo jaminan mutu.
18
Hazard Analysis Critical Control Point Sejarah Metode HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dikembangkan di Amerika Serikat pada akhir 1960-an dengan tujuan untuk mengembangkan sebuah sistem yang dapat menjamin keamanan pangan bagi para astronot NASA (National Aeronautics and Space Administration). Metode diatas pertama kali dikembangkan oleh Pillsbury Corporation, NASA dan laboratorium-laboratorium angkatan darat Amerika Serikat. Metode HACCP sangat direkomendasikan oleh kerjasama gabungan FAO/WHO, Komisi Codex Alimentarius dan ICMSF (International Commission for Microbial Specifications for Foods). Lembagalembaga tersebut menganggap bahwa metode HACCP adalah metode yang sesuai untuk dikembangkan demi menjamin keamanan pangan. Di seluruh dunia, ketertarikan industri makanan akan metode tersebut berkembang secara bertahap sejak tahun 1980-an. Ketertarikan diatas menjadi semakin kuat selama sepuluh tahun terakhir, terutama sejak metode HACCP dimasukkan dalam peraturan-peraturan untuk impor bahan pangan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di dunia internasional, seiring dengan hasil persetujuan perundingan Uruguay tentang negosiasi perdagangan lintas batas pada bulan Maret 1994 dan kemudahan-kemudahan lain yang diterapkan dalam perdagangan internasional setelah perundingan tersebut, penggunaan sistem manajemen keamanan pangan yang umum seperti HACCP menjadi semakin penting (European Committee for Standardization 2004). Status Peraturan-peraturan tentang HACCP di Dunia Keharusan penerapan metode HACCP dalam peraturan-peraturan tentang pangan di seluruh dunia telah menjadi semakin penting. Di Amerika Serikat badan-badan yang berwenang (FDA dan Departemen Pertanian) telah mengeluarkan peraturan yang mensyaratkan agar produk-produk daging, unggas atau perikanan yang akan dijual di Amerika Serikat diolah dengan sistem yang menerapkan metode HACCP. Pada tahun 1995, FDA juga mengusulkan agar perusahaan-perusahaan penghasil sari buah dan sayur juga menerapkan sistem HACCP. Sejak tahun 1992, The National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF) telah memasukkan prinsip-prinsip umum dan
19
penuntun HACCP sebagai bagian dari saran-saran yang mereka keluarkan (FAO 1998). NACMCF juga telah menegaskan bahwa pemerintah harus berperan untuk mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penerapan syarat-syarat HACCP, memastikan bahwa rencana penerapan HACCP dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip umum dan penuntun HACCP, mengeluarkan batas kritis yang diwajibkan jika perlu dan memastikan bahwa setiap rencana penerapan HACCP yang dibuat cukup memadai untuk menjamin keamanan pangan. Di Amerika Serikat, masing-masing lembaga telah mengembangkan dan menerapkan syaratsyarat HACCP yang sesuai dan telah mengembangkan sistem penilaiannya. Di Kanada, pemerintah telah menerapkan dua program pengawasan yang saling melengkapi yaitu The Quality Management Programme (QMP) dan The Food Safety Enhancement Program (FSEP). QMP (program pengelolaan kualitas) adalah program yang diwajibkan untuk perusahaan pengolahan ikan, sedangkan FSEP (program peningkatan keamanan pangan) bersifat sukarela untuk industri daging, unggas, susu, industri pengolahan buah dan sayur, industri kulit telur dan pengolahan telur. Baik QMP maupun FSEP, keduanya sesuai dengan penuntun HACCP internasional yang disetujui oleh Codex. Dalam FSEP, operator harus mengembangkan
dan
memelihara
sistem
HACCP
jika
mereka
ingin
mengkualifikasi sistem audit peraturan. QMP adalah program pengawasan makanan pertama di dunia yang berlandaskan prinsip-prinsip HACCP dan memiliki status diharuskan (www.filestube.com diakses 9 Agustus 2008). Di Australia, peraturan-peraturan tentang higiene makanan saat ini dikembangkan dan diwajibkan secara terpisah-pisah oleh setiap negara bagian dan wilayah. Namun demikian, satu set standar higiene makanan telah dikembangkan untuk menyelaraskan persyaratan-persyaratan higiene di berbagai wilayah di Australia. Pada standar baru ini terdapat komponen utama yaitu persyaratan bagi seluruh industri makanan agar dapat mengidentifikasi satu atau lebih potensi bahaya dalam pengolahan makanan dan dapat mengembangkan serta menerapkan program-program
keamanan
pangan
yang
(www.filestube.com diakses 9 Agustus 2008).
berlandaskan
pada
HACCP
20
Selandia Baru, salah satu negara pengekspor makanan terbesar, pada tahun 1990-an memutuskan untuk menerapkan secara sukarela sistem HACCP. Namun demikian, karena terjadi perubahan situasi dan peningkatan permintaan negaranegara pengimpor (klien industri makanan Selandia Baru), Dewan Standar Industri Selandia Baru memutuskan untuk menyusun suatu sistem yang mewajibkan penerapan HACCP untuk daging dan produk-produk laut (www.filestube.com diakses 9 Agustus 2008). Di negara-negara lain, terdapat kecenderungan global dalam hal peraturan yang mewajibkan penerapan HACCP setidaknya untuk komoditas makanan tertentu (misalnya daging dan produk-produk laut dan mengeluarkan sebuah mekanisme penilaian nasional yang berfungsi untuk memastikan bahwa sistem HACCP yang dikembangkan pada masing-masing industri makanan sesuai dengan standar internasional (Codex) (www.filestube.com diakses 9 Agustus 2008). Deskripsi HACCP Codex Alimentarius Commission 1 menjabarkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai berikut: a. Suatu sistem yang memiliki landasan ilmiah dan yang secara sistematis mengidentifikasi
potensi-potensi
bahaya
tertentu
serta
cara-cara
pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan. b. Sebuah alat untuk memperkirakan potensi bahaya dan menentukan sistem pengendalian yang berfokus pada pencegahan terjadinya bahaya dan bukannya sistem yang semata-mata bergantung pada pengujian produk akhir. c. Sebuah sistem yang mampu mengakomodasi perubahan-perubahan seperti perkembangan dalam rancangan alat, cara pengolahan atau perkembangan teknologi. d. Sebuah konsep yang dapat diterapkan pada seluruh rantai makanan dari produksi primer hingga konsumsi akhir, dimana penerapannya dipandu oleh bukti-bukti ilmiah tentang resiko terhadap kesehatan manusia.
1
Annex to CAC/RCP 1-1969, Rev. 3 (1997).
21
Dalam penerapan HACCP, Codex Alimentarius Commission (2003) menyebutkan sebagai berikut : a. Penerapan HACCP yang berhasil memerlukan komitmen yang utuh dan keterlibatan manajemen serta kerja keras. b. Hal tersebut memerlukan pendekatan multidisipliner, termasuk keahlian yang sesuai di bidang agronomi, kesehatan veteriner, produksi, mikrobiologi, obatobatan, kesehatan masyarkat, teknologi pangan, kesehatan lingkungan, kimia dan rekayasa. c. Penerapan sistem HACCP sesuai dengan penerapan sistem manajemen mutu seperti seri ISO 9000 dan merupakan sistem pilihan diantara sistem-sistem pengelolaan keamanan pangan (FAO/WHO 1997). Tujuan HACCP Definisi istilah yang digunakan dalam penerapan HACCP terdapat pada ANNEX 1. Dalam definisi diatas beberapa konsep kunci harus ditegaskan, antara lain potensi bahaya terhadap keamanan pangan (food safety hazard), analisis potensi bahaya (hazard analysis), pengendalian yang sangat diperlukan untuk mencegah atau mengurangi resiko potensi bahaya terhadap keamanan pangan atau menguranginya hingga batas yang dapat diterima dan bagian-bagian dari rantai makanan. Arti dari istilah-istilah tersebut beserta dampaknya (dalam hal kerja tim HACCP) harus dibahas dengan hati-hati dan dipahami sebelum merencanakan suatu sistem HACCP dalam suatu usaha di bidang pangan. Hal-hal tersebut
juga
harus
dijadikan
pegangan
utama
pada
seluruh
tahapan
pengembangan sistem HACCP hingga seluruh penerapan dan verifikasinya. Pemahaman yang lebih baik terhadap konsep-konsep tersebut oleh para anggota tim HACCP akan membantu proses penerimaan dengan akurasi yang lebih baik tentang hal-hal yang harus menjadi peranan utama dalam sistem HACCP dalam usaha pengolahan pangan. •
Tujuan dasar sistem HACCP adalah untuk menunjukkan letak potensi bahaya yang berasal dari makanan yang berhubungan dengan jenis bahan pangan yang diolah oleh perusahaan pengolah makanan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen.
22
•
HACCP harus menjadi dasar analisis potensi bahaya dan ditujukan untuk pencegahan, penghilangan atau pengurangan potensi bahaya keamanan pangan hingga ke tingkat yang dapat diterima.
Prinsip-Prinsip sistem HACCP Sistem HACCP didasarkan pada tujuh prinsip sebagai berikut (FAO 1994): 1. Melakukan suatu analisis potensi bahaya. 2. Menentukan Titik-titik Pengendalian Kritis atau Critical Control Points (CCPs). 3. Menyusun batas-batas kritis. 4. Menyusun suatu sistem untuk mengawasi pengendalian CCP. 5. Menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang harus diambil ketika pengawasan menunjukkan bahwa suatu titik pengendalian kritis (CCP) berada diluar kendali. 6. Menyusun prosedur pengecekan ulang untuk memastikan bahwa sistem HACCP dapat bekerja dengan efektif. 7. Menyusun dokumentasi yang berhubungan dengan semua prosedur dan catatan-catatan yang sesuai untuk prinsip-prinsip ini beserta aplikasinya. Analisis Potensi Bahaya Menurut Panduan Codex (European Committee for Standardisation 2003), analisis potensi bahaya adalah : “Proses mengumpulkan dan mengkaji informasi tentang potensi bahaya dan kondisi-kondisi yang dapat menyebabkannya untuk memutuskan yang mana yang paling berpengaruh nyata terhadap keamanan pangan dan dengan demikian harus dimasukkan dalam rencana HACCP.” Menurut NACMCF (1999) ataupun CAC (1997), tujuan dilaksanakannya analisis bahaya ini adalah untuk mengembangkan suatu daftar bahaya yang beberapa di antaranya diketahui nyata (signifikan) dapat menyebabkan cidera atau sakit bila tidak dikendalikan secara efektif, sedang proses analisis bahaya itu sendiri terdiri atas dua tahap, yaitu : identifikasi bahaya dan evaluasi bahaya. Bahaya (hazards) didalam konteks keamanan pangan menurut Mortimore dan Wallace (1995) adalah perangkat biologi, kimiawi, dan fisik yang dapat
23
menyebabkan gangguan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. International Commission of Microbiological Specifications for Foods (ICMSF 1992) membagi bahaya biologi berdasarkan tingkat resiko bahaya, yaitu Grup I yang mempunyai bahaya besar, Grup II mempunyai tingkat bahaya sedang tetapi bahaya penyakit yang ditimbulkannya berpotensi untuk menyebar, dan Grup III yang mempunyai tingkat bahaya sedang dengan penyebarannya yang terbatas. Jenis-jenis bahaya mikrobiologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini : Tabel 7 Bahaya Mikrobiologis (bakteri, virus dan parasit) yang dibagi Berdasarkan Resiko Keparahan Bahayanya Bahaya Sedang, Potensi Bahaya Sedang, Terbatas Bahaya Tinggi (Grup I) Menyebar (Grup II) Penyebaran (Grup III) Clostridium botulinum Listeria monocytogenes Bacillus cereus tipe A, B, E dan F Shigella dysenteriae Salmonella sp Campylobacter jejuni Salmonella typhii, Shigella sp Clostridium perfringens paratyphy A, B Virus Hepatitis A dan E Enterovirulent Staphyloccus aureus Escheichia coli (EEC) Brucella abortis; B. suis Streptococcus pyrogenes Vibrio cholerae, non O1 Vibrio cholerae O1 Rotavirus Vibrioparahaemolyticus Vibrio vulnivicus Norwalk virus grup Yersinia enterocolotica Taenia solium Entamoeba histolytica Giardia lamblia Trichinella spiralis Diphyllobothrium latum Taenia saginata Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum Sumber : ICMSF (1992).
Menurut Cliver (1992) bahaya kimia dalam makanan dibagi menjadi dua macam, yaitu secara alami terjadi dan bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja. Bahan yang tidak disengaja ditambahkan berasal dari residu/kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi, bahan mentah pada penanganan yang terus terbawa sampai saat dikonsumsi, terdapat pada bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida, pupuk, antibiotik, herbisida dan logam berat; sedangkan yang sengaja ditambahkan misalnya bahan pengawet, antioksidan, pengemulsi dan penstabil, pewarna, penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, pemutih, enzim, penambah nilai gizi dan lain-lain.
24
Bahan-bahan kimia yang berbahaya pada pangan dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini : Tabel 8 Bahan Kimia Berbahaya Pada Pangan Sumber Bahan Kimia Terbentuk secara tidak sengaja
Ditambahkan secara sengaja atau tidak sengaja
Jenis Bahan Kimia Berbahaya • Mikotoksin • Skrombotoksin (histamin) • Ciguatoksin • Toksin jamur • Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnestik (ASP) • Alkaloid pirolizidin • Fitohemaglutinin • PCB (polychlorinated biphenyl) • Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan • Logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida) • Bahan tambahan (jumlah terbatas) : pengawet (nitrit dan sulfit), perangsang cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, rhodamin B), bahan pemanis • Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaiser, pelapis cat.
Sumber : Fardiaz (1996).
Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing yang berbentuk fisik yang secara normalnya tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit (termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett 1992). Sumber bahaya fisik antara lain berasal dari bahan mentah air, gedung, peralatan, material gedung dan pekerja. Bahaya yang terkait dengan bahaya fisik lainnya meliputi rambut, kotoran, kelupasan cat, karat, debu dan kertas (Pierson dan Corlett 1992). Bahaya kimia sangat dikenali oleh sebagian besar konsumen, padahal pada kenyataannya memberikan resiko kesehatan tidak cukup fatal dan umumnya memberikan pengaruh dalam waktu yang panjang. Bahaya biologis lebih besar, kemungkinan
bahaya
yang
ditimbulkannya
dalam
bentuk
keracunan
pangan/makanan. Adapun bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh konsumen (Thaheer 2005).
25
Tabel 9 Material Utama yang Menyebabkan Bahaya Fisik Material Gelas
Kayu
Batu/kerikil Logam
Bahaya Potensial Terpotong, berdarah, luka dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Terpotong, infeksi, tercekik dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya Tercekik, gigi patah Terpotong, infeksi, mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya
Sumber Botol, wadah, lampu, peralatan pengolahan Pallet, boks, gedung, pohon/ranting
Lapangan, gedung Mesin pengoahan lapangan, kawat, pekerja Serangga dan Penyakit, trauma psikologis dan Lapangan, peralatan kotorannya tercekik yang sudah lama tidak digunakan, gudang Bahan insulasi Tercekik, penggunaan asbes dalam Material bangunan waktu lama Potongan tulang Tercekik, trauma Lapangan, proses pengolahan (pemisahan tulang yang tidak benar) Plastik Tercekik, terpotong, infeksi, mungkin Lapangan, bahan memerlukan operasi untuk pengemas, pallet, menghilangkannya pekerja Bagian tubuh Tercekik, terpotong, gigi patah dan Pekerja/karyawan (kuku, rambut, mungkin perlu operasi untuk bulu, dll) menghilangkannya Sisik, kulit Tercekik Pembersihan sisik ikan dan pengulitan hewan secara tidak benar Sumber : Corlett (1992).
Identifikasi bahaya kadang-kadang atau seringkali dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan informasi dari peraturan pemerintah, undang-undang yang berlaku, hasil penelitian dari lembaga/instansi yang kompeten di bidangnya oleh tim HACCP dan selanjutnya tim HACCP akan meninjau atau mengkaji ulang tentang : bahan baku dan/atau ingredien yang digunakan dalam produk, aktivitas yang dilakukan pada setiap langkah proses pengolahan, peralatan yang digunakan untuk membuat/menghasilkan produk pangan, cara penyimpanan dan distribusi, serta tujuan penggunaan produk dan konsumen yang memanfaatkannya, sedang evaluasi bahaya dilakukan setelah bahaya-bahaya yang teridentifikasi tersebut dievaluasi berdasarkan dua faktor, yaitu berdasarkan tingkat keparahannya
26
menyebabkan sakit atau cidera dan peluang kemungkinan terjadinya bahaya tersebut (Bernand et al. 1999). Bahkan analisis bahaya ini diperlukan sebagai dasar penyediaan informasi penentuan titik kendali kritis atau CCP. Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya pada produk pangan, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Kategori resiko bahaya pada produk pangan ada enam bahaya, yaitu bahaya A sampai F disajikan pada Tabel 10, sedangkan penetapan kategori resiko produk dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini : Tabel 10 Karakteristik Bahaya Pada Produk Pangan Kelompok Bahya Bahaya A
Bahaya B Bahaya C
Bahaya D Bahaya E Bahaya F
Karakteristik Bahaya Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok beresiko tinggi (lansia, bayi, immunocompromised) Produk mengandung ingredient yang sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali, yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen, atau tidak ada pemanasan akhir atau pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku), atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
Sumber : NACMCF (1995).
27
Tabel 11 Penetapan Kategori Resiko Produk Produk Beresiko Tinggi Produk-produk yang mengandung ikan, telur, sayur, serelia dan/atau ingredien susu yang perlu direfrigerasi
Daging, ikan mentah dan produk-produk olahan susu Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau diatasnya yang disterilisasi dalam wadah yang tertutup secara hermetis
Produk Beresiko Sedang Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serelia dan atau ingredien atau penggantinya dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi higiene makanan Sandwich dan kue pies daging untuk konsumsi segar Produk-produk berbasis lemak misalnya coklat, margarin, spreads, mayones dan dressing
Produk Beresiko Rendah Produk asam (nilai pH di bawah 4,6) seperti pikel, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah dan minuman asam
Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas Selai (jam), marmelade dan conserves
Produk-produk konfeksioneri berbasis gula Minyak dan lemak Sumber : NACMCF (1995).
Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, ingredien pangan dan produk pangan, maka National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (1995), mengelompokkan kategori resiko bahaya dalam enam kategori, yaitu kategori resiko I sampai dengan VI seperti yang tercantum pada Tabel 12 di bawah ini : Tabel 12 Penetapan Kategori Resiko Suatu Bahan Pangan Karakteristik Bahaya 0 (+) (++) (+++) (++++) (+++++) A+ (Kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya B-F Sumber : NACMCF (1995).
Kategori Resiko 0 I II III IV V VI
Jenis Bahaya Tidak mengandung bahaya A sampai F Mengandung satu bahaya B sampai F Mengandung dua bahaya B sampai F Mengandung tiga bahaya B sampai F Mengandung empat bahaya B sampai F Mengandung lima bahaya B sampai F Kategori resiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)
28
Dewanti (2000) menambahkan HACCP adalah suatu sistem manajemen untuk menjamin mutu dan keamanan pangan berdasarkan konsep pendekatan yang rasional, sistematis, dan komprehensif dalam mengidentifikasi dan memonitor bahaya yang beresiko tinggi terhadap mutu dan keamanan pangan. Inti dari sistem manajemen HACCP adalah sebagai berikut : a. Pengukuran pencegahan (Preventive Measure), yaitu berbagai prosedur, monitor, tindakan pencegahan dan juga pencatatan data yang bertujuan untuk mencegah secara dini terjadinya masalah yang mungkin timbul guna memperoleh mutu yang prima, aman, konsisten, sehingga memberi jaminan yang lebih baik pada konsumen. b. Pengawasan sewaktu proses (In Process Inspection), yaitu pengawasan yang dilakukan untuk mencegah semua bahaya selama proses produksi mulai dari tahap awal sampai produk siap dikonsumsi. Secara teknis, pengawasan dilakukan terhadap titik kendali kritis selama proses produksi. Cara ini lebih cermat daripada sekedar uji laboratorium. c. Pengawasan dan pengendalian produk akhir, yaitu merupakan bagian dari keseluruhan sistem yang dilakukan pengawasan pada tempat dan waktu yang tepat sesuai keperluan. d. Peranan perusahaan atau industri pengolah pangan, artinya dalam sistem ini peranan produsen sangat besar karena bertanggungjawab atas seluruh sistem, sedangkan pemerintah hanya melakukan verifikasi atas sistem yang diterapkan. Sanitasi Sanitasi adalah upaya penghilangan semua faktor luar bahan pangan yang menyebabkan kontaminasi bahan pangan sampai dengan makanan siap saji (FAO dan WHO 2003). Tujuan sanitasi adalah mencegah kontaminasi bahan pangan dan makanan siap saji sehingga aman dikonsumsi oleh manusia. Kontaminasi terjadi saat agen biologi, fisika atau kimia yang ada di lingkungan masuk ke dalam bahan pangan saat pengolahan maupun penanganan. Ilmu sanitasi adalah ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip yang akan membantu dalam memperbaiki, mempertahankan atau mengembalikan kesehatan yang baik pada manusia. Sanitasi sendiri merupakan usaha pencegahan penyakit
29
dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit. Untuk mempraktikkan ilmu sanitasi seseorang harus mengubah segala sesuatu dalam lingkungan yang dapat secara langsung maupun tidak langsung membahayakan terhadap kehidupan manusia terutama pada aspek kesehatan. Bahaya-bahaya tersebut dapat berasal dari aspek biologis, kimia dan fisik. Namun, aspek biologis terutama mikroorganisme akan lebih banyak berkaitan dengan ilmu sanitasi. Keterkaitan tersebut disebabkan karena produksi penyakit dan produksi senyawa-senyawa dari proses pembusukan atau dekomposisi oleh mikroorganisme. Sanitasi pangan merupakan bagian paling penting dalam ilmu sanitasi. Hal ini dikarenakan baik secara langsung maupun tidak langsung, lingkungan hidup akan berhubungan dengan pasokan pangan manusia. Namun, kadang seseorang tidak tahu tingkat keamanannya, kebersihan dan kesehatannya yang berkaitan dengan penyakit yang dapat ditimbulkan oleh pangan sebagai sumber penyakit. Contohnya kasus keracunan akibat mengkonsumsi hidangan pada acara resepsi pernikahan atau susu gratis yang dibagikan di sekolah-sekolah. Sanitasi pangan merupakan salah satu syarat untuk tercapainya keadaan yang aman dan sehat jika masyarakat mengkonsumsi suatu produk pangan. Hal ini dikenal juga dengan istilah keamanan pangan. Oleh karena itu, akan lebih banyak dijabarkan tentang sanitasi yang dilakukan industri pangan dan juga sebagian dapat diimplementasikan dalam rumah tangga (Dewanti 2005). Industri pangan menerapkan GMP (Good Manufacturing Practices) untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi pada produk pangan. Definisi GMP adalah praktik pengolahan dan sanitasi pangan yang baik untuk menjamin bahwa produk pangan aman untuk dikonsumsi. Terdapat empat area utama GMP dalam pengolahan pangan yaitu personal (personnel), bangunan/gedung dan fasilitasnya (building and facilities), peralatan dan perlengkapan (equipment and utensils), kontrol produksi dan prosesnya (production and process controls). Fokus utama dari semua area GMP tersebut adalah proses pengendalian sanitasi yang diatur melalui SSOP (Sanitary Standard Operating Procedures), yaitu prosedur yang ditetapkan secara spesifik tahap-demi-tahap untuk prosesproses yang berkaitan dengan sanitasi. FDA (Food and Drug Administration)
30
telah menetapkan delapan bidang kunci kondisi sanitasi untuk SSOP yang intinya berisi tentang sanitasi pekerja, sanitasi ruang dan peralatan sanitasi, dan sanitasi lingkungan. Berikut merupakan delapan bidang kunci kondisi sanitasi untuk SSOP yang ditetapkan FDA (Food and Drug Administration 1995) adalah sebagai berikut : a. Keamanan air yang kontak dengan makanan atau permukaan yang kontak dengan makanan; atau yang digunakan dalam pembuatan es; b. Kondisi/kebersihan permukaan-permukaan yang kontak dengan makanan termasuk peralatan, sarung tangan, dan baju luar; c. Pencegahan kontaminasi silang (cross contamination) dari benda-benda yang tidak saniter pada makanan, bahan pengemas makanan, dan permukaan lain yang kontak dengan makanan; d. Pemeliharaan pencucian dan sanitasi tangan, dan fasilitas toilet; e. Perlindungan makanan, bahan pengemas makanan, dan permukaan yang kontak dengan makanan dari pencemaran (adulteration) dengan bahan pelumas, bahan bakar, pestisida, senyawa pembersih, bahan pensanitasi, kondensat, dan cemaran bahan kimia, fisik, dan biologis lain; f. Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan senyawa toksik yang tepat; g. Pengawasan kondisi kesehatan karyawan yang dapat mengakibatkan kontaminasi mikrobiologis makanan, bahan pengemas makanan, dan permukaan yang kontak dengan makanan dan h. Penghilangan hama dari pabrik makanan. Sumber-Sumber Kontaminasi Pangan Kasus keracunan makanan yang sering terjadi merupakan salah satu contoh bahwa masyarakat belum sepenuhnya mengetahui sanitasi dan cara pengolahan makanan yang baik dan aman. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui sumber-sumber dan penyebab terjadinya kasus keracunan makanan tersebut. Umumnya kasus keracunan makanan yang terjadi disebabkan oleh kontaminasi makanan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan penyakit seperti kasus keracunan. Umumnya mikroorganisme yang tumbuh pada makanan dibawa oleh medium pembawa yang kontak langung maupun tidak langsung dengan makanan.
31
Medium pembawa tersebut di antaranya adalah manusia/pekerja, hewan, dan lingkungan tempat pengolahan dan penyimpanan pangan. Medium pembawa tersebut membuat rantai penularan penyakit dari medium satu ke medium akhir yang kontak dengan makanan. Pekerja atau Manusia Pekerja yang menangani makanan dalam suatu industri pangan merupakan sumber kontaminasi yang penting, karena kandungan mikroorganisme patogen pada manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Manusia sehat dapat menjadi pembawa mikroorganisme tersebut dikarenakan pola atau kebiasaan tidak menjaga kebersihan diri sendiri. Contoh kongkrit yang sering terjadi adalah setelah pekerja yang mengunjungi kamar kecil untuk buang air tidak mencuci tangan sampai bersih kemudian tangan pekerja tersebut kontak dengan makanan. Contoh lainnya, kebiasaan tangan pekerja yang tidak disadari selalu menggaruk kulit, menggosok hidung, merapikan rambut, menyentuh atau meraba pakaian dan hal-hal lain yang serupa merupakan andil yang besar dalam perpindahan kontaminan dari manusia ke makanan. Selain bahaya biologis, manusia juga membawa bahaya fisik. Misalnya, rambut dan perhiasan (cincin) pekerja yang tidak disadari jatuh ke dalam makanan. Hewan Sumber kontaminasi yang kedua adalah berasal dari hewan. Hewan juga dapat menjadi medium pertumbuhan dan penyebaran penyakit. Pada industri pangan yang menjadikan hewan sebagai bahan baku mereka, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan hewan tersebut. Namun, untuk sebagian besar industri pangan tidak menghendaki adanya hewan yang berada di area pengolahan makanan. Semua hewan membawa debu, kotoran dan mikroorganisme. Ini termasuk hewan peliharaan rumah tangga seperti anjing dan kucing. Apabila hewan tersebut diizinkan berada di dekat makanan, makanan itu dapat menjadi terkontaminasi. a. Ternak Besar Staphylococcus
aureus
merupakan
penghuni
dari
hidung,
mulut,
tenggorokan, dan kulit dari hewan ternak. Tetapi sebagian besar yang terdapat
32
adalah dalam bentuk koagulase negatif sehingga tidak virulen potensial. Selain itu, Sterptokoki fekal, Clostridium perfringens, Salmonella, dan koliform merupakan penghuni alat pencernaan ternak (www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009). b. Unggas Unggas adalah hewan yang mengandung Salmonella terbanyak termasuk galur-galur patogenik terhadap manusia. Penyakit perut oleh Salmonella pada manusia, kira-kira separuhnya disebabkan oleh produk-produk unggas terutama telur. Pada telur yang sudah mengandung S. typhimurium dapat menyebabkan penyakit typhus. Kulit-kulit telur menjadi sumber Salmonella dan dapat mengkontaminasi isi telur, bila kulit dan membrannya terluka atau bila telur dipecahkan. Oleh karena itu makanan yang mengandung produk-produk unggas perlu diperhatikan secara khusus, misalnya dengan mencuci bersih telur yang akan
digunakan.
Selain
Salmonella,
unggas
dapat
merupakan
sumber
Staphylococcus aureus bila kulitnya terluka dan terinfeksi oleh bakteri tersebut. Makin besar lukanya, penggandaan Staphylococcus aureus makin banyak (www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009). c. Hewan Peliharaan Hewan-hewan peliharaan seperti anjing dan kucing diketahui banyak mengandung
Salmonella
yang
diperoleh
dari
makanan
anjing
yang
terkontaminasi. Oleh karena itu, hewan peliharaan sebaiknya tidak berkeliaran di areal persiapan, pelayanan, dan penyimpanan makanan. Pekerja yang telah memegang hewan harus mengganti baju dan mencuci tangannya dengan baik sebelum menangani makanan. Kontrol terhadap Salmonella dalam makanan hewan peliharaan akan membantu mengurangi salmonelosis pada hewan tersebut dan secara tidak langsung pada manusia (www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009). d. Binatang Pengerat Tikus dapat mengkontaminasi makanan selama transportasi, penggudangan, dan dalam ruang persiapan pangan. Tikus membawa organisme penyakit pada kulit dan atau dalam alat pencernaan yang berasal dari makanan yang sudah terkontaminasi. Salah satu organisme penyakit tersebut adalah Salmonella yaitu S.
33
typhimurium, S. enteridis, dan S. newport. Kontrol terhadap tikus sangat penting dan
harus
dijaga
dari
tempat-tempat
di
mana
makanan
disimpan
(www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009). e. Serangga Lalat yang sering berdekatan dengan manusia dan paling sering ditemukan dalam pabrik makanan adalah Musa domestica. Tempat-tempat berkembang biak lalat yang paling disukai adalah kuku hewan, kotoran manusia, sampah, dan selokan. Oleh karena itu, kaleng-kaleng atau wadah-wadah sampah yang terbuka merupakan ancaman bagi sanitasi yang baik. Lalat sering kali membawa organisme-organisme penyakit dalam bagian-bagian mulut, pencernaan dan kaki. Karena serangga memakan kotoran-kotoran, semuanya ini dapat mengandung patogen usus yang berasal dari manusia maupun hewan, di antaranya Salmonella. Oleh karena itu sangat penting sekali bahan pangan dilindungi dari lalat. Kecoa juga sering dijumpai dalam pabrik makanan. Hewan tersebut biasanya meninggalkan bau khas pada benda dan mengotorinya dengan faeses yang agak cair. Kecoa suka akan makanan berpati, keju, dan bir; tetapi juga memakan hewan-hewan mati, kulit, dan kertas dinding. Kecoa sering mengkontaminasi makanan dan peralatan dengan membawa kotoran-kotoran yang mengandung patogen pada kaki dan tubuhnya. Nyamuk dan ngengat sering terdapat pada tempat-tempat pengolahan makanan dan dapat membawa organisme penyakit dan mengkontaminasi makanan. Hewan tersebut suka tempat yang hangat (www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009). Debu dan kotoran Debu dan kotoran terdiri atas tanah, kulit mati, bulu-bulu halus dan berbagai partikel kecil lainnya. Debu dan kotoran ini sangat mudah tertiup ke makanan setelah terbawa ke dapur melalui pakaian dan sepatu. Tanah mengandung bakteri Clostridium perfringens penyebab keracunan makanan dan banyak lagi yang mengandung bakteri lain (www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009).
34
Udara dan air Udara mengandung bakteri dan beberapa di antaranya dapat melekat pada makanan yang ditinggalkan dalam keadaan terbuka. Jika menggunakan air yang tidak berasal dari keran utama (misalnya dari tangki air yang tidak bertutup di loteng),
air
tersebut
dapat
mengandung
bakteri
yang
berbahaya
(www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009). Buangan (sampah) Sampah, terutama sampah dapur, mengandung makanan busuk, sisa-sisa makanan, sisa kupasan yang semuanya mengandung bakteri. Tempat sampah yang terbuka akan menarik lalat dan hama lainnya yang kemudian membawa bakteri ke makanan (www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009). Jenis-jenis Sanitizer Sanitizer (desinfektan) adalah bahan yang digunakan untuk mereduksi jumlah mikroorganisme patogen dan perusak di dalam pengolahan pangan dan pada fasilitas dan perlengkapan persiapan makanan. Syarat-syarat sanitizer yang ideal adalah harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : sifat-sifat destruktif terhadap mikroorganisme, tahan terhadap lingkungan, sifat-sifat membersihkan yang baik, tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi, larut dalam air dengan berbagai perbandingan, bau dapat diterima atau tidak berbau, stabil dalam larutan pekat dan encer, mudah digunakan, banyak tersedia, murah dan mudah diukur dalam larutan yang telah digunakan (Winarno 2004). Jenis-jenis bahan sanitasi yang utama adalah sanitasi panas, sanitasi radiasi, dan sanitasi kimia. Sanitasi panas adalah bahan sanitasi dengan menggunakan uap panas dan air panas. Sanitasi radiasi adalah bahan sanitasi yang menggunakan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 2500A atau katode energi tinggi atau sinar gamma untuk menghancurkan mikroorganisme, sedangkan sanitasi kimia adalah bahan sanitasi yang menggunakan bahan-bahan kimia. Penggolongan sanitaiser kimia berdasarkan senyawa kimia yang mematikan mikroorganisme yaitu (1) senyawa-senyawa pelepas khlorin, (2) quaternary ammonium compounds, (3) iodophor, (4) senyawa amfoterik, dan (5) senyawa fenolik (Winarno dan Surono 2004).
35
Sanitasi Pekerja Higiene pekerja yang menangani makanan sangat penting peranannya di dalam mencegah perpindahan penyakit ke dalam makanan. Persyaratan bagi pekerja ini yang penting adalah sebagai berikut (Winarno 2004) : 1. Kesehatan yang baik; untuk mengurangi kemungkinan pekerja menjadi tempat penyimpanan bakteri patogen, 2. Kebersihan; untuk mengurangi kemungkinan penyebaran bakteri oleh pekerja, 3. Kemauan untuk mengerti tentang sanitasi; merupakan prasyarat agar program sanitasi berjalan dengan efektif. Cara-cara untuk mengawasi higiene pekerja dapat dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan secara periodik, menjaga kebersihan pekerja (rambut, kulit, tangan, kuku, dan pakaian), dan memberikan pendidikan mengenai prinsipprinsip higiene pekerja. Kebiasaan pekerja ketika sedang bekerja seperti membereskan rambut dan memegang bagian tubuh lain yang tidak mendukung higiene pekerja harus dihilangkan. Fasilitas pencucian tangan harus tersedia dalam kamar ganti pakaian, kamar kecil, dalam dapur, dan daerah pelayanan makanan. Fasilitas seperti air pencuci berupa air hangat (43 - 49 0C), sabun-sabun aseptik seperti yang digunakan di rumah-rumah sakit harus tersedia dalam jumlah cukup. Demikian pula handuk saniter atau alat-alat pengering tangan atau lap sekali pakai. Para pekerja tidak diperkenankan merokok di daerah-daerah persiapan makanan, ruang makan, dan setelah merokok, pekerja harus mencuci tangannya. Pakaian pekerja harus bersih, dan bila digunakan lebih dari satu hari harus disimpan dalam lemari. Tutup rambut atau kepala harus digunakan untuk mencegah terjadinya kontak antara rambut dengan makanan. Para pekerja disediakan seragam khusus yang dikenakan segera saat di pabrik, dan
tidak
diperkenankan datang ke pabrik dari rumah dengan seragam. Pekerja harus menggunakan penutup mulut dan hidung saat bekerja untuk meninimalkan kontaminasi ke makanan (Gambar 5).
36
Gambar 5 Ilustrasi Kelengkapan Seragam Pekerja (www.teknofood blogspot.com). Menjaga tempat kerja, staf dan peralatan bersih adalah bagian penting dari higinitas makanan, karena bekerja di area yang bersih dapat memberikan keuntungan antara lain adalah sebagai berikut : •
Mengurangi resiko terjadi produksi makanan yang berbahaya
•
Mencegah gangguan serangga seperti lalat, tikus dan lain-lain
•
Lebih menarik konsumen Selain menyebabkan luka atau penyakit, higiene yang buruk juga akan
menyebabkan terjadinya hal-hal berikut : •
Kontaminasi makanan
•
Terbuangnya makanan
•
Gangguan serangga
•
Kehilangan waktu kerja
•
Menurunnya efisiensi dan produktifitas
•
Kehilangan pelanggan dan keuntungan
•
Pelanggaran hukum (Dewanti 2005). Sanitasi Bangunan/Ruang dan Fasilitas Tempat kerja maupun pabrik harus tetap bersih dan rapi dan didesinfeksi
secara teratur. Penting untuk mengetahui bagaimana membersihkan semuanya secara teratur untuk menjaganya agar aman digunakan. Proses membersihkan adalah sebuah kerja keras yang membutuhkan energi. Agar permbersihan lebih efektif sebaiknya menggunakan air panas, detergen dan beberapa usaha
37
pembersihan lainnya secara fisik. Detergen adalah bahan kimia yang membantu melarutkan minyak dan membuang kotoran. Meskipun permukaan tersebut sudah kelihatan bersih, masih memungkinkan terdapat bakteri disana. Proses desinfeksi sangat diperlukan untuk memastikan permukaan tersebut aman. Desinfeksi adalah pengurangan bakteri sampai level yang aman. Cara umum yang digunakan adalah dengan menggunakan air panas ( ± 82°C), uap panas atau desinfektan yang sesuai. Untuk membersihkan sesuatu secara teratur, sebaiknya mengikuti enam tahap di bawah ini (Dewanti 2005): 1. Pre clean adalah membuang kotoran atau menyingkirkan makanan atau sisa-sisa produksi sebelum dilakukan pembersihan utama. Tahap ini dapat dilakukan dengan menyikat debu yang berasal dari sisa-sisa atau remahan makanan dan lapisan permukaan alat. Dapat menggunakan kain penggosok untuk menghilangkan noda yang bandel. 2. Main clean dilakukan dengan menggunakan air bersih atau air panas dan detergen. Juga harus memperhatikan areal yang sulit dibersihkan misalnya bagian sudut. 3. Pembilasan dilakukan dengan menggunakan air bersih dan lap bersih. 4. Desinfeksi dilakukan dengan menggunakan larutan desinfeksi dan membiarkannya beberapa saat. 5. Pembilasan akhir dilakukan dengan menggunakan air bersih dan lap bersih. 6. Pengeringan dapat dibiarkan kering secara alami atau menggunakan pengering
steril.
Pengeringan
dengan
menggunakan
lap
dapat
menyebarkan bakteri. Oleh karena itu jika mengeringkannya dengan lap harus menggunakan lap yang bersih dan kering atau lap dari bahan kertas. Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan meliputi sanitasi di dalam dan di luar area pengolahan makanan. Sanitasi di dalam area harus dimulai dari tata letak peralatan sehingga memudahkan pembersihan dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, sedangkan sanitasi di luar area pengolahan lebih berhubungan dengan lingkungan yang mendukung proses pengolahan makanan. Dengan meningkatnya populasi,
38
urbanisasi, perdagangan, dan pengolahan produk pangan, maka praktek-praktek sanitasi perlu mendapat perhatian lebih besar. Keterlibatan lingkungan seperti produksi limbah gas, limbah cair, dan limbah padat yang menimbulkan masalah pembuangan yang bervariasi tergantung pada toksisitas limbah, lokasi produksi dan pembuangan, serta volume limbah. Sanitasi lingkungan lebih menitikberatkan untuk pengendalian faktor-faktor eksternal seperti air, tanah, dan udara yang mendukung proses pengolahan makanan. Untuk mengatasi masalah air buangan harus dibuat fasilitas sistem saluran pembuangan yang baik, fasilitas kamar kecil, dan persediaan air yang terpisah dengan saluran air buangan, sedangkan untuk mengatasi masalah bahaya kontaminasi dari tanah maka disediakan alas kaki tersendiri bagi pekerja untuk di dalam ruangan pengolahan dan bahan baku sebelum diolah harus dilakukan tahap pembersihan dan sortasi sehingga adanya kotoran dari tanah dapat dihindari. Hal yang lebih penting lagi adalah diperlukan pembersihan secara rutin, serta sistem ventilasi yang baik sangat diperlukan untuk mengatur sirkulasi udara di area pengolahan. Lingkungan harus selalu dipertahankan dalam keadaan bersih dengan cara membuang sampah segera agar tidak menumpuk, tempat sampah selalu dalam kondisi tertutup, dan jalan terpelihara supaya tidak berdebu atau kotor dan selokan yang berfungsi dengan baik. Penanggulangan Kontaminasi Permukaan tempat kerja, pisau, pakaian dan tangan yang tidak dicuci merupakan pembawa yang memindahkan bakteri ke makanan (kontak tidak langsung). Benda-benda dapat mengkontaminasi makanan selama tahap-tahap proses produksi. Bahan kimia, termasuk pestisida, pemutih dan bahan pembersih lainnya dapat mengkontaminasi makanan apabila tidak digunakan dengan hatihati. Apabila benda yang berbahaya dimasukkan dalam makanan secara sengaja, ini disebut kontaminasi disengaja dan merupakan tindakan kejahatan. Kontaminasi yang dibahas ini merupakan kontaminasi yang tidak sengaja dilakukan. Oleh karena itu perlu suatu upaya untuk mencegah kontaminasi dan keracunan.
Adapun
upaya-upaya
tersebut
antara
(www.seaedunet.seamolec.org diakses 3 Feb 2009) :
lain
sebagai
berikut
39
1. Mencegah kontaminasi pada pangan a. menyentuh makanan sesedikit mungkin; b. menghindarkan makanan dari semua sumber bakteri; c. menutup makanan; d. memisahkan makanan mentah dari makanan yang sudah dimasak; e. menghindarkan hewan dan serangga dari tempat makanan; f. membuang sisa makanan dan sampah lain dengan hati-hati; g. menjaga tempat sampah tetap tertutup. 2. Menghentikan perkembangbiakan bakteri yang ada pada makanan untuk : a. mencegah makanan yang kering menjadi lembab; b. bakteri tidak dapat tumbuh tanpa kelembaban; c. menyimpan makanan pada suhu penyimpanan yang aman yaitu pada suhu di bawah 5°C atau menyimpan makanan panas di atas 63°C. 3. Memasak makanan hingga benar-benar matang. 4. Mengusahakan tidak menyiapkan makanan sebelum diperlukan. 5. Tidak menyimpan makanan pada zona suhu bahaya (5 - 63°C) lebih lama dari yang diperlukan. 6. Menghindarkan pemanasan makanan kembali. Bakteri memerlukan makanan, kelembaban, kehangatan dan waktu untuk tumbuh. Beberapa cara menghilangkan atau mengurangi kontaminasi oleh bakteri antara lain dengan memanaskan atau mencairkan makanan sepenuhnya sebelum memasak kecuali instruksi yang ada menyatakan sebaliknya, dan menjaga tempat agar tetap bersih (Wisaniyasa dan Sudjatha 2001). Kesehatan dan Keselamatan Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi kecelakaan dan penyakit akibat kerja adalah sebagai berikut : •
Kondisi dan lingkungan tempat kerja
•
Kesadaran dan kualitas pekerja
•
Peranan dan kualitas manajemen
40
Upaya
penanggulangannya
adalah
berdasarkan
peraturan
perundangan,
standarisasi, inspeksi, riset teknis, riset medis, riset psikologis, riset statistik, pendidikan, pelatihan, persuasi dan asuransi. Alat Pelindung Diri Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis dan administratif sangat perlu diutamakan karena merupakan cara pencegahan kecelakaan kerja yang terbaik. Namun kadangkala bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya sehingga perlu digunakan alat-alat pelindung diri (APD). Telah diketahui bahwa pemakaian APD dapat menimbulkan berbagai masalah, misalnya adalah sebagai berikut (Dwiari 2008) : •
Rasa ketidaknyamanan
•
Membatasi gerakan & persepsi sensoris pemakainya.
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sebelum memilih alat pelindung diri adalah sebagai berikut (Dwiari 2008) : 1. Harus dapat memberikan perlindungan yang cukup terhadap bahayabahaya yang dihadapi pekerja. 2. Bobot alat harus seringan mungkin dan tidak menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang berlebihan. 3. Harus dapat dipakai secara fleksibel. 4. Bentuknya harus cukup menarik. 5. Tidak mudah rusak. 6. Tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakainya. 7. Harus memenuhi ketentuan dari standar yang telah ada. 8. Tidak terlalu membatasi gerakan dan persepsi sensoris pemakai nya. 9. Suku cadangnya harus mudah diperoleh sehingga pemeliharaan APD dapat dilakukan dengan mudah. Berbagai jenis APD adalah sebagai berikut (Dwiari 2008) : a. Alat Pelindung Kepala b. Alat Pelindung Mata c. Alat Pelindung Telinga d. Alat Pelindung Pernafasan
41
e. Alat Pelindung Tangan f. Alat Pelindung Kaki g. Pakaian Pelindung h. Tali & Sabuk Pengaman Tujuan dari pemakaian alat pelindung kepala selain untuk mencegah rambut pekerja terjerat oleh mesin yang berputar, tetapi juga untuk melindungi kepala dari hal-hal berikut : •
Bahaya terbentur oleh benda tajam atau keras yang dapat menyebabkan luka gores, potong atau tusuk.
•
Bahaya kejatuhan benda-benda atau terpukul oleh benda-benda yang melayang atau meluncur di udara.
•
Panas radiasi, api & percikan bahan-bahan kimia korosif. Sarung tangan merupakan APD yang paling banyak digunakan karena
kecelakan pada tangan sering terjadi. Menurut bentuknya, sarung tangan dapat dibedakan menjadi tiga jenis di bawah ini : a. Gloves : sarung tangan biasa. b. Gaunlets : sarung tangan yang dilapisi oleh plat logam. c. Mitts : sarung tangan dimana keempat jari pemakainya dibungkus menjadi satu kecuali ibu jari yang mempunyai pembungkus sendiri. Alat Pelindung Kaki Sepatu keselamatan kerja digunakan untuk melindungi kaki dari bahaya sebagai berikut (Dwiari 2008) : a. Kejatuhan benda-benda berat. b. Kepercikan cairan bahan kimia yang korosif atau cairan panas. c. Tertusuk oleh benda-benda tajam. Pakaian pelindung digunakan untuk melindungi pemakainya dari bahaya kepercikan bahan-bahan kimia dan cuaca kerja yang ekstrim. Pakaian pelindung dapat berbentuk hal-hal berikut : a. Apron (celemek) yang menutupi sebagian dari tubuh pemakainya mulai dari dada sampai lutut. b. Overalls yang menutupi seluruh bagian tubuh.
42
Keamanan Pangan Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredarannya. Keamanan pangan juga adalah sebuah tanggung jawab yang mengikat semua pihak, dari petani hingga konsumen yang menyiapkan makanan. Jika tanggung jawab tersebut diabaikan maka resiko yang akan dihadapi adalah keracunan yang dapat menyebabkan kematian. Pemerintah telah mengatur masalah keamanan pangan ini dalam UU RI No.7 Tahun1996 tentang “Perlindungan Pangan”. Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Gambar 6 dan 7 menyajikan keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. HACCP, ISO 9000, ISO 14000
Produksi bahan baku / penolong
Penanganan
GAP/GEP
GHP
Kekuatan
Pengolahan
GMP
Distribusi
Pasar
Konsumen
GDP
GRP
GCP
Kelemahan
Gambar 6 Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional (Dwiari 2008).
43
• • • • • • • • •
IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI (Industri bahan KONSUMEN/ PEMERINTAH baku, Pengolahan, MASYARAKAT Distributor, Pengecer) Penyusunan kebijaksanaan • Penerapan sistem • Pengembangan SDM strategi, program dan peraturan jaminan mutu dan (pelatihan, penyuluh dan keamanan pangan penyebaran informasi Pelaksanaan program (GAP/GEP, GHP, GMP, kepada konsumen tentang Pemasyarakatan UU pangan GDP, GRP, HACCP, keamanan pangan) dan peraturan ISO 9000, ISO 14000, • Praktek penanganan dan Pengawasan dan low dll) pengolahan pangan yang enforcement • Pengawasan mutu dan baik (GCP) Pengumpulan informasi keamanan produk • Partisipasi dan Pengembangan iptek dan • Penerapan teknologi keperdulian masyarakat penelitian yang tepat (aman, ramah tentang mutu dan Pengembangan SDM lingkungan, dll) keamanan pangan (pengawas pangan, penyuluh • Pengembangan SDM pangan, industri) (manager, supervisor, Penyuluhan dan penyebaran pekerja pengolah informasi kepada konsumen pangan) Penyelidikan dan penyedikan kasus penyimpangan mutu dan keamanan pangan TANGGUNG JAWAB BERSAMA Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan
Gambar 7 Hubungan Antara Tanggung Jawab Pemerintah, Industri dan Konsumen dalam Implementasi Sistem dan Keamanan Pangan (WHO 1998). Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Pangan Pemerintah Indonesia sebagai fasilisator dan regulator di bidang pangan telah menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan, setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menengah-kecil maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan untuk kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain : PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi pangan
44
yang baik (CPPB) atau Good Manufacturing Practices (GMP); Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman higiene makanan Tahun 1996 (Departemen Kesehatan 1998); Undang-Undang Pangan RI No. 7 Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai dengan pasal 23 (Kantor Menpangan 1996); dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM 2004). Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar dan tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun lingkungannya (Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura 1999). Sementara itu, didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikannya (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri 1999). Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang memperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak kecuali bagi industri pangan skala menengah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al. (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan di Jakarta yang digunakan dalam penelitian, pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsip-prinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Persentase industri pangan yang sudah mengerti dan menerapkan/mengimplementasikan aspek keamanan pangan dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini :
45
Tabel 13 Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan (*) Aspek Keamanan Pangan
Persentase (%) Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan Paham dan Paham tapi Paham tapi Paham tapi menerapkan tidak menerapkan menerapkan secara menerapkan sebagian besar sebagian kecil penuh sama sekali
1. GMP (Good Manufacturing Practices)
25
40
25
10
2. SOP (Standard Operating Procedure)
25
35
7,5
32,5
30
45
20
5
3. Sanitasi dan Higiene
Sumber : Sudibyo et al. 2001.
Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan hasil persentasenya, maka baru sekitar 35 – 40% industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite program) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut dalam menerapkan sistem HACCP (WHO 1997; NACMCF 1998). Hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menunjukkan bahwa industri pangan yang tidak mempraktekkan atau mengimplementasikan higiene pangan pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil pangan yang mempraktekkan/mengimplementasikan higiene pangan. Persentase industri kecil pangan yang sudah mengimplementasikan dan yang tidak mengimplementasikan higiene dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini :
46
Tabel 14 Persentase Industri Kecil Pangan Yang Mengimplementasikan dan Tidak Mengimplementasikan Higiene Persentase Industri Kecil Pangan yang mengimplementasikan/tidak No Aspek Kegiatan mengimplementasikan higiene Ya Tidak 1 Pelatihan terhadap karyawan yang 15,5 84,5 menangani pangan 2 Pengendalian bahan baku dan 25,5 74,5 bahan pembantu lain yang dipakai 3 Pengendalian penggunaan bahan 30,0 70,0 tambahan pangan (BTP) 4 Pengendalian kebersihan pribadi 30,0 70,0 karyawan (higiene personil) 5 Pengendalian proses produksi dan 40,0 60,0 peralatan produksi yang digunakan 6 Pengendalian dalam penanganan 45,5 55,5 dan penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi 7 Pengendalian alat-alat pembersih 40,0 60,0 (sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lain-lain) 8 Pengendalian hama 35,0 65,0 9 Pengendalian catatan/dokumen 20,0 80,0 Sumber : Sudibyo dan Sumarsi 2004.
Dari data dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa industri pangan berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan sistem manajemen HACCP secara komulatif baru mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan/kendala dalam pengembangan dan penerapannya. Secara umum berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al. (2001) terhadap industri pengan berskala menengah di Indonesia teridentifikasi bahwa program keamanan pangan dan penerapan sistem keamanan pangan ditinjau dari aspek GMP, sanitasi dan higiene, SOP, sistem HACCP dan pelatihan sistem keamanan pangan belum dilaksanakan secara penuh sehingga industri pangan berskala menengah tersebut perlu dibina, diberdayakan dan ditingkatkan kinerjanya dalam bidang keamanan pangan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka era globalisasi dan perdagangan bebas, industri pangan dituntut untuk menghasilkan produk
47
pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh konsumen, sehingga mampu bersaing dengan produk pangan sejenis yang dihasilkan oleh industri pangan dari luar. Kendala Dalam Penerapan Sistem HACCP Penerapan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan perubahan sistem manajemen operasional yang harus diikuti oleh seluruh staf organisasi perusahaan. Untuk mencapai keberhasilan penerapan sistem HACCP, programprogram HACCP memerlukan dukungan yang tepat dan sistem manajemen yang baik, karena program HACCP tidak bekerja secara otomatis (Stevenson dan Bernard 1999). Namun demikian, terdapat bukti bahwa penerapan sistem HACCP dalam industri pangan mempunyai beberapa kendala dalam penerapannya. Kendala-kendala dalam penerapan sistem HACCP dalam industri pangan dapat mencakup : kurangnya komitmen manajemen, hambatan mental (psikologis), hambatan organisasi, biaya yang dikeluarkan untuk implementasi dan operasional sumber daya sistem HACCP, pengalokasian waktu dan adanya pemahaman konsep yang salah (misconception) tentang sistem HACCP. 1. Kurangnya Komitmen Manajemen Program HACCP tidaklah berbeda dengan program-program manajemen lainnya, yakni menyangkut adanya komitmen dalam pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya sehingga hasilnya akan terlihat selama penerapannya (Stevenson dan Bernard 1999). Oleh karena itu, kurangnya komitmen manajemen dari pihak pimpinan manajemen dapat memunculkan masalah-masalah dan kegagalan dalam praktek penerapan sistem HACCP. Tanpa adanya dukungan dan komitmen dari individu-individu yang terlibat dalam sistem HACCP, menyebabkan sistem HACCP akan menjadi tidak dipraktekkan dengan baik dan HACCP tidak akan mencapai sasaran sesuai yang diharapkan sebagai program keamanan yang dijanjikan (Mayes 1994). Dengan demikian, agar sistem HACCP berhasil diterapkan dalam industri pangan, harus ada komitmen yang jelas terhadap keamanan pangan dan konsep atau filosofi sistem HACCP. Perlu diketahui bahwa pengorganisasian dan pengelolaan program HACCP, pihak manajemen harus komitmen untuk menyediakan dan
48
mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup melalui pendidikan dan pelatihan bagi penyelia (supervisor), karyawan pabrik dan personil yang bertanggung jawab di bidang teknis tentang fungsi dan peran mereka dalam sistem HACCP. Penting untuk dicatat/diperhatikan bahwa komitmen manajemen ini sebagai proses yang terus berjalan (Woody et al. 1999). Bahkan setelah periode pelatihan sistem HACCP, pelatihan tambahan lain yang diperlukan untuk pengembangan dan penerapan HACCP perlu diidentifikasi dan dilakukan. Misalnya, untuk karyawan yang bukan anggota tim HACCP, tetapi karyawan tersebut mempunyai tanggung jawab untuk memantau CCP, melakukan prosedur tindakan koreksi bila ada penyimpangan dan menyimpan hasil rekamannya. Karyawan tersebut perlu diberi pelatihan agar memahami dan mengerti tidak hanya apa tanggung jawabnya tetapi juga mengapa tanggung jawab tersebut penting dan dibebankan kepada karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu, pihak manajemen harus komit terhadap penyediaan waktu dan sumber daya yang diperlukan sebelum pelatihan sistem HACCP secara formal dilakukan. Komitmen manajemen ini harus dipelihara atau dijaga dalam rencana pengembangan sistem HACCP dan penerapannya, serta pengkajian kembali rencana HACCP yang sudah disusun bila program HACCP itu ingin berhasil diterapkan. 2. Hambatan Mental (Psikologi) Hambatan mental atau psikologis biasanya ditemui terhadap para peserta seminar atau pelatihan pada saat pengenalan sistem HACCP melalui seminar atau pelatihan, karena mereka beranggapan dan berpikir bahwa mereka akan mendapatkan kesulitan dalam menerapkan sistem HACCP dalam perusahaan industri pangannya. Mereka biasanya mempunyai perasaan pesimis dengan kondisi realistik perusahaan yang ada saat ini yang tidak memungkinkan untuk menerapkan sistem HACCP, bila kondisi perusahaan tidak didukung oleh pihak manajemen, misalnya perlu adanya penggantian peralatan baru untuk mendukung sistem HACCP, masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman karyawan tentang sistem HACCP, dan standar prosedur operasi (SOP), instruksi kerja dan lembar catatan kerja belum dibuat. Disamping itu, hambatan psikologis lainnya adalah kurangnya dukungan sumber keuangan dan daya beli
49
perusahaan (Jouve 1994), lebih kompleksnya praktek dalam penanganan pangan (Sheppard et al.
1990) dan kurangnya tenaga ahli di bidang
teknik/rekayasa/proses dan personil dibidangnya (Stevenson 1990), sehingga semua hal tersebut dikatakan sebagai hambatan mental (psikologis) dalam pengembangan sistem HACCP di industri pangan. Namun demikian, persepsi mereka terhadap sistem HACCP menjadi gugur, karena mereka pada prinsipnya belum memahami sistem HACCP secara jelas. Setelah karyawan dan staf diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan dengan pemahaman sistem HACCP (termasuk definisi/terminologi, filosofi, prinsip-prinsip, keuntungan dan penerapan HACCP dalam perusahaan industri pangan), pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja serta program kelayakan dasar, maka mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan karena dirasakan dapat lebih menjamin keamanan produk pangannya. 3. Hambatan Organisasi Pada awalnya, umumnya industri pangan tidak mengenal sebelumnya suatu struktur organisasi khusus yang bertanggung jawab untuk menerapkan sistem HACCP guna menjamin keamanan pangan produk yang dihasilkan. Perusahaan industri pangan hanya mengenal suatu organisasi fungsional sesuai dengan kebutuhan perusahaan industri pangan. Padahal salah satu keuntungan sistem HACCP adalah kenyataan bahwa manajemen dalam industri pangan perlu program organisasi standar yang bertanggung jawab terhadap keamanan pangan yang mencakup sebagai berikut : bagian penjamin mutu dan keamanan pangan atau bagian pengendalian mutu; bagian pendidikan dan pelatihan tentang sistem; pengendalian proses yang ditujukan pada CCP; perbaikan mutu dan keamanan; inspeksi selama proses produksi dan pengendalian CCP; inspeksi terhadap bahan baku dan pengujiannya; pengujian produk akhir serta pengendalian dokumen dan penyimpanan data rekaman. Namun demikian, tidak berarti bahwa organisasi fungsional tidak dapat mengelola bagian-bagian tersebut, karena dalam kenyataannya bahwa tugastugas tersebut dapat didesain dan dibangun dengan baik pada setiap departemen yang sesuai dengan lingkup tanggung jawab tugasnya. Menurut
50
hasil studi Henson et al. (1999), dinyatakan bahwa persoalan mendasar dalam menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP yang sering dijumpai adalah berkaitan dengan penempatan personil/karyawan atau staffing. Hal ini disebabkan oleh yaitu : (a) perlu adanya pelatihan kembali karyawan terutama personil di tingkat penyelia (supervisor) dan ditingkat manajerial dan (b) motivasi karyawan, tidak hanya termasuk di bagian produksi saja tetapi juga personil di bagian supervisor atau manajerial. 4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi dan Operasi Sistem HACCP Untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan biaya yang cukup besar tidaklah dipungkiri, karena adanya beberapa perbaikan dalam sistem yang memerlukan biaya guna mendukung keberhasilan penerapan sistem HACCP. Pertanyaannya adalah apa saja yang memerlukan biaya besar untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP? Menurut hasil penelitian Henson et al. (1999) dinyatakan bahwa biaya besar utama untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP terdiri dari atau mencakup : biaya untuk konsultan dari luar, biaya investasi untuk peralatan baru, biaya untuk pendidikan dan pelatihan karyawan, biaya untuk perubahan manajerial, biaya untuk perubahan struktur pada pabrik dan biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan pembuatan dokumen sistem HACCP. 5. Konsepsi yang Salah Tentang Sistem HACCP Kendala lain yang membatasi dalam penerapan dan pengoperasian sistem HACCP adalah adanya sejumlah kontroversi yang timbul dari konsepsi yang salah tentang sistem HACCP. Bila konsepsi yang salah ini berlanjut hingga bertahan lama akan dapat merusak reputasi HACCP dan akan membahayakan keuntungan terhadap masyarakat (Motarjemi dan Kaferstein 1999). Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk diklarifikasi tentang konsep yang slaah ini pada saat sistem HACCP ini sedang diperkenalkan. Menurut Motarjemi dan Kaferstein (1999), beberapa konsepsi yang salah yang perlu diklarifikasi adalah sebagai berikut : Pertama, HACCP dianggap sebagai suatu metode baru yang menggantikan metode yang sebelumnya sudah ada untuk menjamin keamanan pangan yang berdasarkan aplikasi cara praktek
51
higiene yang baik atau good hygiene practices. Meskipun hal tersebut memang benar bahwa metode tradisional diketahui mempunyai kelemahan dan perbedaan yang tajam dalam pendekatannya ke arah jaminan keamanan pangan, HACCP tidak bisa mengganti metode tersebut. Dalam hal ini sistem HACCP dikenal sebagai pelengkap (komplemen) metode tradisonal tersebut dengan cara : (a) Mengidentifikasi beberapa tindakan pengendalian tambahan atau yang bersifat khusus pada pangan atau adanya pertanyaan pada saat sedang beroperasi, (b) Menempatkan penekanan tambahan pada beberapa titik cara praktek higiene yang baik dan bersifat sangat penting atau adanya operasi yang sedang dipertanyakan dan perlu dipantau secara ketat, dan (c) Mengamati pengukuran tindakan koreksi bila hasil pemantauan menunjukkan terjadinya hilang kendali atau lepas kendali dan (d) Dengan memberi lebih banyak pelatihan dan tanggung jawab kepada operatornya. Kedua, penerapan sistem HACCP dalam industri pangan cukup kompleks dan mencakup sejumlah dokumentasi dan penyimpanan catatan hasil perekaman yang banyak. Biasanya setiap sistem baru awalnya kelihatan rumit, khususnya bila personil-personil yang berkenaan menangani dengan hal tersebut tidak diberi pelatihan secara tepat atau bila pendekatan yang digunakan untuk pelatihan belum diadopsi. Dalam pengenalan sistem HACCP kepada perusahaan industri pengolah pangan, sebaiknya dan penting untuk diperhatikan jangan membuat binggung peserta pelatihan sehingga perlu penyederhanaan konsep serta menerangkan kebutuhan dan keuntungan sistem HACCP untuk keperluan bisnis perusahaannya. Pada tahap awal, penekanan sebaiknya difokuskan pada lima langkah/tahap prinsip HACCP yang membuat sistem benar-benar berbeda dalam konteks keamanan pangan. Kemudian perusahaan industri pangan perlu menyadari kebutuhan adanya program verifikasi, penyimpanan rekaman (catatan) dan dokumentasi. Dengan demikian, dokumen sistem HACCP tersebut perlu dilihat sebagai bukti penjamin keamanan pangan yang memadai daripada sekedar hanya memenuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah saja. Ketiga, penerapan sistem HACCP perlu dukungan suatu sumber daya yang besar. Memang benar, pada tahap awal penerapan, penerapan sistem
52
HACCP memerlukan sumber daya tambahan selain sumber daya yang sudah tersedia di perusahaan industri pangan, misalnya : untuk pelatihan personil/karyawan perusahaan, dukungan bagian teknisi untuk menjaga sistem keamanan dan kemungkinan adanya penambahan peralatan dan bahan tambahan lain yang baru. Tetapi, dalam jangka panjang adanya investasi baru untuk mendukung sumber daya, peralatan dan bahan tambahan lain tersebut akan kembali terbayar dengan menurunnya biaya untuk kasus penarikan produk yang terkontaminasi, perbaikan dalam keamanan pangan, makin tingginya kepercayaan pelanggan terhadap produk yang dihasilkan, dan berkurangnya keluhan dari pelanggan. Keempat, penerapan sistem HACCP pada industri menengah-kecil pangan tidak memungkinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan industri pangan skala menengah-kecil pada umumnya mempunyai eksulitan dalam menerapkan sistem HACCP. Beberapa permasalah tersebut adalah sebagai berikut : karena kurangnya tenaga ahli teknis-teknologis, terutama yang berkenaan dengan personil yang bisa melakukan analisis bahaya dan pemantauan secara tepat; makin besarnya perasaan ketidaknyamanan mereka dalam menyimpan catatan hasil rekaman dan dokumentasi, cepatnya karyawan perusahaan yang sering pindah ke perusahaan lain dan makin besarnya berbagai jenis pangan yang mereka sediakan. Menurut Jouve (1994), masalah utama yang dihadapi oleh industri menengah-kecil pangan dalam menerapkan sistem HACCP adalah berkaitan dengan semakin kecilnya sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan untuk keperluan persiapan penerapan sistem HACCP (misalnya : biaya potensial penerapan sistem HACCP relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat kembalinya modal yang diinvestasikan; ketidakmampuan dan daya beli perusahaan yang rendah untuk mengusahakan kecukupan penerapan HACCP berpengaruh terhadap pengembangan sistem HACCP; ketidakcukupan tersedianya sumber daya teknis, yaitu : tenaga teknis dan data ilmiah yang tepat, kurangnya tenaga ahli khusus di bidang teknologi, mikrobiologi, kimia pangan yang berkontribusi terhadap studi HACCP; serta terbatasnya waktu untuk mendapatkan personil yang ahli untuk mengembangkan sistem HACCP.
53
Penelitian Terdahulu Muliana (1998) mengadakan penelitian mengenai manajemen mutu pada perusahaan agribisnis susu PT. Fajar Taurus dengan menggunakan metode proses hirarki analitik (PHA). Berdasarkan hasil identifikasi masalah yang dilakukan, diketahui bahwa manajemen mutu yang dilaksanakan oleh perusahaan tersebut baru merupakan pengembangan dari sistem pengendalian mutu. Konsep dan unsur-unsur manajemen mutu terpadu telah terdefinisi secara jelas, walaupun belum dilaksanakan secara optimal. Kinerja manajemen mutu di peternakan maupun di pabrik pengolahan yang dinilai berdasarkan unsur-unsur manajemen mutu terpadu menunjukkan bobot yang sama baiknya. Permasalahan utama yang dirasakan masih rendah, hal ini dikarenakan pengendalian yang dilakukan pada pabrik pengolahan dianggap masih kurang terutama pada proses pengemasan. Nirang (1997) mengkaji mengenai manajemen mutu terpadu pada produk susu sapi perah. Penelitian bertempat di KPBS Pengalengan dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) sebagai metode penelitian yang dipakai. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan di KPBS tersebut, diketahui bahwa terdapat tiga masalah utama yang dihadapi KPBS, yaitu masalah mutu, biaya dan jumlah. Mutu serta jumlah susu segar sangat dipengaruhi oleh manajemen peternakan yang dilakukan. Berdasarkan hasil analisis kinerjanya, diketahui bahwa bagian dari KPBS yang berkinerja paling buruk adalah di peternak. Girsang (2007) mengkaji mengenai formulasi strategi pengendalian mutu dan keamanan pangan produk CPO (Crude Palm Oil) dan minyak goreng. Penelitian bertempat di PT. Perkebunan Nusantara III dan PT. Astro Lestari, Tbk dengan metode QFD, AHP dan SWOT sebagai penelitian yang dipakai. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan di PTPN III dan PT. Astro Lestari, Tbk tersebut, diketahui bahwa terdapat permasalahan utama yang dihadapi PKS Rambutan dan PMG Cap Sendok yaitu PKS Rambutan telah menerapkan dan mendapatkan sertifikasi ISO 9001:2000, namun perlu adanya penerapan sistem HACCP untuk menjamin CPO yang dihasilkan aman untuk diolah sebagai produk pangan. PMG Cap Sendok belum mendapat sertifikasi ISO 9001:2000 maupun sertifikasi HACCP, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menerapkan kedua sistem tersebut.
54
Rizki (2007) mengkaji mengenai kajian manajemen kualitas perspektif six sigma pada perusahaan Elsari Brownies & Bakery, Bogor dengan metode pengambilan data primer dan sekunder; metode penarikan sampel konsumen dan metode pengumpulan data dengan studi literatur, pengamatan langsung, dan kuesioner. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sistem manajemen kualitas yang diterapkan oleh perusahaan tersebut, mengukur efektifitas produksi dengan menggunakan konsep six sigma pada perusahaan tersebut, dan mendeskripsikan langkah yang perlu diambil oleh perusahaan untuk meningkatkan kualitas produknya. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan di perusahaan Elsari Brownies & Bakery diketahui bahwa terdapat permasalahan utama yang dihadapi Elsari Brownies & Bakery yaitu (1) proyek six sigma dengan metode DMAIC dapat diaplikasikan dalam peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pada kue brownies. Penerapan six sigma metode DMAIC dapat memperbaiki proses produksi dengan titik kritis permasalahn (CTQ) pada proses adonan, pemanggangan dan pendinginan; (2) langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh perusahaan agar dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas produk adalah perusahaan harus memiliki SOP yang jelas, sistem pencatatan, peningkatan kerja SDM, pembenahan alat-alat produksi dan tata letak penempatan mesin dan alat. Sudibyo (2008) mengkaji mengenai penyiapan kelayakan persyaratan dasar dan penyusunan rencana HACCP untuk produksi mi kering. Penelitian bertempat di PT. Kuala Pangan, Citeureup, Bogor dengan tahapan sebagai berikut : (1) melakukan evaluasi kondisi kelayakan persyaratan dasar (GMP) di perusahaan dan (2) menyusun rencana HACCP (HACCP plan) untuk produksi mi kering. Hasil evaluasi terhadap kondisi persyaratan kelayakan dasar (GMP) di perusahaan tersebut dengan menggunakan pedoman penerapan GMP yang dikeluarkan oleh Badan POM tahun 2002 menunjukkan bahwa kondisi persyaratan dasar di perusahaan tersebut terdapat 13 penyimpangan dan hasil penilaiannya masuk dalam tingkat (rating) B, yaitu baik. Guna menyusun dan mengembangkan rencana HACCP dengan 12 tahapan langkah yang diterapkan dalam SNI 01.48521998 tersebut diperlukan adanya pelatihan sistem HACCP bagi sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pengelolaan di perusahaan PT. Kuala Pangan terlebih dahulu.