2
Tinjauan Pustaka
2. 1. Markisa Konyal (Passiflora ligularis) Buah markisa konyal (Passiflora ligularis), seperti ditunjukkan pada Gambar 2-1, berbentuk lonjong, bertangkai di tengah, memiliki kulit berwarna jingga, berlapis lilin halus, dengan berat antara 86-106 g, panjang 6.5-8 cm, dan diameter sekitar 5.1-7 cm. Buah ini biasa dikonsumsi dalam keadaan segar yang sering diistilahkan sebagai buah meja. Buah markisa mengandung zat Passiflorance (berkasiat menenangkan syaraf), vitamin A, C, zat kapur, fosfor, putih telur, dan lemak. Buah markisa konyal juga bermanfaat bagi kesehatan antara lain untuk meningkatkan nafsu makan, mengobati anemia yang disertai bibir pucat, terasa dingin pada anggota badan dan pusing, kurang susu setelah melahirkan, proses penyembuhan setelah sakit, dan memulihkan kondisi tubuh setelah pengobatan khususnya yang disebabkan oleh parasit pada anak.
Gambar 2-1 Buah markisa konyal Markisa konyal merupakan spesies umum yang berasal dari Brazil dan menyebar ke daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Markisa konyal secara alami tumbuh di hutan hujan pada ketinggian 900-2700 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini telah dibudidayakan di beberapa propinsi terutama Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Sulawesi Selatan. Markisa konyal berkembang pesat di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dengan lahan seluas 2.710 ha dan produksi sebanyak 12.710 ton pada tahun 1997.
Di Indonesia terdapat empat jenis markisa (passion fruit atau granadilla) yang dibudidayakan, yaitu markisa ungu (Passiflora edulis var. edulis), markisa kuning (Passiflora edulis var. flavicarpa), markisa erbis (Passiflora quadrangularis), dan markisa konyal (Passiflora lingularis). Berdasarkan data pada Tabel 2-1, produksi markisa di seluruh daerah di Indonesia mencapai 82.892 ton pada tahun 2005 dan 119.683 ton pada tahun 2006 masing-masing dengan luas panen 1846 ha. Tabel 2-1 Produksi markisa di Idonesia
Propinsi
produksi (ton) 2005 2006
Propinsi
produksi (ton) 2005 2006
Nanggro Aceh Darussalam
39
174
Nusa Tenggara Barat
1
11
Sumatera Utara
14 157
15 438
Nusa Tenggara Timur
63
20
Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Riau Kepulauan
58 836 3 37 89 30 36 50 0
94 290 17 18 94 10 30 0 0
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
0 2 0 8 0 0 7 177 0
4 1 0 14 2 0 7 455 0
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0
0
Gorontalo
0
0
Jawa Barat Jawa Tengah
839 10
1 746 186
Sulawesi Barat Maluku
0 0
43 0
Daerah Istimewa Yogyakarta
110
22
Papua
40
0
Jawa Timur Banten Bali
1 219 13 133
88 7 13
Maluku Utara Irian Jaya Barat
0 0
0 0
sumber: Departemen Pertanian Indonesia
2. 2. Selulosa Selulosa (C6H10O5)n merupakan polisakarida berupa rantai atau mikrofibril D-glukosa hingga mencapai 14000 satuan dalam berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu sama lain oleh ikatan hidrogen (Fessenden, 2000). Suatu molekul tunggal selulosa adalah polimer lurus 1,4-β-D-glukosa, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-2 Struktur selulosa. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Selulosa merupakan molekul yang sulit larut di air. Konformasi ekuatorial penuh dari residu glukopiranosa yang berikatan-β menstabilkan struktur kursinya sehingga meminimalkan fleksibilitas.
5
Gambar 2-2 Struktur selulosa Selulosa murni tidak terdapat di alam, kecuali bersama konstituen lain yang harus dihilangkan dengan reaksi kimia tertentu. Sifat-sifat selulosa dapat berubah karena reaksi oksidasi, penambahan asam, dan pemanasan. Oleh karena itu, proses pemurnian selulosa harus sangat “tepat” untuk menghindari degradasi. Tingkat keurnian selulosa dapat diukur dari berberapa faktor, seperti netralitas, kandungan soda (ash) yang rendah, ketahanan terhadap basa, dan kekuatan reduksi minimum (Doree, 1947). Istilah pulp digunakan untuk jenis selulosa tidak murni yang diperoleh secara teknis dari kayu (mengandung 95% selulosa) atau material organik lain. Pulp mengandung lignin, hemiselulosa, pentosan, dan konstituen lain, serta dapat diperoleh melalui proses soda, proses sulfit, proses sulfat, atau proses klorinasi. Komponen kimia kayu terdiri atas 40-45% selulosa, 15-35% hemiselulosa, 17-35% lignin, dan kurang dari 10% mineral lain. Lignin merupakan senyawa kimia yang banyak terdapat pada dinding sel tanaman. Lignin, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-3, memiliki struktur yang besar, kompleks, cross-link, makromolekul rasemik dengan massa molekul lebih dari 10.000 satuan. Lignin relatif hidrofob dan aromatik. Terdapat tiga monomer lignin dengan berbagai derajat metoksilasi, p-kumaril alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol. Monomer-monomer tersebut menjadi bagian dari lignin membentuk fenilpropanoid phidroksifenil (H), guaiasil (G), dan siringal (S).
Gambar 2-3 Struktur lignin
6
2. 3. Aditif Pulp hasil bleaching dapat diolah dengan bahan-bahan aditif tertentu seperti perekat damar, kaolin, talk, gips, kalsium karbonat, tawas aluminium, dan zat warna. Bahan aditif dapat dikelompokkan menjadi bahan pengisi, bahan sizing, koagulan, dan bahan penambah lain. Bahan pengisi ditambahkan untuk meratakan permukaan kertas atau meningkatkan warna putih (TiO2,BaCO4, ZnS, Calcium). Bahan sizing ditambahkan untuk mencegah penetrasi zat cair pada pori-pori kertas, memperbaiki dispersi kertas, dan meningkatkan retensi kertas. Pada penelitian ini ditambahkan kitin, kitosan, agar-agar, dan karagenan. Jumlah optimum aditif yang ditambahkan adalah sekitar 0.05% hingga 5% (b/b) terhadap massa pulp kering (Antal, 2005).
2.3.1. Kitin dan kitosan Kitin ditemukan pertama kali pada tahun 1811 oleh H. Braconnot yang mengisolasi suatu senyawa tahan-alkali dari sejenis jamur. Senyawa tersebut adalah kitin yang bercampur dengan poliglikan. Kemudian pada tahun 1823 A. Odier mengisolasi suatu senyawa dari suatu jenis serangga dan diberi nama “chitin”. Nama kitin berasal dari bahasa Yunani “chiton” yang berarti mantel atau lapisan luar. Kitin banyak ditemukan pada rangka luar udang, kepiting, rajungan, kalajengking, cumi-cumi, gurita, serangga, ulat sutera, cacing, hingga jaring laba-laba. Kitin merupakan polimer N-asetil-D-glukos-2-amin, tidak bercabang dan memiliki berat molekul yang besar. Struktur kitin ditunjukkan pada Gambar 2-4 mirip dengan struktur selulosa, kecuali gugus hidroksi pada selulosa yang diganti dengan gugus asetamida. Kitin juga merupakan senyawa polisakarida tersebesar kedua di alam setelah selulosa.
Gambar 2-4. Struktur Kitin Isolasi kitin dapat dilakukan melalui tahapan deproteinasi, demineralisasi, dan penghilangan warna. Pada tahap deproteinasi atau penghilangan protein dilakukan dengan menambahkan natrium hidroksida sambil dipanaskan pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Tahap kedua yaitu demineralisasi atau penghilangan mineral dilakukan dengan menambahkan larutan asam klorida. Karena mineral utama yang dihilangkan adalah kalsium, tahap ini disebut tahap
7
dekalsisifikasi. Tahap terakhir yaitu penghilangan warna dapat dilakukan sesuai keperluan. dengan menggunakan oksidator seperti asam oksalat, kaporit, atau kalium permanganat. Deasetilasi kitin menggunakan basa dapat menghasilkan senyawa kitosan. Konversi kitin menjadi kitosan pertama kali ditemukan oleh C Rouget pada tahun 1859. Selain melalui konversi dari kitin, kitosan dapat diperoleh langsung dari dinding sel mikroorganisme Aspergilus niger, Mucor muxedo, Mucor rouxii, dan penicillium dengan derajat deasetilasi mencapai 85%. Struktur kitosan, ditunjukkan pada Gambar 2-5 merupakan polisakarida yang mengandung lebih dari 5000 unit glukosamin dan asetilglukosamin. Kitosan memiliki berat molekul lebih dari satu juta Dalton. Adanya gugus amina pada kitosan menjadikan kitosan bermuatan parsial positif sehingga kitosan dapat larut dalam lautan asam sampai netral. Muatan positif ini juga menyebabkan kitosan dapat menarik molekul-molekul yang bermuatan parsial negatif seperti minyak, lemak, dan protein. Sifat ini pula yang menjadikan kitosan lebih banyak dimanfaatkan dibandingkan kitin.
Gambar 2-5. Struktur kitosan
2.3.2. Pektin Pektin adalah polisakarida yang biasa diperoleh dari buah dan sayuran. Struktur pektin cukup kompleks dan sampai saat ini belum dapat ditentukan secara pasti. Pektin terdiri atas heteropolisakarida asam D-galakturonat berikatan α-1,4-glikosidik yang termetilasi parsial. Pada larutan, molekul pektin tidak berupa konformasi lurus, melainkan “bergelombang” dengan fleksibilitas sangat tinggi (Gambar 2-6).
Gambar 2-6 Struktur pektin
8
Metilasi gugus asam karboksilat membentuk metal ester yang lebih hidrofob sehingga mengubah struktur terhadap air. Derajat metilasi menentukan sifat-sifat pektin, semakin tinggi derajat metilasi semakin tinggi suhu pembentukan gel. Pektin dengan derajat metilasi tinggi (>43%, umumnya ~67%) membentuk gel melalui pembentukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik dengan adanya asam (pada pH 3, repulsi elektrostatik berkurang) dan gula (interaksi air-polimer berkurang). Pektin dengan derajat metilasi rendah (~35%) membentuk gel transparan melalui pembentukan cooperative zipped association pada suhu rendah (~10°C) (Chaplin, 2008). Pektin banyak digunakan sebagai pembentuk gel, pengental, pengikat air, dan penstabil. aplikasi pektin sangat luas, untuk produk makanan, farmasi, kosmetik, dan industri rokok.
2.3.3. Agar-agar dan karagenan Agar-agar, adalah zat yang biasanya berupa gel yang diolah dari rumput laut Eucheuma spinosum (Rhodophycophyta), Gracilaria, dan Gelidium (Phaeophycophyta). Agar-agar adalah mengisi dinding sel rumput laut berupa karbohidrat dengan berat molekul tinggi lebih dari 12.000 satuan. Agar-agar tergolong kelompok pektin, terdiri atas agarosa dan agaropektin. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2-7, agarosa merupakan polimer linear dengan
unit
-(1
3)-β-D-galaktopiranosa-(1
4)-3,6-anhidro-α-L-galactopiranosa
(Chaplin, 2008). Sedangkan agaropektin merupakan campuran agarosa dan asam Dgalakturonat heterogen dalam jumlah kecil.
Gambar 2-7 Struktur agar-agar Jika dipanaskan di air, molekul agar-agar dan air bergerak bebas. Ketika didinginkan, molekul-molekul agar-agar mulai saling merapat, dan membentuk kisi-kisi yang mengurung molekul air. Jaringan gel mengandung heliks ganda yang distabilkan oleh adanya molekul air dalam kavitas heliks ganda tersebut (Chaplin, 2008). Gel ini merupakan sistem koloid padat—cair. Agar-agar dikenal luas di Asia sebagai makanan sehat karena mengandung serat dan rendah kalori. Agar-agar juga digunakan secara luas di laboratorium sebagai pemadat kemikalia
9
dalam percobaan, media tumbuh untuk kultur jaringan tumbuhan dan biakan mikroba, serta sebagai fase diam dalam elektroforesis gel. Seperti agar-agar, karagenan merupakan polisakarida hasil ekstraksi basa dari Rhodophycae, terutama dari genus Chondrus, Eucheuma, Gigartina dan Iridaea. Karagenan merupakan molekul fleksibel yang dapat membentuk berbagai gel pada suhu kamar. Namun berbeda dengan agar-agar, karagenan mengandung ester sulfat. Karagenan terdiri atas sekitar 25.000 turunan galaktosa dengan ikatan 3β-D-galaktopiranosa dan 4α-D-galaktopiranosa, seperti ditunjukkan pada Gambar 2-8.
Gambar 2-8 Struktur karagenan Karagenan dibagi menjadi tiga kelas utama. •
Kappa: memiliki struktur yang merupakan polimer dari -(1 sulfat-(1
4)-3,6-anhidro-α-D-galaktopiranosa-(1
3)-β-D-galaktopiranosa-4-
3), mengandung 25-30% ester
sulfat, gel kuat dan kaku, dihasilkan pada Kappaphycus cottonii •
Iota: memiliki struktur yang merupakan polimer dari -(1
3)-β-D-galaktopiranosa-4-
4)-3,6-anhidro-α-D-galaktopiranose-2-sulfat-(1
3), mengandung 28-35%
sulfat-(1
ester sulfat, gel lunak, dihasilkan pada Eucheuma spinosum •
Lambda: memiliki struktur yang merupakan polimer dari -(1 2-sulfat-(1
4)-α-D-galaktopiranosa-2,6-disulfat-(1
3)-β-D-galaktopiranosa-
3), mengandung 32-39% ester
sulfat, gel terbentuk ketika dicampur dengan protein, bukan air, dihasilkan pada Gigartina di Eropa selatan. Karagenan banyak diaplikasikan sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, dan pembentuk tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jeli, jamu, saus, permen, sirup, puding, dodol, salad dressing, gel ikan, nugget, produk susu, juga untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, hingga pakan ternak. Pada penelitian ini, digunakan produk karagenan komersial yang mengandung tepung konyaku. Tepung konyaku diperoleh dari akar tanaman Amorphophallus konjac, K. Koch. Sekitar 40% konyaku merupakan polisakarida hidrokoloid, glukomanan, yang terdiri atas subunit glukosa dan manosa dengan perbandingan molecular 1:1.6 yang berikatan β-1,4.
10
Polisakarida ini sangat bercabang dengan berat molekul 200.000 sampai 2.000.000 dalton (Kyoei Konnyaku,Inc, 2008). Kelarutannya dipengaruhi oleh gugus asetil pada kerangka glukomanan.
2. 4. Pembuatan Kertas Kertas dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari pulp. Pembuatan kertas sudah dimulai sejak peradaban China namun teknik pembuatannya pertama kali diperkenalkan pada tahun 1799 oleh seorang Perancis, Nicholas Louis Robert. Perbaikan-perbaikan metodologi
pembuatan
kertas
selanjutnya
menghasilkan
mesin
Fourdrinier
dan
ditemukannya mesin silinder oleh John Dickinson pada tahun 1809. Peningkatan produksi mesin Fourdrinier dan mesin silinder menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan baku kain bekas. Maka, pada tahun 1814, Friedrich Gottlob Keller memperkenalkan proses mekanik pembuatan pulp (selulosa) dari kayu yang diadopsi sampai sekarang. Pembuatan kertas dari bahan baku selulosa ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu pembuatan pulp dan pembuatan kertas dari pulp.
2.4.1. Pulping Pulping pada prinsipnya merupakan proses pelarutan seluruh komponen lain pada bahan baku sehingga diperoleh selulosa murni. Ada tiga macam proses pulping, yaitu proses mekanis, proses semi-kimia, dan proses kimia. Pada proses mekanis bahan baku digiling dengan mesin sehingga selulosa terpisah dari zat-zat lain kemudian dimasukkan ke dalam suspensi. Pada proses semi-kimia dilakukan seperti proses mekanis dengan penambahan bahan kimia supaya serat-serat selulosa mudah terpisah dan tidak rusak. Sedangkan pada proses kimia, bahan baku ditambahkan pelarut anorganik atau organik untuk memperoleh selulosa murni. Proses pulping secara kimia dapat dilakukan dengan metode basa atau metode asam. Proses pulping soda dan proses sulfat digolongkan sebagai metode basa, sedangkan proses sulfit, serta metode organosolv merupakan metode asam. Proses soda ditemukan sekitar tahun 1853-1854 oleh Charles Watt dan Hugh Burgess, sedangkan proses sulfat atau proses kraft dihasilkan dari eksperimen dasar oleh Carl Dahl pada tahun 1884 di Danzig. Proses sulfit ditemukan oleh seorang kimiawan Amerika, Benjamin Chew Tilghman pada tahun 1857 yang untuk penemuannya mendapatkan British Patent. Sedangkan konsep organosolv diperkenalkan oleh Kleinert dan terus mengalami perkembangan.
11
Pada metode basa, bahan baku yang telah dipotong kecil-kecil dimasukkan dalam sebuah bejana “digester” dan dimasukkan larutan pemasak NaOH 7% atau Na2CO3 untuk proses soda atau campuran NaOH, Na2S, Na2CO3, dan Na2SO4 untuk proses sulfat. Pada metode asam digunakan pelarut dari garam-garam sulfit: SO2, Ca(HSO3)2 dan Mg(HS03)2. Sedangkan pada metode organosolv digunakan pelarut organik seperti alkohol atau asam karboksilat. Pada penelitian ini pulping dilakukan dengan metode organosolv. Proses yang dilakukan adalah proses acetosolv dengan asam asetat sebagai pelarut utama. Pulp yang diperoleh kemudian dipisahkan dan disaring. Pulp kasar dapat digunakan untuk membuat karton atau kertas koran sedangkan pulp halus yang berwarna coklat harus dibleaching (diputihkan atau dipucatkan).
2.4.2. Bleaching Warna kecoklatan pada serat hasil pulping disebabkan adanya lignin. Maka, proses bleaching pada prinsipnya adalah penghilangan lignin yang terikat pada selulosa sehingga diperoleh serat selulosa berwarna putih. Reaksi utama yang terjadi adalah reaksi oksidasi. Beberapa oksidator yang biasa digunakan adalah gas klorin, gas klorin dioksida, hidrogen peroksida, dan kaporit atau natrium hipoklorit. Pada penelitian ini proses bleaching dilakukan dengan hidrogen peroksida (H2O2). Proses bleaching tidak dilakukan dengan gas klorin (Cl2) atau gas klorin dioksida (ClO2) karena faktor lingkungan dan keselamatan kerja. Proses bleaching dengan senyawa klor akan menghasilkan senyawa organoklorin yang sangat berbahaya.
2.4.3. Percetakan dan Pengeringan Untuk menjadi kertas, bahan pulp diproses melalui mesin kertas (paper machine), yaitu mesin pembentuk lembaran kertas, mesin pengeras dan mesin pengering (Gambar 2-9). Air pada suspensi serat dihilangkan sekitar 85% secara gravitasi, pengisapan, dan pemberian tekanan. Pencetakan dilakukan dengan silinder besi cast, dan pemanasan berlebih pada 1000C supaya terbentuk lapisan tipis berupa lembaran. Proses selanjutnya adalah menghaluskan permukaan kertas dengan melewatkannya di antara serangkaian roller. (paperonline.org, 2007)
12
Gambar 2-9 Mesin Kertas 1. Pemotong bahan baku kayu, 2. Wadah campuran reaksi, 3. Pembentuk lembaran kertas, 4. Pengeringan dengan tekanan, 5. Calender stack, 6 penggulung kertas (catalystpaper, 2008)
Tahap ini merupakan tahap terakhir proses pembuatan kertas. Pulp dicetak menjadi lembaran dan dihilangkan air pensuspensinya. Pada penelitian ini, pencetakan dilakukan di atas permukaan datar, misalnya kaca, dengan ketebalan kertas yang diatur menggunakan pembatas pada bagian tepi. Sedangkan pengeringan dapat dilakukan dengan alat pengering maupun dengan pengeringan langsung di bawah sinar matahari.
13