TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik buah kakao Kakao berbunga sepanjang tahun dan bunganya tumbuh secara berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada batang, cabang atau ranting. Bunga kakao tergolong bunga sempurna, terdiri dari daun kelopak sebanyak 5 helai dan benang sari sebanyak 10 helai. Jumlahnya dapat mencapai 5.000–12.000 bunga per pohon per tahun, tetapi jumlah buah matang yang dihasilkan hanya berkisar satu persen. Dalam setiap buah terdapat 30-50 biji, tergantung pada jenis kakao. Variasi produksi buah antara pohon dipengaruhi banyak faktor, antara lain jumlah bunga yang dihasilkan, sifat compatible dan incompatible dari masing-masing klon, pengaruh layu buah muda, dan tingkat serangan hama dan penyakit sejak pertumbuhan hingga panen
(Sulistyowati
2003). Kakao dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu tipe Criollo, Forastero dan Trinitario.
Tipe Criollo memiliki karakter dengan ciri permukaan kulit buah
kasar, alur dalam, kulit buah tebal dan lunak, tipe Forastero memiliki permukaan kulit buah kasar, alur dalam, kulit buah tipis dan keras sementara tipe Trinitario memiliki karakter permukaan kulit buah halus, alur dangkal, kulit buah tipis dan keras Serangga dewasa PBK meletakkan telur pada permukaan buah kakao, biasanya diletakkan pada lekukan buah. Telur– telur tersebut diletakkan secara individu maupun berkelompok antara 50–300 butir. Buah kakao yang paling disukai untuk meletakkan telur adalah buah yang memiliki alur kulit yang dalam serta ukuran panjang buah kurang lebih 9 cm pada umur 60-75 hari. Saat ini petani banyak menanam kakao dari jenis Forastero yang memiliki kulit buah kasar dan alur dalam sehingga disenangi oleh hama PBK untuk meletakkan telur. (Wiryadiputra 1996). Fenologi Buah Kakao Pertumbuhan buah kakao dapat dibagi dalam dua fase.
Fase pertama
berlangsung sejak pembuahan sampai buah berumur 75 hari. Selama 40 hari
8 pertama pertumbuhan buah agak lambat dan mencapai puncaknya pada umur 75 hari. Pada umur tersebut panjang buah dapat mencapai sekitar 11 cm. Fase kedua ditandai dengan pertumbuhan pembesaran buah, berlangsung cepat sampai umur 120 hari, ukuran panjang buah mencapai 12-15 cm.
Pada umur 143-170 hari
buah telah mencapai ukuran maksimal dan mengalami proses pemasakan yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah dan terlepasnya biji dari kulit buah (Puslitkoka 2006). Hama PBK aktif meletakkan telur pada buah kakao pada fase pertama yaitu buah umur 75 hari dan ukuran buah mencapai ± 11 cm. Peletakan telur dilakukan pada malam hari.
Buah kakao yang paling disukai untuk tempat
meletakkan telur adalah buah yang permukaannya memiliki alur dalam dan kasar. Dalam kaitannya dengan perkembangan hama PBK maka upaya pengendalian perlu diusahakan sedini mungkin pada saat buah berada pada fase pertama (Puslitkoka 2006). Bioekologi Hama Penggerek Buah Kakao Telur hama penggerek buah kakao berbentuk oval dan pipih dengan panjang 0.45-0.50 mm, lebar 0.25-0.30 mm, berwarna oranye. Telur diletakkan pada buah muda secara terpisah antara satu dengan yang lain. Lama stadium telur berkisar 2-7 hari (Sjafaruddin 1997). Larva yang baru keluar dari telur langsung menggerek ke dalam buah dan memakan permukaan dalam kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta). Akibat serangan tersebut biji menjadi lengket satu sama lain dan tidak berkembang sempurna. Larva berganti kulit 4 kali dalam waktu 14–18 hari. Pada pertumbuhan penuh, panjang larva mencapai 12 mm dan berwarna hijau muda. Larva dewasa menjelang berkepompong keluar dari dalam buah dengan cara menggerek kulit buah, membentuk lubang keluar dengan diameter ± 1 mm. Setelah larva keluar dari dalam buah, larva merayap pada permukaan buah atau menggantungkan diri dengan benang–benang sutra untuk mencari tempat berkepompong baik pada tanaman maupun di tanah (Soekandar 1993).
9 Pupa dapat ditemukan pada permukaan buah, batang, cabang atau pada permukaan tanah yang tertutupi oleh daun yang gugur. Kokon berbentuk oval berwarna kuning, berukuran (13–18) x (6–9) mm,
sedangkan kepompong
berwarna coklat dengan ukuran panjang 6–7 mm dan lebar 1–1.5 mm.
Ukuran
kepompong menjadi lebih panjang bila diukur bersama pembungkus tungkai dan antena,
Stadium kepompong 6–8 hari, setelah itu berubah menjadi ngengat
(Sjafaruddin 1997). Serangga dewasa berwarna dasar coklat dengan warna putih bergaris zig– zag pada sayap depan dan spot kuning oranye menyerupai batik pada ujung sayapnya. Ukuran panjang tubuh ngengat pada saat istirahat 7 mm dengan rentang sayap mencapai 12 mm. Antena lebih panjang dari tubuhnya serta mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin dan meletakkan telur pada malam hari sejak pukul 18.00–07.00. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat – tempat yang gelap dan terlindung dari sinar matahari terutama pada cabang – cabang horizontal. Lama hidup ngengat betina berlangsung 7 hari dan siklus hidup dari telur sampai ngengat berlangsung ± 1 bulan (Kartasapoetra 1993). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 73.43 % hama PBK menyukai cabang horizontal yang berdiameter antara 5.1-10 cm, dan selebihnya pada cabang vertikal dengan diameter 0-5 cm.
Ngengat tidak mampu terbang jauh, hanya
mencapai ± 153 m apabila dilakukan pemerangkapan dengan feromon seks (Sudarsianto 1995). Gejala Serangan dan Kerusakan Hama PBK umumnya menyerang buah kakao yang masih muda dengan panjang kurang lebih 10-12 cm pada umur 75 hari. Fase yang menimbulkan kerusakan adalah fase larva. Larva PBK memakan daging buah dan saluran yang menuju biji tetapi tidak menyerang biji. Gejala serangan baru tampak dari luar pada saat biji telah rusak. Buah yang terserang memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pada jenis buah merah masak jingga, warna jingga tidak merata dan ada lubang-lubang kecil pada permukaan buah
10 2. Pada jenis buah hijau masak kuning, warna kuning tidak merata dan ada lubang-lubang kecil pada permukaan buah 3. Apabila buah terserang hama PBK digoyang tidak akan berbunyi seperti halnya pada buah sehat yang masak. 4. Buah kakao yang terserang hama PBK pada saat dibelah akan tampak biji-biji melekat satu sama lain, tidak berkembang dan ukurannya menjadi lebih kecil dan ringan. Gejala serangan pada buah muda, permukaan buah yang terserang berupa bercak besar berwarna kuning. Jika buah–buah yang menunjukkan gejala tersebut dibelah, kulit buah dan tangkai biji tempat larva mengambil makanan terlihat berwarna coklat. Sedangkan daging buah yang biasanya berwarna putih pada serangan berat akan berwarna coklat kehitaman.
Jika buah tersebut dibelah
terlihat jalur–jalur gerekan larva dan tampak buah berwarna kecoklatan (Sulistyowati & Prawoto 1993). Buah kakao yang terserang hama PBK dapat berkembang seolah-olah tidak terjadi serangan, buah yang terserang tidak ada perbedaan dengan buah kakao yang sehat. Gejala baru tampak dari luar setelah buah matang pada saat panen, buah kakao yang terserang berwarna agak jingga atau pucat keputihan, buah menjadi lebih berat dan bila diguncang tidak terdengar suara gesekan antara biji dengan dinding buah. Hal itu terjadi karena timbulnya lendir dan kotoran pada daging buah dan rusaknya biji-biji di dalam buah. Kerusakan daging buah akibat serangan PBK disebabkan oleh enzim heksokinase, malate dehidrogenase, fluorescent esterase and malic enzyme polymorphisms yang disekresikan oleh PBK (Wessel 1993). Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kakao Hama penting yang menyerang tanaman kakao adalah hama penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella), pengisap buah kakao (Helopeltis sp,), penggerek kulit batang kakao (Glenea sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp). Di antara hama penting tersebut hama PBK merupakan hama yang tertinggi intensitas serangannya di Sulawesi Tenggara
yaitu mencapai 70–84% bila
11 dibandingkan dengan hama penting lainnya (Dishutbun Sultra 2006). Hama lain yang ditemukan pada tanaman kakao adalah ulat kilan (Hyposidra talaca), kumbang (Apogonia sp.) dan ulat api (Darna trima) (Hindayana et al. 2002). Produksi kakao di Sulawesi Tenggara mulai terancam dengan adanya serangan PBK. Hama ini merupakan hama yang cukup merugikan (Wardoyo 1982).
Sifat penyebaran hama ini relatif cepat dan masih sulit dikendalikan
(Sulistyowati & Santosa 1995 ; Sulistyowati & Yunianto 1996). Pada tahun 1995 tercatat bahwa hama PBK menyerang kurang lebih 424.8 ha kakao di Sulawesi Tenggara. Tetapi saat ini luas serangan telah mencapai lebih dari 200 125 ha, artinya hama PBK telah menyebar di seluruh areal kakao di Sulawesi Tenggara. Kerugian yang diakibatkan oleh hama ini ditaksir telah mencapai 19.639.04 ton per tahun setara dengan 216 miliar rupiah. Luas dan daerah sebaran ini terus meningkat bila pengendalian yang efektif dan efesien tidak dilakukan (Dishutbun 2010). Menurut Soekadar (2007) musuh alami yang potensial digunakan sebagai musuh alami pada tanaman kakao selain semut hitam (Hymenoptera: Formicidae) adalah laba-laba (Araneae: Salticidae), semut angkrang/rangrang (Hymenoptera: Formicidae), Trichogramma (Hymenoptera: Trichogrammatidae), kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), cecopet (Dermaptera), lalat apung (Diptera : Syrphidae), tawon (Hymenoptera: Vespidae). Pengelolaan Hama Terpadu Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) bukan sesuatu yang baru karena jauh sebelum tahun 1959 baik di Amerika maupun di Indonesia praktek pengendalian hama sudah dicoba dengan menggunakan dasar pertimbangan ekologi dan ekonomi. Konsep PHT muncul akibat kesadaran manusia akan bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan lingkungan hidup suatu ekosistem dan kehidupan manusia secara global.
Kenyataan yang terjadi
penggunaan
pestisida oleh petani di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga diperlukan adanya cara pendekatan pengendalian hama yang baru sehingga dapat menekan penggunaan pestisida (Untung 1993).
12 Pengendalian hama terpadu merupakan suatu teknologi pengendalian hama yang memanfaatkan berbagai cabang ilmu dalam suatu ramuan yang serasi yang satu memperkuat yang lain. Masalah hama terjadi, selain akibat interaksi antara tanaman dengan hama itu sendiri juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor fisik dan biota sekitarnya, seperti iklim dan cuaca, tingkat kesuburan tanah, mutu benih, teknik–teknik agronomi, keragaman biota dan ulah manusia sendiri sebagai pengelola (Untung 1993). Konsepsi PHT adalah memadukan semua metode pengendalian hama yang ada, termasuk di dalamnya pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik, pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati dan pengendalian kimiawi. Dengan cara ini ketergantungan petani terhadap pestisida yang menjadi cara pengendalian hama utama dapat dikurangi. Dilihat dari segi operasional pengendalian hama dengan PHT dapat diartikan sebagai pengendalian hama yang memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa sehingga populasi hama dapat berada di bawah ambang ekonomi. Dengan keadaan populasi hama yang rendah, budidaya tanaman untuk meningkatkan produktivitas tidak akan terhambat oleh gangguan hama tanaman (Untung 1993). PHT merupakan konsep pengelolaan hama yang berwawasan ekologi, dengan pendekatan yang menekankan bekerjanya agensia-agensia pengendalian alami seperti predator dan parasitoid, melalui mekanisme homeostatis mampu mempertahankan keseimbangan tersebut, sehingga populasi hama tidak akan mendatangkan kerugian ekonomi bagi petani. Berhubung konsep PHT lebih menekankan pada penjagaan dan pemantapan keseimbangan ekosistem dengan mempertahankan populasi hama berada di bawah ambang ekonomi maka akan terbentuk agroekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga terbentuk agroekosistem yang relatif stabil selalu diupayakan (Sosromarsono 1992). Kendala dalam pengendalian hama PBK terkait dengan biologi serangga yakni serangga dewasa C. cramerella meletakan telur pada permukaaan buah, kemudian telur menetas dan setelah itu larva langsung masuk ke dalam buah. Menjelang menjadi pupa, larva membuat lubang dan kemudian menjadi pupa
13 pada permukaan buah, daun segar, cabang pada pohon daun-daun kering di atas tanah atau bahan yang dapat dijangkau oleh larva di sekitar tanaman terserang (Pardede et al. 1994). Perilaku hama PBK seperti ini merupakan salah satu kendala dalam usaha pengendaliannya. Pengendalian dengan menggunakan insektisida sintesis atau biopestisida sulit untuk mencapai target sasaran karena larva yang baru menetas langsung masuk ke dalam buah. Demikian pula pupa dibungkus oleh kokon yang dapat melindungi pupa kontak dengan pestisida. Di lapangan pestisida mudah diperoleh petani, sehingga berkembang ketergantungan petani pada pestisida. Selain itu penggunaan insektisida sintesis dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, resistensi dan resurgensi hama. Dengan demikian perlu dicari agens pengendali alternatif yang dapat mengendalikan dan menekan populasi hama PBK untuk mempertahankan produksi serta mudah diaplikasikan petani. Komponen pengendalian hama PBK yang ada melalui pendekatan kultur teknis, mekanis, dan kimiawi. Komponen kultur teknis tersebut antara lain panen sering yang diikuti dengan pembenaman kulit buah, pangkasan memperpendek tajuk, sedangkan komponen mekanis yang dianjurkan adalah sarungisasi (Mursamdono & Wardojo 1984). Pemanfaatan agens hayati untuk pengendalian PBK juga telah dilaporkan, antara lain dengan semut hitam (Dolichoderus thoracicus), jamur entomopatogen Beauveria bassiana dan Paecilomyces fumosoroseus (Sulistyowati et al. 2002), dan nematoda entomopatogen Steinernema spp. (Wardoyo 2000). Pengendalian hama PBK secara kimiawi yang direkomendasikan adalah melalui penyemprotan insektisida sintetik piretroid. Di antara komponen pengendalian tersebut metode sarungisasi (penyarungan buah) terbukti efektif menekan populasi hama PBK akan tetapi dalam aplikasinya memerlukan biaya dan tenaga kerja yang tinggi. Demikian halnya dengan aplikasi insektisida kimiawi juga memerlukan biaya tinggi serta adanya risiko pencemaran lingkungan dan tidak efektif (Sulistyowati et al. 2002). Varietas tahan merupakan komponen penggendalian organisme penganggu yang telah terbukti efektif mengendalikan berbagai kasus serangan hama dan
14 penyakit tanaman. Pemanfaatan
varietas tanaman tahan untuk pengendalian
organisme pengganggu diamanatkan dalam UU No. 12 tahun 1992 melalui sistem pengendalian hama terpadu. Pengendalian Hama Terpadu dengan melibatkan komponen varietas tanaman tahan, agens hayati, dan manajemen lingkungan berdasarkan pertimbangan ekologis, ekonomis, dan sosiologis guna mendukung sistem budidaya yang ramah lingkungan. Sehubungan dengan pengendalian hama PBK, tanaman tahan belum dapat digunakan sebagai komponen penggendalian karena hingga kini belum tersedia bahan tanam tahan PBK. Saat ini sedang diupayakan perakitan bahan tanam tahan PBK yang diharapkan akan menjadi komponen penting dalam sistem pengendalian hama terpadu (Bradley 2000). Pengendalian Hayati Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan hidup, semakin banyak pula aspek lingkungan yang dipertimbangkan sebelum melakukan berbagai pengambilan keputusan, termasuk sebelum melakukan tindakan pengendalian hama dalam usaha taninya. Berbagai cara pengendalian hama tanaman telah dikenal manusia, namun tidak semua cara tersebut bersifat ramah lingkungan. Salah satu cara pengendalian hama yang dianggap ramah lingkungan adalah pengendalian hayati.
Pengendalian hayati
sudah dikenal manusia sejak ribuan tahun yang lalu dan sudah diimplementasikan dalam perlindungan tanaman sejak abad ke-17. Namun, di sekitar pertengahan Abad ke-20 popularitas pengendalian hayati memudar karena gencarnya promosi pengendalian secara kimiawi yang ternyata menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup. Baru pada akhir Abad ke-20, pada saat manusia semakin sadar terhadap kelestarian lingkungan, muncul kebutuhan untuk kembali kepada pengendalian hayati.
Pengendalian hayati menekankan pada interaksi mangsa-
predator dan inang-parasitoid, serta interaksi antara patogen dan inang-terutama serangga inang (Susilo 2007) Pengendalian hayati merupakan salah satu metode pengendalian hama yang memiliki keunggulan, di antaranya adalah sifatnya yang ramah lingkungan.
15 Dalam konteks ini musuh alami adalah agens pengendali (control agents) yang dapat berkembang biak di alam. Populasi musuh alami diharapkan dapat beraksi secara terpaut kepadatan (density dependence) dengan populasi hama, artinya daya kendali oleh musuh alami itu semakin tinggi pada populasi hama yang semakin padat. Dengan demikian pengendalian hayati diharapkan dapat mencegah peledakan populasi hama. Pengendalian hayati dapat pula dipandang sebagai pengimplementasian fenomena alami. Pengendalian alami adalah pengaturan populasi oleh faktorfaktor alami sehingga dalam jangka waktu tertentu populasi organisme target berada pada batas keseimbangan. Faktor-faktor alami itu dapat diklasifikasikan ke dalam faktor abiotik (tidak hidup) dan faktor biotik (hidup). Yang termasuk faktor abiotik antara lain adalah cuaca dan iklim sedangkan di antara faktor biotik, yang terpenting adalah musuh alami (parasitoid, predator, patogen). Sebagai fenomena alami, pengendalian hayati adalah pengendalian organisme oleh parasitoid, predator, atau patogen yang terjadi secara alamiah (DeBach & Rosen 1991). Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sebagai metode, pengendalian hayati biasanya diimplementasikan dalam bentuk introduksi, augmentasi, dan atau konservasi musuh alami. Pengendalian hayati juga dapat dipandang sebagai suatu bidang ilmu. Sebagai bidang ilmu yang menitikberatkan kajian pada interaksi antara hama dan musuh alaminya, pengendalian hayati mengembangkan metode-metode pengukuran aktivitas musuh alami dan metode-metode evaluasi dampak pengendalian hayati (Bellows & Fisher 1999) Bila sudah berada di agroekosistem, maka musuh alami perlu dikonservasi dan diaugmentasi. Konservasi adalah upaya untuk mempertahankan keberadaan (survival) musuh alami di habitat sedangkan augmentasi dimaksudkan untuk meningkatkan populasi musuh alami sehingga kinerjanya sebagai agens hayati semakin tinggi. Konservasi umumnya dilakukan melalui manipulasi lingkungan sedangkan augmentasi biasanya dilakukan melalui pembiakan massal musuh alami. Walaupun mudah dibedakan secara teori, dalam prakteknya konservasi dan
augmentasi
dapat
dilaksanakan
dalam
satu
kesatuan
tindakan
16 (augservasi) (DeBach & Rosen 1991) Dalam rangka augmentasi dan konservasi musuh alami, pengelolaan habitat dapat dilaksanakan antara lain dengan mengurangi aplikasi pestisida. Perlakuan pestisida dapat mengakibatkan kematian langsung musuh alami. Selain itu pestisida juga dapat berefek buruk secara tidak langsung terhadap musuh alami melalui perusakan kompleksitas sumberdaya musuh alami tersebut (Van den Bosch et al 1982). Hasil penelitian tentang peranan semut dalam mengendalikan serangan hama PBK yang dilakukan oleh LSM ACDI VOCA dari Amerika Serikat bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin yang didanai oleh American Cocoa Research Institute (ACRI)
mendapatkan bahwa pada pertanaman kakao di
Sulawesi, pengendalian hama PBK dapat dilakukan dengan menggunakan semut hitam yang dikombinasikan dengan introduksi kutu putih (Cataenococcus hispidus) (SUCCESS Sulawesi 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Meldy (2004) di Sulawesi Tengah mendapatkan bahwa serangga yang berperan sebagai musuh alami hama PBK, yaitu Oecophylla smaragdina (semut rangrang), Dolichoderus thoracicus (semut hitam), Anoplolepis longipes dan Iridomyrmex sp. Sementara Iridomyrmex berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa semut itu membawa dan menyebarkan spora-spora cendawan Phytophthora palmivora yang menyebabkan penyakit busuk buah kakao dan penyakit kanker batang. Dalam pengendalian hama PBK maka semut yang berperan sebagai musuh alami dapat diaugmentasi sehingga keberadaannya di lapangan tetap terjaga dan dapat berfungsi sebagai musuh alami. Biologi Semut Hitam (Dolichoderus, sp.) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati Siklus hidup semut hitam terbagi dalam empat fase, yaitu fase telur, larva, pupa, dan dewasa. Lama perkembangan dari telur hingga dewasa rata-rata 30 – 40 hari (Bolton 1997). Koloni semut hitam terdiri dari tiga kasta: semut pekerja, semut ratu, dan
17 semut pejantan. Setiap kasta memiliki bentuk tubuh dan tugas yang berbeda dari kasta lain.
Semut pekerja bertugas antara lain mencari makan, membangun
sarang, menjaga koloni dari musuh, serta menjaga larva dan semut ratu. Semua semut kasta pekerja berjenis kelamin betina dan biasanya tidak dapat menghasilkan keturunan. Reproduksi terjadi setelah semut jantan membuahi semut betina (Dejean 2000). Populasi pekerja terus berkembang secara eksponensial dan luas sarang semakin bertambah. Seringkali populasi koloni terlalu padat sehingga para pekerja mencari lokasi baru di luar sarang untuk dijadikan sarang tambahan. Sarang tambahan ini disebut sarang satelit guna mewadahi populasi koloni yang tidak tertampung di sarang utama tempat semut ratu berada. Koloni semut dapat meninggalkan sarang sepenuhnya dan pindah ke lokasi lain, jika sarang yang lama tidak dapat lagi mendukung populasi koloni, saat sumber daya sekitar telah habis, terjadi perubahan lingkungan yang mengancam keselamatan koloni, atau jika muncul gangguan seperti kerusakan akibat serangan pemangsa, maka semut akan membuat sarang baru (Brown 2000). Pada tanaman kakao, semut hitam mencari makan (foraging) di sekitar pertanaman kakao dengan daya jelajah 10-15 m setiap hari/koloni. Sarang semut hitam terdapat pada rongga di dalam kayu lapuk, celah di bawah batuan atau kayu, di antara kulit batang pohon, di antara serasah, rongga di dalam ranting dan liang bekas sarang rayap atau kumbang (Ho 1994).
Sumber makanan dapat
diperoleh dari telur serangga lain yang terdapat di pohon kakao dan embun madu yang dihasilkan oleh kutu putih C. hispidus (Hemiptera; Pseudococcidae). Pemanfataan semut hitam sebagai agensia hayati di Malaysia telah dimulai sejak tahun 1996. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa seekor semut hitam dapat memangsa telur C. cramerella sebanyak 5 butir / hari dan kasta pekerja semut hitam di lapangan memiliki perilaku membawa telur hama PBK ke sarangnya untuk dijadikan sebagai sumber makanan
(Ho & Khoo 1997).
Keberadaan semut hitam yang berkeliaran pada tanaman kakao juga dapat mengganggu imago hama PBK yang beristirahat pada siang hari (Sulistyowati & Mufrihati 1999) dan mengganggunya pada saat meletakkan telur (Suparno 1990).
18 Di samping sebagai musuh alami hama PBK, semut hitam dapat berfungsi sebagai pembawa Trichoderma sp. yang berperan sebagai agensia hayati terhadap penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phythophthora palmivora (See & Khoo 1996). Dengan demikian semut hitam berperan ganda selain sebagai predator juga sebagai pembawa agensia hayati. Potensi inilah yang menjadikan semut hitam dapat dijadikan sebagai agen pengendali hayati pada tanaman kakao. Pemanfaatan semut hitam untuk mengendalikan hama Helopelthis antonii pada tanaman kakao di Indonesia telah dilakukan pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1930-1940. Pada masa itu semut hitam telah dikomersilkan kepada petani (Rauf 2007). Petani kakao di Kecamatan Labuhan Ratu Lampung Timur telah memasang daun kelapa atau daun kakao kering yang diikatkan pada bagian batang. Kemudian, pada daun kering tersebut diletakkan sarang semut. Pada pohon kakao yang terdapat sarang semut serangan hama PBK lebih rendah dan petani dapat menghemat biaya pembelian bahan kimia sebesar Rp 500 ribu/ha dalam satu tahun (Radar Lampung 2004). Pemanfaatan semut hitam telah dilakukan di Sulawesi Tengah dengan dukungan Balai Karantina Tumbuhan dan penyuluh setempat dengan melakukan sosialisasi kepada petani dalam pemanfaatan semut hitam untuk pengendalian hama PBK.
Sosialisasi dilakukan karena sebagian besar penduduk Sulawesi
Tengah mengusahakan tanaman kakao (Badan Karantina Tumbuhan 2006). Biologi Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hayati Siklus hidup semut rangrang terbagi dalam empat fase yaitu telur, larva, pupa, semut dewasa. Telur berbentuk elips dengan ukuran 0.5 mm x 1 mm. Larva berwarna putih, tidak memiliki tungkai dan sayap. Ratu meletakkan telur dalam sarang, telur kemudian menetas menjadi larva. Selama perkembangannya, larva mengalami beberapa kali ganti kulit kemudian akan berkembang menjadi pupa selanjutnya pupa akan menjadi semut dewasa (Holldobber & Wilson 1999). Semut rangrang hidup dalam kelompok sosial, pekerjaan dibagi sesuai dengan tipe individunya (kastanya). Dengan kerjasama dan organiasi yang baik
19 serta disiplin, mereka dapat melakukan banyak hal. Dalam satu koloni terdapat beberapa tipe individu yaitu: ratu semut, semut jantan, semut pekerja dan semut prajurit (Van Mele & Cuc 2004). Sarang semut rangrang dibuat secara bersama. Semut pekerja bertugas untuk menarik daun sementara semut lainnya merajut daun dari dalam dengan bantuan larva yang menghasilkan benang sutera. (Holldobler & Wilson 1999). Jumlah semut dalam satu sarang bervariasi, rata-rata antara 4000 sampai 6000 individu, dan dalam satu koloni terdapat sekitar 500.000 semut dewasa. Sekumpulan semut yang hidup dalam satu kelompok dengan pola hidup sosial disebut koloni. Koloni semut merupakan keluarga besar dengan beberapa sarang dan individu yang saling mengenal dan bekerja sama secara erat pada suatu daerah tertentu. Banyaknya sarang yang ditemukan dalam satu koloni dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya ketersediaan makanan dan tingkat gangguan yang terjadi. Satu koloni dapat mencapai 100 sarang. Sarang-sarang tersebut dapat tersebar pada lebih dari 15 pohon, atau pada luasan lebih dari 1000 m2 (Van Mele 2000). Semut rangrang mempunyai beberapa sifat dalam mencari makan/mangsa, antara lain: (a) pemberani, semut rangrang berani menyerang organisme lain yang mengganggu meskipun ukuran tubuhnya lebih besar dari mereka (b) agresif, semut rangrang dapat melintas untuk mencari makan sepanjang hari. (c) disiplin, apabila ada suatu aktifitas yang harus dilakukan secara berkelompok, maka semua akan berperan serta dalam aktifitas tersebut, dan tak seekor semut pun yang meninggalkan kelompoknya. (d) cerdas, kelompok semut rangrang membangun sistem komunikasi di antara mereka dengan mengeluarkan feromon.
Dalam
waktu singkat semua anggota kelompok dapat mengetahui apabila terjadi sesuatu dalam kelompoknya dan mereka akan langsung melakukan pembagian tugas apa yang harus dilakukan (Van Mele & Cuc 2004). Manfaat semut rangrang telah dikenal di banyak negara seperti di China, Vietnam dan Malaysia, karena kemampuannya dalam mengganggu, menghalangi
20 atau memangsa berbagai jenis hama seperti kepik hijau, ulat pemakan daun dan imago serangga yang bersembunyi di daun. Di samping itu semut rangrang dapat mengendalikan sebagian besar hama pada tanaman jeruk, mete dan kakao dari serangan hama kepik dan penggerek buah (Van Mele & Cuc 2004). Di Malaysia penggunaan semut rangrang spesies Oecophylla longinoda dan Oecophylla smaradigna (Hymenoptera : Formicidae) dilaporkan dapat memangsa jenis-jenis hama Helopeltis theobromae (Hemiptera : Miridae), Amblypelta theobromae (Hemiptera : Coreidae), Distantiella theobromae (Hemiptera : Miridae) dan Panthorytes sp. (Coloeptera : Curculionidae ) (Way & Khoo 1992) Nutrisi Predator Secara umum predator memiliki mangsa yang berbeda dari segi taksa, ukuran dan kelas. Masing-masing predator memerlukan mangsa dengan nutrisi yang berbeda sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangbiakannya. Perbedaan kualitas dan kuantitas mangsa mempengaruhi kebugaran predator. Mangsa yang berkualitas bagi predator adalah yang memiliki komposisi nutrisi dan unsur penting (energi, nutrisi, dan toksin) yang mirip satu sama lain sehingga dapat dijadikan sebagai kisaran mangsanya. Kesesuaian mangsa dapat dievaluasi dengan cara mempelajari pertumbuhan, perkembangan, daya tahan, dan fekunditas predator (Dicson 2003). Dipandang dari segi kualitas, makanan untuk predator dikategorikan menjadi nutrisi essensial dan nutrisi altematif. Nutrisi essensial adalah sumber makanan yang mengandung nutrisi yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan organisme pradewasa dan reproduksi imago sedangkan nutrisi altematif adalah sumber makanan yang mengandung nutrisi yang hanya dapat menyokong atau bertahan suatu organisme. Nutrisi yang dibutuhkan serangga menurut (Chapman 2000) yaitu: 1. Asam amino: tersedia dalam bentuk protein dan secara struktur membentuk enzim, setiap serangga membutuhkan kadar protein yang berbeda. Enzim berfungsi sebagai media transport dan penyimpanan dan sebagai molekul reseptor. Sebagai contoh, Tyrosine penting untuk serangga dalam proses
21 sklerotisasi. 2. Karbohidrat: tidak termasuk ke dalam kategori essensial untuk serangga pada umumnya, lebih umum diperlukan sebagai sumber energi. Karbohidrat dapat disintesis dari asam amino. 3. Lipid: Penting untuk sumber energi dan pembentukan membran serta hormon sintesis, pada serangga umumnya lemak disintesis dari protein dan karbohidrat. Sebagai eontoh hormon ganti kulit, Ecdysone disintesis dari sterol. Kolesterol penting untuk perkembangan dan menghasilkan fekunditas yang tinggi. 4. Vitamin : dibutuhkan untuk mendukung berjalannya fungsi tubuh, vitamin juga dibutuhkan untuk membentuk jaringan tubuh. Sebagai contoh β-arotene (provitamin A) berguna sebagai komponen pigmen penglihatan,α-tocopherol (Vitamin E) penting untuk reproduksi, fertilitas dan perkembangan embrio. 5. Mineral : dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tetapi dibutuhkan dalam jumlah sedikit. 6. Purines dan pyrimidines: DNA dan RNA adalah molekul yang membawa dan memediasi kode genetik. 7. Air: penting untuk serangga secara umum. Semut hitam memakan sekresi gula kutu daun dan telur serangga lain. Sekresi gula berupa embun madu ini adalah sumber karbohidrat bagi semut. Antara semut dan kutu daun tersebut seringkali terbentuk simbiosis saling menguntungkan karena semut memberikan perlindungan, sementara kutu daun memberikan sekresi embun madu (Way & Khoo 1992). Semut hitam dapat dipelihara pada pohon kakao dengan memakai daun kelapa dan gula merah dalam sepotong bambu. Metode ini juga dapat dipakai untuk memindahkan kelompok semut dari pohon ke pohon. Setelah semut menempati bambu tersebut, bambu dipindahkan ke pohon baru (Hindayana et al. 2002). Makanan semut sangat beragam, namun dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu protein dan gula. Tidak seperti semut lainnya, semut
22 rangrang lebih menyukai protein daripada gula. Protein dapat ditemukan pada daging, ikan, ayam dan serangga. Semut rangrang aktif mencari makanan dan membawanya ke dalam sarang untuk seluruh anggota sarang tersebut.
Perilaku
mencari makan (foraging behaviour) semut rangrang dilakukan dengan memangsa berbagai jenis hama, misalnya ngengat yang aktif pada malam hari maupun yang bersembunyi di bawah daun pada siang hari. Selain butuh protein, semut rangrang memerlukan makanan tambahan berupa gula. Untuk mendapatkan gula, semut rangrang lebih suka mengisap cairan tanaman atau nektar. Pada saat membangun sarang, semut rangrang mencari daun-daun muda yang dihuni oleh serangga penghasil embun madu dan memasukkannya ke dalam sarang. Semut rangrang mendapatkan gula dari serangga penghasil embun madu tetapi jika jumlah gula yang dihasilkan oleh serangga ini lebih besar dari kebutuhan koloninya, maka semut akan membunuh serangga tersebut (Van Mele & Cuc 2004). Pengembangbiakan semut rangrang pernah dilakukan pada sentra perkebunan kakao di Sulawesi Selatan oleh La Daha
(2007) yaitu dengan
memanfaatkan jeroan dari usus ayam. Jeroan diletakkan pada bagian tengah pohon kakao tergantung pada tinggi tanaman agar aktivitas semut rangrang dapat diamati dengan mudah. Populasi semut yang berkembang pada pohon kakao dapat menurunkan serangan hama PBK.