TINJAUAN PUSTAKA
Kulit Buah Markisa Markisa berasal dari daerah tropis dan sub tropis di Amerika. Markisa (Portugis: maracuja; Spanyol: maracuya) tergolong ke dalam genus Passiflora. Di Indonesia terdapat dua jenis markisa yaitu markisa ungu (passiflora edulis) dan markisa kuning (passiflora flavicarva) tumbuh di dataran rendah. Di Sumatera Barat sering disebut markisa manis (passiflora edulis forma flavicarva). Klasifikasi markisa sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Divisio: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Malpighiales; Family: Passifloraceae; Genus: Passiflora; Spesies: Passiflora edulis. (Wikipedia, 2008) Sumatera Utara merupakan salah satu daerah sentral produksi markisa (Passiflora edulis) di Indonesia (Verheij and Caronel, 1997). Industri pengolahan buah markisa menjadi produk minuman (sari markisa) menawarkan produk limbah berupa kulit buah markisa yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ruminansia, seperti domba. Produksi limbah kulit buah markisa sebanyak 2,5–4 ton per hari. Tidak adanya gangguan penggunaan tepung kulit buah markisa terhadap nafsu makan ternak menunjukkan bahwa bahan makanan ini cukup palatabel. Hal ini mungkin disebabkan aroma tepung kulit buah markisa disukai oleh ternak, sehingga pakan yang diberikan dapat dikonsumsi dalam jumlah besar. Sedangkan pakan yang mempunyai palatabilitas rendah akan dikonsumsi hanya sebatas pemenuhan hidup pokok ternak tersebut. Faktor penting berasal dari makanan
Universitas Sumatera Utara
yang mempengaruhi konsumsi adalah aroma dari bahan makanan itu, ternak dapat saja menolak bahan makanan yang diberikan tanpa merasakan terlebih dahulu, karena tidak menyukai aromanya (Preston and Leng, 1987). Kandungan tanin yang terdapat pada kulit buah markisa dapat berikatan dengan mineral bervalensi dua seperti Fe, Zn, Mg dan Ca dan membentuk senyawa tannin-mineral yang tidak terdegradasi, sehingga mempengaruhi kecernaan bahan kering (Herrick, 1987). Kulit buah markisa saat ini sudah banyak diteliti untuk digunakan sebagai pakan ternak terutama untuk ruminansia. Kulit buah markisa merupakan bagian dari buah markisa yang tidak dapat dikonsumsi oleh manusia dan menjadi limbah.
Domba Lokal Domba sudah sejak lama diternakkan oleh manusia. Semua jenis domba memiliki beberapa karakteristik yang sama. Ada tiga spesies domba liar yaitu: domba Mouffon (O. musimon) terdapat di Eropa dan Asia Barat, domba Urial (O. orientalis, O. vignei) terdapat di Asia Tengah dan domba Bighorn (O. canadensis) terdapat di Asia Utara dan Amerika Utara. Tiga jenis domba tersebut merupakan domba-domba yang membentuk genetik domba-domba modern sekarang (Sodiq dan Abidin, 2002). Adapun klasifikasi domba tersebut yaitu: Kingdom: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mamalia; Ordo: Artiodactyla; Sub-family: Caprinae; Genus: Ovis aries; Spesies: Ovis mouffon, Ovis orientalis dan Ovis vignei (Blakely and Bade, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan Domba Lokal Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat dan jaringanjaringan urat daging, tulang, otak, dan jaringan-jaringan tubuh yang lainnya. Lebih lanjut dikatakan pertumbuhan murni adalah penambahan dalam jumlah protein dan zat-zat mineral, sedangkan pertambahan akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukanlah pertumbuhan murni (Anggorodi, 1979). Dalam pertumbuhan hewan tidak sekedar meningkatkan bobot badannya, tetapi juga menyebabkan
konformasi oleh perbedaan tingkat pertumbuhan
komponen tubuh, dalam hal ini urat daging dari karkas atau daging yang akan dikonsumsi manusia (Parakkasi, 1995).
Bobot badan (kg)
25
20 0
12
24 40 Umur ( minggu )
Gambar 1.Kurva Sigmoid Pertumbuhan pada domba
Pada domba sampai umur 2,5 bulan pertumbuhan absolut akan berjalan lambat yang digambarkan pada kurva pertumbuhan. Umur 2,5 bulan sampai dengan masa pubertas (6-8 bulan) pertumbuhan akan berjalan maksimum. (Anggorodi, 1979).
Universitas Sumatera Utara
Potensi dan Produktifitas Domba Potensi ekonomi ternak domba sebagai lapangan usaha memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan ternak besar lainnya, yakni: Ternak domba relatif kecil dan cepat dewasa, sehingga usaha ternak domba memiliki keuntungan ekonomi yang cukup tinggi. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang dalam pemeliharaannya tidak memerlukan lahan yang luas. Investasi usaha ternak domba membutuhkan modal relatif kecil. Modal usaha ternak domba lebih cepat berputar dibanding dengan jenis ternak ruminansia besar yang lain. Domba memiliki sifat suka bergerombol sehingga memudahkan dalam pemeliharaannya (Murtidjo, 1995). Domba dan kambing merupakan jenis ternak potong yang tergolong ternak ruminansia kecil, hewan pemamahbiak dan merupakan hewan mamalia yang menyusui anaknya. Disamping penghasil daging yang baik, domba dan kambing juga menghasilkan kulit yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan industri kulit (Cahyono, 1998). Ternak domba mempunyai keuntungan dalam pemeliharaan yakni: cepat berkembang biak (dapat beranak lebih dari satu ekor dan dapat beranak dua kali setahun), mudah dalam pemeliharaan, mudah dalam pemberian pakan dan sumber pupuk/keuangan bagi peternak (Tomaszewska et al., 1993)
Sistem Pencernaan Domba Sistem pencernaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab atas pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan pakan dalam perjalanannya menuju tubuh (saluran pencernaan) mulai dari rongga mulut sampai ke anus.
Universitas Sumatera Utara
Disamping itu sistem pencernaan bertanggung jawab pula atas pengeluaran (ekskresi) bahan-bahan pakan yang tidak terserap atau tidak dapat diserap kembali (Parakkasi, 1995). Proses utama pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik atau mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan berupa getah-getah pencernaan (Tillman, et al, 1991). Domba adalah ternak ruminansia yang mempunyai perut majemuk yang membedakannya dengan ternak non ruminansia yang berperut tunggal. Perut depan merupakan perut terbesar dari saluran pencernaan dimana sebagian pakan yang dikonsumsi akan dicerna (Tomaszewska, et al., 1993). Perkembangan sistem pencernaan pada domba mengalami tiga fase perubahan. Fase pertama, pada waktu domba dilahirkan sampai dengan umur tiga minggu yang disebut non ruminansia karena pada tahapan ini fungsi sistem pencernaan sama dengan pencernaan mamalia lain. Fase kedua mulai dari umur 3-8 minggu disebut fase transisi yaitu perubahan dari tahap non ruminansia menjadi ruminansia yang ditandai dengan perkembangan rumen. Tahap ketiga fase ruminan dewasa yaitu setelah umur domba lebih dari delapan minggu (Van soest et al., 1983).
Universitas Sumatera Utara
Domba merupakan jenis ternak ruminansia kecil termasuk hewan mamalia atau menyusui anaknya. Domba memiliki saluran pencernaan (tractus digestifus) yang unik dan komplek pada bagian lambungnya, dimana dibagi atas empat bagian yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum (Cahyono, 1998).
Pakan Domba Kebutuhan ternak akan pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah nutrisi setiap harinya sangat tergantung pada jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya serta bobot badannya. Jadi setiap ekor ternak yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan berbeda (Tomaszewska, et al., 1993). Tabel 1. Kebutuhan harian zat-zat makanan untuk ternak domba (g) BB (Kg)
BK (Kg) %BB
5 10 15 20 25 30
0.14 0.25 0.36 0.51 0.62 0.81
2.50 2.40 2.60 2.50 2.70
Energi ME TDN (Mcal) (Kg) 0.60 0.61 1.01 1.28 1.37 0.38 1.80 0.50 1.91 0.53 2.44 0.67
Protein Total DD (g) 51 41 81 68 115 92 150 120 160 128 204 163
Ca (g)
P (g)
1.91 2.30 2.80 3.40 4.10 4.80
1.40 1.60 1.90 2.30 2.80 2.30
Sumber : NRC (1995)
Ketersediaan hijauan sebagai sumber pakan untuk ternak ruminansia memiliki beberapa kendala atau permasalahaan yakni ketersediannya secara musiman dimana pada musim hujan jumlahnya banyak dan pada musim kemarau jumlahnya sedikit. Lahan padang penggembalaan sebagai sumber hijauan berkurang karena lahan tersebut dikonversi menjadi lahan perkebunan, lahan tanaman pangan dan pemukiman. Lahan tanaman pangan yang semakin diperluas menyebabkan luas areal panen meningkat, sehingga produksi limbah pertanian
Universitas Sumatera Utara
juga meningkat. Oleh sebab itu pemanfaatan limbah tanaman pangan adalah alternatif yang tepat sebagai sumber pakan untuk ternak ruminansia. Makanan bagi ternak dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Kebutuhan akan makanan meningkat selama domba masih dalam pertumbuhan berat tubuh dan pada saat kebuntingan. Pemberian makanan harus dilandasi dengan beberapa kebutuhan sebagai berikut: 1. Kebutuhan hidup pokok 2. Kebutuhan untuk pertumbuhan, kebutuhan makanan yang diperlukan untuk memproduksi jaringan tubuh dan menambah berat tubuh 3. Kebutuhan untuk reproduksi contohnya kebuntingan 4. Kebutuhan untuk laktasi yaitu untuk memproduksi air susu (Murtidjo, 1998). Pakan ternak ruminansia umumnya hijauan dan konsentrat, pemberian ransum berupa kombinasi kedua bahan itu akan memberikan peluang terpenuhinya zat-zat gizi. Namun bisa juga pakan terdiri dari hijauan atau konsentrat saja. Apabila ransum hanya terdiri dari hijauan maka biaya relatif murah, tetapi produksi yang tinggi sulit tercapai. Sedangkan pemberian pakan yang hanya terdiri dari konsentrat saja akan memungkinkan terjadinya produksi yang tinggi, tetapi biaya pakan relatif mahal dan kemungkinan bisa terjadi gangguan pencernaan (Siregar, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Hijauan Sumber energi untuk ruminansia berbeda dengan ternak non ruminansia. Ternak ruminansia mengkonsumsi hijauan sebanyak ± 10% dari bobot badannya tiap hari, dan konsentrat sekitar 1,5-2% dari jumlah tersebut termasuk suplementasi vitamin dan mineral. Oleh karena itu hijauan atau sejenisnya terutama rumput dari berbagai spesies merupakan sumber energi terutama ternak ruminansia (Piliang, 1997). Lebih lanjut Siregar (1994) menyatakan bahwa ternak ruminansia mampu mencerna hijauan termasuk rumput-rumputan yang umumnya mengandung selulosa tinggi dikarenakan adanya mikroorganisme di dalam rumen yang berperan mencerna selulosa untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Mikrobia dalam rumen membutuhkan protein, energi, mineral dan sejumlah vitamin, namun dilain pihak
Djajanegara et al (1995) melaporkan
bahwa sangat jarang hijauan pakan daerah tropis dapat memenuhi kebutuhan ternak akan semua nutrisi, terutama nutrisi mineral karena adanya defisiensi mineral pada ternak domba dan sapi di Indonesia. Kandungan protein dan mineral yang rendah dari rumput di negara-negara tropis menyebabkan ternak lambat dewasa (Huitema, 1986, disitasi Manurung, 2008)
Serat Kasar Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa serat kasar hanya dapat dimanfaatkan hewan setelah mengalami proses fermentasi dalam gastrointestinal. Proses fermentasi pada hewan monogastrik sangat terbatas, karena hanya terjadi dalam usus sedangkan jenis mikroba penghasil enzim selulase tidak ada, sehingga bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi pada umumnya sukar dimanfaatkan (Anggorodi, 1985).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Larbier (1987) pakan yang mengandung serat kasar tinggi akan mempengaruhi pencernaan dan absorbsi zat gizi yang lain, karena serat kasar dapat mengikat air sehingga laju perjalanannya dalam alat pencernaan bisa lebih cepat.
Selulosa dan Hemiselulosa Selululosa dan hemiselulosa adalah karbohidrat yang berperan dalam memberi kekuatan pada struktur tanaman dan mengikat sel. Hemiselulosa pada umumnya diberi nama demikian karena ditemukan bersama-sama dengan selulosa dalam dinding sel dan dianggap sebagai senyawa antara dalam pembentukkan selulosa. Hemiselulosa adalah suatu nama untuk menunjukkan suatu golongan substansi yang termasuk didalamnya araban, xylan, heksosa tertentu dan poliuronat yang lebih tidak tahan bila kena zat kimia dibanding selulosa (Tillman, 1991).
Lignin Lignin berasal dari bahasa latin ligmun yang artinya kayu. Lignin terletak berdekatan dengan hemiselulosa serta membentuk matrik mengelilingi mikrofibril selulosa merupakan bahan penguat yang terdapat bersama-sama di dalam dinding sel tumbuhan, mempunyai bobot molekul mulai dari 2800 sampai 6700. Secara fisik lignin merupakan polimer poliaromatik dihidrogenasi dengan pengulangan pada unit fenilpropana (Zabel and Morell, 1992). Lignin adalah komponen dinding sel tanaman yang diketahui sebagai faktor pembatas untuk mencerna polisakarida di dalam rumen. Lignin seringkali terikat dengan karbohidrat (ikatan ester) dan terdapat bersama-sama dengan silika
Universitas Sumatera Utara
untuk memperkokoh dinding sel tanaman. Kombinasi ini menyulitkan aktivitas enzim-enzim pencernaan ruminansia dalam merombak unsur-unsur karbohidrat tanaman
dan
dapat
menurunkan
kecernaan
bahan
kering
pakan
(Jung and Deetz, 1993). Semakin tinggi kandungan lignin pada campuran pakan maka kecernaan NDF semakin rendah, karena diduga lignin mempunyai pengaruh langsung terhadap kecernaan dinding sel dibandingkan dengan kecernaan bahan organik (Van Soest, 1983).
Tannin Tannin adalah senyawa phenolic yang larut dalam air. Peranan tannin pada tanaman yaitu untuk melindungi biji dari predator burung, melindungi perkecambahan setelah panen dan melindungi dari jamur serta cuaca (Anonimous, 2007). Cara mengatasi pengaruh dari tannin dalam pakan yaitu dengan mensuplementasi DL-metionin dan suplementasi agen pengikat tannin, yaitu gelatin, polyvinylpyrrolidone (PVP) dan polyethyleneglycol yang mempunyai kemampuan mengikat dan merusak tannin. Selain itu kandungan tannin pada bahan pakan dapat diturunkan dengan berbagai cara seperti perendaman, perebusan, fermentasi dan penyosohan kulit luar (Anonimous, 2008).
Konsentrat Konsentrat merupakan pakan penguat yang terdiri dari bahan yang kaya akan karbohidrat dan protein. Konsentrat untuk domba memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18% dan mudah dicerna (Murtidjo, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Pemberian pakan penguat (konsentrat) pada domba pada dasarnya/ prinsipnya adalah untuk menyempurnakan kekurangan zat-zat pakan yang terkandung pada rumput lapang dan hijauan, karena protein dapat diperoleh dari protein mikroba, maka lebih diutamakan konsentrat sebagai sumber energi. Dimana energi tersebut dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk mensintesa protein mikroba. Penyediaan protein yang diserap oleh tubuh ternak dapat bersumber dari pakan dan protein mikroba (Williamson dan Payne, 1978).
Bungkil Inti Sawit Davendara (1997) melaporkan bahwa bungkil inti sawit dapat diberikan sebesar 30% dalam pakan domba tanpa memberikan efek samping yang merugikan. Batubara et al (1992) melaporkan bahwa BIS dapat digunakan sebesar 40% dalam pakan domba ditambah dengan 20% molases. Tabel 2. Kandungan nilai gizi BIS Uraian Berat kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN ME (Mcal/kg)
Kadar Zat (%) 92,60 16,50 7,00 15,50 72,00 1670
Sumber: Laboratorium Ilmu Makanan Ternak IPB Bogor (2000)
Pelepah dan Daun Sawit Pelepah daun kelapa sawit merupakan limbah padat perkebunan kelapa sawit dimana keberadaannya cukup melimpah sepanjang tahun di Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Dilihat dari kandungan protein kasar, pelepah daun kelapa sawit setara dengan mutu hijauan (Prayitno dan Darmoko, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Kandungan nilai gizi pelepah daun kelapa sawit Uraian Bahan Kering
Kandungan (%) a 93,40 a
Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN Energi (Kkal/kg)
13,00 5,80a a 32,55 a 56,00 4020b
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU Medan (2000) b. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor (2000)
Lumpur Sawit Lumpur sawit merupakan larutan buangan yang dihasilkan selama proses ekstraksi minyak, mengandung padatan, sisa minyak dan air, biasanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Lumpur sawit dapat diberikan secara langsung atau setelah mendapat perlakuan. Pada ternak ruminansia, lumpur sawit tanpa
perlakuan
dapat
diberikan
dan
sampai
50%
dari
konsentrat
(Hutagalung dan Jalaluddin, 1982). Tabel 4. Kandungan nilai gizi lumpur sawit Uraian Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN EM (Kkal/kg)
Kandungan (%) a 83,60 a 6,50 b 13,00 a 16,20 b 79,00 6520
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005) b. Laboratorium Makanan Ternak IPB Bogor (2000)
Dedak Padi Dedak padi merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tebal, tetapi bercampur dengan bagian penutup beras. Hal ini yang mempengaruhi tinggi rendahnya serat kasar
Universitas Sumatera Utara
dedak. Bila dilihat dari pengolahan gabah menjadi beras dapat dipastikan serat kasarnya tinggi (Parakkasi, 1995). Tabel 5. Kandungan nilai gizi dedak padi Uraian Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN EM (Kkal/kg)
Kandungan (%) 89,10 13,80 7,00 8,00 64,30 1800
Sumber: NRC (1995)
Molases Molases merupakan hasil sampingan pengolahan tebu menjadi gula. Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan karbohidrat, protein dan mineral yang cukup tinggi, sehingga bisa dijadikan pakan ternak walaupun sifatnya sebagai pakan pendukung. Kelebihan molases terletak pada aroma dan rasanya, sehingga bila dicampur pada pakan ternak bisa mempebaiki aroma dan rasa ransum (Widayati dan Widalestari, 1996). Tabel 6. Kandungan nilai gizi molasses Uraian Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN EM (Kkal/kg)
Kandungan (%) 92,60 3,80 0,08 0,38 81,00 1020
Sumber: Laboratorium Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000).
Urea Murtidjo (1993) melaporkan bahwa pemberian Nitrogen Non-Protein (NPN) pada makanan sapi dalam batas tertentu, seperti penggunaan urea cukup membantu ternak untuk mudah mengadakan pembentukan asam amino esensial.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan urea tidak bisa lebih dari setengah persen dari jumlah bahan kering dan lebih dari 2 gram untuk setiap bobot badan 100 kg ternak. Urea dalam proporsi tertentu mempunyai dampak positif terhadap peningkatan konsumsi serat kasar dan daya cerna dan apabila diberikan terlalu banyak/berlebihan akan menaikan pH rumen dan serum darah yang menyebabkan pertambahan dan perkembangan mikroba rumen terhambat (Kartadisastra, 1997).
Garam Garam atau biasanya dikenal dengan NaCl merangsang sekresi saliva. Terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi air sehingga menimbulkan udema. Defisiensi garam lebih sering terdapat pada hewan hebivora daripada hewan lainnya. Ini disebabkan hijauan dan butiran mengandung sedikit garam. Gejala defisiensi garam adalah nafsu makan hilang, bulu kotor, makan tanah, keadaan badan tidak sehat, produksi mundur sehingga menurunkan bobot badan (Anggorodi, 1990).
Ultra Mineral Mineral adalah zat anorganik, yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, namun berperan penting agar proses fisiologis dapat berlangsung dengan baik. Mineral digunakan sebagai kerangka pembentukan tulang, gigi, pembentukan darah, pembentukan jaringan tubuh serta diperlukan sebagai komponen enzim yang berperan dalam proses metabolisme di dalam sel. Penambahan mineral dalam pakan ternak dilakukan untuk mencegah kekurangan mineral dalam pakan (Setiadi dan Inouno, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Fermentasi Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dimana enzim dari mikroorganisme (jasad renik) melakukan oksidasi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Saono, 1976). Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan pakan baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya tahannya. Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dari pada bahan aslinya, hal ini tidak hanya disebabkan karena mikroba yang bersifat katabolik atau memecahkan komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna tetapi juga karena adanya enzim yang dihasilkan oleh mikroba itu sendiri (Winarno, 1980).
Phanerochaete Chrysosporium Phanerochaete chrysosporium memiliki klasifikasi sebagai berikut: Divisio: Mycota; Sub division: Eumycota; Class: Bacidiomycetes; Famili: Hymenomycetacea;
Genus:
Phanerochaete;
Spesies:
Phanerochaete
chrysosporium (Herlina, 1998 disitasi Manurung, 2008). Menurut Valli et al., (1992) Phanerochaete chrysosporium adalah kapang pendegradasi lignin dari kelas bacidiomycetes yang membentuk sekumpulan miselia dan berkembangbiak secara aseksual melalui spora atau seksual dengan perlakuan tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan senyawa turunannya secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidasi ekstraseluler yang berupa lignin peroksidase (LiP) dan Mangan Peroksidase (MnP). Phanerochaete chrysosporium adalah jamur lapuk putih yang dikenal kemampuannya mendegradasi lignin (Eaton et al., 1980 disitasi Sembiring, 2006). Belewu,
(2006)
mempelajari
inkubasi
jamur
Phanerochaete
chrysosporium dalam media serbuk gergaji menemukan bahwa untuk 60 hari inkubasi kandungan lignin dalam serbuk gergaji berkurang dari 44,36% menjadi 25,53%. Jamur Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi lignin pada
batang jagung, pada 30 hari inkubasi, lignin terdegradasi sejumlah 81,4%. (Fadilah, dkk., 2008) Fermentasi Bungkil Inti Sawit (BIS) menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium, hasil terbaik dari penelitian untuk fermentasi BIS adalah pada dosis inokulum 5% dan waktu inkubasi 4 hari. Kandungan protein kasar meningkat dari I5,14% menjadi 25,08%, kandungan lemak kasar menurun dari 1,25% menjadi 1,01%, kandungan energi bruto menurun dari 4.330 kkal/kg menjadi 4.178 kkal/kg, kandungan serat kasar menurun dari 17,18% menjadi 13,64%, kandungan lignin menurun dari 17,52% menjadi 12,64%, Kandungan selulosa menurun dari 21,39% menjadi 19,84% dan kandungan hemiselulosa turun dari 50,37 menjadi 42,01%. Kecernaan protein BIS tanpa fermentasi 46,53% meningkat menjadi 80,86% (Sembiring, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7. Kandungan kimiawi kulit buah markisa tanpa dan fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium Kandungan kimiawi Kulit Buah Markisa Kulit Buah Markisa Fermentasi ME (Kkal/gr) 4140 4164 BK (%) 88,9 89,10 PK (%) 12,37 13,94 SK (%) 30,16 27,64 LK (%) 5,28 4,88 Abu (%) 9,26 9.09 Sumber : Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih (2009)
Laconi (1998), menyebutkan bahwa fermentasi kulit buah kakao dengan Phanerochaete chrysosporium mampu menurunkan kandungan lignin sebesar 18,36%. Melihat kemampuan Phanerochaete chrysosporium dalam menghasilkan enzim lignolitik dan selulotik, kapang ini mampu menurunkan kandungan lignin dengan meningkatkan pertumbuhan kapang dan aktivitas enzim ligninolitik.
Tingkat Konsumsi dan Kecernaan Tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh kofisien cerna, kualitas pakan, fermentasi dalam rumen, serta status fisiologi ternak. Kualitas pakan ditentukan oleh tingkat kecernaan zat-zat makanan yang terkandung pada pakan tersebut. Zat makanan tersebut tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian akan dikeluarkan melalui feses. Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba rumen (Tomaszewska, et al., 1993). Tingkat perbedaan konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ternak (bobot badan, umur, tingkat kecernaan pakan, kualitas pakan dan palatabilitas). Pakan yang berkualitas baik tingkat konsumsinya lebih tinggi dibandingkan dengan pakan yang berkualitas rendah (Parakkasi, 1995). Daya cerna (digestibility) adalah bagian zat makanan dari makanan yang tidak dieksresikan dalam feses, biasanya dinyatakan dalam bentuk bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut “koefisien cerna”.
Universitas Sumatera Utara
Daya cerna tidak hanya dipengaruhi oleh komposisi suatu pakan tetapi juga dipengaruhi komposisi suatu makanan lain yang ikut dikonsumsi bersama pakan tersebut. Hal ini disebut “efek asosiasi”. Cara yang lebih baik adalah dengan penambahan secara bertingkat dari bahan makanan yang diteliti untuk menentukan pengaruh pakan basal terhadap daya cerna bahan yang sedang diteliti Serat kasar mempunyai pengaruh terbesar terhadap daya cerna. Selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terutama bila mengandung lignin (Tillman, et al., 1981). Menurut Tillman (1981), nilai koefisien cerna tidaklah tetap untuk setiap makanan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Komposisi Kimiawi Daya cerna berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya. Serat kasar berisi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna oleh ternak ruminansia secara enzimatik. 2. Pengolahan makanan Beberapa perlakuan terhadap bahan makanan seperti pemotongan, penggilingan dan pelayuan mempengaruhi daya cerna. Penggilingan yang halus dari hijauan menambah kecepatan jalannya bahan makanan melalui usus sehingga menyebabkan pengurangan daya cerna 5-15%. 3. Jumlah makanan yang diberikan Penambahan jumlah makanan yang dimakan mempercepat arus makanan ke dalam usus, sehingga mengurangi daya cerna. Penambahan jumlah makanan sampai dua kali lipat dari jumlah kebutuhan hidup pokok mengurangi daya cerna 1-2%.
Universitas Sumatera Utara
Penambahan yang lebih besar akan menyebabkan daya cerna akan menjadi turun. 4. Jenis Ternak Ternak ruminansia dapat mencerna serat kasar yang tinggi karena N Metaboliknya lebih tinggi sehingga daya cerna protein ruminansia lebih rendah dibanding non ruminansia, disamping adanya peran mikroorganisme yang terdapat pada rumen. Salah satu faktor yang harus dipenuhi dalam bahan pakan adalah tingginya daya cerna bahan pakan tersebut, dalam arti bahwa pakan itu harus mengandung zat pakan yang dapat diserap dalam saluran pencernaan dan zat pakan yang terkandung tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian besar dikeluarkan lagi melalui feses karena tidak tercerna (Ranjhan dan Pathak, 1979, disitasi Siregar, 2009). Kecernaan pakan didefenisikan dengan cara menghitung bagian zat makanan yang tidak dikeluarkan melalui feses dengan asumsi zat makanan tersebut telah diserap oleh ternak, biasanya dinyatakan berdasarkan bahan kering dan sebagai suatu koefisien atau persentase. Selisih antara nutrient yang dikandung dalam bahan pakan dengan nutiren yang ada dalam feses merupakan bagian nutrient yang dicerna (Mcdonald et al., 2002) Sutardi (1979) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai kualitas pakan, dimana setiap domba memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi pakan sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan.
Universitas Sumatera Utara
Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan indikator derajat kecernaan pakan dan manfaat pakan yang diberikan pada ternak. Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering yang berkisar 55-65% merupakan kecernaan bahan kering yang tinggi dan diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan ternak.
Universitas Sumatera Utara